• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Kedelai Produksi Kedelai Lokal

Kedelai atau dikenal dengan nama latin Glycine max merupakan tanaman

pangan yang menjadi salah satu sumber protein nabati utama di Indonesia. Budidaya tanaman kedelai dilakukan sebagian di lahan sawah (60%) dan sebagian lain di lahan kering (40%). Penentuan pola tanam juga didasarkan pada tipe lahan, curah hujan dan musim. Di lahan sawah irigasi pada Musim Kemarau (MK I) periode Maret-Juni, kedelai diusahakan dalam pola padi-palawija-sayuran atau padi-palawija-palawija, sedangkan pada MK II (Juli-September) diusahakan dalam pola padi-padi-palawija. Di lahan sawah tadah hujan dilakukan pada Musim Hujan (MH) periode Nopember-Februari dalam pola palawija-padi, dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi-palawija. Sementara itu, untuk lahan kering masa tanam kedelai pada MH I (Nopember-Februari), ditanam dalam pola palawija-palawija, dan pada MK I (Maret-Juni) dalam pola padi gogo-palawija atau sayuran-palawija (Marwoto, 2005).

Produksi kedelai lokal pernah mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada periode tahun 1980-an hingga 1990-an, dan mencapai produksi tertinggi pada tahun 1992 sebesar 1.869.713 ton dengan luas panen mencapai 1.667.698 ha dan produktivitas 1.121 kg/ha. Peningkatan produksi ini salah satunya didorong oleh adanya peningkatan luas areal tanam (ekstensifikasi) di luar Pulau Jawa. Namun, sejak tahun 1993 produksi terus mengalami penurunan dan mencapai titik terendah pada tahun 2007 sebesar 592.537 ton dengan luas panen yang juga menurun menjadi sebesar 461.125 ha dan produktivitas 1.190 kg/ha. Pada tahun 2008 produksi kedelai lokal kembali meningkat namun peningkatan tersebut tidak bertahan lama karena produksi kedelai lokal kembali menurun hingga tahun 2013 dan sedikit mengalami peningkatan pada tahun 2014 sebesar 921.336 ton dengan luas panen sebesar 615.019 ha.

0 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000 700.000 800.000 900.000 1.000.000 0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 T o n Ha Luas Panen Produksi

Sumber: Kementerian Pertanian, 2015

Rendahnya produksi kedelai lokal dikarenakan luas panen kedelai yang masih relatif rendah. Hingga tahun 2014, luas panen kedelai mencapai sekitar 615 ribu hektar, mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan luas panen pada tahun sebelumnya, namun mengalami penurunan jika dibandingkan dengan luas panen pada tahun 2000 yang mencapai 824 ribu hektar. Produktivitas kedelai lokal di Indonesia tergolong relatif rendah. Pada tahun 2014, produktivitas kedelai sebesar 1,5 ton per hektar. Berdasarkan studi Bappenas (2013), terdapat beberapa alasan yang menyebabkan rendahnya produktivitas kedelai lokal, antara lain:

(1) Kedelai merupakan tanaman yang berasal dari daerah subtropis sehingga jika

ditanam di daerah tropis seperti Indonesia maka produksinya akan menjadi lebih rendah;

(2) Belum optimalnya penggunaan input produksi;

(3) Masih terbatasnya teknologi budidaya kedelai di lahan sub-optimal/lahan

marginal;

(4) Masih terbatasnya penguasaan teknik pengendalian organisme pengganggu

tanaman; dan

(5) Adanya ancaman kekeringan, karena umumnya kedelai ditanam di musim

kering.

Sementara itu, beberapa faktor yang menyebabkan terus menurunnya luas area panen antara lain:

(1) Kedelai ditanam pada Musim Kemarau (MK) II setelah padi-padi dengan

resiko kekurangan air;

(2) Tingginya biaya usaha tani kedelai, terutama di beberapa daerah yang

menggunakan mesin pompa untuk mengairi kedelai pada musim kemarau;

(3) Tanaman kedelai bersaing dengan tanaman jagung yang juga ditanam pada

MK I atau MK II di lahan sawah; dan

(4) Masih ada hambatan di dalam memanfaatkan lahan tidur/terlantar di wilayah

kehutanan.

Hal inilah yang juga menjadi hambatan bagi petani kedelai untuk terus menanam kedelai, bahkan harga yang tinggi masih belum dapat menjadi insentif bagi petani kedelai untuk terus menanam kedelai karena resiko menanam kedelai lebih besar dibanding dengan tanaman lain seperti padi dan jagung.

Jika mengacu pada rata-rata hasil produksi kedelai lokal selama periode tahun 2010 hingga 2015, maka dapat diketahui bahwa produksi kedelai lokal terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sekitar 67% dari produksi kedelai nasional berada di Pulau Jawa dengan penghasil kedelai utama berasal dari provinsi Jawa Timur, dimana sekitar 39,5% dari total produksi kedelai nasional berasal dari provinsi tersebut. Selain Jawa Timur, provinsi Jawa Tengah menjadi provinsi penghasil kedelai terbesar kedua, dengan rata-rata produksi sebesar 15,2% dari total produksi kedelai nasional. Sementara itu, untuk provinsi yang berada di luar Jawa, produksi kedelai terbesar berada di Nusa Tenggara Timur, dengan rata-rata hasil produksi kedelai sebesar 10,8% dari total produksi kedelai nasional. Sisanya, produksi kedelai tersebar di beberapa wilayah lain di luar pulau Jawa seperti di Nusa Tenggara dan Bali (12%), Sumatera (11%), Sulawesi (8%), Kalimantan (1%), Papua (0,5%), dan jumlah produksi terkecil berada di Maluku sebesar 0,2% dari total produksi kedelai nasional.

Sumatera 11%

Jawa 67% Bali dan Nusa

Tenggara 12% Kalimantan 1% Sulawesi 8% Maluku 0% Papua 1%

Sumber: Kementerian Pertanian, 2015

Gambar 6 Rata-rata produksi kedelai lokal tahun 2010-2015

Tingginya produksi kedelai di Pulau Jawa didorong oleh kebiasaan masyarakat Jawa yang gemar mengkonsumsi produk kedelai berupa tahu dan tempe sebagai pendamping makanan utama. Adanya migrasi penduduk Jawa ke berbagai daerah di luar Jawa turut mendorong peningkatan produksi kedelai di luar pulau Jawa untuk memasok bahan baku pembuatan tahu dan tempe di wilayah lain di luar pulau Jawa.

Konsumsi Kedelai

Rendahnya produksi kedelai lokal masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kedelai yang terus meningkat. Kedelai tidak hanya dikonsumsi dalam bentuk tahu dan tempe, namun bisa dikonsumsi dalam berbagai bentuk. Berdasarkan pohon industri tanaman kedelai, dari buah kedelai dapat dihasilkan biji kering kedelai dan buah basah kedelai. Dari biji kering kedelai dapat diperoleh antara lain: (1) tahu dan tempe; (2) minyak kedelai; (3) tepung kedelai untuk bahan pembuatan susu kedelai; (4) kecap; (5) tauco; (6) kue yang mengandung kedelai; dan (7) biji kedelai goreng. Konsumsi terbesar kedelai adalah dalam bentuk tahu dan tempe yang banyak dikonsumsi rumah tangga. Sementara itu kecap banyak dikonsumsi rumah tangga, restoran, industri

makanan, dan lain – lain. Selain menjadi sumber makanan manusia, kedelai juga

menjadi bahan makanan bagi ternak dalam bentuk ampas/ongok yang diperoleh dari hasil sampingan dari pengolahan tahu. Begitu pula dari pengolahan minyak kedelai diperoleh hasil sampingan yang berupa bungkil kedelai yang juga banyak digunakan sebagai bahan pembuatan konsentrat pakan ternak yang berkualitas tinggi.

Berdasarkan data Susenas, konsumsi perkapita per tahun kedelai biji kering mencapai 7,15 kg dan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita. Hasil studi Bappenas (2013), yang menghitung elastisitas pendapatan

Approximation-Almost Ideal Demand System) menghasilkan elastisitas pendapatan yang bernilai positif yaitu 0,411. Artinya, setiap peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar 10%, akan meningkatkan konsumsi kedelai sebesar 4,11%. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kedelai merupakan barang normal yang tingkat konsumsinya akan meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan. Sehingga dengan demikian, konsumsi kedelai diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan dan jumlah penduduk.

Berdasarkan data Kementerian Pertanian, konsumsi total kedelai terus meningkat dari tahun 2004 hingga 2012, sementara produksi kedelai lokal belum mampu untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Hingga tahun 2012,

rata – rata defisit yang dialami adalah sebesar 70% per tahun. Jumlah defisit ini

belum mampu dipenuhi oleh produksi kedelai dalam negeri sehingga untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, pemerintah melakukan impor kedelai (Tabel 2).

Tabel 2 Perkembangan produksi dan konsumsi kedelai

Ton % 2004 723.483 1.768.567 1.045.084 59,09 2005 808.353 1.816.278 1.007.925 55,49 2006 747.611 1.807.878 1.060.267 58,65 2007 592.534 1.948.897 1.356.363 69,6 2008 775.710 1.897.882 1.122.172 59,13 2009 974.512 2.197.009 1.222.497 55,64 2010 907.031 2.652.000 1.744.969 65,8 2011 851.286 2.944.000 2.092.714 71,08 2012 843.153 2.764.000 1.920.847 69,5 Defisit Tahun Produksi Konsumsi*

Sumber: Kementerian Pertanian, 2014.

Keterangan: *) terdiri dari konsumsi rumah tangga, penggunaan untuk pakan, bibit, industri pengolahan (makanan dan non makanan) dan tercecer (diolah dari Neraca Bahan Makanan, BKP).

Impor Kedelai

Sejarah peningkatan impor kedelai di Indonesia telah dimulai sejak diberlakukannya liberalisasi perdagangan kedelai di Indonesia pada tahun 1998 melalui Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 406/MPP/Kep/11/1997, yang berlaku mulai 1 Januari 1998. Sebelum peraturan tersebut berlaku, impor kedelai hanya dapat dilakukan oleh Bulog, namun sejak peraturan tersebut diberlakukan hingga kini, impor kedelai tidak hanya dapat dilakukan oleh Bulog, tetapi juga dapat dilakukan oleh importir umum. Kebijakan tersebut telah memacu peningkatan impor kedelai terutama yang berasal dari Amerika Serikat, RRT, Argentina dan Brazil.

Selain kebijakan liberalisasi perdagangan kedelai, peningkatan impor kedelai juga didorong oleh kebijakan tarif bea masuk impor kedelai. Dalam penelitian Adetama (2011) disebutkan bahwa pada periode tahun 1983 hingga 1993, tarif bea masuk impor kedelai yang berlaku adalah sebesar 10%. Kemudian pada tahun 1994, Indonesia meratifikasi kesepakatan World Trade Organization

(WTO) melalui UU No.7 Tahun 1994. Konsekuensi dari kesepakatan tersebut adalah Indonesia harus segera melakukan penyesuaian dalam kebijakan pertanian dan perdagangan. Salah satu bentuk penyesuaian tersebut adalah penurunan tarif bea masuk impor produk pertanian dan pengurangan subsidi input pertanian, dan sejak 29 September 1998 tarif bea masuk impor kedelai yang semula 5% dihapuskan menjadi 0%.

Tarif bea masuk impor kedelai kembali diberlakukan pada tahun 2003 melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557/KMK.01/2003, menjadi 15% dan diperbaharui kembali pada tahun 2006 menjadi 10%. Pada tahun 2008 tarif impor kedelai kembali dihapuskan menjadi 0%. Penghapusan tarif tersebut tidak hanya ditetapkan melalui satu keputusan menteri saja melainkan juga ditetapkan melalui Keputusan Presiden. Hal ini dilakukan sebagai antisipasi dari kelangkaan stok kedelai yang di dalam negeri, namun disisi lain konsumsi meningkat yang pada akhirnya menyebabkan semakin tingginya harga kedelai di dalam negeri. Tabel 3 Total volume dan nilai impor kedelai tahun 2004-2014

Tahun Volume Impor

(ton) Nilai Impor (US$)

2004 1.115.793 416.929.803 2005 1.086.178 308.008.850 2006 1.132.144 299.578.194 2007 1.411.576 479.406.356 2008 1.169.016 694.746.371 2009 1.265.182 599.072.060 2010 1.737.528 837.964.487 2011 2.087.986 1.245.665.133 2012 1.920.490 1.210.847.983 2013 1.785.327 1.101.530.658 2014 1.965.811 1.176.921.443 Sumber: BPS, 2015

Kebijakan liberalisasi perdagangan kedelai serta penghapusan tarif bea masuk impor kedelai berhasil untuk mendorong peningkatan impor kedelai oleh Indonesia. Realisasi impor kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan kedelai dalam negeri. Selama produksi kedelai dalam negeri masih belum dapat memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri, maka Indonesia masih akan tergantung dari kedelai impor.

0 200,000,000 400,000,000 600,000,000 800,000,000 1,000,000,000 1,200,000,000 1,400,000,000 0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Volume Impor (Ton) Nilai Impor (US$)

T on U S $ Sumber: BPS, 2015

Gambar 7 Total volume dan nilai impor kedelai tahun 2004-2014

Realisasi impor kedelai mengalami peningkatan sekitar 76% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2004-2014) dengan tren peningkatan sebesar 7,14% per tahun. Peningkatan terbesar ditunjukkan pada tahun 2011, dimana realisasi impor mencapai lebih dari 2 juta ton kedelai. Peningkatan impor terjadi karena menurunnya produksi kedelai lokal pada tahun 2011 jika dibandingkan dengan produksi pada tahun sebelumnya. Impor kedelai sebagian besar, sekitar 90%, berasal dari Amerika Serikat, dan sisanya berasal dari Argentina, Kanada dan Uruguay, Negara-negara yang memang merupakan produsen utama kedelai di dunia (BPS, 2015).

Pergerakan Harga Kedelai di Dalam Negeri

Tren perkembangan harga kedelai di dalam negeri pada periode tahun 2000 hingga 2014 terus mengalami kenaikan (Gambar 8). Sejak diberlakukannya liberalisasi perdagangan kedelai di Indonesia pada tahun 1998, harga kedelai lokal

bersaing dengan harga kedelai impor. Pada umumnya, harga rata – rata kedelai

1000 3000 5000 7000 9000 11000 13000 Kedelai Lokal Kedelai Impor R p/ Kg

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2014

Gambar 8 Perkembangan harga kedelai impor dan lokal di Indonesia tahun 2000-2014

Pergerakan harga kedelai impor cederung mengikuti pergerakan harga kedelai dunia, seperti yang terjadi pada tahun 2008, dimana terjadi lonjakan harga minyak mentah dunia yang turut mendorong lonjakan harga komoditi dunia, termasuk didalamnya kedelai, harga kedelai impor didalam negeri juga ikut mengalami lonjakan. Selain itu, kelangkaan pasokan kedelai di dalam negeri serta ketergantungan Indonesia akan kedelai impor ikut menyeret harga kedelai lokal mengalami peningkatan. Besarnya kebutuhan di dalam negeri akan kedelai, menjadikan Indonesia sangat bergantung pada kedelai impor. Hal ini secara tidak langsung juga berakibat pada pergerakan harga kedelai di dalam negeri yang sedikit banyak akan terpengaruh oleh pergerakan harga kedelai dunia, selain juga faktor-faktor lainnya. 1000 3000 5000 7000 9000 11000 13000 Kedelai Lokal Kedelai Impor Rp /K g

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2014

Hal yang agak berbeda terjadi pada pergerakan harga kedelai lokal dan impor di Jakarta, dimana sepanjang periode tahun 2000 hingga 2014, harga kedelai lokal berada di bawah harga kedelai impor. Tingginya permintaan akan kedelai impor sebagai bahan baku tahu dan tempe mendorong harga kedelai impor menjadi lebih tinggi dibanding harga kedelai lokal di Jakarta.

Kebijakan Stabilisasi Harga Kedelai

Kebijakan stabilisasi harga kedelai telah diberlakukan pemerintahan terdahulu melalui kebijakan penetapan harga dasar untuk kedelai lokal, dengan tujuan menjaga stabilisasi harga kedelai didalam negeri sekaligus melindungi petani kedelai lokal melalui jaminan harga. Kebijakan penetapan harga dasar kedelai telah dilakukan sejak tahun 1979 hingga 1991, yang setiap tahun ditetapkan melalui Instruksi Presiden (Inpres). Harga dasar yang ditetapkan pemerintah pada tahun 1979 adalah sebesar Rp 210,-/kg, dan terus meningkat hingga tahun 1991 harga dasar kedelai adalah sebesar Rp 500,-/kg (Tabel 4).

Tabel 4 Kebijakan harga dasar kedelai tahun 1979 – 1991

Tahun Harga Dasar Kedelai

(Rp/Kg) Tanggal Berlaku 1979/80 210 01/11/1979 1980/81 240 01/11/1980 1981/82 270 01/11/1981 1982/83 280 01/11/1982 1983/84 280 01/11/1983 1984/85 300 01/11/1984 1986 300 01/11/1986 1987 300 01/11/1987 1988 325 01/11/1988 1989 370 01/11/1989 1990 400 01/11/1990 1991 500 01/10/1991 Sumber: Adetama, 2011.

Sejak tahun 1991, kebijakan penetapan harga dasar kedelai telah dihentikan hingga tahun 2012, sehingga pada periode tersebut pembentukan harga kedelai di dalam negeri lebih disebabkan oleh mekanisme pasar. Kebijakan stabilisasi harga kedelai kembali diberlakukan pada tahun 2013 sebagai akibat dari fluktuasi harga kedelai dunia yang berdampak pada fluktuasi harga kedelai di dalam negeri. Kebijakan stabilisasi harga kedelai ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 23/M-DAG/PER/5/2013 Tentang Program Stablisisasi Harga Kedelai. Pemberlakuan kebijakan tersebut bertujuan untuk menjaga stabilisasi harga kedelai baik di tingkat petani maupun di tingkat pengrajin tahu/tempe, sebagai pihak yang palling banyak menggunakan kedelai.

Adapun beberapa program yang ditetapkan dalam Permendag tersebut antara lain adalah pengaturan pembelian kedelai petani, penjualan kedelai kepada pengrajin tahu/tempe, dan pengaturan impor kedelai oleh BUMN yang telah ditunjuk oleh Pemerintah, yakni BULOG. Namun, belum lama berjalan, program

ini telah dihentikan yang ditandai dengan dicabutnya Permendag tersebut melalui Permendag Nomor: 51/M-DAG/PER/9/2013 Tentang Pencabutan Permendag No. 23/M-DAG/PER/5/2013 Tentang Program Stabilisasi Harga Kedelai dan Peraturan Pelaksanaannya. Sebagai dampak dari pencabutan permendag tersebut, pemerintah tidak lagi mengatur impor kedelai, namun pemerintah tetap melakukan pengamanan harga kedelai di tingkat petani dan mengawasi penyaluran kedelai di tingkat pengrajin tahu/tempe. Bentuk pengamanan harga kedelai yang dilakukan pemerintah adalah melalui penetapan harga pembelian kedelai petani oleh pemerintah yang ditetapkan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan. Pengaturan ini bertujuan untuk mengamankan harga kedelai di tingkat petani, dan ditetapkan oleh Tim Teknis kedelai dengan mempertimbangkan besaran biaya usaha tani kedelai, tingkat inflasi di dalam negeri, dan keuntungan petani. Sementara itu, untuk penyerapan kedelai petani, pemerintah menugaskan BULOG untuk membeli kedelai petani dengan harga yang telah ditetapkan. Penugasan BULOG ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Penugasan Kepada Perusahaan Umum Bulog untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai.

Pada akhir tahun 2015, harga pembelian kedelai petani yang ditetapkan pemerintah adalah sebesar Rp 7.700,-/kg. Harga ini hanya mengalami sedikit peningkatan dari sejak pertama kali kebijakan ini ditetapkan pada tahun 2013, sebesar Rp 7.400,-/kg.

Tabel 5 Penetapan harga pembelian kedelai petani oleh pemerintah

Nomor Permendag Harga Pembelian Kedelai

Petani (Rp/Kg) Tanggal Berlaku

59/M-DAG/PER/9/2013 7400 1 Okt - 31 Des 2013

84/M-DAG/PER/12/2013 7500 1 Jan - 31 Mar 2014

18/M-DAG/PER/3/2014 7500 1 Apr - 30 Jun 2014

38/M-DAG/PER/7/2014 7600 1 Jul - 30 Sept 2014

62/M-DAG/PER/9/2014 7600 1 Okt - 31 Des 2014

01/M-DAG/PER/1/2015 7700 5 Jan - 31 Mar 2015

28/M-DAG/PER/4/2015 7700 9 Apr - 30 Jun 2015

49/M-DAG/PER/7/2015 7700 07-Jul-15

Sumber: Kementerian Perdagangan.

Pergerakan Harga Kedelai Dunia

Pergerakan harga kedelai dunia cenderung lebih fluktuatif dibandingkan dengan harga kedelai domestik. Hal ini dikarenakan banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan harga tersebut. Harga acuan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan harga kedelai yang berasal dari Amerika Serikat.

0 100 200 300 400 500 600 700 U SD /t o n

Sumber: Chicago Board of Trade (CBOT), 2014

Gambar 10 Pergerakan harga kedelai dunia

Harga kedelai dunia menunjukkan fluktuasi yang tinggi sepanjang waktu. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi perubahan harga kedelai dunia, sehingga pergerakan harga kedelai dunia lebih dinamis. Lonjakan harga tertinggi terjadi pada tahun 2008, dimana kenaikan harga kedelai dunia pada tahun 2008 mencapai 42% jika dibandingkan dengan rata-rata harga kedelai dunia pada tahun 2007.

Berdasarkan Kementerian Pertanian (2012), salah satu alasan utama penyebab kenaikan harga kedelai dunia adalah menurunnya produksi kedelai dunia pada tahun 2007 hingga 2008. Pada tahun 2007 produksi kedelai dunia menurun sebesar 14 juta ton dibandingkan dengan produksi pada tahun 2006. Sementara itu, pada tahun 2008, produksi kedelai dunia kembali mengalami penurunan sebesar 6,5% dibandingkan dengan produksi tahun 2007. Penurunan produksi kedelai dunia disebabkan oleh menurunnya produktivitas dan area tanam dikarenakan kedelai berkompetisi dengan tanaman jagung yang digunakan sebagai bahan baku sumber energi alternatif yang saat itu sedang dikembangkan oleh Amerika Serikat sebagai dampak dari kenaikan harga minyak dunia. Beberapa negara menggunakan tanaman pangan sebagai bahan baku dari energi alternatif yang dikembangkan, seperti di Amerika Serikat, energi alternatif yang dikembangkan berbahan baku jagung, sementara di Brazil, energi alternatif yang dikembangkan berbahan baku tebu. Untuk mendorong pengembangan energi ini, pemerintah AS memberikan subsidi bagi petani sehingga berdampak pada beralihnya petani kedelai di Amerika Serikat menjadi menanam jagung. Hal ini yang kemudian menyebabkan menurunnya produksi kedelai dunia pada periode tersebut.

Di sisi lain, menurunnya produksi kedelai dunia diikuti dengan meningkatnya permintaan kedelai dunia terutama yang berasal dari China dan India (Kementerian Pertanian, 2012). Pertumbuhan ekonomi di China dan India

mendorong peningkatan konsumsi kedelai hingga 12 kali lipat dibandingkan dengan tingkat konsumsi pada 20 tahun yang lalu.

Analisis Volatilitas Harga Kedelai Domestik dan Dunia dengan Model ARCH/GARCH

Analisis volatilitas harga dilakukan untuk mengetahui tingkat fluktuasi harga. Hal ini bermanfaat untuk mengetahui karakteristik harga di dalam sebuah pasar sehingga dapat membantu untuk melakukan proyeksi atau pendugaan harga di masa yang akan datang. Dalam melakukan analisa volatilitas harga dengan metode ARCH/GARCH, langkah awal yang harus dilakukan adalah memastikan

bahwa data yang diteliti tidak mengandung akar unit (unit root) atau bersifat

stasioner. Karena, jika data yang diteliti tidak bersifat stasioner, maka akan

menghasilkan regresi yang bias atau ”spurious regression” (Sumaryanto, 2009).

Uji Stasioneritas Data

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk menguji keberadaan akar unit atau stasioneritas data, namun yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan Phillips-Peron. Tabel 6 menunjukkan hasil uji ADF dan Phillips-Peron terhadap data harga kedelai lokal dan impor di Jakarta serta harga kedelai dunia. Hasil uji menunjukkan bahwa pada seluruh data yang diteliti mengandung akar unit atau tidak stasioner pada tingkat level. Data telah menjadi stasioner setelah dilakukan pendiferensian satu kali atau pada tingkat diferensiasi pertama.

Tabel 6 Hasil uji akar unit harga kedelai dengan metode ADF dan Phillips-Peron

t-statistics Prob. *) Adj. T-stat. Prob. *)

Kedelai Lokal log(Plocal) -0,865451 0,7972 -0,864382 0,7975

D(log(Plocal)) -13,63727 0,0000 -13,63823 0,0000

Kedelai Impor log(Pimpor) -0,218506 0,9325 -0,277427 0,9424

D(log(Pimpor)) -12,62383 0,0000 -12,64389 0,0000

Kedelai Dunia log(Pworld) -1,679902 0,4397 -1,718081 0,4204

D(log(Pworld)) -7,724638 0,0000 -13,69746 0,0000

Harga Komoditas Nama Variabel ADF Test Phillips-Peron Test

Keterangan: *Mackinon (1996) one-sided p-values. Nilai kritis untuk uji statistik ADF dan Phillips-Peron:

- Taraf nyata 1% : -3,466994 - Taraf nyata 5% : -2,877544 - Taraf Nyata 10% : -2,575381

Hasil Pendugaan ARCH/GARCH untuk Harga Kedelai Lokal dan Impor di Jakarta

Tahapan selanjutnya adalah melakukan pendugaan model ARMA/ARIMA terbaik dengan melihat plot autokorelasi dan autokorelasi parsial pada grafik Correlogram. Setelah memperoleh model ARIMA terbaik, tahapan selanjutnya adalah menguji keberadaan unsur ARCH pada residu model tersebut dengan menggunakan uji ARCH-LM dan dilanjutkan dengan menentukan model ARCH/GARCH terbaik.

Tabel 7 Hasil pengujian efek ARCH pada residual model ARIMA

2. 3,49648 0,0632

3.

Kedelai Impor Jakarta ARIMA (0,1,0)

Kedelai Dunia

ARIMA (1,1,1) 3,10166 0,0800

Probabilitas F-stat. Nilai F-statistik

1. Kedelai Lokal Jakarta

ARIMA (1,1,1) 35,6766 0,0000

No. Model ARIMA

Pengujian keberadaan unsur ARCH dapat ditunjukkan melalui nilai Probabilitas F-statistik yang dihasilkan dari uji ARCH-LM untuk setiap model ARIMA yang telah ditetapkan. Pada model kedelai lokal Jakarta, nilai Prob. F- Statistik menunjukkan hasil yang signifikan pada taraf nyata 5% atau lebih kecil dari 0,05. Hal ini berarti tolak Ho yang menyatakan tidak ada heteroskedastisitas pada varian residual, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada model ARIMA(1,1,1) untuk harga kedelai lokal di Jakarta, mengandung unsur ARCH.

Sementara itu, hasil uji ARCH-LM untuk model harga kedelai impor Jakarta dan harga kedelai dunia menunjukkan hasil yang signifikan pada taraf nyata 10%, yang artinya terdapat unsur ARCH pada model ARIMA(0,1,0) untuk harga kedelai impor Jakarta dan pada model ARIMA(1,1,1) untuk harga kedelai dunia. Berdasarkan hasil tersebut, tahapan selanjutnya adalah dengan menentukan model ARCH/GARCH terbaik sebagai berikut.

(1) Untuk harga kedelai lokal Jakarta dengan model ARIMA(1,1,1), diperoleh

model ARCH(1) sebagai berikut:

D(Pjak)t = - 0,857866 D(Pjak)t-1 – 0,607382 D(Pjak)t-2 + εt – 1,124580εt-1

– 0,646496εt-2

σ2

t = 21306,42 + 0,938607 ε2t-1

Hasil estimasi dengan model ARIMA menunjukkan bahwa pergerakan harga kedelai lokal di Jakarta dipengaruhi oleh harga yang sama pada dua periode sebelumnya. Sementara itu, hasil estimasi dengan model ARCH (1) menunjukkan

bahwa varian variabel gangguan (σ2t) pada model ARIMA tersebut dipengaruhi

oleh variabel kuadrat gangguan pada satu periode sebelumnya (ε2t-1). Nilai

koefisien dari variabel kuadrat gangguan yang mendekati satu (0,938607) menunjukkan bahwa volatilitas harga kedelai lokal di Jakarta sangat responsif terhadap dinamika pasar. Artinya, volatilitas harga yang terjadi pada satu periode

sebelumnya memiliki dampak yang cukup kuat terhadap volatilitas harga pada periode berikutnya.

Dokumen terkait