• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015 adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2009

Sri Catur Lestari Widiasih

ii SRI CATUR LESTARI WIDIASIH. Actual Food Consumption Analysis and Food Demand Estimation in West Sumatera, Central Java, and Southeast Sulawesi Provinces Year 2005-2015. Under direction of DRAJAT MARTIANTO, and YAYAT HERYATNO

Food diversification program is one among the food security strategies in Indonesia. The goal of the program is to improve food diversity of the Indonesian people’s food consumption to achieve the balance diet. The national indicator of balance diet is reflected at the achievement of desirable dietary pattern (=PPH or

Pola Pangan Harapan). The DDP score of 100 is expected to be achieved at year 2015. Although food diversification is among the oldest nutrition program in Indonesia, however after 50 years its implementation the results are still under expectation. In 2007, the National Food Security Agency try to accelerate the efforts through acceleration program of food diversity to achieve the target on time. A study on the present achievement of food diversification status and its estimation in 2015 is therefore become an interesting field to be elaborated. The objectives of the study were to assess the nutrient adequacy-particularly energy and protein adequacy level, food diversity (DDP score), estimate the response of food demand related to change in food price and income using Almost Ideal Demand System (AIDS) model, and estimate provincial food demand for human consumption only from 2008 until 2015. The study shows that the average energy intake has already exceeded the RDA, except in Central Java (98.5% or 1,969 kcal). In general, energy adequacy level found to be higher at rural than urban areas due to easier access of carbohydrate sources, but on the contrary the protein adequacy level was found higher in urban due to higher purchasing power on protein sources of food. The DDP score in West Sumatera was 82.4; Southeast Sulawesi 82.3; and Central Java 80.5. Demand of read meat is more responsive to change in price than other foods. On the other hand, demand of cereals is more responsive to change in price than poultry meat and eggs and milk, except in Central Java. Food demands in rural areas are more responsive to the price changes than in urban, except in West Sumatera: wheat flour, fresh fish, oily seed, sugar, and vegetable and fruit; in Central Java: poultry meat, ruminant meat, fresh fish, and sugar. The demand of urban community is greatly dependent to price change. In Central Java and Southeast Sulawesi, almost all animal food is more responsive to change in income than cereals. Among 14 analyzed food groups, generally, food demand in rural is more responsive to change in income than urban, except in West Sumatera: eggs and milk, oil and fats, oily seed, legumes, sugar, and vegetables and fruits; in Central Java: wheat flour, ruminant meat, canned fish, oily seed, and legumes. Result of the estimation in year 2015 shows that consumption of milk and fruits in all provinces still do not reach ideal consumption level yet, while rice consumption in all provinces exceed ideal consumption level. These figures indicate a pessimistic achievement of DDP score of 100 at 2015, except there is a great strategy, including the socio-economic construct to achieve it.

ii SRI CATUR LESTARI WIDIASIH. Analisis Konsumsi dan Kebutuhan untuk Konsumsi Pangan di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara Tahun 2005-2015. Dibimbing oleh DRAJAT MARTIANTO, dan YAYAT HERYATNO

Saat ini Pemerintah Indonesia sedang berupaya keras melaksanakan kegiatan percepatan diversifikasi pangan, dengan harapan pada tahun 2015 konsumsi pangan masyarakat akan mendekati pola pangan harapan (PPH) dengan skor maksimal 100. Oleh karenanya penelitian tentang konsumsi dan permintaan pangan yang dapat memberikan gambaran pencapaian diversifikasi pangan sangat penting untuk dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data Susenas modul konsumsi tahun 2005. Tujuan penelitian adalah: (1) menganalisis tingkat kecukupan energi dan protein serta keragaman konsumsi pangan berdasarkan pendekatan PPH, (2) menganalisis respon permintaan pangan terkait perubahan harga pangan, dan perubahan pendapatan, (3) melakukan estimasi kebutuhan pangan wilayah pada tahun 2008-2015 berbasis data Susenas tahun 2005.

Selain Susenas, data lain yang digunakan diantaranya adalah data proyeksi penduduk hasil sensus tahun 2000, dan data pertumbuhan ekonomi. Lokasi penelitian adalah Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Tenggara yang dibedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan.

Data yang dianalisis meliputi: Tingkat Kecukupan Energi (TKE) dan Protein (TKP); keragaman konsumsi; elastisitas permintaan pangan; dan estimasi kebutuhan konsumsi pangan tahun 2008-2015. TKE dan TKP dihitung sebagai hasil perbandingan antara konsumsi energi dan protein aktual dengan angka kecukupan energi (AKE) sebesar 2.000 kkal/kapita/hari dan protein (AKP) sebesar 52 gram/kapita/hari yang dinyatakan dalam persen. AKE dan AKP menggunakan rekomendasi WNPG 2004. Selanjutnya tingkat kecukupan energi dikelompokkan menurut klasifikasi Departemen Kesehatan (1996) yaitu: (1) TKE: <70% defisit berat, (2) TKE: 70-79% defisit sedang, (3) TKE: 80–89% defisit ringan, (4) TKE: 90-119% normal, dan (5) TKE >120% kelebihan (BKP 2006). Skor keragaman konsumsi pangan dihitung dengan pendekatan skor PPH.

Analisis permintaan pangan dilakukan dengan menggunakan sistem permintaan simultan model Almost Ideal Demand System(AIDS). Dengan model ini selanjutnya dihitung nilai elastisitas dari setiap kelompok pangan. Pada penelitian ini data konsumsi pangan dikelompokkan menjadi 14 kelompok pangan yaitu: (1) padi-padian, (2) terigu, (3) umbi-umbian, (4) daging unggas, (5) daging ruminansia, (6) ikan segar, 7) ikan olahan, (8) telur dan susu, (9) minyak dan lemak, (10) buah/biji berminyak, (11) kacang-kacangan, (12) gula, (13) sayur dan buah, (14) lainnya.

Persamaan regresi digunakan untuk membuat estimasi kebutuhan konsumsi pangan berdasarkan respon permintaan pangan terhadap perubahan pendapatan. Kebutuhan pangan strategis yang dianalisis adalah beras, terigu, jagung, ubi kayu, daging unggas, daging ruminansia, ikan segar, ikan olahan, telur, susu, kedele, sayur, dan buah. Analisis kebutuhan pangan dihitung dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan ekonometrika dan pendekatan ideal berdasarkan pola pangan setempat dengan skor PPH tahun 2015 sebesar 100.

iii kecukupannya kecuali di Jawa Tengah, dengan tingkat kecukupan energi sebesar 98.5% (1.969 kkal). Pada umumnya konsumsi energi di perdesaan lebih tinggi daripada perkotaan, kecuali Sulawesi Tenggara. Berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan energi, masih terdapat lebih dari 20% rumah tangga di tiga provinsi baik di perkotaan maupun perdesaan yang mengalami defisit energi (TKE< 90%). Konsumsi protein di tiga provinsi telah melebihi tingkat kecukupan baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Secara umum konsumsi protein hewani di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, diduga di perkotaan lebih banyak jenis pangan yang tersedia dan lebih mudah untuk mengakses pangan.

Hasil analisis keragaman pangan menunjukkan bahwa di ketiga provinsi skor PPH Sumatera Barat 82.4; Sulawesi Tenggara 82.3 dan Jawa Tengah 80.5. Terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan sesuai PPH, maka secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang defisit dalam suatu kelompok pangan. Susunan pangan sesuai PPH, selain memenuhi kecukupan gizi juga mempertimbangkan keseimbangan gizi, daya cerna, daya terima, kuantitas, dan kemampuan daya beli. Selanjutnya melalui PPH dapat dinilai keberhasilan dari upaya diversifikasi pangan.

Ditinjau dari segi jenisnya, terlihat bahwa masyarakat di ketiga provinsi masih sangat tergantung pada satu jenis makanan yaitu beras sebagai pangan pokok. Apabila terus berlanjut, dikhawatirkan kemampuan daerah untuk menyediakan pangan beras akan menurun. Hal ini bisa terjadi karena permintaannya meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Guna menghindari kejadian tersebut, sosialisasi/pengenalan pangan sumber karbohidrat jenis lain harus terus digalakkan.

Keragaman konsumsi pangan di perdesaan relatif lebih buruk dibandingkan di perkotaan. Di ketiga provinsi skor PPH di perdesaan kurang dari 80, sementara di perkotaan berkisar antara 82.5 (Jawa Tengah) hingga 93.3 (Sulawesi Tenggara). Di perdesaan Sulawesi Tenggara skor PPH baru mencapai 78.7, sedangkan di perdesaan dua provinsi lainnya hampir sama yaitu sekitar 79. Banyak konsumsi pangan yang harus ditingkatkan hingga mencapai nilai ideal, pangan tersebut diantaranya adalah pangan hewani, sayur buah, dan kacang-kacangan.

Hasil analisis elastisitas harga menunjukkan bahwa sebagian besar pangan bersifat inelastis kecuali sayur buah di Sumatera Barat (semua wilayah) dan jenis pangan lainnya di Jawa Tengah (perkotaan+perdesaan dan perkotaan). Apabila dibedakan menurut wilayah, secara umum permintaan pangan di perdesaan lebih responsif terhadap perubahan harga dibandingkan perkotaan.

Hasil kajian di tiga provinsi menunjukkan bahwa semua jenis pangan yang dianalisis bersifat barang normal yang ditunjukkan oleh nilai elatisitas pendapatan yang bertanda positif. Hampir semua jenis pangan permintaannya inelastis (<1), kecuali di Sumatera Barat untuk umbi-umbian (perkotaan+perdesaan dan perdesaan), gula dan buah biji berminyak (perkotaan); di Jawa Tengah untuk buah biji berminyak (perkotaan) dan ikan segar (perdesaan), serta daging ruminansia di Sulawesi Tenggara. Umbi-umbian di Sumatera Barat bersifat elastis, diduga dari pangan tersebut merupakan barang mewah misalnya kentang. Diantara pangan umbi-umbian, kentang dikonsumsi dalam jumlah paling besar. Demikian pula dengan daging ruminansia di Sulawesi Tenggara termasuk barang mewah dan diduga masyarakat cukup menggemarinya sehingga elastis. Kenaikan pendapatan

iv sebesar 15.05%. Di Jawa Tengah dan Sulawesi Tenggara, pangan hewani lebih elastis dibandingkan padi-padian. Pada umumnya di ketiga provinsi padi-padian bersifat komplementer terhadap berbagai jenis pangan kecuali terhadap pangan lainnya di Sumatera Barat, ikan olahan di Jawa Tengah, serta terigu dan daging unggas di Sulawesi Tenggara.

Hasil estimasi kebutuhan pangan tahun 2015 menurut pola pangan di tiga provinsi umumnya menunjukkan beberapa pangan diperkirakan akan dikonsumsi melebihi jumlah ideal, namun ada beberapa pangan yang konsumsinya kurang dari jumlah ideal. Hal ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan gizi dalam pola konsumsi pangan masyarakat di ketiga provinsi. Diperkirakan pada tahun 2015 di Sumatera Barat konsumsi aktual dan ideal (ditulis dalam kurung) per kapita adalah: beras 141 kg (96 kg), daging unggas 9 kg (6 kg), ikan segar 29 kg (18 kg), telur 11 kg (10 kg), susu 4 kg (21 kg), kedele 5 kg (7 kg), sayur 78 kg (67 kg), dan buah 37 kg (44 kg); dan diperkirakan kebutuhan aktual dan ideal (ditulis dalam kurung) di wilayah ini adalah: beras 661.586 ton (448.387 ton), daging unggas 42.443 ton (26.799 ton), ikan segar 134.640 ton (83.528 ton), telur 52.539 ton (45.915 ton), susu 20.946 ton ( 96.382 ton), kedele 24.553 ton (34.367 ton), sayur 365.124 ton (314.867 ton), dan buah 173.688 ton (204.931 ton). Dengan demikian terdapat kesenjangan yaitu kelebihan kebutuhan untuk beras 213.198 ton (47.55%), daging unggas 15.644 ton (58.38%), ikan segar 51.112 ton (61.19%), telur 6.624 ton (14.43%), dan sayur 50.257 ton (15.96%); serta kekurangan kebutuhan untuk susu 75.436 ton (78.27%), kedele 9.815 ton (28.56%), dan buah 31.242 ton (15.25%). Di Jawa Tengah diperkirakan konsumsi aktual dan ideal per kapita adalah: beras 110 kg (89 kg), daging unggas 7 kg (8 kg), ikan segar 13 kg (8 kg), telur 8 kg (10 kg), susu 4 kg (24 kg), kedele 15 kg (9 kg), sayur 72 kg (68 kg), dan buah 32 kg (43 kg); sedangkan perkiraan kebutuhan aktual dan ideal untuk beras 3.626.501 ton (2.939.613 ton), daging unggas 216.802 ton (277.164 ton), ikan segar 422.407 ton (272.914 ton), telur 256.982 ton (333.241 ton), susu 120.870 ton (773.627 ton), kedele 488.341 ton (305.351 ton), sayur 2.377.077 ton (2.240.543 ton), dan buah 1.062.208 ton (1.408.148 ton). Terdapat kesenjangan yaitu kelebihan kebutuhan untuk beras 686.888 ton (23.37%), ikan segar 149.493 ton (54.78%), kedele 182.990 ton (59.93%), dan sayur 136.534 ton (6.09%); serta kekurangan kebutuhan untuk daging unggas 60.362 ton (21.78%), telur 76.259 ton (22.88%), susu 652.757 ton (84.38%), dan buah 345.940 ton (24.57%). Diperkirakan pada tahun 2015 di Sulawesi Tenggara konsumsi aktual dan ideal per kapita adalah: beras 133 kg (91 kg), ikan segar 53 kg (47 kg), telur 6 kg (4 kg), susu 4 kg (19 kg), kedele 4 kg (5 kg), sayur 59 kg (50 kg), dan buah 51 kg (58 kg); dan diperkirakan kebutuhan aktual dan ideal untuk beras 351.938 ton (242.240 ton), ikan segar 141.373 ton (124.898 ton), telur 15.196 ton (9.691 ton), susu 10.171 ton (50.886 ton), kedele 10.119 ton (13.879 ton), sayur 157.653 ton (131.747 ton), dan buah 135.588 ton (152.828 ton). Terdapat kesenjangan yaitu kelebhan kebutuhan untuk beras 109.698 ton (45.28%), ikan segar 16.475 ton (13.19%), telur 5.505 ton (56.81%), sayur 25.906 ton (19.66%); serta kekurangan kebutuhan untuk susu 40.715 ton (80.01%), kedele 3.759 ton (27.09%), dan buah 17.240 ton (11.28%).

Kata kunci: diversifikasi pangan,Almost Ideal Demand System(AIDS), permintaan pangan

v

Dokumen terkait