• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis konsumsi dan kebutuhan untuk konsumsi pangan di provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005-2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis konsumsi dan kebutuhan untuk konsumsi pangan di provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005-2015"

Copied!
338
0
0

Teks penuh

(1)

UNTUK KONSUMSI PANGAN

DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN

SULAWESI TENGGARA TAHUN 2005-2015

SRI CATUR LESTARI WIDIASIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Sri Catur Lestari Widiasih

(3)

ii SRI CATUR LESTARI WIDIASIH. Actual Food Consumption Analysis and Food Demand Estimation in West Sumatera, Central Java, and Southeast Sulawesi Provinces Year 2005-2015. Under direction of DRAJAT MARTIANTO, and YAYAT HERYATNO

Food diversification program is one among the food security strategies in Indonesia. The goal of the program is to improve food diversity of the Indonesian people’s food consumption to achieve the balance diet. The national indicator of balance diet is reflected at the achievement of desirable dietary pattern (=PPH or

Pola Pangan Harapan). The DDP score of 100 is expected to be achieved at year 2015. Although food diversification is among the oldest nutrition program in Indonesia, however after 50 years its implementation the results are still under expectation. In 2007, the National Food Security Agency try to accelerate the efforts through acceleration program of food diversity to achieve the target on time. A study on the present achievement of food diversification status and its estimation in 2015 is therefore become an interesting field to be elaborated. The objectives of the study were to assess the nutrient adequacy-particularly energy and protein adequacy level, food diversity (DDP score), estimate the response of food demand related to change in food price and income using Almost Ideal Demand System (AIDS) model, and estimate provincial food demand for human consumption only from 2008 until 2015. The study shows that the average energy intake has already exceeded the RDA, except in Central Java (98.5% or 1,969 kcal). In general, energy adequacy level found to be higher at rural than urban areas due to easier access of carbohydrate sources, but on the contrary the protein adequacy level was found higher in urban due to higher purchasing power on protein sources of food. The DDP score in West Sumatera was 82.4; Southeast Sulawesi 82.3; and Central Java 80.5. Demand of read meat is more responsive to change in price than other foods. On the other hand, demand of cereals is more responsive to change in price than poultry meat and eggs and milk, except in Central Java. Food demands in rural areas are more responsive to the price changes than in urban, except in West Sumatera: wheat flour, fresh fish, oily seed, sugar, and vegetable and fruit; in Central Java: poultry meat, ruminant meat, fresh fish, and sugar. The demand of urban community is greatly dependent to price change. In Central Java and Southeast Sulawesi, almost all animal food is more responsive to change in income than cereals. Among 14 analyzed food groups, generally, food demand in rural is more responsive to change in income than urban, except in West Sumatera: eggs and milk, oil and fats, oily seed, legumes, sugar, and vegetables and fruits; in Central Java: wheat flour, ruminant meat, canned fish, oily seed, and legumes. Result of the estimation in year 2015 shows that consumption of milk and fruits in all provinces still do not reach ideal consumption level yet, while rice consumption in all provinces exceed ideal consumption level. These figures indicate a pessimistic achievement of DDP score of 100 at 2015, except there is a great strategy, including the socio-economic construct to achieve it.

(4)

ii SRI CATUR LESTARI WIDIASIH. Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO, dan YAYAT HERYATNO

Saat ini Pemerintah Indonesia sedang berupaya keras melaksanakan kegiatan percepatan diversifikasi pangan, dengan harapan pada tahun 2015 konsumsi pangan masyarakat akan mendekati pola pangan harapan (PPH) dengan skor maksimal 100. Oleh karenanya penelitian tentang konsumsi dan permintaan pangan yang dapat memberikan gambaran pencapaian diversifikasi pangan sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data Susenas modul konsumsi tahun 2005. Tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein serta keragaman konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH, (2) menganalisis respon permintaan pangan terkait perubahan harga pangan, dan perubahan pendapatan, (3) melakukan estimasi kebutuhan pangan wilayah pada tahun 2008-2015 berbasis data Susenas tahun 2005.

Selain Susenas, data lain yang digunakan diantaranya adalah data proyeksi penduduk hasil sensus tahun 2000, dan data pertumbuhan ekonomi. Lokasi penelitian adalah Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara yang dibedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Data yang dianalisis meliputi: Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Protein (TKP); keragaman konsumsi; elastisitas permintaan pangan; dan estimasi kebutuhan konsumsi pangan tahun 2008-2015. TKE dan TKP dihitung sebagai hasil perbandingan antara konsumsi energi dan protein aktual dengan angka kecukupan energi (AKE) sebesar 2.000 kkal/kapita/hari dan protein (AKP) sebesar 52 gram/kapita/hari yang dinyatakan dalam persen. AKE dan AKP menggunakan rekomendasi WNPG 2004. Selanjutnya tingkat kecukupan energi dikelompokkan menurut klasifikasi Departemen Kesehatan (1996) yaitu: (1) TKE: <70% defisit berat, (2) TKE: 70-79% defisit sedang, (3) TKE: 80–89% defisit ringan, (4) TKE: 90-119% normal, dan (5) TKE >120% kelebihan (BKP 2006). Skor keragaman konsumsi pangan dihitung dengan pendekatan skor PPH.

Analisis permintaan pangan dilakukan dengan menggunakan sistem permintaan simultan model Almost Ideal Demand System(AIDS). Dengan model ini selanjutnya dihitung nilai elastisitas dari setiap kelompok pangan. Pada penelitian ini data konsumsi pangan dikelompokkan menjadi 14 kelompok pangan yaitu: (1) padi-padian, (2) terigu, (3) umbi-umbian, (4) daging unggas, (5) daging ruminansia, (6) ikan segar, 7) ikan olahan, (8) telur dan susu, (9) minyak dan lemak, (10) buah/biji berminyak, (11) kacang-kacangan, (12) gula, (13) sayur dan buah, (14) lainnya.

(5)

iii kecukupannya kecuali di Jawa Tengah, dengan tingkat kecukupan energi sebesar 98.5% (1.969 kkal). Pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan, kecuali Sulawesi Tenggara. Berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan energi, masih terdapat lebih dari 20% rumah tangga di tiga provinsi baik di perkotaan maupun perdesaan yang mengalami defisit energi (TKE< 90%). Konsumsi protein di tiga provinsi telah melebihi tingkat kecukupan baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Secara umum konsumsi protein hewani di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, diduga di perkotaan lebih banyak jenis pangan yang tersedia dan lebih mudah untuk mengakses pangan.

Hasil analisis keragaman pangan menunjukkan bahwa di ketiga provinsi skor PPH Sumatera Barat 82.4; Sulawesi Tenggara 82.3 dan Jawa Tengah 80.5. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang defisit dalam suatu kelompok pangan. Susunan pangan sesuai PPH, selain memenuhi kecukupan gizi juga mempertimbangkan keseimbangan gizi, daya cerna, daya terima, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan.

Ditinjau dari segi jenisnya, terlihat bahwa masyarakat di ketiga provinsi masih sangat tergantung pada satu jenis makanan yaitu beras sebagai pangan pokok. Apabila terus berlanjut, dikhawatirkan kemampuan daerah untuk menyediakan pangan beras akan menurun. Hal ini bisa terjadi karena permintaannya meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Guna menghindari kejadian tersebut, sosialisasi/pengenalan pangan sumber karbohidrat jenis lain harus terus digalakkan.

Keragaman konsumsi pangan di perdesaan relatif lebih buruk dibandingkan di perkotaan. Di ketiga provinsi skor PPH di perdesaan kurang dari 80, sementara di perkotaan berkisar antara 82.5 (Jawa Tengah) hingga 93.3 (Sulawesi Tenggara). Di perdesaan Sulawesi Tenggara skor PPH baru mencapai 78.7, sedangkan di perdesaan dua provinsi lainnya hampir sama yaitu sekitar 79. Banyak konsumsi pangan yang harus ditingkatkan hingga mencapai nilai ideal, pangan tersebut diantaranya adalah pangan hewani, sayur buah, dan kacang-kacangan.

Hasil analisis elastisitas harga menunjukkan bahwa sebagian besar pangan bersifat inelastis kecuali sayur buah di Sumatera Barat (semua wilayah) dan jenis pangan lainnya di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan dan perkotaan). Apabila dibedakan menurut wilayah, secara umum permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibandingkan perkotaan.

(6)

iv sebesar 15.05%. Di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara, pangan hewani lebih elastis dibandingkan padi-padian. Pada umumnya di ketiga provinsi padi-padian bersifat komplementer terhadap berbagai jenis pangan kecuali terhadap pangan lainnya di Sumatera Barat, ikan olahan di Jawa Tengah, serta terigu dan daging unggas di Sulawesi Tenggara.

Hasil estimasi kebutuhan pangan tahun 2015 menurut pola pangan di tiga provinsi umumnya menunjukkan beberapa pangan diperkirakan akan dikonsumsi melebihi jumlah ideal, namun ada beberapa pangan yang konsumsinya kurang dari jumlah ideal. Hal ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan gizi dalam pola konsumsi pangan masyarakat di ketiga provinsi. Diperkirakan pada tahun 2015 di Sumatera Barat konsumsi aktual dan ideal (ditulis dalam kurung) per kapita adalah: beras 141 kg (96 kg), daging unggas 9 kg (6 kg), ikan segar 29 kg (18 kg), telur 11 kg (10 kg), susu 4 kg (21 kg), kedele 5 kg (7 kg), sayur 78 kg (67 kg), dan buah 37 kg (44 kg); dan diperkirakan kebutuhan aktual dan ideal (ditulis dalam kurung) di wilayah ini adalah: beras 661.586 ton (448.387 ton), daging unggas 42.443 ton (26.799 ton), ikan segar 134.640 ton (83.528 ton), telur 52.539 ton (45.915 ton), susu 20.946 ton ( 96.382 ton), kedele 24.553 ton (34.367 ton), sayur 365.124 ton (314.867 ton), dan buah 173.688 ton (204.931 ton). Dengan demikian terdapat kesenjangan yaitu kelebihan kebutuhan untuk beras 213.198 ton (47.55%), daging unggas 15.644 ton (58.38%), ikan segar 51.112 ton (61.19%), telur 6.624 ton (14.43%), dan sayur 50.257 ton (15.96%); serta kekurangan kebutuhan untuk susu 75.436 ton (78.27%), kedele 9.815 ton (28.56%), dan buah 31.242 ton (15.25%). Di Jawa Tengah diperkirakan konsumsi aktual dan ideal per kapita adalah: beras 110 kg (89 kg), daging unggas 7 kg (8 kg), ikan segar 13 kg (8 kg), telur 8 kg (10 kg), susu 4 kg (24 kg), kedele 15 kg (9 kg), sayur 72 kg (68 kg), dan buah 32 kg (43 kg); sedangkan perkiraan kebutuhan aktual dan ideal untuk beras 3.626.501 ton (2.939.613 ton), daging unggas 216.802 ton (277.164 ton), ikan segar 422.407 ton (272.914 ton), telur 256.982 ton (333.241 ton), susu 120.870 ton (773.627 ton), kedele 488.341 ton (305.351 ton), sayur 2.377.077 ton (2.240.543 ton), dan buah 1.062.208 ton (1.408.148 ton). Terdapat kesenjangan yaitu kelebihan kebutuhan untuk beras 686.888 ton (23.37%), ikan segar 149.493 ton (54.78%), kedele 182.990 ton (59.93%), dan sayur 136.534 ton (6.09%); serta kekurangan kebutuhan untuk daging unggas 60.362 ton (21.78%), telur 76.259 ton (22.88%), susu 652.757 ton (84.38%), dan buah 345.940 ton (24.57%). Diperkirakan pada tahun 2015 di Sulawesi Tenggara konsumsi aktual dan ideal per kapita adalah: beras 133 kg (91 kg), ikan segar 53 kg (47 kg), telur 6 kg (4 kg), susu 4 kg (19 kg), kedele 4 kg (5 kg), sayur 59 kg (50 kg), dan buah 51 kg (58 kg); dan diperkirakan kebutuhan aktual dan ideal untuk beras 351.938 ton (242.240 ton), ikan segar 141.373 ton (124.898 ton), telur 15.196 ton (9.691 ton), susu 10.171 ton (50.886 ton), kedele 10.119 ton (13.879 ton), sayur 157.653 ton (131.747 ton), dan buah 135.588 ton (152.828 ton). Terdapat kesenjangan yaitu kelebhan kebutuhan untuk beras 109.698 ton (45.28%), ikan segar 16.475 ton (13.19%), telur 5.505 ton (56.81%), sayur 25.906 ton (19.66%); serta kekurangan kebutuhan untuk susu 40.715 ton (80.01%), kedele 3.759 ton (27.09%), dan buah 17.240 ton (11.28%).

(7)

v

Hak Cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

vi

UNTUK KONSUMSI PANGAN

DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN

SULAWESI TENGGARA TAHUN 2005-2015

SRI CATUR LESTARI WIDIASIH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

vii Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015

Nama : Sri Catur Lestari Widiasih

NRP : I051060161

Program Studi : Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi. Yayat Heryatno, SP, MPS.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana dan Sumberdaya Keluarga

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(10)
(11)

UNTUK KONSUMSI PANGAN

DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN

SULAWESI TENGGARA TAHUN 2005-2015

SRI CATUR LESTARI WIDIASIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

i

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Sri Catur Lestari Widiasih

(13)

ii SRI CATUR LESTARI WIDIASIH. Actual Food Consumption Analysis and Food Demand Estimation in West Sumatera, Central Java, and Southeast Sulawesi Provinces Year 2005-2015. Under direction of DRAJAT MARTIANTO, and YAYAT HERYATNO

Food diversification program is one among the food security strategies in Indonesia. The goal of the program is to improve food diversity of the Indonesian people’s food consumption to achieve the balance diet. The national indicator of balance diet is reflected at the achievement of desirable dietary pattern (=PPH or

Pola Pangan Harapan). The DDP score of 100 is expected to be achieved at year 2015. Although food diversification is among the oldest nutrition program in Indonesia, however after 50 years its implementation the results are still under expectation. In 2007, the National Food Security Agency try to accelerate the efforts through acceleration program of food diversity to achieve the target on time. A study on the present achievement of food diversification status and its estimation in 2015 is therefore become an interesting field to be elaborated. The objectives of the study were to assess the nutrient adequacy-particularly energy and protein adequacy level, food diversity (DDP score), estimate the response of food demand related to change in food price and income using Almost Ideal Demand System (AIDS) model, and estimate provincial food demand for human consumption only from 2008 until 2015. The study shows that the average energy intake has already exceeded the RDA, except in Central Java (98.5% or 1,969 kcal). In general, energy adequacy level found to be higher at rural than urban areas due to easier access of carbohydrate sources, but on the contrary the protein adequacy level was found higher in urban due to higher purchasing power on protein sources of food. The DDP score in West Sumatera was 82.4; Southeast Sulawesi 82.3; and Central Java 80.5. Demand of read meat is more responsive to change in price than other foods. On the other hand, demand of cereals is more responsive to change in price than poultry meat and eggs and milk, except in Central Java. Food demands in rural areas are more responsive to the price changes than in urban, except in West Sumatera: wheat flour, fresh fish, oily seed, sugar, and vegetable and fruit; in Central Java: poultry meat, ruminant meat, fresh fish, and sugar. The demand of urban community is greatly dependent to price change. In Central Java and Southeast Sulawesi, almost all animal food is more responsive to change in income than cereals. Among 14 analyzed food groups, generally, food demand in rural is more responsive to change in income than urban, except in West Sumatera: eggs and milk, oil and fats, oily seed, legumes, sugar, and vegetables and fruits; in Central Java: wheat flour, ruminant meat, canned fish, oily seed, and legumes. Result of the estimation in year 2015 shows that consumption of milk and fruits in all provinces still do not reach ideal consumption level yet, while rice consumption in all provinces exceed ideal consumption level. These figures indicate a pessimistic achievement of DDP score of 100 at 2015, except there is a great strategy, including the socio-economic construct to achieve it.

(14)

ii SRI CATUR LESTARI WIDIASIH. Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO, dan YAYAT HERYATNO

Saat ini Pemerintah Indonesia sedang berupaya keras melaksanakan kegiatan percepatan diversifikasi pangan, dengan harapan pada tahun 2015 konsumsi pangan masyarakat akan mendekati pola pangan harapan (PPH) dengan skor maksimal 100. Oleh karenanya penelitian tentang konsumsi dan permintaan pangan yang dapat memberikan gambaran pencapaian diversifikasi pangan sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data Susenas modul konsumsi tahun 2005. Tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein serta keragaman konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH, (2) menganalisis respon permintaan pangan terkait perubahan harga pangan, dan perubahan pendapatan, (3) melakukan estimasi kebutuhan pangan wilayah pada tahun 2008-2015 berbasis data Susenas tahun 2005.

Selain Susenas, data lain yang digunakan diantaranya adalah data proyeksi penduduk hasil sensus tahun 2000, dan data pertumbuhan ekonomi. Lokasi penelitian adalah Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara yang dibedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Data yang dianalisis meliputi: Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Protein (TKP); keragaman konsumsi; elastisitas permintaan pangan; dan estimasi kebutuhan konsumsi pangan tahun 2008-2015. TKE dan TKP dihitung sebagai hasil perbandingan antara konsumsi energi dan protein aktual dengan angka kecukupan energi (AKE) sebesar 2.000 kkal/kapita/hari dan protein (AKP) sebesar 52 gram/kapita/hari yang dinyatakan dalam persen. AKE dan AKP menggunakan rekomendasi WNPG 2004. Selanjutnya tingkat kecukupan energi dikelompokkan menurut klasifikasi Departemen Kesehatan (1996) yaitu: (1) TKE: <70% defisit berat, (2) TKE: 70-79% defisit sedang, (3) TKE: 80–89% defisit ringan, (4) TKE: 90-119% normal, dan (5) TKE >120% kelebihan (BKP 2006). Skor keragaman konsumsi pangan dihitung dengan pendekatan skor PPH.

Analisis permintaan pangan dilakukan dengan menggunakan sistem permintaan simultan model Almost Ideal Demand System(AIDS). Dengan model ini selanjutnya dihitung nilai elastisitas dari setiap kelompok pangan. Pada penelitian ini data konsumsi pangan dikelompokkan menjadi 14 kelompok pangan yaitu: (1) padi-padian, (2) terigu, (3) umbi-umbian, (4) daging unggas, (5) daging ruminansia, (6) ikan segar, 7) ikan olahan, (8) telur dan susu, (9) minyak dan lemak, (10) buah/biji berminyak, (11) kacang-kacangan, (12) gula, (13) sayur dan buah, (14) lainnya.

(15)

iii kecukupannya kecuali di Jawa Tengah, dengan tingkat kecukupan energi sebesar 98.5% (1.969 kkal). Pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan, kecuali Sulawesi Tenggara. Berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan energi, masih terdapat lebih dari 20% rumah tangga di tiga provinsi baik di perkotaan maupun perdesaan yang mengalami defisit energi (TKE< 90%). Konsumsi protein di tiga provinsi telah melebihi tingkat kecukupan baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Secara umum konsumsi protein hewani di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, diduga di perkotaan lebih banyak jenis pangan yang tersedia dan lebih mudah untuk mengakses pangan.

Hasil analisis keragaman pangan menunjukkan bahwa di ketiga provinsi skor PPH Sumatera Barat 82.4; Sulawesi Tenggara 82.3 dan Jawa Tengah 80.5. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang defisit dalam suatu kelompok pangan. Susunan pangan sesuai PPH, selain memenuhi kecukupan gizi juga mempertimbangkan keseimbangan gizi, daya cerna, daya terima, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan.

Ditinjau dari segi jenisnya, terlihat bahwa masyarakat di ketiga provinsi masih sangat tergantung pada satu jenis makanan yaitu beras sebagai pangan pokok. Apabila terus berlanjut, dikhawatirkan kemampuan daerah untuk menyediakan pangan beras akan menurun. Hal ini bisa terjadi karena permintaannya meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Guna menghindari kejadian tersebut, sosialisasi/pengenalan pangan sumber karbohidrat jenis lain harus terus digalakkan.

Keragaman konsumsi pangan di perdesaan relatif lebih buruk dibandingkan di perkotaan. Di ketiga provinsi skor PPH di perdesaan kurang dari 80, sementara di perkotaan berkisar antara 82.5 (Jawa Tengah) hingga 93.3 (Sulawesi Tenggara). Di perdesaan Sulawesi Tenggara skor PPH baru mencapai 78.7, sedangkan di perdesaan dua provinsi lainnya hampir sama yaitu sekitar 79. Banyak konsumsi pangan yang harus ditingkatkan hingga mencapai nilai ideal, pangan tersebut diantaranya adalah pangan hewani, sayur buah, dan kacang-kacangan.

Hasil analisis elastisitas harga menunjukkan bahwa sebagian besar pangan bersifat inelastis kecuali sayur buah di Sumatera Barat (semua wilayah) dan jenis pangan lainnya di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan dan perkotaan). Apabila dibedakan menurut wilayah, secara umum permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibandingkan perkotaan.

(16)

iv sebesar 15.05%. Di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara, pangan hewani lebih elastis dibandingkan padi-padian. Pada umumnya di ketiga provinsi padi-padian bersifat komplementer terhadap berbagai jenis pangan kecuali terhadap pangan lainnya di Sumatera Barat, ikan olahan di Jawa Tengah, serta terigu dan daging unggas di Sulawesi Tenggara.

Hasil estimasi kebutuhan pangan tahun 2015 menurut pola pangan di tiga provinsi umumnya menunjukkan beberapa pangan diperkirakan akan dikonsumsi melebihi jumlah ideal, namun ada beberapa pangan yang konsumsinya kurang dari jumlah ideal. Hal ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan gizi dalam pola konsumsi pangan masyarakat di ketiga provinsi. Diperkirakan pada tahun 2015 di Sumatera Barat konsumsi aktual dan ideal (ditulis dalam kurung) per kapita adalah: beras 141 kg (96 kg), daging unggas 9 kg (6 kg), ikan segar 29 kg (18 kg), telur 11 kg (10 kg), susu 4 kg (21 kg), kedele 5 kg (7 kg), sayur 78 kg (67 kg), dan buah 37 kg (44 kg); dan diperkirakan kebutuhan aktual dan ideal (ditulis dalam kurung) di wilayah ini adalah: beras 661.586 ton (448.387 ton), daging unggas 42.443 ton (26.799 ton), ikan segar 134.640 ton (83.528 ton), telur 52.539 ton (45.915 ton), susu 20.946 ton ( 96.382 ton), kedele 24.553 ton (34.367 ton), sayur 365.124 ton (314.867 ton), dan buah 173.688 ton (204.931 ton). Dengan demikian terdapat kesenjangan yaitu kelebihan kebutuhan untuk beras 213.198 ton (47.55%), daging unggas 15.644 ton (58.38%), ikan segar 51.112 ton (61.19%), telur 6.624 ton (14.43%), dan sayur 50.257 ton (15.96%); serta kekurangan kebutuhan untuk susu 75.436 ton (78.27%), kedele 9.815 ton (28.56%), dan buah 31.242 ton (15.25%). Di Jawa Tengah diperkirakan konsumsi aktual dan ideal per kapita adalah: beras 110 kg (89 kg), daging unggas 7 kg (8 kg), ikan segar 13 kg (8 kg), telur 8 kg (10 kg), susu 4 kg (24 kg), kedele 15 kg (9 kg), sayur 72 kg (68 kg), dan buah 32 kg (43 kg); sedangkan perkiraan kebutuhan aktual dan ideal untuk beras 3.626.501 ton (2.939.613 ton), daging unggas 216.802 ton (277.164 ton), ikan segar 422.407 ton (272.914 ton), telur 256.982 ton (333.241 ton), susu 120.870 ton (773.627 ton), kedele 488.341 ton (305.351 ton), sayur 2.377.077 ton (2.240.543 ton), dan buah 1.062.208 ton (1.408.148 ton). Terdapat kesenjangan yaitu kelebihan kebutuhan untuk beras 686.888 ton (23.37%), ikan segar 149.493 ton (54.78%), kedele 182.990 ton (59.93%), dan sayur 136.534 ton (6.09%); serta kekurangan kebutuhan untuk daging unggas 60.362 ton (21.78%), telur 76.259 ton (22.88%), susu 652.757 ton (84.38%), dan buah 345.940 ton (24.57%). Diperkirakan pada tahun 2015 di Sulawesi Tenggara konsumsi aktual dan ideal per kapita adalah: beras 133 kg (91 kg), ikan segar 53 kg (47 kg), telur 6 kg (4 kg), susu 4 kg (19 kg), kedele 4 kg (5 kg), sayur 59 kg (50 kg), dan buah 51 kg (58 kg); dan diperkirakan kebutuhan aktual dan ideal untuk beras 351.938 ton (242.240 ton), ikan segar 141.373 ton (124.898 ton), telur 15.196 ton (9.691 ton), susu 10.171 ton (50.886 ton), kedele 10.119 ton (13.879 ton), sayur 157.653 ton (131.747 ton), dan buah 135.588 ton (152.828 ton). Terdapat kesenjangan yaitu kelebhan kebutuhan untuk beras 109.698 ton (45.28%), ikan segar 16.475 ton (13.19%), telur 5.505 ton (56.81%), sayur 25.906 ton (19.66%); serta kekurangan kebutuhan untuk susu 40.715 ton (80.01%), kedele 3.759 ton (27.09%), dan buah 17.240 ton (11.28%).

(17)

v

Hak Cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(18)

vi

UNTUK KONSUMSI PANGAN

DI PROVINSI SUMATERA BARAT, JAWA TENGAH, DAN

SULAWESI TENGGARA TAHUN 2005-2015

SRI CATUR LESTARI WIDIASIH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(19)

vii Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015

Nama : Sri Catur Lestari Widiasih

NRP : I051060161

Program Studi : Ilmu Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi. Yayat Heryatno, SP, MPS.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Dekan Sekolah Pascasarjana dan Sumberdaya Keluarga

Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.

(20)
(21)

ix Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015.

Selama mempersiapkan dan melakukan penelitian sampai akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini, penulis selalu mendapat bimbingan dan arahan dari: Bapak Dr. Ir. Drajat Martianto, MSi (Ketua Komisi) dan Bapak Yayat Heryatno, SP, MPS. (Anggota). Kesabaran, kebajikan, dan ketelitian beliau berdua sangat membantu dalam proses penyelesaian tesis ini dan memberikan pelajaran yang berharga. Dengan penuh ketulusan hati penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada beliau berdua.

Penyelesaian tesis ini juga tidak terlepas dari masukan, saran, dan koreksi dari Ibu Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS yang bertindak sebagai penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.

Tidak lupa penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Ketua Program Studi dan para dosen di lingkup Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga yang telah memberikan pengajaran dan perhatian kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB

2. Orangtua penulis Ibu Romawiyah dan Bapak Dachroni H. (alm), serta mertua: Ibu Supiyatun dan Bapak Soetrisno S (alm) dengan penuh cinta kasih, nasihat, dukungan, doa restu nan tulus. Semua itu takkan mampu penulis balas.

3. Suami tercinta Nuryanto dan anak-anak tersayang Ika, Dhani, Jihan, dan Ayesha, dari ketulusan, doa restu, dukungan, hiburan, dan pengertian kalian penulis mampu menyelesaikan pendidikan S2 ini

4. Kakak-kakak dan adik-adik serta saudara ipar yang senantiasa mendukung dan menghibur penulis di saat menghadapi permasalahan

5. Para Pejabat di lingkup Sekretariat Jenderal yang telah mendukung serta memberikan ijin sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S2

6. Badan Pengembangan SDM Pertanian yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB, dan Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk ikut terlibat dalam kegiatan KKP3T sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dalam rangka penyelesaian tesis.

7. Teman-teman di Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dengan ketelatenan, kesabaran, dan ketelitian membantu mengolah data, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

8. Teman-teman sejawat di Biro Perencanaan Deptan, teman-teman GMK angkatan 2006/2007 maupun angakatan 2007/2008 yang senantiasa membantu dan mendukung penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan S2

Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas atas budi baik Bapak/Ibu/Saudara semuanya. Mudah-mudahan karya tulis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2009

(22)

xi Penulis dilahirkan di Kebumen, Provinsi Jawa Tengah tanggal 7 Nopember 1964 sebagai anak ke empat dari sembilan bersaudara, dari pasangan Ibu Romawijah dan Bapak Dachroni Hadipranoto. Penulis menikah dengan Nuryanto yang dikaruniai empat orang anak: Ika, Dhani, Jihan, dan Ayesha.

Tahun 1976 penulis tamat SD Negeri 1 Kebumen, selanjutnya di kota yang sama melanjutkan ke SMP Negeri 1 dan tamat pada tahun 1980. Selanjutnya penulis diterima di SMA Negeri Kebumen dan tamat tahun 1983. Melalui Proyek Perintis II penulis diterima di IPB, tahun 1984 penulis memilih Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga serta lulus tahun 1988.

(23)

xii Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya ... 5 Kecukupan dan Kualitas Konsumsi Pangan ... 5 Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan ... 8 Permintaan dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan ... 13

Pengertian ... 13 Sistem Permintaan Pangan ... 15 KERANGKA PEMIKIRAN ... 19 METODE PENELITIAN ... 20 Desain, Sumber dan Jenis Data ... 20 Pengolahan dan Analisis Data ... 21 Tingkat Kecukupan Konsumsi ... 21 Keragaman Konsumsi Pangan ... 22 Elastisitas Permintaan Konsumsi Pangan ... 23 Estimasi Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan ... 26 Keterkaitan Antar Metode Analisa Data ... 29 Batasan Operasional ... 30 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32 Keragaan Konsumsi Pangan ... 32 Konsumsi Energi ... 32 Konsumsi Protein ... 36 Keragaman Konsumsi Pangan ... 42 Elastisitas Konsumsi Pangan ... 52 Koefisien Pendugaan Parameter ... 52 Elastisitas Harga Sendiri ... 53 Elastisitas Pendapatan ... 58 Elastisitas Silang ... 63 Estimasi Kebutuhan untuk Konsumsi dari Berbagai Jenis Pangan

(24)

xiii Halaman

1. Pengelompokan jenis pangan, persentase, bobot, dan skor ... 23

2. Tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 33

3. Persentase rumah tangga menurut tingkat kecukupan energi di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 34

4. Tingkat kecukupan protein di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 37

5. Rataan konsumsi protein per kapita per hari menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara

tahun 2005 ... 39

6. Rataan konsumsi protein hewani per kapita per hari menurut wilayah dan jenis pangan hewani di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah

dan Sulawesi Tenggara tahun tahun 2005 ... 40

7. Keragaman kualitas konsumsi pangan di Provinsi Sumatera Barat,

Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara Sumatera Barat tahun 2005 ... 45

8. Elastisitas harga sendiri menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ……….... 55

9. Elastisitas pendapatan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat,

Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ..……….. 59

10. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Sumatera Barat

tahun 2008 – 2015 ... 78

11. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Jawa Tengah

tahun 2008 – 2015 …... 79

12. Estimasi kebutuhan pangan aktual di Provinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2008 – 2015 ... 80

13. Konsumsi dan kebutuhan ideal tahun 2015 di Provinsi Sumatera

Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara ... 88

(25)

xiv Halaman

1. Pengelompokan jenis pangan untuk analisis PPH ... 103

2. Pengelompokan jenis pangan untuk analisis AIDS ... 105

3. Proyeksi penduduk Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan

Sulawesi Tenggara tahun 2000-2015 ... 107

4. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah,

Sulawesi Tenggara, dan Indonesia tahun 2001-2005 ... 108

5. Pertumbuhan pendapatan Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah,

Sulawesi Tenggara, dan Indonesia ... 108

6. Perkiraan pendapatan per kapita per bulan Provinsi Sumatera Barat,

Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 ... 109

7. Rataan per kapita per bulan menurut wilayah di Provinsi Sumatera

Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 109

8. Ratan pengeluaran konsumsi berbagai jenis pangan per kapita per bulan menurut wilayah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan

Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 110

9. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi

Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 112

10. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perkotaan di Provinsi Sumatera Barat,

Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 113

11. Rataan distribusi konsumsi protein menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat,

Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 114

12. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah

di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 ... 115

13. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah

di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 ... 116

14. Rataan konsumsi per kapita berbagai jenis pangan menurut wilayah

(26)

xv per hari menurut wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi

Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 .... 118

16. Rataan distribusi konsumsi energi menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perkotaan di Provinsi Sumatera Barat,

Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 119

17. Rataan distribusi konsumsi energi menurut jenis pangan per kapita per hari menurut wilayah perdesaan di Provinsi Sumatera Barat,

Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 120

18. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan wilayah

perkotaan +perdesaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 ... 121

19. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah

perkotaan di Provisni Sumatera Barat tahun 2005 ... 123

20. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah

perdesaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 ... 125

21. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah

perkotaan+perdesaan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 ... 127

22. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah

perkotaan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2005 ... 129

23. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan untuk wilayah

perdesaan di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005 ... 131

24. Koefisien pendugaan dari sistem permintaan pangan di Provinsi

Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 133

25. Elastisitas harga silang menurut wilayah perkotaan+perdesaan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara

tahun 2005 ... 134

26. Elastisitas harga silang menurut wilayah perkotaan di Provinsi

Sumatera Barat dan Jawa Tengah tahun 2005 ... 136

27. Elastisitas harga silang menurut wilayah perdesaan di Provinsi

Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005 ... 138

28. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di

Provinsi Sumatera Barat tahun 2008-2015 ... 140

(27)

xvi Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015 ... 142

31. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Jawa Tengah tahun 2008-2015 ... 143

32. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per hari di

Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 ... 144

33. Estimasi konsumsi aktual berbagai jenis pangan per kapita per tahun di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008-2015 ... 145

34. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di

Provinsi Sumatera Barat ... 146

35. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di

Provinsi Jawa Tengah ... 146

36. Persamaan regresi hubungan antara konsumsi dengan pengeluaran di

(28)

Latar Belakang

Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut, pada Konferensi Dewan Ketahanan Pangan tahun 2006 para Gubernur telah bersepakat untuk menurunkan jumlah penduduk yang miskin dan kelaparan di wilayahnya masing-masing minimal satu persen setiap tahunnya (BKP 2006a). Sampai dengan Maret 2006 jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan cukup tinggi, yaitu 17.75 persen (BPS 2006a). Menurut para ahli, kemiskinan sangat dekat dengan kelaparan. Meskipun upaya penurunan penderita kelaparan telah dilaksanakan namun sampai kini masih terdengar adanya kasus gizi kurang maupun gizi buruk. Kelaparan sebagai akibat tidak cukup pangan baik jumlah maupun kualitasnya.

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang pemenuhannya merupakan bagian dari hak azazi manusia (HAM), sebagaimana diamanatkan dalam UU Pangan No 7 tahun 1996. Dalam rangka menindaklanjuti pelaksanaan UU Pangan tersebut, maka pembangunan di bidang pangan harus diwujudkan secara merata di seluruh wilayah sepanjang waktu, dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Pemenuhan hak masyarakat Indonesia akan pangan adalah salah satu bentuk dari tujuan pembangunan ketahanan pangan yang antara lain dapat diwujudkan melalui program diversifikasi pangan.

(29)

Nasional (Susenas) tahun 2005 yang diolah oleh Badan Ketahanan Pangan untuk Indonesia/nasional diketahui rata-rata konsumsi energi sebesar 1.997 kkal per kapita per hari, sedangkan protein sebesar 55.7 gram/kapita/hari (BKP 2007). Konsumsi energi tersebut masih berada di bawah Angka Kecukupan Energi sesuai Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) 2004, yaitu sebesar 2.000 kkal/kapita/hari. Kecukupan konsumsi protein yang dianjurkan adalah sebesar 52 gram/kapita/hari.

Kontribusi energi konsumsi pangan penduduk Indonesia terbesar adalah dari kelompok padi-padian terutama beras. Hal tersebut menyebabkan pola pangan penduduk belum sesuai pola pangan ideal, dimana skor Pola Pangan Harapan tersebut baru mencapai 79.1 (Bappenas 2007). Rendahnya skor terkait dengan ketidakseimbangan pola konsumsi pangan yang antara lain dicirikan oleh masih sangat tingginya kontribusi energi padi-padian dalam pola konsumsi sebesar 1.241 kkal (62.1% dari total energi), rendahnya konsumsi sayuran dan buah-buahan yang hanya menyumbang energi sebesar 93 kkal (4.7% dari total energi), pangan

hewani (139 kkal) dan kacang-kacangan (67 kkal) (BKP 2006b).

Ketidakseimbangan pola konsumsi tersebut tidak menguntungkan, karena peningkatan produksi pangan banyak mengalami rintangan. Konversi lahan pertanian tanaman pangan yang semakin marak sepanjang tahun, akan menghambat pencapaian pemenuhan produksi pangan. Pengalihan fungsi lahan pertanian banyak terjadi di Pulau Jawa terutama untuk perumahan, industri, maupun pembangunan prasarana transportasi. Kejadian tersebut sangat disayangkan, karena pulau ini dengan luas daratan 6.5% dari daratan Indonesia memasok kebutuhan pangan nasional sebesar 53% (Kompas 2008).

(30)

diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Hal ini disebabkan konsumsi pangan yang defisit pada umumnya dari kelompok pangan sumber protein, serta sayuran dan buah-buahan yang relatif mahal harganya. Melalui upaya peningkatan pengetahuan gizi, memungkinkan pengelolaan sumberdaya akan lebih baik, sehingga masyarakat dapat memilih jenis bahan pangan yang bermutu gizi tinggi dengan harga terjangkau. Oleh karenanya upaya diversifikasi konsumsi pangan masih selalu menjadi tujuan dalam berbagai kebijakan dan program pembangunan ketahanan pangan hingga kini.

Dalam upaya perbaikan gizi, Menteri Pertanian pada Sidang Regional Dewan Ketahanan Pangan tahun 2007 mencanangkan kembali pengembangan diversifikasi konsumsi pangan berbasis pangan lokal. Meskipun sebenarnya kegiatan ini sudah dilaksanakan beberapa waktu yang lalu. Target dari kegiatan tersebut adalah melaksanakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan sehingga pada tahun 2015 PPH masyarakat Indonesia mendekati skor 100, artinya masyarakat telah menerapkan pola makan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman.

Salah satu upaya pencapaian target tersebut adalah penyediaan pangan yang cukup, dengan berorientasi pada kecukupan pangan dan gizi penduduk. Dalam perencanaan penyediaan pangan harus memperhatikan beberapa faktor diantaranya adalah perilaku konsumsi pangan dan prinsip gizi seimbang. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka dilakukan pengkajian (analisa) yang mendalam tentang keragaan konsumsi pangan yang tercermin dari hasil skor mutu gizi konsumsi pangan, serta respon permintaan pangan akibat perubahan harga pangan itu sendiri, harga pangan lain serta perubahan pendapatan. Kajian seperti ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih rinci tentang perilaku konsumsi pangan. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat bermanfaat bagi perencanaan kebijakan dan program perbaikan pangan dan gizi khususnya dalam rangka pencapaian gerakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan.

Tujuan Umum

(31)

Tenggara) dan keterkaitannya dengan faktor pendapatan, harga sendiri, dan harga pangan lain, serta kebutuhan untuk konsumsi pangan di ketiga wilayah tersebut.

Tujuan Khusus

1. Menilai tingkat kecukupan konsumsi dan keragaman konsumsi pangan rumahtangga per kapita berdasarkan pendekatan PPH

2. Menganalisis respon permintaan pangan terkait perubahan harga pangan sendiri, harga pangan lain, dan perubahan pendapatan

3. Melakukan estimasi kebutuhan pangan wilayah pada tahun 2008-2015 berbasis data Susenas tahun 2005

Manfaat

1. Memberikan informasi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dalam kaitannya dengan perubahan harga pangan dan perubahan pendapatan

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Konsumsi Pangan dan Faktor yang Mempengaruhinya

Dikemukakan oleh Maslow, pangan merupakan salah satu kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup (Sumarwan 2003). Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, karenanya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Pemenuhan kebutuhan pangan sangat penting sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mengingat pentingnya memenuhi kecukupan pangan, setiap negara akan

mendahulukan pembangunan ketahanan pangan sebagai fondasi bagi

pembangunan sektor-sektor lainnya (Dewan Ketahanan Pangan 2006).

Hak atas kecukupan pangan tidak dapat dilepaskan dari masalah hak azazi manusia. Aspek gizi memandang bahwa tujuan mengkonsumsi pangan adalah memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh, sehingga bila hak atas pangan terpenuhi, maka kualitas hidup yang baik mencakup status gizi dan kesehatan akan tercapai (Khomsan 2002). Jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi tidak saja dipengaruhi oleh produksi, ketersediaan pangan, tetapi juga daya beli, kesukaan, pendidikan, nilai sosial budaya yang berlaku di masyarakat.

Kecukupan dan Kualitas Konsumsi Pangan

a. Angka Kecukupan Energi dan Protein

Dikemukakan pula oleh Hardinsyah dan Martianto (1989), agar hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya manusia memerlukan sejumlah zat gizi. Jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan, pemeliharaan tubuh, dan pertumbuhan bagi yang masih dalam taraf pertumbuhan.

(33)

marasmus dan kwashiorkor. Penanganan yang terlambat akan mengakibatkan mudah terkena infeksi yang dapat berakhir dengan kematian.

Sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan disebut sebagai kebutuhan gizi. Konsumsi yang berlebih maupun kekurangan dan berlangsung dalam jangka waktu lama akan berbahaya bagi kesehatan (Hardinsyah dan Martianto 1989). Kebutuhan gizi didefinisikan pula sebagai kebutuhan minimal zat gizi agar dapat hidup sehat, sedagkan kecukupan gizi adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar hampir semua orang (sekitar 97.5% populasi) hidup sehat.

Angka kecukupan energi dan protein berguna untuk mengukur tingkat konsumsi, perencanaan konsumsi dan ketersediaan pangan. Menurut hasil WNPG tahun 2004, Angka Kecukupan Energi (AKE) rata-rata orang Indonesia untuk tingkat konsumsi sebesar 2.000 kalori dan sebesar 2.200 kalori untuk tingkat ketersediaan. Angka Kecukupan Protein (AKP) pada tingkat konsumsi sebesar 52 gram sedangkan pada tingkat ketersediaan sebesar 57 gram.

b. Kualitas Konsumsi Pangan

Keanekaragaman konsumsi pangan merupakan pencerminan dari

mutu/kualitas pangan. Penilaian kualitas pangan berdasarkan keragaman dan keseimbangan komposisi energi dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan. Pola Pangan Harapan (PPH) pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1989, dan selanjutnya dikembangkan oleh Departemen Pertanian untuk menjabarkan penganekaragaman pangan melalui Workshop yang diselenggarakan bersama dengan FAO. Penjabaran ini dikenal dengan suatu pendekatan ”Desirable Dietary Pattern” dan pada saat ini lebih dikenal dengan Pola Panga Harapan.

(34)

terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Oleh karena itu, skor PPH mencerminkan mutu gizi konsumsi dan keragaman konsumsi pangan. Disamping itu dalam pembobotan setiap kelompok pangan telah mempertimbangkan kepadatan energi, zat gizi esensial, zat gizi mikro, kandungan serat, volume pangan dan tingkat kelezatan (Riyadi 1996).

Penelitian oleh Martianto dan Ariani (2004) terhadap konsumsi pangan yang dianalisa dari Susenas, menunjukkan bahwa selama 10 tahun terakhir (1993 – 2002) telah terjadi peningkatan mutu gizi konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Skor mutu gizi pangan yang dicerminkan oleh skor PPH bergerak dari 55.2 (1993) menjadi 71.8 (2002). Namun seiring dengan krisis ekonomi yang terjadi telah menurunkan mutu gizi konsumsi pangan masyarakat dari skor 69.8 (1996) menjadi 62.4 (1999). Rendahnya mutu gizi terjadi akibat rendahnya tingkat kecukupan energi di satu sisi dan ketidakseimbangan komposisi pangan yang dikonsumsi. Selanjutnya disampaikan pula upaya-upaya yang diperlukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan untuk mencapai pola konsumsi pangan yang ideal (PPH). Upaya tersebut diantaranya adalah: upaya yang secara langsung dapat mempengaruhi perbaikan mutu gizi, seperti peningkatan pendapatan dan daya beli yang diiringi dengan perbaikan pengetahuan gizi. Peningkatan pengetahuan gizi memungkinkan pengelolaan sumberdaya secara lebih baik, sehingga masyarakat akan mampu memilih jenis pangan bermutu gizi tinggi dengan harga yang terjangkau.

Dalam rangka pembangunan ketahanan pangan, sesuai dengan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006-2009, disebutkan bahwa pada kurun waktu tersebut kualitas konsumsi pangan mencapai skor PPH minimal 80 (padi-padian 275 gr, umbi-umbian 100 gr, pangan hewani 150 gr, kacang-kacangan 35 gr, sayuran dan buah 250 gr). Diharapkan pula pada periode yang sama konsumsi pangan per kapita dapat memenuhi kecukupan energi minimal 2.000 kkal/hari dan protein sebesar 52 gram/hari (Dewan Ketahanan Pangan 2006).

(35)

dari pangan ruminansia dan unggas adalah: daging ruminansia 12 gram, daging unggas 22 gram, telur 17 gram, dan susu 14 gram (BKP 2006b).

Berdasarkan data Susenas yang telah diolah Badan Ketahanan Pangan, diperoleh skor PPH dari penduduk Indonesia tahun 1999-2005 mengalami peningkatan, adalah sebagai berikut: 66.3 (1999), 72.6 (2002), 77.5 (2003), 76.8 (2004), dan 79.1 pada tahun 2005 (BKP 2006b). Namun demikian komposisi pangan yang ada masih didominasi oleh kelompok padi-padian. Komposisi yang ideal sesuai dengan PPH, kelompok pangan ini seharusnya tidak lebih dari 50% dari total Angka Kecukuan Energi. Kelompok padi-padian pada periode tersebut

menyumbang lebih dari 60%. Hal ini sangat memprihatinkan karena

dikhawatirkan akan terjadi ketergantungan pada satu jenis pangan saja, yaitu beras.

Ketergantungan pada salah satu jenis pangan akan mengakibatkan sistem ketahanan pangan yang rapuh. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya diversifikasi pangan untuk meningkatkan ketahanan pangan tersebut. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002, diversifikasi atau penganekaragaman pangan dilakukan dengan cara meningkatkan keanekaragaman pangan, meningkatkan teknologi pengolahan dan produk pangan, serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Upaya sosialisasi diversifikasi diarahkan pada diversifikasi konsumsi pangan beragam, bergizi dan berimbang berbasis sumberdaya pangan lokal sesuai potensi daerah (Husodo dan Muchtadi 2004).

Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan

a. Pengetahuan Gizi

(36)

yang baik. Karena adanya faktor daya beli pangan yang rendah, keterbatasan waktu untuk mengolah makanan atau mempersiapkan makanan. Keluarga/ masyarakat miskin tidak dapat mengkonsumsi beraneka ragam pangan, meskipun mereka dekat dengan pasar yang menyediakan kebutuhan pangan dan memiliki pengetahuan gizi yang baik pula.

Pengetahuan gizi dapat mempengaruhi keragaman konsumsi pangan penduduk. Namun demikian pengaruh positif ini dapat ditiadakan/berubah oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah daya beli atau ekonomi, ketersediaan waktu untuk membeli, mengolah dan menyiapkan makanan, preferensi atau kesukaan pangan, kepercayaan terhadap jenis pangan, dan ketersediaan pangan. Selain faktor tersebut, review Hardinsyah (2007) menyebutkan ada faktor lain yang berpengaruh terhadap keragaman konsumsi pangan, yaitu pendidikan gizi, paparan media masa dan pengalaman gizi, usia kedua orang tua, dan partisipasi ibu dalam kegiatan sosial.

b. Pendapatan

Menurut Harper et al. dalam Suhardjo (1989) ada empat faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yag dikonsumsi, yaitu: produksi pangan untuk keperluan rumah tangga, pengeluaran untuk pangan rumah tangga, pengetahuan gizi, dan tersedianya pangan. Pengeluaran pangan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah subsidi pangan oleh pemerintah, pangan yang dibagi-bagikan ke masyarakat, jumlah dan ragam pangan yang dibeli, harga pangan di pasar, persediaan pangan yang dapat diterima di pasaran, jumlah pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan serta pendapatan rumah tangga. Dari hasil penelitian Martianto dan Ariani (2004), variabel pendapatan atau daya beli masyarakat merupakan faktor utama dalam konsumsi pangan. Dari hasil penelitiannya, ditemukan bahwa pada kondisi sebelum krisis ekonomi, konsumsi pangan mengalami peningkatan, dan sebaliknya pada saat krisis ekonomi konsumsi pangan mengalami penurunan.

(37)

berpengaruh, diantaranya adalah faktor ekonomi dan harga. Perubahan pendapatan secara perlahan-lahan dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik. Namun sebaliknya rendahnya pendapatan akan menyebabkan penurunan kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi.

Semakin tinggi penghasilan semakin menurun bagian penghasilan yang dialokasikan untuk membeli pangan. Bila penghasilan keluarga semakin membaik, maka jumlah uang yang dialokasikan untuk pembelian pangan meningkat, sampai tingkat tertentu dimana uang pembeli pangan itu tidak bertambah secara berarti atau dianggap tetap dan tidak banyak berubah. Hal tersebut sesuai dengan teori Engel yang menyatakan bahwa semakin sejahtera seseorang maka semakin kecil persentase pendapatannya untuk membeli pangan (Sumarwan 2003).

Menurut Khumaidi (1989), faktor ekonomi merupakan determinan penting yang mewarnai kebiasaan makan. Pada masyarakat dengan tingkat ekonomi yang tinggi/kuat, akan mempunyai kebiasaan makan yang cenderung beras, dan ada kecenderungan mengkonsumsi lebih dari cukup. Sementara bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi yang lebih rendah mempunyai kebiasaan makan yang mempunyai nilai gizi kurang dari angka kecukupan baik jumlah maupun mutunya. Pada wilayah perkotaan ditemukan adanya peningkatan pendapatan atau daya beli, diikuti oleh munculnya masalah gizi lebih dan disertai dengan gejala penyakit degeneratif (Susanto, 1994).

(38)

menengah ke bawah, sedangkan kelompok menengah atas pola konsumsinya lebih beragam dengan lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber protein dan vitamin.

c. Faktor Budaya

Sanjur (1982), mengemukakan bahwa banyak faktor yang berkait erat dengan konsumsi pangan. Dalam model multidimensional, digambarkan bahwa konsumsi pangan merupakan fungsi dari kebiasaan makan, preferensi, ideologi, dan sosial budaya. Dimana kebiasaan makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologik, psikologik, budaya dan sosial. Seseorang atau keluarga menganut kepercayaan tertentu mengenai makanan karena adanya tekanan sosial dari sistem budaya masyarakat, pada akhirnya akan menghasilkan sikap mental yang relatif konsisten di dalam proses pemilihan makanan. Tumbuh dan berkembangnya sikap mental tersebut terjadi melalui proses sosialisasi dalam keluarga, di mana keluarga memiliki acuan yang kuat untuk mengatur tentang makanan yang boleh dan tidak boleh untuk dikonsumsi.

Di wilayah yang terpencil, terisolir atau tertinggal dapat ditemukan pola konsumsi makan yang spesifik pada kalangan keluarga dalam masyarakat bersangkutan. Penduduk tersebut umumnya jarang berkomunikasi dengan media massa, dan akses terhadap informasi pangan dan gizi sangat terbatas (Susanto (1994). Madanijah (2006), menjelaskan bahwa kebudayaan suatu masyarakat berkekuatan untuk mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang terhadap pemilihan bahan makanan yang akan dikonsumsi. Dimana budaya adalah merupakan cara hidup manusia yang berfungsi menjamin kelestarian hidup dan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan pengalaman yang teruji dalam upaya memenuhi kebutuhan orang-orang yang tergabung dalam masyarakat yang bersangkutan. Budaya mengajarkan orang tentang cara bertingkah laku dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar biologi. Seseorang dapat menentukan apa yang akan digunakan sebagai makanan, untuk siapa, dan dalam keadaan bagaimana makanan tersebut dimakan.

(39)

gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan penduduk dan kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi (Madanijah 2006). Selamatan dan sesaji adalah tuntutan budaya, karenanya masyarakat berusaha untuk mematuhi. Makanan yang disajikan pada kegiatan tersebut kadang bermutu gizi tinggi, tetapi tidak untuk dikonsumsi keluarga akan tetapi dibagikan ke orang lain. Aturan agama yang melarang penganutnya untuk mengkonsumsi daging sapi, karena binatang tersebut dianggap suci, ataupun melarang umatnya untuk mengkonsumsi daging babi. Melihat kedua jenis pangan tersebut dilihat dari segi gizi cukup potensial sebagai pangan sumber protein hewani, karena peraturan dalam agama bersifat absolut, maka sebagai penganutnya akan mematuhi larangan tersebut.

Uraian tersebut di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa makanan dapat dijadikan sebagai identitas/fungsi budaya, makanan sebagai fungsi religi atau magis (Susanto 1991). Pada budaya daerah tertentu makanan dikaitkan dengan upacara khusus. Di daerah Bali ditemukan berbagai jenis jajanan/makanan yang digunakan sebagai sesaji dalam upacara keagamaan. Begitu pula dengan makanan pokok di beberapa wilayah Indonesia termasuk salah satu jenis makanan yang disakralkan. Beberapa contoh adalah: sebelum panen padi dilakukan upacara pemujaan kepada Dewi Sri, sebelum pohon sagu ditebang dilakukan upacara untuk Agustina.

d. Faktor Ekologi

(40)

untuk mempengaruhi jenis tanaman dan hewan yang dibudidayakan. Karena sifat ekologi antar wilayah berbeda, maka pola konsumsi antar wilayahpun berbeda.

Pola konsumsi pangan penduduk dapat berbeda antar wilayah maupun antar budaya. Jenis pangan yang dikonsumsi ditentukan oleh pangan yang diproduksi atau tersedia di lingkungannya. Kebiasaan makan terbentuk karena interaksi manusia dengan lingkungan fisik, sosial budaya dan ekonomi. Dengan demikian kebiasaan makan inipun dapat berubah dalam jangka panjang karena faktor lingkungan fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, peningkatan ekonomi keluarga, kemudahan untuk mengakses pangan termasuk

fast food dan iklan/promosi telah merubah perilaku dan kebiasaan makan penduduk Indonesia (Hardinsyah 2007).

Permintaan dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan

Pengertian

(41)

Guna mengetahui pengaruh perubahan harga terhadap perubahan permintaan, diperlukan suatu ukuran. Alat ukur untuk mengetahui secara kuantitatif dinamakan elastisitas permintaan. Elastisitas diartikan sebagai besarnya perubahan relatif dari suatu variabel yang dijelaskan yang disebabkan oleh perubahan relatif dari suatu variabel penjelas. Karena elastisitas merupakan perubahan dalam relatif maka besarnya nilai elastisitas dinyatakan dalam angka absolut tetapi dibaca dengan mempergunakan persentase (Kelana 1996). Oleh Sukirno (2005), elastisitas permintaan dibedakan pada tiga konsep yaitu: elastisitas permintaan harga, elastisitas pendapatan, dan elastisitas permintaan silang.

Nilai koefisien elastisitas berkisar antara nol dan tak terhingga. Elastisitas bernilai nol apabila perubahan harga tidak akan mengubah jumlah yang diminta, jumlah yang diminta tetap meskipun harga mengalami kenaikan atau penurunan. Sedangkan elastisitas bernilai tak terhingga terjadi apabila pada suatu harga tertentu pasar sanggup membeli semua barang yang ada di pasar. Suatu barang dikatakan tidak elastis apabila koefisien elastisitas permintaan antara nol dan satu, yaitu apabila persentase perubahan harga adalah lebih besar daripada persentase perubahan jumlah yang diminta. Dikatakan bersifat elastis apabila koefisien elastisitasnya bernilai lebih dari satu, dan persentase perubahan permintaan lebih besar daripada persentase perubahan harga.

Koefisien yang menunjukkan besarnya perubahan permintaan terhadap sesuatu barang apabila terjadi perubahan terhadap harga barang lain disebut elastisitas permintaan silang. Nilai elastisitas silang ini bernilai negatif, maka barang tersebut merupakan barang penggenap, saling melengkapi (barang komplementer). Yaitu apabila harga barang Y naik maka jumlah barang X yang diminta akan turun. Sedangkan nilai elastisitas silang bernilai positif, maka barang tersebut merupakan barang substitusí (saling menggantikan). Hal ini berarti harga barang Y naik maka jumlah barang X yang diminta akan naik pula (Kelana 1996 dan Sukirno 2005).

(42)

bahwa barang tersebut bersifat normal. Artinya kenaikan pendapatan akan menyebabkan kenaikan permintaan. Nilai elastisitas pendapatan negatif, dikatakan barang tersebut termasuk barang inferior. Terhadap barang inferior seseorang akan mengurangi permintaan apabila pendapatan bertambah (Kelana 1996 dan Sukirno 2005). Elastisitas pendapatan dikatakan tidak elastis apabila nilai koefisiennya kurang dari satu, dan elastisitas pendapatan disebut elastis apabila nilai koefisiennya lebih dari satu. Menurut Sukirno (2005), berbagai jenis makanan dan hasil pertanian mempunyai elastisitas pendapatan yang kurang elastis, pertambahan permintaan berkembang lebih lambat daripada pertambahan pendapatan.

Beberapa kajian mengenai elastisitas, di wilayah DI Aceh, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Irian Jaya menunjukkan hasil elastisitas harga sendiri komoditas pangan hewani negatif (Martianto 1995). Elastisitas negatif berarti kenaikan harga kelompok pangan hewani akan menurunkan kualitas konsumí pangan. Karena kenaikan harga akan menurunkan alokasi pengeluaran untuk komoditas pangan ini, hal tersebut sebenarnya tidak dikehendaki. Dari segi kualitas gizi pada umumnya pangan hewani mempunyai kualitas protein yang jauh lebih bagus dibandingkan dengan protein dari pangan nabati (Linder 1992, Hardinsyah dan Tambunan 2004). Pada umumnya protein hewani, unggas, dan ikan mempunyai proporsi asam amino esensial yang cukup, sementara itu biji-bijian dan kacang-kacangan cenderung rendah akan lisin dan kadang-kadang juga triptofan.

Hasil kajian Susenas untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dilakukan oleh Anwar (1996), menunjukkan bahwa permintaan konsumsi daging/telur/susu cukup responsif terhadap perubahan harga, sedangkan elastisitas konsumsi ikan terhadap perubahan harga bersifat inelastis. Permintaan konsumsi kacang-kacangan, bersifat elastis terhadap perubahan harga. Namun demikian permintaan konsumsi sayur/buah, bersifat elastis di perkotaan dan inelastis di perdesaan.

Sistem Permintaan Pangan

(43)

mengkaji permintaan terhadap suatu pangan kini telah berkembang dalam beberapa model. Model tersebut misalnya model permintaan parsial (persamaan tunggal). Dimana terdapat satu variabel tak bebas Y dan satu atau lebih variabel yang berpengaruh (penjelas/variabel X). Hubungan sebab akibat dalam model seperti itu berlangsung dari X ke Y (Gujarati 1978). Diantara variabel atau komoditas dianggap tidak ada interaksi.

Menurut Setiawan (1992), pada analisis persamaan tunggal sering dijumpai beberapa masalah diantaranya adalah: a). diantara komoditas dianggap tidak ada interaksi, b). pada kenyataannya jumlah barang yang diminta dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri, harga barang lain, pendapatan, dan lain-lain. Adanya saling keterkaitan diantara komoditas maka metode yang digunakan harus berupa metode sistem. Melihat kenyataan tersebut maka dibuatlah model permintaan simultan.

Gujarati (1978), mencontohkan beberapa model persamaan simultan, diantaranya adalah model Keynes, model ini digunakan untuk menetapkan pendapatan. Kelana (1996), mencontohkan persamaan Slutksy untuk melihat pengaruh perubahan harga terhadap jumlah barang yang diminta. Pada model Slutsky ini terdapat dua efek yang bekerja, yaitu efek substitusi jika terjadi perubahan permintaan yang dihubungkan dengan terjadinya perubahan pertukaran antara dua barang, dan efek pendapatan jika terjadi perubahan permintaan yang dihubungkan dengan daya beli.

Deaton dan Muelbauer (1983), memperkenalkan model permintaan simultan yang dikenal dengan Almost Ideal Demand System (AIDS). Model ini banyak dipakai untuk menganalisa data guna menghitung besaran elastisitas harga sendiri, harga silang, dan elastisitas pendapatan beberapa komoditas. Beberapa penelitian permintaan pangan menggunakan model secara sistem di Kawasan Timur Indonesia (KTI) adalah Rachman (2001). Model yang sama digunakan oleh Ariningsih (2002) dan Nurfarma (2005) untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap permintaan pangan.

(44)

bahwa permintaan pangan di perdesaan di KTI lebih responsif terhadap perubahan harga dibanding perkotaan, kecuali untuk umbi-umbian, sayuran, dan minyak goreng. Secara umum semakin tinggi tingkat pendapatan, permintaan pangan semakin kurang responsif terhadap perubahan harga pangan yang bersangkutan. Terdapat hubungan substitusi antara beras dengan serealia lain, umbi-umbian, mie/terigu, makanan jadi, susu, kacang-kacangan dan minyak goreng. Di wilayah KTI semua komoditas pangan yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh tanda positif dari nilai elastisitas pendapatan.

Ariningsih (2001) menduga parameter permintaan pangan di Jawa dengan menggunakan model AIDS untuk kelompok pangan ikan segar, ikan awetan, daging ternak, daging unggas, telur, susu, kacang-kacangan, dan serealia. Pada tahun 2005 Nurfarma menggunakan model yang sama untuk Provinsi Sumatera Barat. Kelompok pangan yang diduga parameter permintaannya adalah beras, umbi, ikan, daging, telur+susu, sayur, kacang, buah, minyak+lemak, minuman+makanan jadi, bumbu, dan pangan lainnya.

Kebutuhan Pangan Wilayah

Estimasi dibuat adalah dalam rangka memberi masukan bagi para pengambil kebijakan. Beberapa penelitian menggunakan pendekatan pendapatan dan pendekatan ideal (PPH) untuk membuat proyeksi kebutuhan pangan. Melalui pendekatan pendapatan, permintaan pangan yang dilihat adalah hubungan antara pendapatan/kapita/bulan dengan konsumsi beberapa jenis pangan. Ariani (1993) memproyeksikan kebutuhan pangan pada Repelita VI, dan Martianto (1995) memproyeksikan permintaan pangan hewani pada Pelita VI.

(45)

pangan tersebut berbentuk persamaan double Ln. Martianto (1995) memproyeksikan permintaan pangan hewani, dan umumnya persamaan regresi yang cocok untuk hubungan antara konsumsi ikan dan pengeluaran adalah berbentuk semi Ln.

Anwar (1996) memproyeksikan kebutuhan pangan tahun 2005 dengan pendekatan pendapatan, dimana elastisitas permintaan pangan terhadap pendapatan dikoreksi dengan proporsi pengeluaran pangan menurut wilayah perdesaan dan perkotaan. Hasil proyeksi permintaan pangan dilakukan dengan beberapa skenario, menunjukkan bahwa pada laju pertumbuhan ekonomi yang sama semakin rendah laju pertumbuhan penduduk, semakin tinggi laju peningkatan permintaan beras, jagung, ketela pohon, kedele, pangan hewani, gula pasir, dan minyak goreng. Sedangkan pada laju pertumbuhan penduduk yang sama semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi permintaan pangan per kapita. Dari hasil proyeksi tersebut didapatkan informasi bagi para pengambil kebijakan untuk mengantisipasi peningkatan produksi guna mencukupi kebutuhan pangan penduduk. Antisipasi tersebut diantaranya adalah dengan menyediakan lahan pertanian untuk meningkatkan produksi baik dengan meningkatkan produktivitas lahan maupun dengan memperluas lahan pertanian.

(46)

KERANGKA PEMIKIRAN

Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan diantaranya adalah faktor ekonomi, sosial budaya dan sebagainya (Madanijah 2006). Faktor ekonomi yang cukup dominan sebagai determinan konsumsi pangan adalah pendapatan dan harga pangan. Adanya perubahan pendapatan maupun harga pangan akan mengakibatkan respon terhadap permintaan konsumsi pangan tersebut. Respon permintaan pangan sebagai cerminan perilaku konsumsi pangan dapat diketahui berdasarkan elastisitas permintaan komoditas pangan tersebut. Demikian pula dengan bertambahnya jumlah penduduk akan mengakibatkan meningkatnya jumlah kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah.

Dari konsumsi pangan tersebut dapat dinilai tingkat kecukupan dan mutu gizinya yang ditunjukkan oleh keragaman pangannya, yang akan dihitung melalui pendekatan Pola Pangan Harapan. Informasi mengenai keragaan konsumsi dan perilaku konsumsi pangan dalam kaitannya dengan perubahan harga pangan dan pendapatan berguna sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan dan program pencapaian percepatan diversifikasi pangan.

Kerangka pemikiran dari penelitian ini ditunjukkan oleh bagan berikut:

: diteliti : tidak diteliti

Konsumsi pangan: - Tingkat kecukupan - Mutu gizi

Pengetahuan gizi Faktor budaya Faktor lain

Kebutuhan untuk konsumsi pangan Permintaan pangan

Pendapatan/ pengeluaran

pangan Harga pangan (pangan itu sendiri

& pangan lain)

(47)

METODE PENELITIAN

Desain, Sumber dan Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data Susenas Modul Konsumsi tahun 2005 yang dikumpulkan dengan desain cross sectional. Data Susenas Modul Konsumsi terdiri atas konsumsi makanan dan bukan makanan. Konsumsi makanan dirinci menjadi 215 jenis yang dikumpulkan baik dalam bentuk kuantitas maupun nilainya. Data lain yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah data proyeksi penduduk tahun 2000-2025 yang merupakan hasil sensus tahun 2000, dan data pertumbuhan ekonomi.

Susenas merupakan survei rumah tangga dengan lingkup nasional dan dilakukan secara sampel. Kekuatan estimasinya tidak saja pada tingkat nasional tetapi juga representatif sampai pada tingkat provinsi dan dapat dibedakan atas wilayah perkotaan dan perdesaan. Pada hakekatnya ada 2 (dua) kelompok variabel yang dikumpulkan dalam Susenas, yaitu Kor dan Modul. Data variabel kor dikumpulkan setiap tahun dengan publikasi Statistik Kesejahteraan Rakyat, sedangkan variabel modul terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok dan secara bergiliran dikumpulkan 3 tahun sekali. Ketiga kelompok modul tersebut adalah : (1) konsumsi/pengeluaran, (2) perumahan dan kesehatan, (3) sosial budaya dan pendidikan.

Ukuran sampel modul Susenas 2005 sebesar 68 288 rumah tangga tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kerangka sampel yang digunakan terdiri dari 3 jenis yaitu: kerangka sampel untuk pemilihan blok sensus, kerangka sampel untuk pemilihan sub-blok sensus, dan kerangka sampel untuk pemilihan rumah tangga. Kerangka sampel blok sensus dibedakan menurut daerah perkotaan dan perdesaan. Kerangka sampel untuk pemilihan sub blok sensus adalah daftar sub blok sensus yang terdapat dalam blok sensus terpilih dengan jumlah lebih dari 150 rumah tangga.

(48)

sensus terpilih dipilih secara sistematik sejumlah 16 rumahtangga. Pada blok sensus yang muatannya lebih dari 150 rumahtangga, dilakukan pemilihan sub-blok sensus secara PPS-sistematik (BPS 2006b ).

Pengumpulan data Susenas 2005 dilakukan pada bulan Juni-Juli. Referensi waktu survei yang digunakan adalah seminggu yang lalu untuk konsumsi makanan dan sebulan atau setahun yang lalu untuk konsumsi bukan makanan. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan tidak memperhatikan asal barang dan terbatas pada pengeluaran untuk kebutuhan rumahtangga saja. Pengeluaran tidak termasuk konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan pada pihak lain. Berdasarkan asalnya konsumsi makanan dirinci menurut: (1) pembelian, dan (2) produksi sendiri, pemberian atau lainnya. Konsumsi makanan yang dikumpulkan selain dalam bentuk kuantitas juga dinilai dalam bentuk Rupiah.

Pada penelitian ini, pemilihan provinsi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan provinsi terpilih memiliki keragaman pola konsumsi pangan yang berbeda (unik), dimana: Provinsi Sumatera Barat merupakan wilayah memiliki pola konsumsi pangan pokok beras, dengan pangan hewani relatif menonjol; Provinsi Jawa Tengah memiliki pola konsumsi pangan relatif beragam dan sumber protein nabati relatif menonjol; sedangkan Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki pola konsumsi beras dengan sumber protein hewani didominasi oleh produk perikanan. Selanjutnya analisis yang lebih mendalam pada masing-masing provinsi, akan dibedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Pengolahan dan Analisis Data

Tingkat Kecukupan Konsumsi

Gambar

Tabel 1. Pengelompokan jenis pangan, persentase, bobot, dan skor
Tabel 2. Tingkat kecukupan energi di ProvinsiSumatera Barat, Jawa Tengah,dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
Tabel 3. Persentase rumah tangga menurut tingkat kecukupan energi di ProvinsiSumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
Tabel 4. Tingkat kecukupan protein di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah,dan Sulawesi Tenggara tahun 2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Maluku Sumatera Utara Sulawesi Utara Bengkulu Sumatera Barat Sulawesi Tengah Jawa Timur Lampung Kalimantan Tengah. Jawa Tengah Sulawesi Barat Sulawesi Selatan

JAWA TIMUR JAWA TENGAH JAWA BARAT LAMPUNG BALI NUSA TENGGARA BARAT DKI JAKARTA SULAWESI UTARA BANTEN SUMATERA SELATAN NUSA TENGGARA TIMUR KALIMANTAN BARAT SUMATERA UTARA

Penelitian ini bertujuan: Untuk mengetahui Apakah ada peningkatan Motivasi belajar siswa melalui Model Make a Match dengan tidak menggunakan model Make a Match

Pada karya musik “Masih Jawa” komposer lebih memilih pendekatan Arrangement, karena dalam karya musik ini komposer menulis kembali kedalam formasi lain dengan

Metode berbasis lexicon umumnya menggunakan kamus yang berisi kata-kata opini untuk menentukan suatu sentimen atau polaritas (positif atau negatif) dari suatu data teks,

Pengaruh kombinasi penggunaan pupuk batuan fosfat terhadap tinggi tanaman menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingan penggunaan SP-36 dan pengaruh tunggal penggunaan

valve dan sesudah shutdown valve. 2) Apabila ditinjau dari nilai time respons shutdown valve, kinerja shutdown valve masih tergolong bagus, karena dapat menutup aliran fluida