• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum Wilayah

Berdasarkan BPS (2006b), Kabupaten Cirebon merupakan wilayah yang masih terdapat dalam wilayah administrasi Jawa Barat (perbatasan antara Jawa Barat dengan Jawa Tengah). Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Kabupaten Cirebon berada pada posisi 108040'-108048' Bujur Timur dan 6030'- 7000' Lintang Selatan. Sebelah utara Kabupaten Cirebon berbatasan dengan wilayah Kabupaten Indramayu, sebelah barat laut berbatasan dengan wilayah Kabupaten Majalengka, sebelah selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kuningan, dan sebelah timur berbatasan dengan wilayah Kotamadya Cirebon dan Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).

Luas Kabupaten Cirebon adalah 990,36 km2 dengan jarak terjauh dari barat hingga timur 54 km dan dari utara hingga selatan 39 km. Kabupaten Cirebon berada pada ketinggian 0-130 m diatas permukaan laut (mdpl) dengan jenis tanah Litasol, Aluvial, Grumosol, Mediteran, Latasol, Potsolik, Regosol, dan Gleihumus. Faktor iklim dan curah hujan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh keadaan alamnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pantai terutama daerah bagian utara, timur, dan barat. Daerah bagian selatan merupakan daerah perbukitan (BPS 2006b).

Salah satu sumber devisa bagi Kabupaten Cirebon adalah sektor perikanan (no empat setelah industri rotan, batik, dan benang tenun, dilihat dari nilai ekspor non migas tahun 2003) (BPS 2005). Perikanan ini meliputi perikanan darat (kolam dan waduk), perikanan tambak, perikanan laut, dan ikan olahan. Ikan olahan merupakan subsektor perikanan yang mampu menghasilkan nilai produksi terbesar diantara perikanan lainnya (BPS 2006b).

Desa Grogol merupakan salah satu desa di Kabupaten Cirebon yang tipologi desanya adalah desa pantai/pesisir. Jenis budidaya ikan tawar/payau yang terdapat di Desa Grogol adalah Tambak sebesar 12.5 ha yang rata-rata produksinya satu ton per tahun. Jenis budidaya ikan air laut berupa empang/kolam seluas 33 ha dengan produktifitas dua ton per tahun (Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon 2005).

Jarak terdekat Desa Grogol ke ibukota kecamatan adalah 5 km, dengan lama tempuh kurang lebih 0,15 jam menggunakan kendaraan umum (angkutan kota). Jarak terdekat Desa Grogol ke ibukota kabupaten adalah 15 km, lama

tempuh 1,5 jam, dan kendaraan umum yang dapat digunakan adalah angkutan kota (Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon 2005).

Desa Grogol mempunyai rata-rata curah hujan 1200-1300 mm dengan jumlah bulan hujan tiga bulan. Suhu rata-ratanya mencapai 28-300C. Ketinggian Desa Grogol mencapai 2 mdpl, yang merupakan wilayah datar. Tekstur tanah Desa Grogol berupa lempengan yang berwarna kehitaman dengan kedalaman 1- 2 m. Desa Grogol mempunyai luas wilayah 173 ha yang terdiri dari (74.7 ha) tanah sawah (Tabel 3). Tanah sawah terdiri dari sawah irigasi serta sawah tadah hujan. Selain tanah sawah, di Desa Grogol juga terdapat tanah basah, tanah kering, serta tanah fasilitas umum seperti lapangan, perkantoran pemerintah desa, dan yang lainnya (Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon 2005).

Tabel 3. Potensi sumberdaya alam Desa Grogol

Potensi Sumber Daya Alam Luas (ha) Persentase (%)

Tanah Sawah 74,7 43,2

Tanah Basah 55,6 32,1

Tanah Kering 36,3 21,0

Fasilitas Umum 6,4 3,7

Total 173 100,0

Sumber : Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon (2005)

Berdasarkan data Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon (2005), penduduk Desa Grogol berjumlah 4435 orang. Sebagian besar penduduk Desa Grogol termasuk ke dalam kelompok keluarga miskin (Keluarga Pra-Sejahtera dan Keluarga Sejahtera 1). Kategori kemiskinan di Desa Grogol berdasarkan kriteria kemiskinan BKKBN terdapat sebanyak 413 Keluarga Pra-Sejahtera (KPS), 349 Keluarga Sejahtera 1 (KS1), 209 Keluarga Sejahtera 2 (KS2), 156 Keluarga Sejahtera 3 (KS3), dan 92 Keluarga Sejahtera 3+ (KS3+).

Tabel 4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terakhir penduduk di Desa Grogol masih relatif rendah. Hampir separuh (44.5%) penduduk desa Grogol yang tercatat dalam data Potensi Desa tahun 2005 tidak tamat SD. Terdapat 48 orang yang tamat S1 dan hanya 2 orang yang tamat S2. Berdasarkan BPS (2007), tingkat pendidikan TK dan belum tamat SD/Sederajat tergolong ke dalam tingkat pendidikan dasar.

Tabel 4. Sebaran penduduk Desa Grogol berdasarkan pendidikan terakhir Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%)

Belum sekolah 570 16,5

Tidak pernah sekolah 378 10,9

Tidak tamat SD 1533 44,5 Tamat SD/Sederajat 467 13,5 Tamat SLTP/Sederajat 278 8,1 Tamat SLTA/Sederajat 156 4,5 Tamat D-1 2 0,1 Tamat D-2 7 0,2 Tamat D-3 7 0,2 Tamat S-1 48 1,4 Tamat S-2 2 0,1 Total 3448 100,0

Sumber : Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon (2005)

Berdasarkan data Potensi Desa (Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon 2005), sebanyak 1798 orang (68.9%) mempunyai matapencaharian sebagai nelayan (Gambar 3). Warga Desa Grogol juga ada yang mempunyai matapencaharian lain selain melaut, seperti bertani, menjadi buruh tani, swasta, pegawai negeri, pengrajin, pedagang, peternak, dan sebagainya. Berikut gambaran mengenai distribusi penduduk Desa Grogol berdasarkan jenis matapencaharian:

Karakteristik Keluarga Jumlah Anggota Keluarga

Jumlah anggota keluarga nelayan contoh berkisar antara 2-12 orang dengan rata-rata anggota keluarga sebesar 5,5 ± 2,2 orang (Tabel 5). Sebanyak 38,5% keluarga nelayan contoh tergolong keluarga kecil. Terdapat 36,9% keluarga yang tergolong keluarga sedang, dan 24,6% keluarga nelayan contoh tergolong keluarga besar.

Suatu keluarga tergolong keluarga kecil apabila jumlah anggota keluarga kurang dari lima orang. Suatu keluarga dikatakan keluarga sedang apabila anggota keluarganya berjumlah lima sampai enam orang, dan keluarga tersebut dikatakan keluarga besar bila anggota keluarganya berjumlah lebih dari enam orang (BKKBN 1998 dalam Rahmaulina 2007).

Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan jumlah anggota keluarga Jumlah Anggota

Keluarga (orang)

Pra sejahtera Sejahtera Total n % n % n % 4 7 26,9 18 46,2 25 38,5 5-6 10 38,5 14 35,9 24 36,9 7 9 34,6 7 17,9 16 24,6 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 6,3 ± 2,7 5,1 ± 1,6 5,5 ± 2,2

Hasil uji beda (Independent sampel t-test) menunjukkan perbedaan yang signifikan antara rata-rata jumlah anggota keluarga nelayan kedua kelompok sampel (p<0,05) (Lampiran 3). Rata-rata jumlah anggota keluarga nelayan pra sejahtera adalah 6,3 ± 2,7 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga nelayan sejahtera lebih rendah dibanding rata-rata jumlah anggota keluarga pra sejahtera, yaitu 5,1 ± 1,6 orang. Sebanyak 38,5% keluarga nelayan contoh pra sejahtera tergolong keluarga sedang, sedangkan sebesar 46,2% keluarga nelayan contoh sejahtera tergolong keluarga kecil.

Menurut Damet al. (1976) dalam Penny (1990), pertumbuhan penduduk adalah faktor kunci yang menyebabkan dan mempertahankan adanya kemiskinan. Menurut Loppies (1998), penelitian Perisse dan Kamoun (1982) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh langsung terhadap kecukupan konsumsi pangan keluarga tersebut. Menurut Suhardjo (1989), faktor budaya seperti besar keluarga berpengaruh besar pada konsumsi pangan sehingga sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara.

Usia Kepala Keluarga dan Istri

Usia kepala keluarga nelayan contoh berkisar antara 25-70 tahun dengan rata-rata 40,5 ± 12,0 tahun (Tabel 6). Lebih dari setengah keluarga nelayan contoh (64.6%) usia kepala keluarganya tergolong ke dalam kelompok dewasa awal (18-40 tahun), sedangkan kepala keluarga (suami) nelayan contoh yang tergolong dewasa menengah terdapat sebanyak 29,2%, dan yang tergolong dewasa lanjut hanya 6,2%.

Rata-rata usia istri keluarga nelayan contoh sebesar 36,5 ± 10,4 tahun dengan kisaran usia antara 20-66 tahun. Lebih dari setengah (69,23%) istri keluarga nelayan contoh termasuk dalam kategori dewasa awal dan hanya 1,5% yang tergolong dewasa lanjut. Menurut Papalia dan Olds (1981), masa kedewasaan seseorang dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu young adult/dewasa awal (18-40 tahun), middle life/dewasa menengah (40-65 tahun), dan late adulthood/dewasa lanjut (>65 tahun).

Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan usia kepala keluarga dan istri Kriteria Usia Pra sejahtera Sejahtera Total

n % n % n % Kepala keluarga (suami)

Dewasa awal Dewasa menengah Dewasa lanjut 15 9 2 57,7 34,6 7,7 27 10 2 69,2 25,6 5,2 42 19 4 64,6 29,2 6,2 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 42,2 ± 12,7 39,3 ± 11,5 40,5 ± 12,0 Istri Dewasa awal Dewasa menengah Dewasa lanjut 17 8 1 65,4 30,8 3,8 28 11 0 71,8 28,2 0,0 45 19 1 69,3 29,2 1,5 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 37,9 ± 11,8 35,5 ± 9,4 36,5 ± 10,4

Rata-rata usia kepala keluarga nelayan contoh dan istri pada kelompok keluarga pra sejahtera tidak berbeda signifikan dengan kelompok keluarga sejahtera (p>0,05) (Lampiran 3). Menurut Sumarwan (2004) perbedaan usia dapat mempengaruhi tingkat maupun macam barang dan jasa (baik berupa pangan maupun nonpangan) yang akan dibeli dan dikonsumsi oleh seseorang. Konsumen yang berbeda usia akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda pula. Perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan terhadap merek suatu produk pangan maupun jasa. Kebutuhan akan barang dan jasa untuk dirinya juga tentunya berbeda sesuai dengan usianya.

Pendidikan Kepala Keluarga dan Istri

Menurut BPS (2007), pendidikan dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu pendidikan dasar (tidak bersekolah dan atau belum tamat SD/Sederajat), pendidikan menengah (tamat SD/Sederajat hingga tamat SLTP/Sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas SLTP/Sederajat). Lama sekolah tertinggi kepala keluarga (suami) nelayan contoh lebih tinggi dari lama sekolah istri, yaitu 15 tahun, sedangkan istri hanya 12 tahun.

Tabel 7 menunjukkan bahwa rata-rata pendidikan kepala keluarga nelayan contoh adalah 2,9 ± 3,2 tahun dengan kisaran lama sekolah antara 0 tahun (tidak sekolah) hingga 15 tahun (perguruan tinggi). Rata-rata pendidikan istri adalah 3,1 ± 3,3 tahun dengan kisaran tertinggi lamanya sekolah 12 tahun (SLTA) dan kisaran terendahnya adalah 0 tahun (tidak sekolah).

Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri

Tingkat Pendidikan Pra sejahtera Sejahtera Total N % n % n % Kepala keluarga (suami)

Dasar (< 6 tahun) Menengah (6-9 tahun) Tinggi (> 9 tahun) 19 6 1 73,1 23,1 3,8 27 12 0 69,2 30,8 0,0 46 18 1 70,8 27,7 1,5 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 2,6 ± 3,7 3,1 ± 2,9 2,9 ± 3,2 Istri Dasar (< 6 tahun) Menengah (6-9 tahun) Tinggi (> 9 tahun) 19 6 1 73,1 23,1 3,8 26 12 1 66,7 30,8 2,5 45 18 2 69,2 27,7 3,1 Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0 Rata-rata ± SD 2,5 ± 3,4 3,4 ± 3,2 3,1 ± 3,3

Sebesar 70,8% suami termasuk dalam tingkat pendidikan dasar (tidak sekolah dan atau tidak tamat SD). Tingkat pendidikan istri persentasenya lebih kecil, yaitu 69,2% yang tidak sekolah dan atau tidak tamat SD. Kepala keluarga dan istri yang tingkat pendidikannya menengah mempunyai persentase yang sama, yaitu sebasar 27,7%. Contoh yang mengenyam tingkat pendidikan yang tergolong pendidikan tinggi hanya sedikit. Persentase kepala keluarga nelayan contoh yang pendidikan terakhirnya tergolong pendidikan tinggi sebesar 1,5%, sedangkan istri sebesar 3,1%.

Rata-rata tingkat pendidikan kepala keluarga nelayan contoh dan istri pada kelompok keluarga pra sejahtera tidak berbeda signifikan dengan kelompok keluarga sejahtera (p>0,05) (Lampiran 3). Rata-rata lama sekolah kepala

keluarga dan istri baik kelompok keluarga pra sejahtera maupun sejahtera tergolong dalam kriteria pendidikan dasar.

Menurut Sumarwan (2004), pendidikan dan pekerjaan adalah dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seorang konsumen. Pendidikan dan pekerjaan (pendapatan) tersebut kemudian akan mempengaruhi proses keputusan dan pola konsumsi baik pangan maupun nonpangan seseorang. Kepemilikan Aset Melaut

Aset untuk melaut terdiri dari kapal/perahu, motor kapal (mesin kapal/perahu), jaring, dan pancing. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa sebagian besar (78,5%) keluarga nelayan contoh memiliki jaring untuk menangkap ikan. Keluarga nelayan contoh yang memiliki kapal/perahu dan motor kapal lebih sedikit, yaitu masing-masing hanya 26,2%. Hal ini disebabkan karena biaya pembelian maupun pembuatan kapal/perahu dan motor kapal yang relatif jauh lebih mahal dibandingkan jaring sehingga lebih banyak nelayan yang memiliki jaring daripada kapal/perahu dan motor kapal.

Tabel 8. Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut Kepemilikan

aset

Punya Tidak punya Total n % n % n % Kapal/perahu 17 26,2 48 73,8 65 100,0

Motor kapal 17 26,2 48 73,8 65 100,0

Jaring 51 78,5 14 21,5 65 100,0

Pancing 2 3,1 63 96,9 65 100,0

Pancing hanya dimiliki oleh 3,1% keluarga nelayan contoh karena keluarga nelayan contoh merupakan nelayan yang komoditi utamanya adalah rajungan sehingga lebih mudah dan lebih cepat jika menggunakan jaring. Selain itu, hasil tangkapan juga akan lebih banyak dengan menggunakan jaring daripada menggunakan pancing sehingga secara ekonomis penggunaan jaring akan lebih menguntungkan daripada menggunakan pancing.

Rata-rata kepemilikan aset melaut keluarga nelayan contoh pada kelompok keluarga prasejahtera tidak berbeda signifikan dengan kelompok keluarga sejahtera (p>0,05) (Lampiran 3). Tabel 9 menunjukkan bahwa sebanyak 13 keluarga nelayan contoh (20,0%) dari kedua kelompok keluarga tersebut tidak memiliki aset untuk melaut sehingga mereka bekerja sebagai nelayan pekerja/buruh dengan upah dan waktu melaut yang tidak tentu.

Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan kepemilikan aset melaut dan kelompok keluarga

Kepemilikan aset Pra sejahtera Sejahtera Total n % n % n %

Kapal/perahu 6 35,3 11 64,7 17 100,0

Motor kapal 6 35,3 11 64,7 17 100,0

Jaring 17 33,3 34 66,7 51 100,0

Pancing 2 100,0 0 0,0 2 100,0

Tidak memiliki aset 8 61,5 5 38,5 13 100,0

Berdasarkan Ensiklopedi Indonesia (1983), nelayan pekerja atau disebut juga nelayan penggarap bidak/sawi adalah nelayan yang tidak mempunyai alat produksi, tetapi hanya mempunyai tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Antara nelayan juragan dengan nelayan bidak/sawi berlaku perjanjian yang tak tertulis yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu.

Nelayan juragan berkewajiban mengutangkan bahan makanan dan kayu bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan, jika nelayan pekerja memerlukan lagi bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama ia berlayar, maka nelayan itu harus berhutang lagi kepada juragan. Hasil penangkapan di laut dibagi menurut peraturan tertentu yang berbeda-beda dari juragan yang bersangkutan. Umumnya bagian nelayan pekerja selalu habis untuk membayar hutangnya (Ensiklopedi Indonesia 1983).

Dukungan Sosial

Dukungan sosial keluarga nelayan contoh dilihat melalui beberapa pernyataan dalam kuesioner. Semakin banyak pernyataan yang sesuai dengan keadaan keluarga mereka, maka semakin besar dukungan sosial yang diterima keluarga tersebut. Beberapa pernyataan dalam mengukur dukungan sosial yang diterima keluarga nelayan contoh dapat dilihat pada Tabel 10.

Berdasarkan MacArthur dan John (1998) dukungan sosial dibedakan menjadi dua macam, yaitu dukungan emosional dan dukungan instrumental. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar keluarga nelayan contoh mendapatkan dukungan emosional. Sebagian besar sanak keluarga nelayan contoh (76,9%) mau mendengarkan permasalahannya, sebagian besar nelayan contoh (84,6%) sanak keluarganya juga berupaya memperlihatkan perasaan cinta dan menunjukkan kepeduliannya, dan sebagian besar keluarga nelayan contoh (87,7%) mencoba untuk berhubungan dengan sanak keluarga mereka seakrab mungkin.

Dukungan sosial yang diterima keluarga nelayan contoh tidak hanya terbatas dari sanak keluarganya saja, tetapi juga dari tetangga, teman karib serta masyarakat di tempat tinggal mereka. Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa sebagian besar keluarga nelayan contoh (86,2%) jarang bahkan tidak pernah mendapatkan dukungan/kunjungan dari petugas kesehatan.

Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan dukungan sosial

Pernyataan Ya Tidak

n % n %

1. Bantuan makanan selalu diterima 40 61,5 25 38,5

2. Petugas kesehatan selalu mengunjungi 9 13,8 56 86,2

3. Ketua RT selalu memberikan semangat 20 30,8 45 69,2

4. Anak-anak bisa sekolah tanpa harus membayar uang SPP

dan biaya lainnya 35 53,8 30 46,2

5. Sanak keluarga mau mendengarkan permasalahannya 50 76,9 15 23,1 6. Sanak keluarga berupaya memperlihatkan perasaan cinta

dan menunjukkan kepeduliannya 55 84,6 10 15,4

7. Mempunyai beberapa teman karib diluar keluarga yang

diyakini sangat peduli dan mencintainya 48 73,8 17 26,2 8. Kehidupan dalam masyarakat memberi perasaan aman 56 86,2 9 13,8 9. Mencoba berhubungan dengan sanak keluarga seakrab

mungkin 57 87,7 8 12,3

10. Jika sedang menghadapi masalah, tetangga selalu

memberi pertolongan 50 76,9 15 23,1

11. Selalu mendapat bantuan keuangan dari orang tua/sanak

keluarga ketika mendapat kesulitan 45 69,2 20 30,8

12. Ketika menghadapi kesulitan, tetangga mau membantu

meminjamkan uang atau barang 36 55,4 29 44,6

13. Merasa tenang dengan lingkungan tempat tinggal yang

sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak 53 81,5 12 18,5 14. Selalu mendapatkan pertolongan dari masyarakat dimana

ia tinggal, jika sedang dalam kesulitan 57 87,7 8 12,3

15. Saran yang diberikan tetangga sangat membantu dalam

penyelesaian masalah yang dihadapinya 52 80,0 13 20,0

Sebagian besar tetangga keluarga nelayan contoh (76,9%) selalu memberikan pertolongan terhadap keluarga nelayan contoh apabila sedang mengalami masalah. Selain bantuan pertolongan tersebut, terdapat sebanyak 80,0% keluarga nelayan contoh yang tetangganya juga memberikan saran yang sangat membantu dalam menyelesaikan masalahnya. Sebagian besar keluarga nelayan contoh mendapatkan bantuan dari tetangganya baik bantuan berupa materi (pangan, barang/jasa serta uang) yang disebut dengan dukungan instrumental maupun bantuan yang berupa non materi yang disebut dengan dukungan emosional.

Sebagian besar keluarga nelayan contoh (86,2%) merasa kehidupan dalam masyarakat memberikan rasa aman pada dirinya maupun keluarganya.

Terdapat 81,5% keluarga nelayan contoh merasa tenang dengan lingkungan tempat tinggalnya yang menurut mereka sesuai sebagai tempat menumbuhkembangkan anak-anak mereka. Selain itu, sebagian besar keluarga nelayan contoh (87,7%) selalu mendapat pertolongan dari masyarakat dimana mereka tinggal apabila mereka sedang dalam kesulitan.

Pengeluaran Keluarga

Menurut Sajogyo (1977) dalam Satari (1989), data pengeluaran rumahtangga lebih menggambarkan pendapatan rumahtangga yang meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain seperti pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, dan pemberian. Menurut Moho dan Wagner (1981) dalam Satari (1989), data pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi rumahtangga dalam pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Dikemukakan pula bahwa pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah, biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka. Oleh karena itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.

Pengeluaran keluarga per kapita per bulan dihitung berdasarkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan seluruh anggota keluarga baik kebutuhan pangan maupun nonpangan dalam sebulan. Pengeluaran per kapita per bulan didapatkan dengan mengakumulasikan pengeluaran pangan dan nonpangan keluarga selama setahun kemudian dibagi dua belas dan dibagi lagi sebesar jumlah seluruh anggota keluarga tersebut.

Pengeluaran pangan mencakup pengeluaran untuk membeli sembilan kelompok bahan pangan, yaitu padi-padian (seperti beras), umbi-umbian (seperti ubi jalar, ubi kayu), pangan hewani (ikan, telur, daging, dan susu), minyak dan lemak (seperti minyak kelapa, minyak sawit), buah/biji berminyak (kelapa, kemiri, dan lainnya), kacang-kacangan (seperti kacang tanah), gula, sayur dan buah, dan lainnya (minuman, bumbu, dan lainnya). Pengeluaran nonpangan mencakup pengeluaran untuk kesehatan (obat/jamu, sabun, dan lainnya), pendidikan (SPP, uang saku, seragam, peralatan sekolah, dan yang lainnya), dapur (bahan bakar, peralatan dapur), perumahan (sewa/cicilan, perbaikan rumah), pakaian (baju, kain sarung, dan sebagainya), pesta/selamatan, dan lainnya (sumbangan, tabungan , telepon, rokok, pembantu, dan yang lainnya).

Persentase rata-rata pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan sebesar 52,6% dari pengeluaran keluarga per kapita per bulan (Tabel 11). Apabila dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran pangan keluarga

per kapita per bulan secara nasional pada tahun 2005, maka pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan lebih rendah dari pengeluaran keluarga per kapita per bulan secara nasional, yaitu sebesar 53,01% (BPS 2006d).

Rata-rata pengeluaran pangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan didominasi oleh pengeluaran untuk kelompok pangan padi-padian seperti beras, mie, terigu, dan jagung (35,9% dari keseluruhan rata-rata pengeluaran pangannya per kapita per bulan). Persentase pengeluaran pangan per kapita per bulan terkecil adalah untuk kelompok pangan makanan dan minuman jadi (1,8%).

Tabel 11. Persentase pengeluaran keluarga per kapita per bulan berdasarkan kelompok jenis pengeluaran

Jenis Pengeluaran Persentase Pengeluaran (%) Terhadap subtotal Terhadap total Pangan

Padi-padian 35,9 18,9

Umbi-umbian 2,8 1,5

Ikan 5,8 3,1

Daging 2,8 1,5

Telur dan susu 8,9 4,7

Sayur-sayuran 7,6 4,0

Kacang-kacangan 7,0 3,7

Buah-buahan 7,1 3,7

Minyak dan lemak 6,6 3,5

Bumbu-bumbuan 4,4 2,3

Makanan dan minuman jadi 1,8 0,9

Lainnya 9,3 4,9 Sub total 100,0 52,6 Nonpangan Kesehatan 11,1 5,2 Pendidikan 19,0 9,0 Dapur 36,4 17,2 Perumahan 0,2 0,1 Pakaian 6,4 3,1 Pesta/Slamatan 4,3 2,1 Lainnya 22,6 10,7 Sub total 100,0 47,4 Total 100,0

Tabel 11 menunjukkan persentase rata-rata pengeluaran nonpangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan adalah 47,4%. Pengeluaran nonpangan keluarga nelayan per kapita per bulan relatif lebih besar jika

dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran nonpangan keluarga per kapita per bulan secara nasional tahun 2005, yaitu 46,99% (BPS 2006d). Alokasi pengeluaran nonpangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan terbesar (36,4%) terdapat pada pengeluaran untuk dapur seperti bahan bakar (minyak tanah, kayu bakar, listrik, gas) untuk keperluan memasak serta peralatan dapur lainnya. Alokasi pengeluaran nonpangan keluarga nelayan contoh per kapita per bulan yang terendah (0,2%) adalah untuk perumahan (sewa/cicilan, perbaikan rumah, dan lainnya).

Rata-rata pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan Rp 200.152,7 ± 87.233,9 (Tabel 12). Kisaran tertinggi pengeluaran tersebut adalah Rp 410.103 dan kisaran terendahnya Rp 62.038. Rata-rata pengeluaran pangan keluarga per kapita per bulan adalah Rp 105.903,2 ± 49.520,2, sedangkan pengeluaran nonpangan keluarga sebesar Rp 94.193,4 ± 64.964,9 per kapita per bulan.

Tabel 12. Minimal, maksimal, dan rata-rata pengeluaran keluarga nelayan contoh Pengeluaran Keluarga

(Rp/kapita/bulan) Minimal Maksimal Rata-rata ± SD Pangan Nonpangan 42.286 14.029 317.725 297.092 105.903,2 ± 49.520,2 94.193,4 ± 64.964,9 Total 62.038 410.103 200.152,7 ± 87.233,9

Indonesia menggunakan garis kemiskinan berdasarkan nillai rupiah per kapita yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan minimum untuk pangan (2100 Kal per hari) dan nonpangan. Pengkategorian status ekonomi keluarga nelayan contoh dikelompokkan berdasarkan ketentuan dari garis kemiskinan Kabupaten Cirebon tahun 2006 berdasarkan pengeluaran total per kapita per bulan sebesar Rp 168.272 (BPS 2007).

Suatu keluarga dikatakan miskin apabila pengeluaran keluarga per kapita per bulan berada dibawah garis kemiskinan (GK), dikatakan hampir miskin bila pengeluaran keluarga per kapita per bulannya diatas garis kemiskinan dan dibawah 1,25 garis kemiskinan (1,25 GK 1), hampir tidak miskin bila pengeluaran keluarga per kapita per bulannya diatas 1,25 garis kemiskinan dan dibawah 1,5 garis kemiskinan (1,5 GK>1,25). Suatu keluarga dikatakan tidak miskin apabila pengeluaran keluarga per kapita per bulan diatas 1,5 GK (BPS 2006a).

Tabel 13. Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran keluarga per kapita per bulan

Status Ekonomi Keluarga

Pra sejahtera Sejahtera Total n % n % n %

Miskin 13 50,0 12 30,9 25 38,5

Hampir miskin 4 15,4 7 17,9 11 16,9

Hampir tidak miskin 3 11,5 10 25,6 13 20,0

Tidak miskin 6 23,1 10 25,6 16 24,6

Total 26 100,0 39 100,0 65 100,0

Tabel 13 menunjukkan bahwa berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten Cirebon tahun 2006, terdapat 38,5% keluarga nelayan contoh tergolong miskin. Sebanyak 16,9% dan 20,0% keluarga nelayan contoh masing-masing tergolong hampir miskin dan hampir tidak miskin. Keluarga nelayan contoh yang tidak miskin sebanyak 24,6%.

Rata-rata pengeluaran keluarga nelayan contoh per kapita per bulan berbeda signifikan (p<0,1) antara kelompok keluarga prasejahtera dengan kelompok keluarga sejahtera. Rata-rata pengeluaran nonpangan per kapita per bulan kelompok keluarga pra sejahtera juga berbeda signifikan dengan kelompok keluarga sejahtera (p<0,05) (Lampiran 3).

Konsumsi Pangan Keluarga

Konsumsi energi rata-rata keluarga nelayan contoh per kapita per hari 1.560 Kal (Tabel 14). Angka ini masih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata angka kecukupan energi (AKE) keluarga contoh per kapita per hari, yaitu sebesar 2.035 Kal. Rata-rata konsumsi energi per kapita per hari contoh juga termasuk rendah bila dibandingkan dengan rata-rata konsumsi energi keluarga per kapita per hari secara nasional pada tahun 2005 (1.926,74 Kal) (BPS 2006d).

Tabel 14. Rata-rata konsumsi zat gizi dan AKG keluarga contoh per kapita per hari

Zat Gizi Konsumsi Rata-rata Angka Kecukupan

Energi (Kal) 1560 2.035 Protein (g) 44,1 51,8 Kalsium (mg) 222,1 791,0 Fosfor (mg) 680,1 646,2 Zat Besi (mg) 9,2 12,8 Vitamin A (RE) 1226 575 Vitamin C (mg) 68,0 77,1

Rata-rata konsumsi protein keluarga nelayan contoh per kapita per hari sebesar 44,1 g dengan rata-rata angka kecukupan protein (AKP) keluarga nelayan contoh per kapita per hari 51,8 g. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata

konsumsi protein keluarga nelayan contoh juga masih rendah dibandingkan dengan AKP keluarga per kapita per hari. Jika dibandingkan dengan rata-rata konsumsi protein keluarga secara nasional pada tahun 2005 (53,65 g) (BPS 2006d), rata-rata konsumsi protein keluarga nelayan contoh per kapita per hari juga tergolong rendah. Hal tersebut menunjukan bahwa konsumsi energi dan protein keluarga contoh belum memenuhi AKE dan AKP.

Rata-rata konsumsi kalsium, zat besi, dan vitamin C keluarga nelayan contoh juga masih belum mencukupi kebutuhan rata-rata keluarga nelayan contoh tersebut. Rata-rata konsumsi fosfor dan vitamin A keluarga nelayan

Dokumen terkait