• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Anak (Usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Anak (Usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA

DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK

BADUTA (USIA 12-24 BULAN) DI KECAMATAN DARUL

IMARAH, KABUPATEN ACEH BESAR

SURYANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Baduta (usia 12-24 bulan) di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Suryana

(6)

terhadap Perkembangan Motorik Baduta (usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Dibimbing oleh SITI MADANIJAH dan DADANG SUKANDAR.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik anak baduta usia 12-24 bulan. Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut: (1) mengidentifikasi karakteristik baduta (umur, jenis kelamin dan berat badan lahir), karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan perkapita, besar keluarga dan jumlah balita dalam keluarga), pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, praktik pola asuh makan, konsumsi pangan, status kesehatan, dan status anemia baduta serta perkembangan motorik (motorik kasar dan halus) baduta usia 12-24 bulan; (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia anak baduta usia 12-24 bulan; (3) menganalisis dampak anemia terhadap perkembangan motorik kasar dan halus anak baduta usia 12-24 bulan.

Populasi target dalam penelitian ini adalah semua anak baduta berusia 12-24 bulan yang berada di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Sementara yang menjadi populasi sasaran adalah populasi target yang terpilih memenuhi kriteria yaitu lahir cukup bulan (≥ 37 minggu), kondisi anak tidak sedang dalam kondisi sakit parah, tinggal bersama ibu, serta ibu bersedia berpartisipasi. Contoh adalah bagian dari populasi sasaran yang direncanakan yaitu yang dipilih secara acak dengan menggunakan teknik penarikan contoh acak berlapis dengan alokasi proporsional, yang mewakili rumah tangga Pra Sejahtera/Sejahtera I, Sejahtera II, dan Sejahtera III. Ukuran minimal contoh adalah 102 orang baduta usia 12-24 bulan.

Pengukuran variabel karakteristik baduta, karakteristik sosial ekonomi keluarga, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, praktik pola asuh makan dan riwayat ISPA dan diare dengan metode wawancara menggunakan kuesioner terstruktur. Konsumsi pangan dengan metode recall 24 jam. Status gizi antropometri dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U) dan panjang badan menurut umur (PB/U). Kadar Hb menggunakan alat Hemocue 201+. Data perkembangan motorik halus dan motorik kasar dengan menggunakan instrumen DENVER II. Data dianalisis menggunakan microsoft Excel 2013, SPSS version 16.0 for Windows dan SAS version 9.1 for Windows. Analisis statistik yang dilakukan yaitu deskriptif, dan regresi linear berganda.

(7)

Rata-rata lama pendidikan ayah baduta anemia lebih rendah (11.6 tahun) dibandingkan dengan baduta tidak anemia (12.5 tahun). Sementara lama pendidikan ibu baduta anemia dan tidak anemia adalah sama (12.4 tahun). Jumlah anggota keluarga di kedua kelompok adalah 4 orang atau tergolong kategori rumah tangga kecil (≤4 orang) dengan rata-rata jumlah balita dalam rumah tangga adalah 1 orang. Sebagian besar ayah baduta anemia dan tidak anemia bekerja di bidang buruh tidak tani/jasa dan pegawai negeri sipil. Sementara ibu sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Pendapatan rumah tangga baduta anemia lebih rendah (Rp 697 372 kapita/bulan) dibandingkan baduta tidak anemia (Rp 775 468 kapita/bulan).

Secara umum, pengetahuan gizi dan kesehatan ibu pada kedua kelompok tergolong kurang. Namun, skor rata-rata pengetahuan gizi dan kesehatan ibu lebih rendah pada baduta anemia (54.0) dibandingkan baduta tidak anemia (57.0). Sementara, praktik pola asuh makan anak yang diterapkan ibu/pengasuh tergolong sedang. Skor rata-rata praktik pola asuh makan baduta tidak anemia lebih tinggi (64.5) dibandingkan baduta anemia (63.4%).

Secara umum, baduta anemia dan tidak anemia memiliki tingkat kecukupan energi berada pada kategori defisit tingkat sedang, tingkat kecukupan protein pada kategori cukup, tingkat kecukupan zat besi/Fe pada kategori kurang, tingkat kecukupan vitamin A pada kategori cukup, dan tingkat kecukupan vitamin C pada kategori kurang. Namun, rata-rata tingkat kecukupan protein, zat besi/Fe, vitamin A dan vitamin C pada baduta anemia lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia. Sementara tingkat kecukupan energi dan protein yang dimiliki baduta anemia dan tidak anemia adalah sama yaitu berada pada kategori normal atau cukup.

Rata-rata z-skor status gizi dengan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) dan panjang badan menurut umur (PB/U) yang dimiliki baduta anemia lebih rendah dibandingkan baduta tidak anemia, namun keduanya berada pada kategori gizi baik dan normal. Proporsi anemia lebih tinggi ditemukan pada kelompok baduta dengan status gizi kurang (88.2%), buruk (71.4%), dan sangat pendek (95.0%). Selanjutnya, baduta yang menjadi contoh dalam penelitian memiliki persentase riwayat ISPA dan diare dalam dua minggu terakhir masing-masing sebesar 51,0% dan 45.1%. Rata-rata lama baduta mengalami ISPA dan diare adalah sebanyak 3 hari.

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diketahui bahwa Tingkat Kecukupan Zat Besi (TKFe), Tingkat Kecukupan Energi (TKE), lama pendidikan ayah, pendapatan, dan umur ayah berpengaruh secara signifikan terhadap status anemia baduta secara bersama-sama. Model ini mempunyai nilai koefisien determinasi sebesar 0.243. Artinya, sebesar 24.3% keragaman dari status anemia/kadar Hb baduta dapat dijelaskan oleh variabel TKFe, TKE, lama pendidikan ayah, pendapatan perkapita dan umur ayah, sedangkan sisanya 75.7% diduga dijelaskan oleh faktor lain seperti faktor penyerapan zat besi.

(8)

Suryana. Factors Affecting Anemia Status and Impact to Motoric Development of Children Under Two Years (Aged 12-24 months) in Darul Imarah Sub-district, Aceh Besar District. Supervised by SITI MADANIJAH dan DADANG SUKANDAR.

The general objective of this study is to determine the factors that affected the anemia status of children under two years in Darul Imarah Sub-district, Aceh Besar District. The specific objectives of this study were to: (1) identify child characteristics (gender, birth weight and birth age), socioeconomic characteristics of the family (parental education, parental occupation, per capita income, family size, number of child under five years in the family), mother knowledge about nutrition and health, the practice of parenting a child's, children's food consumption, nutritional status and health history, anemia status and motor development (gross and fine motor) children aged 12-24 months; (2) analyze the factors that affect the status of anemia baduta children aged 12-24 months; (3) analyze the impact of anemia on the development of gross and fine motor baduta children aged 12-24 months.

Population in this study was all children under two years aged 12-24 months in Darul Imarah Sub-district, Aceh Besar District while the target populations were the chosen targets who met the criteria i.e. born at term (≥ 37 weeks), not in the state of severe pain, lived with their mothers, and willing to participate. Sample was part of the planned target population which was randomly selected using stratified random sampling technique with proportional allocation. The classification was based on pre-prosperous household/ prosperous I (Jeumpet village = 56 people), prosperous II (Lambheu village = 40 people), and prosperous III (Geugajah village = 45 people) which stood as each layer/level. Minimum sample size was 102 children under two years.

Outcome measures is children’s characteristics, socioeconomic status of the family, nutrition and health knowledge of the mothers, feeding practices, and history of diarrhea and upper respiratory tract infection (URTI) were measured by interview using a structured questionnaire. Food consumption was measured through a 24-hour recall method. Anthropometric nutritional status was measured by weight-for-age index (WAZ) and length-for-age (LAZ). Hb level was measured by Hemocue 201+ tool. Data development of fine motor and gross motor skills by using instruments DENVER II.

(9)

Mean of education length of the fathers in children under two years with anemia (11.6 years) was lower than non-anemic children (12.5%) while education length of the mothers in both groups were the same (12.4 years). Number of

family members in both groups classified as small family size (≤ 4 people) with average number of children in the household was one child. Most fathers worked as non-peasant labor (service labor) and civil servants while mothers were mostly housewives. Household income per capita were lower in anemic children (IDR 697 372/ capita/ month) than non-anemic children (IDR 775 468/capita/month).

In general, nutrition and health knowledge of the mothers in both groups

were relatively low. However, the average score of mother’s nutrition and health

knowledge was lower in anemic children (54%) than non-anemic children (57%). Meanwhile, feeding practices applied by mothers/caregivers were moderate. Mean score of feeding practices in non-anemic children was higher (64.5%) than anemic children (63.4%).

The mean of adequacy level of protein, iron/Fe, vitamin A and vitamin C in anemic children under two years were lower than non-anemic children, except for energy adequacy level. In general, nutrition status in both groups was categorized as good based on WAZ index and normal based on LAZ index. However, there was a greater tendency of anemia in children with moderate malnutrition, moderate stunting, and severe stunting. In general, history of URTI by 51% and diarrhea by 45.1% had been experienced by children under two in the last two week of the study date. Average duration of URTI was 3 days and diarrhea was 2.7 days. However, duration of URTI and diarrhea experienced by non-anemic children was slightly longer than the anemic children.

Factors which were expected to affect anemia status of children under two years were analyzed using multiple linear regression with independent variables as follows: characteristics of children under two years, socio-economic characteristics of the family, nutrition and health knowledge of the mothers, feeding practices, and children’s history of health (nutrition status, history of URTI and diarrhea). Based on multiple regression analyses, Fe and energy

adequacy level, father’s education length, income per capita, and age of the father

had significant effect on anemia status simultaneously.

(10)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau mneyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(11)

SURYANA

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS ANEMIA

DAN DAMPAKNYA TERHADAP PERKEMBANGAN MOTORIK

BADUTA (USIA 12-24 BULAN) DI KECAMATAN DARUL

IMARAH, KABUPATEN ACEH BESAR

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

Pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Judul Tesis : Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Anak (Usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar Nama : Suryana

NIM : I151124121

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS Ketua

Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dengan judul “Faktor -faktor yang Mempengaruhi Status Anemia dan Dampaknya terhadap Perkembangan Motorik Baduta (Usia 12-24 Bulan) di Kecamatan Darul Imarah

Kabupaten Aceh Besar” berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Ungkapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof Dr Ir Siti Madanijah, MS selaku ketua komisi pembimbing dan bapak Prof Dr Ir Dadang Sukandar, MSc selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan telah memberikan saran untuk perbaikan tesis ini, serta Prof Dr Ir Ali Khomsan, MS selaku penguji yang telah memberi saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada BPPSDMK Kementerian Kesehatan RI selaku pemberi dana.

Ucapan terimakasih kepada orangtua tercinta (Ayahanda Alm. Abdullah Ali Basyah dan Ibunda Nurkisyah) yang telah membesarkan, mengasuh Ananda dengan segala kasih sayang, doa, dan motivasi. Kepada Suami (Putra Chairullah SE) dan Putra ku tercinta (Arkan Nafis Alfatih) terimakasih atas cinta, doa, dan motivasi.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada tim enumerator (Inna, Sari, Putri) dan tenaga kesehatan Puskesmas Darul Imarah (Ibu Maya Sofa) yang telah membantu selama pengambilan data. Kepada teman-teman seperjuangan atau sahabat (Firdaus, Mas Wawan, Ibnu, Febri, Juntra, Kiki, Mba Rian, Mba Nurul, Oci, Andi, Mbak Cica, Liska, Elda, Ratih, Inna, Dila), dan teman-teman lainnya yang tidak disebutkan yang telah membantu dan memberikan keceriaan, semangat serta motivasi kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga tesis ini dapat menjadi salah satu bagian bagi landasan ilmu pengetahuan dan dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Anemia 5

Pengukuran Anemia 7

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Anemia 8

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga 8

Karakteristik Baduta 8

Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan 8

Praktik Pola Asuh Makan 8

Konsumsi Pangan 9

Status Gizi 10

Infeksi Penyakit 10

Dampak Anemia 11

Perkembangan Motorik 12

Pencegahan dan Penanggulangan Anemia 13

3 KERANGKA PEMIKIRAN 14

4 METODE 16

Lokasi, dan Waktu Penelitian 16

Teknik Penarikan Contoh 16

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 17

Pengolahan dan Analisis Data 20

Definisi Operasional 24

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 26

Karakteristik Anak 27

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga 27

Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan 30

Praktik Pola Asuh Makan 32

Konsumsi Pangan Anak 37

Status Kesehatan Anak 40

Status Anemia 41

(16)

DAFTAR ISI (lanjutan)

Karakteristik Baduta dengan Status Anemia 42

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga dengan Status Anemia 43 Pengetahuan Gizi dan Kesehatan Ibu dengan Status Anemia 46

Praktik Pola Asuh Makan dengan Status Anemia 47

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Lainnya dengan Status

Anemia 51

Status Kesehatan dengan Status Anemia 54

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Anemia Baduta 56 Dampak Anemia terhadap Perkembangan Motorik Baduta 59

6 SIMPULAN DAN SARAN 62

Simpulan 63

Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 63

LAMPIRAN 70

(17)

DAFTAR TABEL

1 Kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin dalam mendefiniskan anemia 5 2 Tingkat keparahan anemia menurut kategori umur/fisiologis dan jenis

kelamin 7

3 Pengklasifikasian anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat pada

populasi menurut estimasi prevalensi dari kadar Hb 7

4 Angka kecukupan gizi baduta usia 1-3 tahun 10

5 Jenis dan cara pengumpulan data 18

9 Sebaran baduta menurut karakteristik Baduta 27

10 Sebaran baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga 28 11 Sebaran baduta menurut kategori pengetahuan ibu tentang gizi dan

kesehatan 30

12 Sebaran baduta menurut butirpertanyaan yang dijawab benar tentang

pengetahuan gizi dan kesehatan ibu 31

13 Sebaran baduta menurut kategori skor praktik pola asuh makan 32 14 Sebaran baduta menurut butirpraktik pola asuh makan 34 15 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya baduta 37 16 Sebaran baduta menurut tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya 38 17 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor 39 18 Sebaran baduta menurut status gizi indeks BB/U dan PB/U 40

19 Sebaran baduta menurut riwayat ISPA dan diare 41

20 Sebaran baduta menurut status anemia 42

21 Proporsi baduta menurut karakteristik individu dan status anemia 43 22 Proporsi baduta menurut karakteristik sosial ekonomi rumah tangga 45 23 Proporsi baduta menurut pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dan status

anemia 46

24 Proporsi baduta menurut kategori praktik pola asuh makan dan

status anemia 47

25 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh riwayat ASI dan status anemia 48 26 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh MP-ASIdan status anemia 49 27 Proporsi ibu menurut praktik pola asuh "responsive feeding" dan status

anemia 50

28 Proporsi baduta menurut praktik pola asuh "higiene/sanita pemberian

makan dan pemberian makan anak ketika sakit" 51

29 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lainnya baduta menurut status

anemia 51

30 Proporsi baduta menurut tingkat kecukupan energi dan zat gizi lainnya

dan status anemia 52

31 Rata-rata dan standar deviasi frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan inhibitor (teh) baduta dan status anemia 53 32 Proporsi baduta menurut status kesehatan dan status anemia 55 33 Variabel dominan yang mempengaruhi status anemia baduta 56 34 Sebaran baduta menurut perkembangan motorik halus dan motorik 60 35 Sebaran baduta menurut perkembangan motorik halus dan motorik kasar

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Stadium deplesi besi 6

2 Model konseptual anemia defisiensi vitamin A (Semba dan Bloem 2012) 10 3 Faktor-faktor eksogenus yang menyebabkan anemia (Trurnham 2007) 11 4 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan

dampaknya terhadap perkembangan motorik 15

5 Skema penarikan contoh 17

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil uji korelasi antar variabel 70

2 Regresi linear berganda 71

(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu periode penting kehidupan anak adalah masa baduta (masa bayi berusia di bawah dua tahun). Masa baduta sering disebut periode pertumbuhan jaringan otak yang paling rawan karena terjadi pembelahan sel-sel otak dan perkembangan sel-sel saraf yang cukup pesat (Soetjiningsih dan Ranuh 2013). Masa baduta merupakan bagian dari Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) setelah melewati masa kehamilan. Berdasarkan Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Sadar Gizi dalam rangka 1000 HPK (2012), periode ini merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan dari masalah gizi akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi di usia selanjutnya.

Anemia merupakan keadaan ketika produksi sel darah merah rendah atau konsentrasi pengangkut darah dalam bentuk Hemoglobin (Hb) tidak mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh (Balitbangkes 2013; World Bank 2006). Anemia yang umum terjadi adalah disebabkan oleh kekurangan zat besi (WHO 2008). Zat besi diperlukan untuk membentuk hemoglobin yang berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru melalui aliran darah ke otak, dan kemudian didistribusikan ke seluruh organ atau jaringan tubuh. Anemia dapat terjadi pada semua siklus kehidupan, namun yang lebih umum terjadi pada usia tertentu seperti wanita hamil dan anak-anak (WHO 2008).

Anemia pada baduta saat ini merupakan salah satu masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 prevalensi anemia balita di Indonesia menunjukkan peningkatan, dari 40.1% tahun 1996 dan 48.1% tahun 2001 (BPPN 2007). Prevalensi anemia balita di beberapa wilayah di Indonesia lebih tinggi dari prevalensi anemia Nasional. Aceh merupakan salah satu Provinsi dengan prevalensi anemia balita di atas angka nasional.

Hasil survei World Vision Indonesia tahun 2009, di empat Kabupaten Provinsi Aceh (Aceh Barat, Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Banda Aceh) ditemukan balita anemia sebesar 67.8%. Kabupaten Aceh Besar merupakan urutan kedua prevalensi anemia balita tertinggi (68.5%) diatas Aceh Jaya (66.7%) dan dibawah Aceh Barat (69.1%). Prevalensi anemia balita cukup tinggi ditemukan pada rentang usia 11-24 bulan (77.0%) (WVI 2010). Prevalensi anemia tinggi lainnya ditemukan pada rentang usia 12-23 bulan di Kabupaten Meurauke 78.8% (Wibowo et al. 2012). Pada cakupan wilayah yang lebih kecil yaitu Kecamatan Darul Imarah Kabupaten Aceh Besar diperoleh prevalensi anemia mencapai 78.3% (Ahmad et al. 2010). Prevalensi anemia ini termasuk masalah kesehatan masyarakat pada kategori berat dengan prevalensi ≥40% (WHO 2001).

(20)

anak dibawah dua tahun antara lain disebabkan oleh berat badan lahir, faktor ibu, praktik pola makan termasuk pemberian ASI Ekslusif dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pemberian ASI Ekslusif lebih dari usia enam bulan memiliki kadar Hb yang rendah dibandingkan yang diberikan ASI 4-6 bulan, yang diukur pada usia 9 bulan (Meiden-Derr et al. 2006). Selanjutnya, pemberian ASI selama lebih dari 6 bulan tanpa menerima tambahan makanan yang diperkaya zat besi berisiko mengalami anemia gizi besi pada anak usia 8-26 bulan di Kelantan (Siti

et al. 2006).

Asupan zat besi dalam bentuk mudah dicerna (bioavialibilitas tinggi) pada anak usia 12-23 bulan masih dibawah angka kecukupan (Ososio et al. 2004). Proporsi anemia pada anak usia 6-23 bulan lebih tinggi terjadi pada kelompok asupan gizi kurang, baik asupan zat besi, asam folat, vitamin A, vitamin C maupun protein (Wijaya 2012). Asupan zat gizi dapat mempengaruhi status gizi serta status anemia. Status gizi dan kesehatan yang kurang atau buruk pada anak juga berpotensi terjadinya defisiensi zat gizi mikro (Almatsier 2006). Hasil penelitian Doloksaribu (2005), terdapat hubungan secara signifikan antara status gizi menurut indeks TB/U serta infeksi penyakit dengan kejadian anemia pada baduta usia 12-23 bulan di 7 Provinsi di Indonesia.

Faktor-faktor lainnya seperti karakteristik sosial ekonomi (umur anak yang lebih muda, jenis kelamin laki-laki, usia ibu lebih muda, pendidikan orangtua rendah, anggota keluarga lebih besar, dan pengeluaran per kapita rumah tangga mingguan lebih rendah) diketahui berhubungan signifikan dengan peluang tinggi terjadinya anemia pada anak usia 6-59 di Indonesia (Semba et al. 2010). Anak yang berasal dari rumah tangga dengan penghasilan bulanaan yang lebih rendah kecenderungan kurang mendapatkan makanan kaya zat besi, seperti pangan hewani dan makanan yang mengandung vitamin A dan vitamin C yang penting untuk penyerapan zat besi (Adist et al. 1998). Tingkat pendidikan ibu yang rendah serta pengetahuan ibu tentang cara pemberian makanan anak yang kurang juga merupakan beberapa faktor lainnya yang berhubungan dengan kejadian anemia pada balita di Uganda (Kikafunda et al. 2009).

Tingginya prevalensi anemia pada baduta ini diperhitungkan sebagai masalah kesehatan masayarakat serius yang akan berdampak buruk bagi generasi mendatang. Hasil Review McGregor dan Ani (2001), dampak defisiensi besi dan anemia pada bayi dan anak usia 2 (dua) tahun pertama kehidupan berhubungan dengan penurunan perkembangan kognitif, motorik dan mental anak. Studi secara observasi longitudinal yang dievaluasi, secara konsisten menunjukkan bahwa anak yang anemia pada awal masa anak-anak (early chilhood) maka pada masa anak-anak selanjutnya (middle childhood) akan memiliki perkembangan kognitif, motorik serta prestasi belajar yang rendah. Kekurangan zat besi ringan tanpa anemia saja dapat menyebabkan dampak merugikan terhadap perkembangan otak, dan kekurangan zat besi yang berlanjut anemia diketahui dapat mengganggu perkembangan yang mengakibatkan keterlambatan perkembangan mental, motorik baik motorik kasar maupun motorik halus secara permanen (Lozoff et al.

1987; Stolzfus 2001; McGregor dan Ani 2001). Perkembangan motorik yang terdiri dari motorik kasar dan motorik halus merupakan salah satu perkembangan yang sangat penting dalam seluruh perkembangan individu (Khomsan et al.

(21)

Perumusan Masalah

Tingginya prevalensi anemia di wilayah Kecamatan Darul Imarah yaitu mencapai 78.3% (Ahmat et al. 2010) merupakan masalah kesehatan masyarakat

dengan kategori berat (≥40%) (WHO 2001). Khususnya anak berusia dibawah dua tahun dikatakan berisiko tinggi terhadap prevalensi anemia adalah sebagai akibat dari kebutuhan zat besi lebih tinggi karena terjadinya pertumbuhan pesat bersamaan dengan cadangan zat besi saat lahir mulai menipis (Domello dan Hernell 2002). Penyebab langsung terjadinya anemia antara lain dipengaruhi oleh faktor konsumsi zat besi dalam makanan tidak cukup, penyerapan zat besi rendah, kebutuhan meningkat dan kehilangan darah. Selanjutnya, penyebab tidak langsungnya antara lain ketersediaan zat besi dalam bahan makanan rendah, praktik pemberian makan kurang baik, sosial ekonomi rendah, komposisi makanan kurang beragam, terdapat zat-zat penghambat, dan pertumbuhan fisik, serta infeksi.

Menurut McGregor dan Ani (2001), menyimpulkan hasil evaluasi terhadap sejumlah penelitian tentang dampak kekurangan zat besi pada bayi usia 6-24 bulan yang berlanjut anemia diketahui berhubungan dengan penurunan kognitif dan perkembangan motorik serta perkembangan mental anak (penelitian korelasional dan kasus kontrol). Selanjutnya studi secara observasi longitudinal yang dievaluasi, secara konsisten menunjukkan bahwa anak yang anemia pada awal masa anak-anak (early chilhood) maka pada masa anak-anak selanjutnya

(middle childhood) akan memiliki kognitif dan perkembangan motorik serta prestasi belajar yang rendah. Walaupun pemberian suplementasi besi pada anak dapat memperbaiki status besi atau anemia dalam jangka pendek, namun tidak efektif dalam meningkatkan skor motorik pada anak yang anemia dibandingkan anak tidak anemia (Walter 2003).

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampak terhadap perkembangan motorik pada baduta belum pernah dilakukan Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Sehingga penelitian ini perlu diketahui karena dalam merencanakan suatu program intervensi masalah anemia di wilayah tersebut supaya menghasilkan generasi yang berkualitas. Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik baduta, karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, praktik pemberian makan anak, asupan zat gizi, status kesehatan dan status anemia? 2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap status anemia baduta

usia (12-24 bulan)?

(22)

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik anak baduta usia 12-24 bulan.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi karakteristik baduta (jenis kelamin, berat lahir dan usia kelahiran), karakteristik sosial ekonomi keluarga (pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, pendapatan perkapita, besar keluarga, jumlah baduta dalam keluarga), pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, praktek pola asuh makan anak, konsumsi pangan anak, status gizi dan riwayat kesehatan, status anemia, serta perkembangan motorik (motorik kasar dan halus) anak baduta usia 12-24 bulan.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia anak baduta usia 12-24 bulan.

3. Menganalisis dampak anemia terhadap perkembangan motorik kasar dan halus anak baduta usia 12-24 bulan.

Manfaat Penelitian

(23)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Anemia

Anemia berasal dari bahasa Yunani (an=tidak; haima = darah) yang berarti

“tidak ada darah”. WHO memberikan batasan seseorang dikatakan mengalami

anemia yaitu bila kadar hemoglobin (Hb) dalam darahnya lebih rendah dari batas nilai normal, menurut umur, jenis kelamin dan kehamilan (WHO 2008). Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang terjadi di negara berkembang dan negara maju dengan konsekuensi besar bagi kesehatan manusia serta keadaan sosial dan ekonomi pembangunan (WHO 2008). Anemia terjadi jika produksi hemoglobin sangat berkurang sehingga kadarnya di dalam darah menurun (Gibney et al. 2008; World Bank 2006). Nilai cut off untuk kadar hemoglobin dalam mendefinisikan anemia sesuai umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin dalam mendefiniskan anemia

Kelompok Kadar Hb (g/dL)

Anak-anak (usia 0.5 -4.99 tahun) < 11.0

Anak-anak (usia 5.00-11.99 tahun) < 11.5

Anak-anak (usia 12.00-13.99 tahun) < 12.0

Laki-laki dewasa < 13.0

Wanita Tidak hamil < 12,0

Wanita hamil < 11.0

Anemia gizi paling sering dijumpai pada masyarakat, baik pada ibu hamil, bayi, anak balita, anak usia sekolah dan remaja. Anemia gizi dapat terjadi karena defisiensi beberapa zat gizi mikro seperti zat besi, asam folat dan vitamin B12, namun yang menjadi penyebab anemia di hampir seluruh dunia adalah defisiensi zat besi (WHO 2001). Yip et al. (2001) menguraikan bahwa meskipun tidak semua anemia tidak disebabkan oleh defisiensi zat besi, pada wilayah dimana prevalensi anemia lebih dari 30-40%, sebagain besar atau hampir seluruhnya anemia tersebut disebabkan oleh defisiensi zat besi. Anemia merupakan cerminan dari tingkat keparahan defisiensi zat besi sehingga umumnya anemia digunakan sebagai indikator screening defisiensi zat besi secara klinis, ataupun untuk menjelaskan masalah defisiensi zat besi pada survei di masyarakat. Alasan lainnya karena pengukuran status zat besi yang lebih mahal dibandingkan pengukuran hemoglobin pada penentuan anemia, juga karena membutuhkan contoh darah yang lebih banyak dan seringkali pengukurannya dirancukan oleh adanya infeksi.

Defisiensi zat besi dalam tubuh dapat dibagi menjadi 3 tahap dengan derajat keparahan yang berbeda dan berkisar dari yang ringan hingga berat (Gambar 1) (Gibney et al. 2008; MCDermid dan Lonnerdal 2012). Ringkasan penjelasan gambar di bawah adalah sebagai berikut:

(24)

menggambarkan adanya peningkatan kerentanan dari keseimbangan besi yang marjinal untuk jangka waktu lama sehingga dapat terjadi defisiensi zat besi yang berat. Tahap ini belum ada gangguan/efek di dalam tubuh 2. Tahap kedua atau lanjut ditandai oleh perubahan biokimia yang

mencerminkan kurangnya zat besi bagi produksi hemoglobin yang normal. Gangguan transportasi zat besi dari simpanana ke jaringan, meskipun simpanan masih mencukupi. Kadar Hb mulai turun yang menandakan anemia ringan. Gangguan ini dapat terjadi karena inflamasi atau defisiensi vitamin. Pada keadaan ini terjadi penurunan kejenuhan transferin atau peningkatan protoporfirin eritrosit, dan peningkatan jumlah reptor transferin serum.Tahap ini terjadinya gangguan fungsi fisiologis seperti penurunan kapasitas kerja.

3. Tahap ketiga atau parah adalah defisiensi zat besi berupa anemia atau Iron Deficient Anemia (IDA). Terjadi akibat tidak sempurnanya hemoglobin, dan menyebabkan sel darah merah ukurannya lebih kecil dan lebih sedikit Hb (Hypochromic). Pada anemia karenadefisiensi zat besi yang berat, kadar hemoglobinnya kurang dari 7 g/dL.

Gambar 1 Stadium deplesi besi

Status anemia dapat diklasifikasikan menurut tingkat keparahan anemia berdasarkan kadar Hb. Berikut disajikan pengklasifikasian tingkat keparahan anemia berdasarkan kadar hemoglobin yaitu anemia ringan, sedang dan berat (WHO 2011). Kategori tingkat keparahan anemia dapat dilihat dalam Tabel 2.

Kadar feritin Berkurangnya

simpanan zat besi Tahap awal

awal

Anemia karena defisiensi zat besi Tahap II

IIII

Kejenuhan transferin Protoporfirin eritrosin

Tahap III

Indikator biokimia berkurangnya simpanan zat besi

(25)

Tabel 2 Tingkat keparahan anemia menurut kategori umur/fisiologis dan jenis kelamin

Kategori Anemia (kadar Hb g/dL)

Normal Ringan Sedang Berat

Anak usia 6-59 bulan ≥ 11 10-10.9 7-9.9 < 7

Anak usia 5-11 tahun ≥ 11.5 11-11.4 8-10.9 < 8

Anak usia 12-14 tahun ≥ 12 11-11.9 8-10.9 < 8

Wanita tidak hamil (≥15 tahun) ≥ 12 11-11.9 8-10.9 < 8

Wanita Hamil ≥ 11 10-10.9 7-9.9 < 7

Laki-laki ( ≥15 tahun) ≥ 13 11-12.9 8-10.9 < 8

Menurut WHO (2001), pemetaan prevalensi secara epidemiologis membutuhkan tingkatan cut-off atau kriteria untuk penilaian beratnya anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat. Kategori masalah kesehatan masyarakat berdasarkan persentase prevalensi anemia yaitu berat, sedang, ringan dan normal. Berikut disajikan pengklasifikasian anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat pada populasi tertentu (WHO 2001).

Tabel 3 Pengklasifikasian anemia sebagai masalah kesehatan masyarakat pada populasi menurut estimasi prevalensi dari kadar Hb

Kategori kesehatan masyarakat Prevalensi Anemia (%)

Parah/berat ≥40

Sedang 20.0-39.9

Ringan 5.0-19.9

Normal ≤4.9

Pengukuran Anemia

Prevalensi anemia pada suatu populasi yang baik ditentukan dengan menggunakan metode yang reliabel untuk mengukur konsentrasi hemoglobin. Pengukuran prevalensi anemia di populasi dilihat dari aspek biaya dan kesulitan biokimia relatif lebih mudah dan murah dibandingkan dengan penilaian defisiensi iodium dan vitamin A (WHO 2001). Metode cyanmethemoglobin merupakan metode laboratorium terbaik untuk pengukuran hemoglobin secara kuantitatif. Metode hemoCue reliabel untuk menentukan konsentrasi hemoglobin pada survei lapangan berdasarkan metode cyanmenthemoglobin.

Salah satu metode umum yang direkomendasikan digunakan dalam survei untuk menentukan prevalensi populasi anemia adalah menggunakan hemoCue.

(26)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Anemia

Faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia pada baduta sangat luas, namun dalam penelitian ini akan dibatasi pada faktor sosial ekonomi keluarga (umur orangtua, besar keluarga, pendidikan orangtua,pendapatan), Karakteristik baduta (umur baduta, berat badan lahir, jenis kelamin), pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, praktik pola asuh makan, asupan gizi, status gizi dan riwayat sakit.

Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga

Pendidikan seseorang dapat mencerminkan pengetahuan yang dimiliki. Pendidikan orangtua terutama pendidikan ibu berperan dalam penyusunan pola makan keluarga maupun dalam pola pengasuhan. Menurut Onyemaobi dan Onimawo et al. (2011), pendidikan ibu yang rendah berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia pada anak balita di Nigeria. Menurut Doloksaribu (2005), terdapat hubungan secara signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan kejadian anemia gizi pada anak umur 12-23 bulan di Pedesan Tujuh Provinsi di Indonesia. Defisiensi zat besi umumnya terjadi pada kelompok keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah (WHO 2001). Mahalnya sumber pangan hewani merupakan penghalang terhadap konsumsi sumber pangan hewani sehari-hari masyarakat yang memiliki status sosial ekonomi rendah.

Karakteristik Baduta

Selanjutnya, berat badan lahir dan usia kehamilan merupakan faktor penentu utama terhadap kandungan besi total tubuh sejak lahir, meskipun variasi antar individu cukup besar. Berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor anemia defisiensi besi pada bayi. Berat badan lahir rendah dapat mempengaruhi simpanan besi sejak lahir (Domello dan Hernell 2002). Umur dan jenis kelamin adalah faktor penting yang menentukan kadar Hb. Perbedaan kadar hemoglobin pada jenis kelamin yang berbeda jelas nyata pada usia enam bulan. Anak laki-laki mempunyai kadar hemoglobin lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan (Gibson 2005).

Pengetahuan Ibu tentang Gizi dan Kesehatan

Secara umum pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan mempengaruhi praktik pola asuh makan oleh ibu yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap asupan gizi atau zat besi anak. Kikafunda et al. (2009) membuktikan dalam penelitiannya terhadap balita di Uganda, dimana ibu-ibu yang tidak mengetahui tentang penganekaragaman makanan anak berkontribusi terhadap kejadian anemia pada anak-anak mereka.

Praktik Pola Asuh Makan

Pola asuh makan meliputi siapa yang menyiapkan makan, praktik pemberian makan (menyuapi atau tidak), pengawasan ibu ketika anak tidak disuapi, penentuan jadwal makan anak, ketepatan jadwal makan anak. Selain dari itu, pola asuh makan juga diukur melalui cara menghidangkan makanan, situasi makan, cara memberi makan, memperkenalkan makanan baru, respon ketika anak menolak makan, dan respon ketika anak menghabiskan makan (Khomsan et al.

(27)

selama pemberian makan lebih tinggi ditemukan pada bayi anemia dibandingkan pada bayi tidak anemia (Sivan et al. 2010).

Konsumsi Pangan

Zat besi dalam makanan terdapat dalam bentuk heme dan non heme

(McDermid dan Lonnerdal 2012; Fairbanks 1998 dalam Swain 2000). Sebagai komponen dari hemoglobin, zat besi heme banyak ditemukan dalam jaringan hewan (daging, organ, unggas, daging ikan, dan makanan laut), 10-15% dari total zat besi, dapat diserap secara efisien sekitar 25%, tidak dipengaruhi oleh diet, 1/3 dari jumlah zat besi dapat diserap serta dipengaruhi oleh status besi. Sedangkan zat besi non heme terutama ditemukan dalam jaringan biji-bijian, sayuran, makanan yang difortifikasi besi dan beberapa jaringan hewan, 85-90% dari total zat besi, penyerapannya sekitar 10%, dan 2/3 dari total zat besi diserap, serta dipengaruhi oleh status besi.

Penyerapan zat besi di dalam usus dapat dipengaruhi oleh bentuk zat besi yang dikonsumsi. Terdapat faktor-faktor yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi diantaranya adalah besi heme atau jaringan otot. Menurut Monte dan Giugliani (2004), makanan yang berasal dari pangan hewani memiliki bioavalabilitas yang lebih baik (22%) dibandingkan dengan yang berasal dari sayuran (1-6%). Daging (terutama daging merah) dan beberapa organ hewan (terutama hati) memiliki kandungan zat besi yang bioavalabilitasnya lebih baik. Faktor lainnya adalah asam askorbat atau vitamin C termasuk (jus, buah-buahan, kentang atau beberapa umbi-umbian, sayuran daun berwarna hijau, kembang kol, dan kubis). Vitamin C membantu penyerapan besi non heme dengan merubah bentuk feri menjadi fero yang lebih mudah diserap.

Sedangkan faktor yang menghambat penyerapan atau inhibitor zat besi dipengaruhi oleh phytat termasuk sereal dan kulit sereal, tepung yang diekstrak tinggi, kacang-kacangan; pangan yang mengandung inositol tinggi; komponen besi yang berikatan dengan tanin dalam teh, kopi, coklat; dan kalsium khususnya dari susu dan produk susu (WHO 2001; Monte dan Giugliani 2004). Telur, susu dan teh merupakan makan yang dapat menghambat penyerapan zat besi karena makanan tersebut membentuk dapat endapatan yang tidak larut dalam besi. Susu menghambat penyerapan zat besi heme dan non heme karena mengandung kalsium (Monte dan Giugliani 2004).

Kekurangan Vitamin A dapat berpengaruh terhadap status anemia. Hasil penelitian Gamble et al. (2004), defisiensi vitamin A tingkat berat yang di nilai dari kadar retinol darah merupakan faktor risko yang mempengaruhi anemia pada anak usia 1-2 tahun di Kepulauan Marshall. Menurut Semba dan Bloem (2012), Mekanisme biologis defisiensi vitamin A dalam menyebabkan terjadinya anemia dapat dijelaskan melalui tiga jalur (Gambar 2) yaitu kadar retinol dapat mempengaruhi erythropoiesis (proses pembentukan sel darah merah), mempengaruhi kekebalan tubuh terhadap penyakit dan infeksi, dan mempengaruhi metabolisme besi. Defisiensi vitamin A menunjukkan zat besi terjebak dalam hati dan limfa karena tidak dapat disebarkan untuk proses

(28)

Gambar 2 Model konseptual anemia defisiensi vitamin A (Semba dan Bloem 2012)

Kebutuhan individu terhadap pemenuhan zat gizi berbeda-beda, tergantung usia jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas masing-masing. Angka kecukupan zat gizi harian untuk baduta usia 1-3 tahun menurut Tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013 (Permenkes 2013) adalah sebagai berikut:

Tabel 4 Angka kecukupan gizi baduta usia 1-3 tahun

Zat Gizi AKG

Energi 1125 kkal

Protein 26 g

Vitamin A 400 RE

Vitamin C 40 mg

Besi 7 mg

Status Gizi

Pada anak dengan status gizi kurang atau buruk sebagai akibat kurang Energi Protein (KEP) cenderung mengalami gangguan metabolisme zat besi karena peranan protein (transferin) dalam hal ini berfungsi sebagai pengangkut zat besi ke seluruh jaringan tubuh (Almatsier 2001). Hasil penelitian Doloksaribu (2005), status gizi menurut indeks TB/U berhubungan signifikan dengan kejadian anemia pada anak umur 12-23 bulan. Menurut Onyemaobi dan Onimawo et al. (2011), kondisi gizi kurang berhubungan secara signifikan dengan kejadian anemia.

Infeksi Penyakit

(29)

kehilangan darah dan kekurangan asupan makanan. Terjadinya anemia dapat memalui salah satu dari ketiga faktor tersebut. Faktor-faktor eksogenus menjadi anemia dapat dilihat dalam Gambar 3.

Penyakit infeksi dapat mempengaruhi anemia melalui beberapa mekanisme anatara lain melalui terjadinya perdarahan, seperti cacingan dan malaria; melalui penurunan nafsu makan anak sehingga asupan zat gizi berkurang; serta melalui reaksi peradangan. Peradangan secara umum akan menurunkan kadar zat besi dalam darah yang berakibat pada peningkatan feritin plasma. Feritin yang meningkat akan berperan dalam regulasi cadangan zat besi dengan menurunkan mobilitas zat besi dan mencegah penyerapan zat besi. Akibatnya akan terjadi penekanan proses pembentukan sel darah merah dan akhirnya menyebabkan terjadinya anemia (Trurnham 2007).

Gambar 3 Faktor-faktor eksogenus yang menyebabkan anemia (Trurnham 2007)

Dampak Anemia

Menurut McGregor & Ani (2001), menyimpulkan hasil evaluasi terhadap sejumlah penelitian tentang dampak kekurangan zat besi pada bayi usia 6-24 bulan yang berlanjut anemia diketahui berhubungan dengan penurunan kognitif dan perkembangan motorik serta perkembangan mental anak (penelitian korelasional dan kasus kontrol). Selanjutnya studi secara observasi longitudinal yang dievaluasi, secara konsisten menunjukkan bahwa anak yang anemia pada awal masa anak-anak (early chilhood) maka pada masa anak-anak selanjutnya

(30)

tidak anemia (Walter 2003). Menurut Gibney et al. (2008) anak-anak mengalami anemia terlihat lebih penakut dan menarik diri dari pergaulan sosial, tidak bereaksi terhadap stimulus, lebih pendiam, kurang mau terlibat dan kurang bahagia selama mengikuti pemeriksaan perkembangan dirinya, selalu ingin berada dekat ibunya, kurang menunjukkan rasa senang, tampak lebih khawatir serta lebih mudah lelah dalam situasi ketika dia harus bermain dengan bebas.

Perkembangan Motorik

Perkembangan psikomotorik atau sering disebut perkembangan motorik adalah perkembangan mengontrol gerakan-gerakan tubuh melalui kegiatan terkoordinasi antara susunan syaraf pusat dan organ. Perkembangan motorik dimulai dengan gerakan-gerakan kasar (gross movement) yang melibatkan bagian-bagian besar dari tubuh dalam fungsi duduk, berjalan, berlari, meloncat, dan lain-lainnya. selanjutnya dilajutkan dengan koordinasi halus (finer coordination) yang melibatkan kelompok otot-otot halus dalam fungsi-fungsi meraih, memegang, melempar, dan lain-lainnya (Khomsan et al. 2013). Menurut Soetjiningsih dan Ranuh; Santrock (2006), keterampilan perkembangan motorik halus dan motorik kasar anak menurut umur dapat dilihat pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5 Keterampilan perkembangan motorik anak menurut umur

Umur (bulan) Keterampilan motorik kasar 12-13 Dapat berjalan tanpa bantuan

13-18 Dapat berjalan dan menarik suatu mainan yang diikat dengan tali/benang menggunakan kedua tangan dan kaki untuk memanjat sejumlah anak tangga dan mengendarai maianan roda empat 18-24 Dapat belajar berjalan cepat/berlari dengan susah payah untuk

jarak yang dekat, menyeimbangkan kaki mereka dalam posisi berjongkok sambil bermain dengan benda-benda diatas lantai, berjalan mundur tanpa kehilangan keseimbangan, berdiri dan menendang bola tanpa terjatuh, berdiri dan melempar bola dan melompat ditempat

Keterampilan motorik halus

9-12 Mengulurkan lengan/badan untuk meraih benda yang diinginkan Menggenggam erat pensil

Memasukkan benda ke mulut 12-18 Menumpuk dua buah kubus

Memasukkan kubus ke dalam kotak 18-24 Bertepuk tangan

Menumpuk empat buah kubus

Memungut benda kecil dengan ibu jari dan telunjuk Menggelindingkan bola ke arah sasaran

(31)

anak dengan kecurigaan terhadap kelainan, memang benar mengalami kelainan perkembangan; melalukan pemantauan perkembangan anak yang beresiko.

Pencegahan dan Penanggulangan Anemia

Menangani masalah anemia pada anak diperlukan pendekatan yang holistik meliputi pengentasan kemiskinan, pemberdayaan perempuan serta penanganan lingkungan (Adish et al. 1998). Terdapat dua strategi yang dapat dilakukan dalam menanggulangi masalah anemia gizi besi pada baduta yaitu komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) dan suplementasi zat besi. KIE dianjurkan agar sasaran khususnya ibu balita mengerti manfaat penanggulangan anemia terhadap balita dan mengetahui cara melakukan penanggulangan. Suplementasi zat besi dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan memberikan preparat dalam bentuk multivitamin dan mineral yang mengandung besi, asam folat dan seng, disamping juga mengandung vitamin A dan vitamin C. Di daerah endemis cacing, suplementasi dapat disertai dengan pemberian obat cacing. Sedangkan di daerah endemis malaria, pada individu yang dicurigai menderita malaria diberikan obat anti malaria (Depkes 2005).

Menurut Arisman (2004), terdapat empat pendekatan dasar pencegahan anemia defisiensi zat besi antara lain; (1) pemberian tablet atau suntikan zat besi; (2) pendidikan upaya yang ada kaitan dengan peningkatan asupan zat besi melalui makanan; (3) pengawasan penyakit infeksi, dan (4) fortifikasi makanan pokok dengan zat besi. Fortifikasi zat besi pada beras terbukti sama efektifnya dengan pemberian suplentasi drop zat besi dalam meningkatkan Hb dan ferritin serum balita di Brazil (Beinner 2009). Konsumsi susu dan mie yang difortifikasi berhubungan dengan peluang menurunkan anemia pada anak balita di Indonesia (Semba et al. 2010). Suplementasi Fe+Zn secara harian dan mingguan cenderung meningkatkan kadar Hb anak usia 6-24 bulan (Riyadi 2002).

Menurut Chew dan Lam (2012), pencegahan Anemia Gizi Besi (AGB) pada bayi dan anak dapat dilakukan dengan memastikan terpenuhinya asupan zat besi. Rekomendasi pola makan dan asupan zat besi pada bayi dan anak menurut

(32)

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Anemia adalah masalah gizi dan kesehatan yang umum terjadi ketika produksi hemoglobin sangat berkurang sehingga kadarnya di dalam darah menurun (World Bank 2006). Merujuk kepada pola pikir Unicef (1989) dalam mengembangkan bagan penyebab masalah gizi termasuk anemia gizi merupakan masalah yang multidimensi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor langsung maupun tidak langsung. Pada level awal individu mengalami anemia karena disebabkan oleh ketidakcukupan asupan gizi terutama rendahnya konsumsi pangan sumber hewani dan faktor adanya penyakit seperti diare, ISPA dan parasit. Riwayat penyakit dan infeksi menurunkan selera makan dan meningkatkan kebutuhan zat gizi, sementara ketidakcukupan asupan gizi membuat tubuh lebih mudah diserang penyakit infeksi.

Selanjutnya pola asuh makan merupakan faktor baik langsung maupun tidak langsung yang mempengaruhi anemia pada baduta namun merupakan faktor langsung yang dapat mempengaruhi asupan zat gizi, status kesehatan baduta. Praktek pola asuh makan anak tersebut meliputi riwayat ASI dan penyapihan, higiene/sanitasi pemberian makan, pemberian makan anak saat sakit dan pemberian makan anak yang responsive (responsive feeding).

Baiknya penerapan pola asuh makan anak ditentukan oleh pengetahuan yang dimiliki ibu tentang gizi dan kesehatan. Ibu yang memiliki pengetahun yang baik maka secara umum lebih memperhatikan asupan makanan dan kesehatan ananya. Maka secara tidak langsung kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan berpengaruh terhadap anemia pada baduta.

Faktor karakteristik sosial ekonomi keluarga turut berperan dalam terjadinya anemia pada baduta. Menurut Adish et al. (1998), kemiskinan merupakan akar penyebab terjadinya anemia. Anak yang berasal dari rumah tangga dengan penghasilan bulanan yang lebih rendah cenderung kurang mendapatkan makanan kaya zat besi, seperti makanan hewani dan makanan yang mengandung vitamin A dan vitamin C yang sangat penting untuk penyerapan zat besi. Selain dari itu, rumah tangga tersebut juga kurang mampu untuk membayar pelayanan kesehatan selama sakit. Karakteristik anak berupa jenis kelamin umur dan umur merupakan karakteristik yang umum perlu diketahui dalam penelitian survei.

(33)

Keterangan:

= Hubungan antar variabel yang dianalisis =Hubungan antar variabel yang tidak dianalisis =Variabel yang diteliti

=Variabel yang tidak diteliti

(34)

4 METODE

Lokasi, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian yang menggunakan desain survei, dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi anemia dan dampaknya terhadap perkembangan motorik yang ada di kelompok tertentu. Penelitian ini termasuk penelitian survei dimana faktor-faktor yang mempengaruhi status anemia dan efek diobservasi pada saat yang sama, akan tetapi data yang diambil juga meliputi data yang menggambarkan kondisi masa lalu. Penelitian dilakukan di tiga desa yaitu Geugajah, Lambheu, dan Jeumpet yang terletak di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober sampai November 2014.

Teknik Penarikan Contoh

Populasi target dalam penelitian ini adalah semua anak baduta berusia 12-24 bulan yang berada di Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar. Sementara yang menjadi populasi sasaran adalah semua baduta berusia 12-24 bulan yang terpilih memenuhi kriteria yaitu kondisi anak tidak sedang dalam kondisi sakit parah, tinggal bersama ibu, serta ibu bersedia berpartisipasi. Contoh adalah bagian dari pupulasi sasaran yang direncanakan yaitu yang dipilih secara acak dengan menggunakan teknik penarikan contoh acak berlapis dengan alokasi proporsional (Gambar 5).

Berdasarkan survei awal yang dilakukan di lokasi penelitian total populasi baduta di Kecamatan Darul Imarah adalah 1120 baduta (Profil Puskesmas Darul Imarah 2012). Ukuran minimal contoh yang diperoleh sebesar 102 baduta usia 12-24 bulan. Ukuran contoh dihitung berdasarkan rumus pendugaan proporsi seperti yang dikemukakan oleh Lameshow et al. (1997).

Keterangan:

n = ukuran minimal contoh

p = perkiraan proporsi baduta anemia di Kecamatan Darul Imarah q = 1-p (proporsi prevalensi tidak anemia)

d = presisi (8%)

2 / 2

Z = nilai peubah acak normal baku sehingga p (Z >Z2/2) = /2 2

α/2 2

d

p q

Z

(35)

Gambar 5 Skema penarikan contoh

Cara perhitungan jumlah contoh dari masing-masing desa sebagai berikut: Desa Jeumpet = 56 x 102 = 17 baduta

333

Desa Desa Lambheu = 132 x 102 = 40 baduta 333

Desa Desa Geugajah = 145 x 102 = 45 baduta 333

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga yaitu pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah anggota keluarga dan jumlah balita, pendapatan perkapita; karakteristik baduta yaitu umur, jenis kelamin dan berat lahir; pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan; praktik pola asuh makan yaitu riwayat menyusui dan penyapihan, pemberian MP-ASI, higiene/sanitasi pemberian makan, responsive feeding dan pemberian makan anak saat sakit; konsumsi pangan meliputi berat dan jenis pangan; status gizi baduta meliputi berat badan dan panjang badan; riwayat penyakit/infeksi diare dan ISPA; status anemia baduta yaitu kadar hemoglobin (Hb); perkembangan motorik yaitu tugas perkembangan motorik kasar dan motorik halus sesuai umur baduta. Sedangkan data sekunder meliputi data demografi wilayah penelitian. Variabel dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 5.

Kecamatan Darul Imarah

Desa Lambheu n2 = 132 Desa Jeumpet

n1 = 56

Baduta n1= 17

Desa Geugajah n3= 145

Baduta n2= 40

Baduta n3= 45

Pengambilan contoh dengan cara acak berlapis alokasi proporsional

(36)

Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel Cara Pengumpulan Data Primer

1. Karakteristik baduta Wawancara langsung dan pengamatan KMS 2. Karakteristik sosial

ekonomi rumah tangga

Wawancara langsung menggunakan kuesioner

3. Konsumsi pangan Wawancara menggunakan recall 1x24 jam dan FFQ

4. Praktek pola asuh makan Wawancara menggunakan kuesioner

5. Antropometri Penimbangan berat menggunakan timbangan digital dan pengukuran panjang badan dengan

length board

6. Riwayat penyakit/infeksi Wawancara menggunakan kuesioner atau pengamatan KMS

7. Status anemia Pengukuran kadar Hb menggunakan alat

HemoCue

8. Perkembangan motorik Observasi dan wawancara menggunakan kuesioner DENVER II

Data Sekunder

9. Profil wilayah Arsip wilayah penelitian

Pengumpulan data primer melalui wawancara menggunakan kuesioner dan pengukuran langsung. Sebelum dilakukan pengumpulan data, formulir persetujuan (informed consent) dibagikan peneliti untuk diisi dan ditanda tangani oleh keluarga baduta yang tepilih. Selanjutnya orangtua contoh yang bersedia untuk berpatisipasi dalam pengambilan data dikunjungi oleh peneliti dibantu enumerator yang sudah terlatih untuk dilakukan proses wawancara, penimbangan Berat Badan (BB), pengukuran Panjang Badan (PB) dan kadar Hemoglobin (Hb), serta penilaian perkembangan motorik kasar dan motorik halus baduta. Pengumpulan data ini dilakukan oleh peneliti dan dibantu enumerator lulusan Diploma III Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh dan lulusan Magister Psikologi Universitas Syiah Kuala. Penilaian pengukuran kadar Hb dilakukan dengan menggunakan alat Hemocue 201+ yang dilakukan oleh bidan Puskemas Darul Imarah.

(37)

Data asupan zat gizi baduta dikumpulkan menggunakan metode 24-Hour Food Recall melalui wawancara langsung dengan ibu atau pengasuh. Data yang dikumpulkan meliputi data jumlah pangan yang dikonsumsi dan frekuensi konsumsi pangan. Asupan zat gizi dari ASI diketahui dari frekuensi dan lama pemberian ASI dalam sehari. FFQ dilakukan untuk memastikan kualitas data konsumsi pangan yaitu untuk menilai frekuensi konsumsi pangan hewani dan pangan yang menjadi penghambat penyerapan zat besi (inhibitor).

Pengukuran status gizi baduta dengan pengukuran antropometri terhadap berat badan dan panjang badan. Pengukuran berat badan dilakukan dengan menggunakan timbangan digital yang sudah dikalibrasi terlebih dahulu. Cara pengukuran berat badan dilakukan dengan cara penimbangan langsung atau penimbangan terhadap berat badan ibu dan anak yang dikurangi dengan penimbangan berat badan anak. Pengukuran panjang badan dilakukan dengan menggunakan length board. Masing-masing pengukuran tersebut dilakukan sebanyak dua kali. Hasil akhir adalah rata-rata pengukuran. Semua perlengkapan yang digunakan dalam pengumpulan data dicek secara rutin setiap hari, termasuk kalibrasi, dan alat cadangan yang disediakan.

Status kesehatan anak dilihat dari riwayat infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan diare dalam dua minggu terakhir. Penyakit ISPA ditentukan berdasarkan gejala batuk, pilek dan panas. Diare ditentukan berdasarkan gejala buang air besar berbentuk encer lebih dari 3 kali/hari.

Data perkembangan motorik contoh diukur dengan menggunakan instrumen DENVER II sesuai umur. Pencatatan perkembangan motorik tersebut dilakukan dengan cara mengamati aspek yang dinilai selama 5-10 menit, dan selama testing session tersebut, setiap anak dirangsang untuk dapat melakukan milestone yang tertinggi. Instruksi diberikan kepada anak dan atau pengasuh untuk memberikan dorongan agar anak melakukan fungsi motorik yang sedapat mungkin dapat dicapai anak (Soetjiningsih dan Ranuh 2013).

Langkah-langkah pelaksanaan pengukuran perkembangan motorik anak dengan DENVER II meliputi; menyapa orangtua/pengasuh dan anak dengan ramah; jelaskan kepada orangtua dilakukan tes perkembangan; buat komunikasi yang baik dengan anak, hitung umur anak dan buat garis umur; tarik garis umur atas ke bawah dan cantumkan tanggal pemeriksaaan pada ujung atas garis umur; lakukan tugas perkembangan untuk sektor perkembangan motorik halus dan motorik kasar dimulai dari tugas yang paling mudah dan mulai dengan tugas perkembangan yang terletak di sebelah kiri garis umur, kemudian dilanjutkan sampai ke kanan garis umur.

(38)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh diperiksa terlebih dahulu meliputi beberapa tahap yaitu coding, entry, claning, dan analisis. Coding yaitu pemberian angka atau kode sehingga memudahkan dalam memasukkan data ke komputer. Entry

yaitu memasukkan data kuesioner dan data lainnya yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sebagai data dasar. Cleaning dilakukan untuk mengecek kelengkapan informasi yang diperoleh. Data yang diperoleh diolah dan kemudian dianalisis dengan pengkategorian masing-masing variabel dapat dilihat dalam Tabel 6.

Tabel 6 Pengkategorian variabel dalam penelitian

No Variabel Penelitian Kategori pengukuran Sumber

1. Jenis kelamin 1: laki-laki 5. Pekerjaan orangtua 1: Petani/buruh tani

2: Pedagang

8. Pendapatan/kapita 1: Kuintil I (Rp 286.666) 2: Kuintil II (Rp 500.000)

(39)

Tabel 6 Pengkategorian variabel dalam penelitian (lanjutan)

No Variabel Penelitian Kategori pengukuran Sumber

11.

13. Status Gizi indeks TB/U 1:Sangat pendek (< -3 SD) 2:pendek (≥ -3 SD sampai < 15. Praktek pola asuh makan 1: Tinggi (>80%)

2: Sedang (60-80%) 17. Perkembangan motorik halus

dan motorik kasar pada masing masing pertanyaan yang dijawab benar dengan skala jawaban 1 dan jawaban yang salah dengan angka 0. Skor pengetahuan gizi diperoleh berkisar antara 0-15. Skor pengetahuan gizi dan kesehatan ibu dikategorikan menjadi tinggi (skor >80%), sedang (skor 60-80%), dan rendah (skor <60%) (Khomsan 2000). Sementara data praktik pola asuh makan diolah dengan pemberian skor terendah adalah 0 dan skor tertinggi adalah 40. Skor praktik pola asuh makan dikategorikan menjadi praktik pola asuh makan tinggi (skor >80%), sedang (skor 60-80%), dan rendah (skor <60%) (Khomsan et al. 2013).

Data asupan zat gizi contoh yang dikumpulkan terlebih dahulu dikonversi beratnya dalam gram, kemudian dihitung kandungan gizi yaitu energi (kkal), protein (gram), zat besi (mg), vitamin C (mg), dan vitamin A (µg) dengan menggunakan perangkat lunak program Nutri-Survei 2007. Untuk menentukan Angka Kecukupan energi digunakan rumus model persamaan estimasi energi untuk anak usia 13-25 bulan (Hardinsyah et al. dalam Kemenkes 2014):

TEE = [89 x BB (kg) -100] +20 kkal Selanjutnya Angka Kecukupan Energi (AKE) diperoleh:

(40)

Keterangan:

TEE = Total Energy Expenditure– total pengeluaran energi (kkal) BB = berat badan.

Sedangkan menentukan Angka Kecukupan Protein (AKP) digunakan rumus perhitungan kecukupan protein:

AKP = Kecukupan protein/kg BB (1.3) x BB x faktor koreksi mutu protein (1.5) Kecukupan mineral dan vitamin dihitung dengan langsung dengan angka kecukupan tapa menggunakan rumus diatas. Selanjutnya tingkat kecukupan zat gizi diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat gizi tersebut dengan kecukupannya. Berikut rumus kecukupan zat gizi yang digunakan:

TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan:

TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i yang dicari Ki = Konsumsi zat gizi i

AKGi = Angka kecukupan kecukupan zat gizi i yang dicari

Data asupan zat gizi dari ASI yang dikonsumsi dihitung berdasarkan data frekuensi dan lama pemberian ASI menurut Worthington-Robert (1993) dalam Riyadi (2002). Volume ASI yang dikonsumsi baduta dihitung dengan cara mengalikan lama pemberian ASI dengan volume ASI yang diperoleh. Apabila lama pemberian ASI ≤ 15 menit untuk setiap kali penyusuan maka volume ASI yang diperoleh diasumsikan 60 ml, sedangkan lama pemberian ASI lebih dari 15 menit maka volume ASI yang diperoleh diasumsikan hanya 20 ml. Nilai-nilai ini kemudian dikalikan dengan frekuensi pemberian ASI per hari, sehingga diperoleh volume ASI per hari. Volume ASI yang dikonsumsi anak tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk zat gizi menggunakan data komposisi zat gizi ASI.

Data pengukuran motorik halus dan kasar contoh diolah dengan cara skoring hasil interpretasi kategori lebih, normal, peringatan dan keterlambatan. Kategori lebih (advanced), bila anak lulus pada butir yang terletak dikanan garis umur, dinyatakan perkembangan anak lebih karena kebanyakan anak sebayanya belum lulus. Kategori norma (normal), bila anak gagal/menolak tes pada butir sebelah kanan garis umur, atau anak lulus dan gagal tes butir dimana garis umur terletak di antara 25 dan <75%. Kategori peringatan (caution), bila anak gagal atau menolak melakukan butir dimana garis umur pada persentil 75 dan 90%. Kategori keterlambatan (delayed), bila anak menolak atau gagal melakukan butir tes yang terletak di sebelah kiri garis umur. Hasil tersebut kemudian diinterpretasikan dan dibuat kesimpulan dengan klasifikasi normal bila tidak ada keterlambatan dan atau paling banyak satu peringatan dan suspek (keterlambatan)

bila ada ≥ 2 peringatan dan atau ≥ 1 keterlambatan (Frankenburg dan Dodds 2009 dalam Susanty 2012).

(41)

Matriks tugas perkembangan motorik halus dan motorik kasar dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.

Tabel 7 Matriks tugas perkembangan motorik halus baduta menurut umur

Usia (bulan) 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Tabel 8 Matriks tugas perkembangan motorik kasar baduta menurut umur Usia (bulan) 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

(42)

dengan sebaran F, dan uji regresi menggunakan metode stepwise. Uji korelasi digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang ingin diteliti. Uji Regresi metode stepwise digunakan untuk melihat variabel dominan berpengaruh terhadap status anemia baduta. Model regresi linear berganda digunakan untuk analisis tujuan kedua adalah sebagai berikut:

Keterangan:

1. y1= Kadar Hb (g/dL)

2. Xi=Peubah bebas: X1=umur baduta, X2=jenis kelamin, X3=berat lahir, X4=umur ayah, X5=umur ibu, X6=pendidikan ayah, X7=pendidikan ibu, X8= pendapatan perkapita, X9=besar keluarga, X10=jumlah balita, X11=pengetahuan gizi dan kesehatan ibu, X12= praktik pola asuh makan, X13=tingkat kecukupan energi, X14=tingkat kecukupan protein, X15=tingkat kecukupan besi, X16= tingkat kecukupan vitamin A, X17= tingkat kecukupan vitamin C, X18= Z-skor BB/U, X19=Z-skor TB/U, X20= riwayat diare, X21=riawat ISPA dan X22=status pemberian ASI (i = nama variabel ke i dalam peubah bebas)

3. β0= Parameter intercept

4. β1, β2, β3 ... βi = Parameter koefisien regresi 5. ϵ = Galat (error).

Definisi Operasional

Anak baduta adalah anak laki-laki dan perempuan pada saat penelitian berusia 12 sampai 24 bulan.

Pekerjaan orangtua adalah jenis pekerjaaan tetap yang dilakukan oleh kepala keluarga dan istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah atau tidak yang masih menjadi tanggungan orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Pendapatan per kapita adalah pendapatan total yang diperoleh keluarga dari pendapatan semua anggota keluarga baik dari pekerjaan utama maupun tambahan, dibagi jumlah anggota keluarga. Hasilnya dinyatakan dalam rupiah per kapita per bulan

Praktek pola asuh makan adalah pola asuh makan yang dinilai dari ibu/pengasuh meliputi riwayat menyusui dan penyapihan, pemberian MP-ASI, higiene/sanitasi, pemberian makan secara responsif (responsive feeding), dan jenis dan jumlah pemberian makanan anak saat sakit yang kemudian dikategorikan berdasarkan skor.

Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan jumlah konsumsi zat gizi terhadap angka kecukupan energi, protein, zat besi, vitamin A dan vitamin C sesuai dengan kelompok umur, dikalikan dengan 100%.

(43)

Pengetahuan gizi dan kesehatan adalah penguasaan materi ibu yang berhubungan dengan pangan gizi dan kesehatan anak yang ada kaitannya dengan anemia yang dinilai berdasarkan persentase total jawaban benar dari serangkain pertanyaan yang diajukan.

Status anemia adalah status anemia baduta yang diukur berdasarkan kadar hemoglobin darah contoh dengan menggunakan metode/alat Hemocue.

Dikatakan anemia jika Hb: < 11 g/dL, tidak anemia ≥ 11 g/dL

Riwayat penyakit/infeksi adalah keadaan kesehatan baduta dalam 2 bulan terakhir yang dinilai berdasarkan jenis penyakit dan frekuensi kejadian penyakit ISPA dan diare. ISPA adalah gejala batuk, pilek, demam. Diare adalah gejala buang air besar lebih dari 3 kali/hari dan feses berbentuk encer.

Gambar

Gambar 1  Stadium deplesi besi
Tabel 2  Tingkat keparahan anemia menurut kategori umur/fisiologis dan jenis  kelamin
Tabel 4  Angka kecukupan gizi baduta usia 1-3 tahun
Gambar 3  Faktor-faktor eksogenus  yang menyebabkan  anemia (Trurnham 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perencanaan Media Komunikasi Badan Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) dalam Menerapkan Kebijakan Sistem OSS Pada Masyarakat Kota Pekanbaru. Perencanaan

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh ketidakmampuan organ pankreas untuk memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, tubuh tidak

Suatu polimer adalah rantai berul berulang ang dari dari atom atom yang panjang, terbentuk dari yang panjang, terbentuk dari   pengikat yang berupa molekul identik

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan pakan komplit berupa silase limbah tanaman jagung dan sorghum sebagai pakan hijauan

1) model pengembangan pembelajaran adalah suatu pola atau kerangka yang sistematis untuk mengembangkan pembelajaran agar dapat mencapai tujuan pembelajaran..

(2) Satuan Tugas Polisi Pamong Praja Kecamatan dipimpin oleh seorang Kasatgas Pol PP Kecamatan yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab

Subjek penelitian sejumlah 10 (sepuluh) informan pemustaka Layanan Remaja yang dibagi menjadi 3 kategori usia, yaitu usia anak-anak 8-12 tahun, remaja 13-20 tahun, dan dewasa

Pelayanan publik pada hakekatnya pemberian pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat.. (Keputusan Menteri Pendayagunaan