• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaan Konsumsi Pangan

Konsumsi Energi

Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas SDM-nya, diantaranya menurunkan produktivitas kerja, kecerdasan, imunitas, dan lainnya. Apabila kekurangan energi terus berlanjut dapat menimbulkan marasmus, kwashiorkor, ataupun marasmus kwashiorkor.

Energi diperlukan untuk pertumbuhan, metabolisme, dan aktivitas tubuh. Kebutuhan energi diperoleh terutama dari karbohidrat dan lemak. Meskipun protein mampu memberikan energi, akan tetapi pemanfaatannya lebih diutamakan untuk menyediakan asam amino bagi sintesis protein sel, hormon, dan enzim untuk mengatur metabolisme (Pudjiadi 2001). Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Kelebihan energi akan disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen dan dalam bentuk lemak.

Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004, kecukupan energi per kapita per hari untuk tingkat konsumsi adalah sebesar 2.000 kkal. Rata-rata konsumsi energi ketiga provinsi disajikan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut tampak bahwa rata-rata konsumsi energi telah melebihi angka kecukupan kecuali di Provinsi Jawa Tengah, dengan tingkat kecukupan energi sebesar 98.57% (1.969 kkal). Meskipun tingkat konsumsi energi masih dalam batas normal kecuali di Sulawesi Tenggara (wilayah perkotaan) tetap perlu diwaspadai. Karena konsumsi energi yang berlebih dan berlangsung terus menerus menyebabkan menurunnnya kualitas kesehatan.

Apabila dibedakan menurut wilayah, pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan kecuali di Sulawesi Tenggara. Fenomena tersebut dijelaskan oleh Regmi dan Dyck (2001), terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara perdesaan dan perkotaan diantaranya adalah:

perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit, sedangkan aktivitas penduduk di perdesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi.

Tabel 2. Tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005

No Provinsi/wilayah Konsumsi (kkal//kapita/hari) Tingkat Kecukupan (%AKE)* 1 Sumatera Barat - Perkotaan + perdesaan 2 327 116.4 - Perkotaan 2 274 113.7 - Perdesaan 2 349 117.4 2 Jawa Tengah - Perkotaan + perdesaan 1 969 98.5 - Perkotaan 1 956 97.8 - Perdesaan 1 978 98.9 3 Sulawesi Tenggara - Perkotaan+perdesaan 2 293 114.6 - Perkotaan 2 459 123.0 - Perdesaan 2 255 112.8

*Angka Kecukupan Energi (AKE) = 2 000 kkal/kapita/hari

Konsumsi di perdesaan diduga berkaitan dengan kemampuan daya beli yang dicerminkan oleh rata-rata pendapatan di perdesaan yang lebih kecil daripada perkotaan (Lampiran 7). Sebagaimana diutarakan oleh Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupun prestise. Oleh karena itu mereka cenderung mengalokasikan pendapatannya untuk membeli pangan yang murah dan memberi rasa kenyang. Pada penelitian ini terlihat bahwa alokasi pengeluaran untuk pangan di perdesaan lebih besar daripada untuk bukan pangan. Sebaliknya di perkotaan, selain pendapatan yang lebih tinggi dan didukung oleh faktor pendidikan yang lebih baik serta kesadaran akan kesehatan dan faktor ketersediaan pangan lebih beragam, hal tersebut akan memudahkan dalam memilih pangan sesuai dengan kaidah gizi.

Selanjutnya berdasarkan klasifikasi yang digunakan oleh Departemen Kesehatan untuk menilai tingkat kecukupan energi disajikan pada Tabel 3. Klasifikasi tersebut adalah defisit berat (TKE <70%), defisit sedang (TKE: 70- 79%), defisit tingkat ringan (TKE: 80-89%), dan normal (TKE: 90-119%), sedangkan kategori berlebih (TKE>120%). Meskipun secara umum tingkat kecukupan energinya di atas angka normal, tetapi bila dirinci lebih jauh masih terdapat lebih dari 20% rumah tangga di tiga provinsi yang mengalami defisit energi (TKE<90%). Seperti disebutkan di atas, kekurangan energi yang berkelanjutan dapat menimbulkan permasalahan yang serius. Apabila suplai energi sehari-hari dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi sebagian protein dipergunakan sebagai sumber energi dan akan mengurangi bagian yang diperlukan bagi pertumbuhan (Pudjiadi 2001). Hal tersebut didukung oleh Soekirman (2004) yang menyatakan bahwa kurang gizi berdampak pada masa depan yang suram karena akan tertinggal baik dalam kesehatan, kecerdasan, maupun produktivitasnya, terutama bagi baduta.

Tabel 3. Persentase rumah tangga menurut tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 Provinsi/Klasifikasi Perkotaan+perdesaan Perkotaan Perdesaan

% % % 1 Sumatera Barat - Defisit berat 8.7 10.9 7.8 - Defisit sedang 7.1 5.1 7.9 - Defisit ringan 10.2 11.4 9.7 - Normal 33.9 33.7 33.9 - Kelebihan 40.1 38.9 40.6 T o t a l 100.0 100.0 100.0 2 Jawa Tengah - Defisit berat 14.0 14.8 13.5 - Defisit sedang 11.5 11.5 11.6 - Defisit ringan 16.3 16.9 16.0 - Normal 38.5 37.8 39.0 - Kelebihan 19.6 19.2 19.9 T o t a l 100.0 100.0 100.0 3 Sulawesi Tenggara - Defisit berat 11.8 6.7 12.9 - Defisit sedang 9.0 6.7 9.5 - Defisit ringan 9.3 6.3 10.0 - Normal 31.3 26.4 32.3 - Kelebihan 38.6 53.8 35.2 T o t a l 100.0 100.0 100.0

Mengacu data Tabel 3, di Jawa Tengah masih terdapat rumah tangga yang mengalami defisit energi (41.8%). Dari segi jumlah penduduk Jawa Tengah berpenduduk tertinggi diantara ketiga provinsi yang diteliti, hasil proyeksi penduduk 2000-2025 tahun 2005 berjumlah 31.887.2 ribu (Bappenas, BPS, UNFPA 2005). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa di Provinsi Jawa Tengah masih terdapat masalah pangan dan gizi. Masalah kecukupan zat gizi terutama energi dan protein berkait erat dengan masalah ketahanan pangan. Menurut Atmarita (2003) ketahanan pangan tingkat rumah tangga erat hubungannya dengan kemiskinan. Ketidakmampuan untuk membeli pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup menjadi salah satu penyebab defisit energi. Melihat kondisi tersebut menggambarkan bahwa masalah konsumsi pangan sebenarnya masih cukup luas dan perlu dicarikan jalan keluarnya. Upaya peningkatan konsumsi bagi mereka perlu diperhatikan. Barangkali kemampuan yang terbatas untuk membeli pangan, oleh karena itu program pemberian makanan tambahan bagi penduduk rawan pangan dan gizi perlu diberdayakan secara optimal. Demikian pula kegiatan Posyandu maupun PMTAS (Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah) perlu untuk ditingkatkan lagi aktivitasnya. Kedua kegiatan tersebut merupakan media yang dapat dimanfaatkan untuk membantu peningkatan konsumsi pangan.

Dampak panjang dari kurang energi kronis (KEK) khususnya bagi ibu hamil dapat menyebabkan kelahiran bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah). Hal itu ditunjukkan oleh penelitian Mustika yang diungkapkan oleh Hadi (2005), yaitu ibu hamil yang mengalami KEK mempunyai resiko melahirkan bayi BBLR lima kali lebih besar. Satu sisi konsumsi pangan tidak memenuhi kecukupan, akan tetapi di sisi lain terdapat rumah tangga di tiga provinsi mengkonsumsi energi melebihi kecukupan (TKE>120%). Di Sumatera Barat terdapat rumah tangga yang mengkonsumsi energi lebih dari kecukupan, mencapai 40.1%, di Sulawesi Tenggara dan Jawa Tengah masing-masing sebesar 38.6% dan 19.6%. Umumnya konsumsi energi yang berlebih adalah di perdesaan, akan tetapi yang terjadi di Sulawesi Tenggara, justru di wilayah perkotaan yang mengkonsumsi energi lebih dari cukup mencapai 53.9%.

Kondisi konsumsi energi yang berlebih dapat menimbulkan masalah. Energi dapat disimpan dalam bentuk lemak dan selanjutnya dapat diubah kembali

menjadi energi. Konsumsi energi yang berlebihan dalam jangka panjang dapat mengakibatkan kegemukan (Hardinsyah, Martianto 1992). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Hadi (2005), ketidakseimbangan antara asupan dan energi yang digunakan/dikeluarkan dapat menjadi penyebab obesitas. Obesitas meningkatkan resiko kematian pada semua penyebab kematian. Sebagaimana penelitian Lew & Garfinkel yang dikutip oleh Hadi (2005) menunjukkan bahwa orang yang mempunyai berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai resiko kematian dua kali lebih besar.

Baik kelebihan maupun kekurangan energi perlu diupayakan jalan keluarnya. Dalam hal ini pengetahuan gizi sangat diperlukan untuk diterapkan dalam praktek kehidupan sehari-hari guna mencapai hidup sehat. Meskipun faktor lain diperlukan pula untuk menanggulangi masalah gizi, seperti lingkungan tempat tinggal, sosial, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya.

Konsumsi Protein

Mengacu pada angka kecukupan protein menurut WNPG 2004 sebesar 52 gram/kapita/hari, secara umum konsumsi protein di tiga provinsi telah melebihi angka kecukupan (Tabel 4). Konsumsi protein di Sulawesi Tenggara cukup tinggi baik di perkotaan+perdesaan, perkotaan, maupun perdesaan. Besar konsumsi masing-masing adalah 64.39 gram, 77.98 gram, dan 61.35 gram per kapita per hari. Konsumsi protein di Jawa Tengah, yaitu 55.10 gram (perkotaan+perdesaan), 56.48 gram (perkotaan), dan 54.18 gram (perdesaan) per kapita per hari.

Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai zat pembangun atau pertumbuhan, karena merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang yang baru sembuh dari sakit (Hardinsyah, Martianto 1992). Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel, protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin. Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti

misalnya protein hewani (Pudjiadi 2001). Fungsi protein lainnya adalah untuk pertumbuhan dan pemeliharaan, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi.

Tabel 4. Tingkat kecukupan protein di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005

No Provinsi/wilayah Konsumsi (kkal//kapita/hari) Tingkat Kecukupan (%AKP)* 1 Sumatera Barat - Perkotaan + perdesaan 62.95 121.1 - Perkotaan 67.16 129.2 - Perdesaan 61.20 117.7 2 Jawa Tengah - Perkotaan + perdesaan 55.10 106.0 - Perkotaan 56.48 108.6 - Perdesaan 54.18 104.2 3 Sulawesi Tenggara - Perkotaan+perdesaan 64.39 123.8 - Perkotaan 77.98 150.0 - Perdesaan 61.35 118.0

* Angka Kecukupan Protein (AKP) = 52 gram/kapita/hari

Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi protein di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada perdesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demikian rumah tangga akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang lebih banyak dan dengan kualitas yang lebih baik, dan didukung oleh ketersediaan pangan di kota yang lebih beragam.

Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan. Dikemukakan oleh Pudjiadi (2001), protein hewani lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan protein nabati. Selanjutnya Hardinsyah dan Martianto (1992), menjelaskan bahwa penilaian kualitas atau mutu protein didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu a). protein merupakan salah satu zat gizi makro yang bersumber dari berbagai pangan dan memberikan manfaat yang beragam bagi tubuh, umumnya manfaat protein

nabati lebih rendah daripada protein hewani; b). pangan hewani mengandung bermacam mineral yang dibutuhkan tubuh dan tersedia dalam bentuk mudah diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh; c). pangan yang kaya protein pada umumnya mengandung lemak yang relatif tinggi dan terasa gurih, pangan ini umumnya dimiliki oleh pangan hewani.

Konsumsi pangan hewani akan memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang baik, vitamin, dan mineral mikro (B6, B12, zat besi, iodium, dan seng). Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan dan keterbelakangan mental pada kelompok rawan pertumbuhan (janin, bayi, dan anak-anak), penyakit infeksi dan penurunan produktivitas (Martianto dan Ariani 2004).

Komposisi protein yang dianjurkan adalah 80% nabati dan 20% hewani (BKP 2006). Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa konsumsi protein hewani di Jawa Tengah belum sesuai dengan anjuran, karena baru memenuhi 16.4% (wilayah perdesaan) dan 19.0% (wilayah perkotaan+perdesaan) dari 20% yang dianjurkan. (Tabel 5). Melihat kenyataan ini menunjukkan bahwa rata-rata kuantitas maupun kualitas konsumsi pangan penduduk di Jawa Tengah masih relatif rendah, hal itu didukung oleh adanya kasus defisit energi (TKE<90%) yang relatif besar (41.8%). Konsumsi protein hewani di Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara telah sesuai anjuran yaitu minimal 20% dari total konsumsi protein.

Konsumsi protein hewani di Sulawesi Tenggara sebesar 22.84 gram, di Sumatera Barat 18.39 gram, dan Jawa Tengah 10.45 gram/kapita/hari. Pada umumnya konsumsi protein hewani di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di perdesaan. Sebagai pembanding dari penelitian ini adalah: Ariningsih (2002), menemukan kontribusi protein hewani di Jawa sekitar 18.32% pada tahun 1996, dan 14.05% pada tahun 1999. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi protein hewani di Jawa Tengah tahun 2005 sudah lebih baik daripada tahun 1996. Rincian konsumsi protein menurut jenis pangan dari masing-masing provinsi ditunjukkan oleh Lampiran 9-11.

Rendahnya konsumsi protein hewani di perdesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena pendapatan

terbatas, mereka akan lebih mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk membeli pangan hewani. Disamping itu mereka telah merasa cukup atau kebutuhan minimum pangan hewani sudah terpenuhi.

Tabel 5. Rataan konsumsi protein per kapita per hari menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005

/Provinsi/Klasifikasi Perkotaan+perdesaan Perkotaan Perdesaan

Gram % gram % gram %

1 Sumatera Barat - Nabati 44.56 70.8 42.76 63.7 45.30 74.0 - Hewani 18.39 29.2 24.40 36.3 15.90 26.0 T o t a l 62.95 100.0 67.16 100.0 61.20 100.0 2 Jawa Tengah - Nabati 44.65 81.0 43.66 77.3 45.31 83.6 - Hewani 10.45 19.0 12.28 22.7 8.87 16,4 T o t a l 55.10 100.0 56.48 100.0 54.18 100.0 3 Sulawesi Tenggara - Nabati 41.55 64.5 44.51 57.1 40.89 66.6 - Hewani 22.4 35.5 33.47 42.9 20.46 33.4 T o t a l 64.39 100.0 77.98 100.0 61.34 100.0

Susunan protein hewani yang disarankan adalah berasal dari ternak 6 gram dan ikan sebesar 9 gram (WNPG 2004). Pangan hewani yang dianjurkan adalah daging ruminansia dan unggas sebesar 65 gram atau terdiri atas 12 gram daging ruminansia, 22 gram daging unggas, 17 gram telur, dan 14 gram susu, sedangkan untuk ikan sebesar 85 gram. Berdasarkan sumber protein hewani ditunjukkan oleh Tabel 6.

Di Sumatera Barat komposisi konsumsi protein hewani telah sesuai dengan anjuran. Konsumsi protein dari ikan bahkan telah melebihi anjuran, sedangkan konsumsi protein bersumber daging, di perdesaan masih kurang dari anjuran yaitu sebesar 5.3 gram/kapita/hari. Ikan memberikan kontribusi protein hewani >50% baik di perdesaan maupun perkotaan, dan dikonsumsi dalam bentuk ikan segar maupun ikan olahan. Berdasarkan jumlah pangan hewani yang dikonsumsi, maka ikan segar menempati urutan pertama baik di perdesaan maupun perkotaan, masing-masing sebesar 49 gram dan 54 gram/kapita/hari. Konsumsi terbesar kedua adalah telur (Lampiran 12). Di perdesaan jumlah konsumsi ikan olahan

lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi daging unggas maupun ruminansia. Sebaliknya konsumsi daging unggas lebih tinggi di perkotaan yaitu sekitar 15 gram/kapita/hari. Rata-rata konsumsi menurut jenis pangan per kapita per hari disajikan pada Lampiran 12-14.

Tabel 6. Rataan konsumsi protein hewani per kapita per hari menurut wilayah dan jenis pangan hewani di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005

No Wilayah/jenis pangan Sumatera Barat Jawa Tengah Sulawesi Tenggara

gram % Gram % gram %

Perkotaan+perdesaan

1 Ruminansia & unggas: 7.2 39.2 5.4 51.8 2.8 12.2

- Daging unggas 2.5 13.7 2.4 23.1 0.9 4.0 - Daging ruminansia 1.3 7.2 0.6 6.0 0.3 1.2 - Telur 2.4 13.0 1,7 16.2 0.9 3.9 - Susu 1.0 5.2 0.7 6.5 0.7 3.1 2 Ikan 11.2 60.8 5.0 48.2 20.1 87.8 Total 18.4 100.0 10.4 100.0 22.8 100.0 Perkotaan

1 Ruminansia & unggas: 11.7 48.1 7.2 56.5 4.4 13.0

- Daging unggas 5.0 20.7 3.2 25.1 1.3 4.0 - Daging ruminansia 2.0 8.3 1.1 8.2 0.3 1.0 - Telur 3.0 12.4 1.9 15.0 1.5 4.6 - Susu 1.6 6.7 1.0 8.1 1.2 3.5 2 Ikan 12.7 51.9 5.6 43.5 29.1 87.0 Total 24.4 100.0 12.8 100.0 33.5 100.0 Perdesaan

1 Ruminansia & unggas: 5.3 33.5 4.2 47.3 2.4 11.9

- Daging unggas 1.5 9.2 1.9 21.1 0.8 4.0 - Daging ruminansia 1.0 6.5 0.3 3.9 0.3 1.2 - Telur 2.1 13.5 1.5 17.4 0.8 3.7 - Susu 0.7 4.3 0.4 4.9 0.6 2.9 2 Ikan 10.6 66.5 4.7 52.7 18,0 88.1 Total 15.9 100.0 8.9 100.0 20.5 100.0

Atas dasar besarnya kontribusi protein dari pangan hewani, maka susunan konsumsi pangan hewani di Sumatera Barat wilayah perkotaan adalah ikan, daging unggas, telur, daging ruminansia dan susu. Di perdesaan adalah sebagai berikut: ikan, telur, daging unggas, dan daging ruminansia. Pada umumnya ikan dikonsumsi lebih tinggi dari daging, salah satu penyebabnya adalah harga ikan yang lebih murah daripada daging unggas maupun ruminansia.

Konsumsi protein hewani di Jawa Tengah belum memenuhi anjuran kecuali di perkotaan (produk ternak), sedangkan konsumsi ikan masih di bawah angka anjuran baik di perdesaan maupun perkotaan. Ikan merupakan penyumbang terbesar konsumsi protein hewani di wilayah perdesaan yaitu sebesar 52.7% atau

setara 4.7 gram protein. Secara umum kuantitas konsumsi pangan hewani di Jawa Tengah masih rendah, yaitu rata-rata 53 gram per hari, atau menurut wilayah perkotaan sebesar 65 gram, dan di perdesaan sebesar 44 gram/hari, jumlah yang dianjurkan adalah 150 gram pangan hewani yang terdiri atas 65 gram daging ternak dan 85 gram ikan. Jumlah konsumsi per kapita per hari menurut jenis pangan ditunjukkan oleh Lampiran 13.

Berdasarkan besarnya konsumsi pangan hewani, maka susunan konsumsi pangan hewani di perkotaan adalah ikan segar, telur, daging unggas, ikan olahan, susu, dan daging ruminansia. Susunan ini berbeda untuk perdesaan, di mana telur dikonsumsi lebih tinggi dibandingkan pangan hewani lainnya. Berturut-turut dengan susunan sebagai berikut: telur, ikan segar, ikan olahan, daging unggas, susu, dan daging ruminansia. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa telur dan ikan merupakan pangan hewani cukup besar dikonsumsi di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan), masing-masing sebesar 16 gram dan 23 gram per kapita per hari (Lampiran 13).

Di Jawa Tengah baik perdesaan maupun perkotaan konsumsi pangan hewani yang telah memenuhi anjuran adalah konsumsi telur. Barangkali dapat dikatakan bahwa telur merupakan sumber pangan protein hewani yang murah atau mungkin dapat diterima oleh hampir semua rumah tangga. Keadaan tersebut dapat dipahami mengingat harga telur yang relatif murah dibandingkan pangan hewani lainnya terutama produk ternak, mudah dalam pengolahan dan penyajiannya. Telur memiliki rasa yang enak dan memiliki daya simpan relatif lama dan tingkat ketersediaannya relatif tinggi.

Konsumsi protein hewani di Sulawesi Tenggara telah sesuai dengan anjuran. Protein hewani didominasi oleh ikan, kontribusi terhadap total protein hewani mencapai >80% baik di perkotaan maupun perdesaan. Hal tersebut adalah wajar, karena provinsi ini banyak dikelilingi oleh lautan yang berpotensi untuk perikanan. Melihat besarnya kontribusi ikan terhadap konsumsi protein hewani, hal ini menunjukkan bahwa ikan telah menjadi bagian penting dalam konsumsi sehari-hari. Pada satu sisi konsumsi protein bersumber ikan telah mencapai sasaran, tetapi di sisi lain protein bersumber ternak belum terpenuhi. Protein terbesar berasal dari ikan yaitu mencapai 29.1 gram di wilayah perkotaan

sedangkan di perdesaan sebesar 18.0 gram atau secara keseluruhan (perkotaan+ perdesaan) sebesar 20.1 gram per kapita per hari (Tabel 6).

Kuantitas pangan hewani di Sulawesi Tenggara sangat tinggi rata-rata sebesar 152 gram. Apabila dibedakan menurut wilayah maka di perkotaan sebesar 227 gram per hari dan 137 gram di perdesaan (Lampiran 14). Di wilayah perkotaan sebesar 50% pangan hewani berasal dari ikan segar, kemudian disusul oleh telur, susu dan ikan olahan. Di wilayah perdesaan setelah ikan segar konsumsi selanjutnya adalah telur, ikan olahan, dan susu.

Hal yang menarik dari hasil penelitian di tiga provinsi adalah bahwa di perkotaan Jawa Tengah protein bersumber ternak terlihat mendominasi konsumsi protein hewani. Sebaliknya di perdesaan protein ikanlah yang dominan. Pendapatan yang relatif rendah dan kecenderungan untuk hidup sederhana, mendorong penduduk di perdesaan untuk mengkonsumsi lebih banyak protein ikan yang harganya relatif murah (Ariningsih 2002). Pada umumnya konsumsi ikan olahan lebih tinggi dikonsumsi di perdesaan. Menurut Ariningsih (2002), ikan olahan/awetan mempunyai daya jangkau lebih luas di wilayah perdesaan, dan dengan mudah didapat. Ikan tersebut mempunyai daya tahan yang relatif lama dan penanganannya relatif lebih sederhana. Di wilayah perdesaan pendapatan per kapita relatif lebih rendah daripada perkotaan, sehingga ikan olahan yang relatif murah harganya lebih banyak dikonsumsi dibanding daging unggas ataupun daging ruminansia.

Keragaman Konsumsi Pangan

Salah satu dari 13 pesan dasar gizi seimbang adalah makanlah aneka ragam makanan. Maksud dari pesan tersebut adalah bahwa tidak ada satupun jenis makanan yang mengandung secara lengkap zat gizi sehingga seseorang yang mengkonsumsinya akan hidup sehat, tumbuh kembang secara normal dan produktif. Kekurangan satu zat gizi tertentu pada satu makanan akan terpenuhi atau dilengkapi oleh makanan lain yang memiliki zat tersebut. Diantara satu makanan dengan makanan lain terjadi aksi saling melengkapi asupan zat gizinya.

Pola Pangan Harapan adalah susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi sumbangan energi, baik secara absolut maupun relatif terhadap total

energi penyediaan atau konsumsi pangan yang mampu mencukupi kebutuhan pangan dan gizi penduduk, baik dalam jumlah kualitas maupun keragamannya. FAO RAPA mendefinisikan PPH sebagai komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya (Baliwati 2007). Melalui pendekatan PPH mutu/kualitas konsumsi pangan penduduk dapat dilihat dari nilai skor pangan (skor PPH). Semakin tinggi skor PPH semakin bagus kualitas dari konsumsi pangan penduduk tersebut dan berarti konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Anwar (1996), disebutkan kelebihan pemakaian pendekatan PPH salah satunya adalah derajat kesehatan penduduk lebih terjamin, karena titik tolak pendekatan adalah kecukupan gizi.

Dijelaskan oleh Hardinsyah et al (2001) bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Komposisi/susunan konsumsi ideal yang dianjurkan untuk tingkat konsumsi adalah: padi-padian 275 gram, umbi-umbian 100 gram, pangan hewani 150 gram, kacang-kacangan 35 gram, sayur dan buah 250 gram (Dewan Ketahanan Pangan 2006). Susunan pangan sesuai kaidah PPH sebagaimana dikemukakan oleh Hardinsyah, tidak hanya memenuhi kecukupan gizi tetapi mempertimbangkan keseimbangan gizi yang didukung oleh daya cerna, daya terima masyarakat, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan.

Susenas tahun 2005 untuk tiga provinsi menunjukkan bahwa skor PPH telah sesuai dengan sasaran Kebijakan Umum Ketahanan Pangan yaitu untuk periode 2006-2009 telah mencapai skor PPH minimal 80. Skor PPH tahun 2005 yang dicapai oleh Sumatera Barat (82.4) dan Jawa Tengah (80.5). Skor PPH untuk Sulawesi Tenggara hampir sama besarnya dengan Sumatera Barat yaitu 82.3. Tabel 7 memperlihatkan secara terinci besarnya masing-masing skor dari kelompok pangan. Meskipun telah mencapai sasaran, secara umum konsumsi pangan tersebut belum seimbang karena masih jauh dari skor ideal. Meskipun proporsi energi dari padi-padian telah melebihi sumbangan yang diharapkan (50%), skor yang diperoleh dari kelompok ini hanya 25. Hal ini disebabkan

Dokumen terkait