• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nelayan

Nelayan adalah orang yang mempunyai matapencaharian dari kegiatan menangkap ikan, baik secara langsung (seperti para penebar dan penarik jaring) maupun tidak langsung (seperti juru mudi perahu layar, nahkoda kapal ikan bermotor, ahli mesin kapal, juru masak kapal penangkap ikan) (Ensiklopedi Indonesia 1983). Mubyarto, Soetrisno, dan Dove 1984 menjelaskan bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin, dan kebanyakan nelayan sudah cukup puas dengan kedudukan sebagai nelayan turun-temurun.

Menurut Ditjen Perikanan (2000) dalam Satria (2002), nelayan dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan operasi penangkapan ikan, yaitu:

- Nelayan/petani ikan penuh adalah orang yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk penangkapan atau pemeliharaan ikan atau binatang air atau tanaman air lainnya.

- Nelayan/petani ikan sambilan yaitu orang yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk penangkapan atau pemeliharaan ikan atau binatang air atau tanaman air lainnya.

- Nelayan/petani ikan sambilan tambahan yaitu orang yang sebagian kecil waktu kerjanya digunakan untuk penangkapan atau pemeliharaan ikan atau binatang air atau tanaman air lainnya.

Bila dilihat dari status kepemilikan modal, nelayan dapat dibagi menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik atau yang disebut juragan adalah orang yang memiliki sarana penengkapan seperti kapal/perahu, jaring, dan alat tangkap lainnya. Nelayan buruh adalah orang yang bekerja sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan di laut atau disebut juga anak buah kapal (ABK) (Satria 2002).

Sekelompok nelayan yang tidak memiliki alat tangkap dan perahu harus menjadi buruh bagi nelayan lainnya, dimana pendapatannya terutama dipengaruhi oleh pola bagi hasil di kalangan nelayan. Hal ini pada umumnya dapat menguntungkan nelayan pemilik sehingga pendapatan dari nelayan penangkap ikan lebih rendah dan sulit baginya untuk meningkatkan taraf hidup (Mubyarto, Soetrisno, & Dove 1984).

Akses Pangan

Akses pangan tingkat rumahtangga adalah kemampuan suatu rumahtangga untuk memperoleh pangan yang cukup secara terus-menerus melalui berbagai cara, seperti produksi pangan rumahtangga, persediaan pangan rumahtangga, jual-beli, tukar-menukar/barter, pinjam-meminjam, dan pemberian atau bantuan pangan. Keluarga dapat mengakses pangan melalui beberapa cara seperti produksi rumahtangga (hasil panen, hasil beternak atau hasil budidaya perikanan); berburu, mencari ikan atau mengumpulkan pangan yang hidup liar; mendapatkan bantuan/pemberian pangan melalui jaringan sosial; bantuan dari pemerintah, distribusi-distribusi NGO atau food for work projects (pangan hasil/imbalan pekerjaan); serta barter/tukar-menukar atau membeli dari pasar (World Food Programme 2005).

World Food Programme (2005) menjelaskan mengenai pengkajian akan dampak krisis/tekanan terhadap keluarga dalam berbagai kelompok populasi terhadap akses pangan dan uang yang mereka butuhkan untuk membeli persediaan dan layanan pangan maupun nonpangan. Pengkajian ini membutuhkan data-data sebagai berikut:

- Matapencaharian. Aset-aset matapencaharian (sumberdaya alam, sumberdaya manusia, secara fisik, sosial, politik dan keuangan) dan sistem yang ada (politik, ekonomi, sosial, struktur kekuasaan/hukum) dapat mempengaruhi aktivitas matapencaharian.

- Konsumsi pangan. Pola konsumsi pangan yang ditandai oleh keanekaragaman pangan dan frekuensi konsumsi pangan.

- Sumber pangan. Sumber pangan yang berbeda relatif penting, biasanya berasal pembelian di pasar, produksi sendiri (hasil panen, ternak, bididaya perikanan), memanen/mengumpulkan pangan dari alam/lingkungan (pertemuan/hajatan, pemburuan, mencari ikan), dan pemberian (termasuk hadiah-hadiah, pinjaman-pinjaman, program-program bantuan pangan), serta perubahan musim dan perubahan lainnya di masa yang akan datang.

- Sumber pendapatan. Sumber pendapatan yang berbeda relatif penting, biasanya berasal dari penjualan hasil panen (pangan atau hasil panen yang diperdagangkan), penjualan ternak atau produk-produk ternak, ketenagakerjaan, penjualan dari produk-produk/sumberdaya alam (seperti ikan, pangan yang hidup liar di alam, kayu bakar), penjualan lainnya seperti produk-produk nonagrikultur hasil kerajinan rumahtangga, perdagangan, uang

pemberian (hadiah, kiriman, pinjaman), serta perubahan musim dan perubahan lainnya di masa yang akan datang.

- Pengeluaran. Pola dan tingkat pangeluaran pangan maupun nonpangan keluarga dan perubahan musim serta perubahan lainnya di masa yang akan datang. Pengeluaran nonpangan yang penting termasuk sewa, air, pelayanan kesehatan, pendidikan anak, bahan bakar untuk memasak, dan pembayaran hutang.

Gambar 1. Akses pangan tingkat rumahtangga.

Gambar 1 menggambarkan berbagai cara keluarga untuk mengakses pangan maupun nonpangan (World Food Programme 2005). Gambar tersebut menjelaskan:

- Aktivitas matapencaharian dalam gambar tersebut ditunjukkan pada kotak yang ada bayangannya yang berperan dalam sumber pangan dan pendapatan.

- Bagaimana produksi pangan keluarga, apa yang mereka dapatkan dari pertemuan/hajatan dan yang lainnya, apa yang mereka dapatkan sebagai hadiah/pemberian atau dari berbagai sumber lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi atau dijual untuk menghasilkan pendapatan. - Bagaimana pendapatan harus dibagi antara membeli pangan dan memenuhi

kebutuhan nonpangannya (pilihan yang harus diambil oleh keluarga antara konsumsi pangan dan pemenuhan kebutuhan nonpangannya).

Akses pangan merupakan salah satu dimensi dari 3 dimensi ketahanan pangan, selain katersediaan pangan dan penyerapan pangan (Deptan 2007a). Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (PP No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dalam Deptan 2007a). USAID’s Office of Food for Peace (1992) dalam Hoddinott dan Yohannes (2002), mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kondisi ketika setiap individu dalam setiap waktu memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap kecukupan pangan guna memenuhi kebutuhannya untuk hidup sehat dan produktif.

Selain akses fisik dan ekonomi terhadap pangan terdapat pula akses sosial, seperti pendidikan dan dukungan/bantuan sosial dari keluarga/kerabat, tetangga, teman, maupun bantuan dari pemerintah. Menurut Deptan (2007a) ketahanan pangan tidak hanya tercermin oleh ketersediaan pangan yang cukup, namun juga oleh terpenuhinya akses pangan baik secara fisik, ekonomi, maupun sosial dimana saja dan kapan saja. World Food Programme (2005) menjelaskan bahwa akses untuk tempat tinggal, kesehatan, dan pendidikan juga mempengaruhi akses pangan melalui kebutuhan tempat tinggal dan sumber daya tunai/cash dalam jangka waktu pendek dan berpengaruh terhadap kapasitas produksi dan pendapatan dalam jangka waktu yang panjang.

Akses Fisik.

Akses pangan menunjukkan adanya jaminan bahwa setiap individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk mengakses kebutuhan pangan sesuai norma gizi. Jumlah pangan yang cukup dapat berasal dari kegiatan fisik melalui produksi sendiri atau pun dengan membeli. Persediaan pangan wilayah yang mencukupi kecukupan pemenuhan kebutuhan pangan setiap individu dalam wilayah tersebut sangat dibutuhkan untuk menjamin akses pangan wilayah tersebut. Pangan harus dapat tersedia secara fisik untuk seluruh anggota

keluarga. Pangan juga harus tersedia secara terus-menerus dalam suatu pasar/warung dimana rumahtangga tidak dapat memproduksi sendiri pangan yang dibutuhkannya (Sharma 1992).

Akses fisik akan menentukan apakah sumber pangan yang dikonsumsi akan dapat ditemui dan mudah diperoleh. Kemudahan dalam memperoleh pangan ditunjang oleh tersedianya sarana fisik yang cukup dalam memperoleh pangan. Kemudahan dalam memperoleh pangan ditunjang oleh sarana fisik seperti tersedianya sarana pasar yang cukup dalam mempermudah memperoleh pangan. Pasar adalah tempat para pembeli dan penjual bertemu untuk berdagang. Transaksi yang terjadi khususnya antara orang-orang yang belum dikenal, dan dilakukan secara tunai. Pasar timbul setelah terjadi proses ekonomi yang didasari oleh perencanann yang bersifat kekeluargaan. Pasar pada saat ini berkembang jeuh lebih luas dan lebih penting sebagai faktor penentu bagi produksi dan distribusi (Penny 1990).

Suatu wilayah/daerah dikatakan akses pangannya tinggi apabila di wilayah/daerah tersebut terdapat pasar yang menjual bahan pangan pokok. Wilayah/daerah tersebut dikatakan memiliki akses pangan yang sedang apabila tidak memiliki pasar dalam wilayah/daerah tersebut, namun jarak terdekat wilayah/daerah tersebut dengan pasar pasar yang menjual bahan pangan pokok kurang dari dan atau sama dengan 3 km. Dikatakan akses pangannya rendah apabila jarak terdekat dengan pasar lebih dari 3 km (Deptan 2007a).

Akses Ekonomi.

Kegiatan ekonomi suatu keluarga dalam pemenuhan pangan adalah mendapatkan, menghasilkan atau menerima uang, pangan, dan yang lainnya; mengkonsumsi, membelanjakan, memberi atau mengumpulkan uang, pangan dan aset/harta lain; dan mengutang serta membayar kembali hutang tersebut. Berdasarkan matapencahariannya, suatu keluarga dapat mempunyai satu atau lebih sumber pangan dan sumber pendapatan untuk membeli pangan dan keperluan-keperluan lain, memelihara (menjaga, meningkatkan) aset-aset produktifnya, dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosial di dalam masyarakat (World Food Programme 2005).

Akses pangan keluarga dalam berbagai cara dan aktivitas matapencaharian bergantung pada aset-aset dan sistem-sistem yang ada (politik, ekonomi, sosial, hukum dan struktur-struktur kekuasaan lain dalam

masyarakat). Suatu tekanan/krisis pada umumnya berdampak pada aset-aset dan sistem tersebut (World Food Programme 2005).

Matapencaharian berhubungan erat dengan akses pangan yang meliputi produksi rumahtangga dan alat untuk memperoleh pendapatan. Matapencaharian meliputi suatu kemampuan rumahtangga, aset-aset dan aktivitas yang diperlukan untuk menjamin kebutuhan dasar (makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan pendapatan). Suatu matapencaharian dapat terus-menerus jika dapat dengan sukses mengaturnya dan mengurangi tekanan- tekanan/masalah eksternal, memelihara atau meningkatkan aset-asetnya, dan menghidupi generasi-generasi masa depan (World Food Programme 2005).

World Food Programme (2005) menjelaskan bahwa suatu matapencaharian rumahtangga bergantung pada:

a. Cakupan dari aset-aset yang tersedia bagi rumahtangga, seperti aset- aset/sumberdaya alam (lahan, hutan-hutan, sumber daya air), aset-aset secara fisik (peralatan dan lainnya), aset-aset sumberdaya manusia (kesehatan, keterampilan/keahlian), aset-aset sosial (seperti jaringan kekerabatan), aset keuangan (seperti pendapatan, uang tabungan, akses untuk kredit), dan aset-aset politik.

b. Politik, ekonomi, sosial, hukum dan struktur-struktur kekuasaan dalam masyarakat, yang disebut sebagai sistem yang ada.

c. Beberapa pilihan yang dibuat oleh rumahtangga dalam batasan peluang dan batasan-batasan memperoleh (a) dan (b).

Aset-aset itu dapat termasuk dalam aset-aset yang dimiliki oleh rumahtangga (seperti lahan, peralatan, keterampilan-keterampilan, uang tabungan, kesehatan/kemampuan untuk bekerja) dan aset-aset komunal/umum yang dapat diakses oleh rumahtangga (seperti hutan-hutan, sungai-sungai, sumur-sumur, pasar-pasar, ruang penyimpanan pangan umum, layanan keuangan/perbankan) (World Food Programme 2005). Menurut Sajogyo et al. (1996) dalam Nurhasanah (2004), rendahnya pendapatan seseorang merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan.

Fungsi dari akses terhadap sumber nafkah adalah daya beli rumahtangga, berarti akses pangan terjamin seiring terjaminnya pendapatan dalam jangka panjang, keterjangkauan pangan bergantung pada kesinambungan sumber nafkah. Jumlah orang miskin mencerminkan kelompok yang tidak punya

akses yang cukup terhadap sumber nafkah yang produktif. Semakin besar jumlah orang miskin, semakin rendah daya akses terhadap pangan dan semakin tinggi derajat kerawanan pangan di wilayah tersebut (Deptan & WFP 2005).

Rumahtangga dapat dikatakan tahan pangan apabila tercukupinya permintaan akan pangan. Pengukuran operasional atas permintaan akan pangan tersebut dalam jangka waktu pendek dapat dipakai untuk memonitor akses ekonomi rumahtangga akan pangan, yaitu pendapatan/pengeluaran dan harga (Sharma 1992).

Akses Sosial.

Akses sosial rumahtangga terhadap pangan merupakan suatu akses/cara untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan dalam pemenuhan kebutuhan pangannya melalui berbagai dukungan sosial, seperti bantuan/dukungan sosial dari keluarga/kerabat, tetangga, serta teman. Bantuan/dukungan dari saudara/kerabat, tetangga, atau teman dapat berupa bantuan pinjaman uang/pangan, pemberian bantuan pangan, pertukaran pangan, dan lain sebagainya. Selain dari dukungan sosial, kerawanan pangan berdasarkan akses sosial dapat dilihat dari tingkat pendidikannya.

Definisi dukungan sosial adalah berbagai macam sokongan (bantuan) yang diterima oleh seseorang dari orang lain yang diklasifikasikan menjadi dua (terkadang tiga) kategori. Kategori tersebut antara lain dukungan emosional, instrumental, dan informasional. Dukungan emosional merupakan sesuatu yang dilakukan seseorang untuk membuat orang lain merasa dicintai dan dipedulikan sehingga mampu menyokong rasa harga diri orang lain, namun bentuk bantuan tidak nyata (non-tangible). Bentuk contoh dari dukungan emosional yaitu dalam memecahkan masalah, memberikan dorongan atau umpan balik yang positif (MacArthur & John 1998).

Dukungan instrumental adalah berbagai macam bantuan nyata (tangible help) yang disediakan oleh seseorang, seperti bantuan dari penitipan anak, penjaga rumah, jasa transportasi, dan uang. Dukungan informasional (kadang termasuk dalam kategori dukungan instrumental) merupakan bantuan yang diberikan dalam bentuk penyediaan informasi (MacArthur & John 1998).

Dukungan sosial merupakan salah satu indikator kerawanan pangan tingkat rumahtangga berdasarkan dimensi akses sosial. Dukungan sosial merupakan suatu pertolongan baik berupa pemberian bantuan maupun pemberian pinjaman, baik dari keluarga/kerabat, tetangga, teman, maupun dari

pemerintah, dalam bentuk fisik maupun nonfisik. Berdasarkan studi yang dilakukan di US, Inggris, dan Swedia ternyata dukungan sosial memiliki pengaruh positif terhadap status sosial ekonomi. Bentuk dukungan tersebut berupa dukungan secara emosional maupun instrumental dan juga pada pria maupun wanita (MacArthur & John 1998).

Konsumsi Pangan

Konsumsi Pangan adalah informasi pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang dikonsumsi (Hardinsyah & Suhardjo 1990 dalam Rahmah 2006). Menurut Riyadi (1996) dalam Rahmah (2006) ada tiga tujuan seseorang mengkonsumsi pangan, yaitu tujuan fidiologis, psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah untuk memenuhi rasa lapar atau keinginan memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tubuh. Tujuan psikologis merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan untuk memenuhi kepuasan emosional maupun selera seseorang. Tujuan sosiolagis adalah berhubungan dengan upaya memelihara hubungan antar manusia dalam kelompok kecil maupun kelompok besar.

Pola konsumsi pangan adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih bahan makanan dan cara memakannya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya, dan sosial (Harper, Deaton, & Driskel 1985). Seseorang, satu keluarga, atau suatu kelompok masyarakat melakukan tindakan makan pada dasarnya dilandasi oleh beberapa faktor. Sanjur (1982) dalam Junaidi (1997) menggolongkan faktor-faktor yang tersebut kedalam bagian, yaitu biogenik, psikogenik, dan sosiogenik. Dalam konsep biogenik secara implisit mengandung pengertian, bahwa makanan yang dikonsumsi memenuhi kebutuhan biologik konsumen.

Konsep psikogenik mengandung arti bahwa makanan yang dikonsumsi itu memenuhi kebutuhan/kepuasan kejiwaan/mental konsumen. Konsep sosiogenik mengandung makna bahwa makanan yang dikonsumsi itu memenuhi kebutuhan sosial konsumen, dalam artian antara lain tidak bertentangan dengan norma-norma budaya yang berlaku dalam lingkungan sosial dimana konsumen tinggal, berkenaan dengan status (kedudukan), menyangkut kehormatan dan lain-lain (Sanjur 1982 dalam Junaidi 1997).

Penilaian Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa penelaahan konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Penghitungan jumlah zat gizi yang dikonsumsi (jenis dan jumlah pangan) merupakan hal yang penting. Secara umum prinsip penilaian jumlah konsumsi zat gizi berdasarkan data konsumsi pangan, data kandungan zat gizi bahan makanan, dan data kecukupan zat gizi. (Hardinsyah & Briawan 1994).

Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), terdapat dua pengertian tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu penilaian terhadap kandungan zat gizi makanan dan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupan. Penilaian terhadap kandungan zat gizi makanan digunakan apabila ingin membandingkan kandungan zat gizi antar berbagai makanan atau suatu hidangan, sedangkan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupan digunakan apabila ingin mengetahui tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau keluarga.

Berdasarkan satuan atau unit penilaian, konsumsi pangan dibedakan atas penilaian konsumsi pangan individu dan penilaian konsumsi pangan keluarga. Umumnya prinsip penilaian konsumsi zat gizi individu dan keluarga adalah sama. Konsumsi pangan keluarga merupakan penjumlahan dari konsumsi pangan masing-masing individu atau anggota keluarga. Apabila satuan atau unit pengumpulan data konsumsi pangan adalah kelompok orang seperti keluarga atau rumahtangga maka jumlah konsumsi pangan keluarga atau rumahtangga dibagi dengan jumlah orang atau anggota keluarga yang mengkonsumsi pangan tersebut (Hardinsyah & Briawan 1994).

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein

Agar dapat hidup sehat serta mempertahankan kesehatannya, maka setiap manusia memerlukan sejumlah zat gizi. Zat gizi yang diperoleh dari konsumsi pangan harus mencukupi kebutuhan tubuh untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh, serta untuk melakukan berbagai kegiatan/aktivitas. Untuk menilai tingkat konsumsi energi rata-rata suatu keluarga atau rumahtangga diperlukan angka kecukupan energi rata-rata keluarga (AKERK). AKERK merupakan penjumlahan angka kecukupan energi individu (AKEI) dari setiap

anggota keluarga yang mengkonsumsi makanan dalam suatu keluarga/rumahtangga yang dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang mengkonsumsi makanan tersebut (Hardinsyah & Martianto 1992).

Menaksir kecukupan protein keluarga/rumahtangga pada prinsipnya sama dengan menaksir kecukupan energi keluarga/rumahtangga. Angka kecukupan protein rata-rata keluarga (AKPRK) merupakan jumlah angka kecukupan protein semua anggota keluarga dibagi jumlah anggota keluarga (Hardinsyah & Martianto 1992). Tingkat konsumsi energi dan protein seseorang atau sekelompok orang (rumahtangga/keluarga) dikatakan cukup/dapat memenuhi kebutuhannya bila tingkat konsumsi pangannya lebih dari atau sama dengan 70% (Latiefet al. 2000 dalam WNPG VII).

Survei konsumsi Pangan

Menurut Suhardjo, Hardinsyah, dan Riyadi (1988), survei konsumsi pangan merupakan salah satu cara untuk mendapatkan informasi konsumsi pangan dan zat gizi pada masyarakat yang dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kegiatan atau program. Terdapat berbagai cara yang dapat dilakukan, salah satunya adalah dengan pengumpulan data secara langsung. Hasil dari pencatatan data secara langsung dari hasil wawancara dan pengamatan jenis serta banyaknya pangan yang dikonsumsi dapat digunakan untuk mengetahui konsumsi dan kebiasaan makan masyarakat.

Survei konsumsi pangan dilakukan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif data yang dikumpulkan lebih menitikberatkan pada aspek yang berhubungan dengan kebiasaan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, besar keluarga, dan akseptabilitas. Secara kuantitatif survei konsumsi pangan ditujukan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi. Berdasarkan data tersebut akan diketahui besarnya konsumsi zat gizi yang dihitung dari Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) (Suhardjoet.al 1988).

Kuesioner dapat digunakan untuk membantu memandu wawancara yang dilakukan. Kuesioner yang ditanyakan dibuat menurut urutan waktu makan dan pengelompokan pangan. Penaksiran jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan menanyakan dalam bentuk ukuran rumahtangga (URT) seperti potong, piring, sendok makan, gelas, dan alat-alat rumahtangga lainnya yang biasa digunakan. Selanjutnya dari URT dikonversikan ke dalam satuan berat (g).

Kelemahan dari metode ini adalah hanya mengandalkan informasi yang diingat oleh responden (Suhardjoet.al 1988).

Terdapat beberapa cara untuk mengumpulkan informasi data konsumsi pangan. Pemilihan cara yang akan digunakan sangat ditentukan oleh satuan penelitian, waktu, tenaga, dan dana yang tersedia. Secara umum ada dua cara pengumpulah data konsumsi pangan, yaitu metode penimbangan langsung (sapertiweighing method dan food inventory method) dan metode penimbangan tidak langsung, seperti metode ingat-ingat (food recall method), metode pengeluaran pangan (food expenditure method), metode pendaftaran pangan (food list method), dan cara-cara lainnya. Prosedur dan teknik menggunakan cara-cara pengumpulan data konsumsi pangan secara mendalam merupakan bagian dari disiplin metode survei konsumsi pangan atau metode survei gizi (Hardinsyah & Briawan 1994).

Metode survei yang sering dilakukan adalah dengan recall (mengingat kembali). Metode ini dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada masa lalu. Wawancara dilakukan sedalam mungkin agar responden dapat mengungkapkan jenis bahan makanan dan perkiraan jumlah bahan makanan yang dikonsumsinya beberapa hari sebelumnya (Suhardjoet.al 1988).

Mengingat setiap metode mempunyai kelebihan dan kelemahan, maka perlu diperhatikan metode apa yang paling relevan atau paling cocok dengan suatu penelitian. Pemilihan metode dapat didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu tujuan survei, ketelitian yang diinginkan, ketersediaan dana dan waktu serta tingkat keahlian/kemahiran tenaga pengumpul data (enumerator). Berdasarkan adanya kekurangan dan kelebihan dari suatu metode, maka suatu metode dapat dikombinasikan dengan metode yang lain, atau melakukan sedikit modifikasi terhadap suatu metode, disesuaikan dengan karakteristik masyarakat yang akan diteliti (Kusharto dan Sa’diyyah 2006).

Food Frequency Questionaire (FFQ). FFQ merupakan kuesioner yang menggambarkan frekuensi responden dalam mengkonsumsi beberapa jenis makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi makanan dilihat dalam satu hari atau minggu atau bulan atau tahun. Kuesioner terdiri darilist jenis makanan dan minuman (Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2007).

Menurut Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2007), kelebihan FFQ adalah relatif murah, dapat digunakan untuk melihat hubungan antara diet dan penyakit, dan lebih representatif. Keterbatasan FFQ yaitu adanya kemungkinan tidak menggambarkan porsi yang dipilih oleh responden, tergantung pada kemampuan responden untuk mendiskripsikan dietnya.

Beberapa jenis FFQ adalah sebagai berikut:

1. Simple or nonquantitative FFQ, tidak memberikan pilihan tentang porsi yang biasa dikonsumsi, sehingga menggunakan standar porsi.

2. Semi quntitative FFQ, memberikan porsi yang dikonsumsi, misalnya sepotong roti, secangkir kopi.

3. Quntitative FFQ, memberikan pilihan porsi yang biasa dikonsumsi responden, seperti kecil, sedang, atau besar.

Penggunaan metode FFQ pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi secara kualitatif dan informasi deskriptif tentang pola konsumsi. Metode ini umumnya tidak digunakan untuk memperoleh data kuantitatif pangan ataupun intik konsumsi zat gizi (Gibson 1993). Hal ini tergantung dari tujuan studi, apakah hanya ingin menggali frekuensi pangan saja atau juga sekaligus dengan konsumsi zat gizinya.

Dengan metode ini, kita dapat menilai frekuensi penggunaan pangan atau

Dokumen terkait