• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula Dalam Negeri

Dalam persamaan diketahui variabel bebas terdiri dari Luas Areal Tebu (X1), Rendemen (X2), Jumlah Pabrik Gula (X3), Dummy Kebijakan Tataniaga

Gula Periode Bulog (D1), dan Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bebas

(D2), sedangkan Kebijakan Tataniaga Gula Periode Pengendalian Impor dalam

defenisi ini disebut sebagai grup dasar (base category). Dari variabel-variabel bebas tersebut akan dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap peningkatan produksi gula nasional sebagai variabel dependen (variabel terikat). Namun dalam kajian penulisan lebih lanjut ditentukan bahwa variabel bebas yang digunakan hanya Luas Areal Tebu (X1), Rendemen (X2), Dummy Kebijakan Tataniaga Gula

Periode Bulog (D1), dan Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bebas (D2

Gejala multikolinearitas dapat dideteksi salah satunya dengan Tabel

Coefficient (Lampiran 5). Pada semua variabel nilai VIF mempunyai nilai lebih

dari 10, dan nilai toleransi kurang dari 0,1. Nilai tolerance yang mendekati 0, menunjukkan adanya multikolineritas yang tinggi, yang mengakibatkan peningkatan standar error dari koefisien regresi. Tolerance adalah persentase variance pada setiap variabel yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel lainnya. Sehingga, tolerance yang kecil menunjukkan bahwa 70%-90% variance dapat dijelaskan oleh variabel lain.

). Hal ini dikarenakan adanya gejala Multikolinearitas yang terjadi pada persamaan.

Gujarati (1994) mengungkapkan tindakan perbaikan yang bisa dilakukan ketika terdapat masalah multikolinearitas yang serius salah satunya dengan

mengeluarkan suatu variabel atau variabel-variabel dari bias spesifikasi. Cara ini merupakan cara yang sederhana karena kesalahan yang mungkin terjadi adalah bias spesifikasi atau kesalahan spesifikasi. Dalam persamaan, variabel X1 (Luas

Areal) secara logika akan berkolinear dengan variabel X3 (Jumlah Pabrik Gula).

Hal ini disebabkan karena luas areal akan cenderung bergerak searah dengan jumlah pabrik gula, dimana jumlah tebu yang dihasilkan dari daerah penanaman tebu akan dibawa ke pabrik gula untuk diolah. Sehingga untuk menghilangkan multikolinearitas dari persamaan maka variabel X3

Setelah mengeluarkan variabel X

(Jumlah Pabrik Gula) harus dikeluarkan dari persamaan.

3

Y = α1 + α2D1 + α3D2 + β1X1 + β2X2 + µ

(Jumlah Pabrik Gula) dari persamaan, maka diperoleh persamaan baru :

Keterangan :

Y = produksi gula (ton) X1 = luas areal (Ha) X2 = rendemen (%)

D1 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bulog/stabilisator 0 : kebijakan tataniaga lainnya.

D2 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bebas/liberalisasi 0 : kebijakan tataniaga lainnya.

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula di Indonesia Variabel Bebas Koefisien Regresi Standar

Error T-hitung Signifikan

Constant -2,365E6 605357,764 -3,907 0,001(*)

X1=luas areal 6,138 1,091 5,627 0,000(*)

X2=rendemen 329339,757 74866,745 4,399 0,001(*)

D1=kebijakan tataniaga bulog -494766,541 106977,778 -4,625 0,000(*) D2=kebijakan tataniaga bebas -242625,987 95589,578 -2,538 0,023(*) R=0,937

R-Square=0,877

F-Hitung=26,782 0,000a

F-Tabel=3,06 T-Tabel=2,13

Keterangan : tn=tidak nyata pada taraf kepercayaan 95% *=nyata pada taraf kepercayaan 95% Sumber : Diolah dari Lampiran 6

Persamaan yang diperoleh dari hasil analisis adalah :

Y = -2,365E6 - 494766,541D1 - 242625,987D2 + 6,138X1 + 329339,757X

(-3,907) (-4,625) (-2,538) (5,627) (4,399)

2

Dari model diatas dihasilkan nilai Koefisien Determinasi sebesar 0,877. Hal ini menunjukkan bahwa 87,7% variasi variabel produksi gula domestik telah dapat dijelaskan oleh variabel bebas luas areal, rendemen, kebijakan tataniaga bulog, kebijakan tataniaga bebas, dan kebijakan tataniaga pengendalian impor.

Secara serempak pengaruh variabel Luas Areal, Rendemen, dan ketiga periode kebijakan tataniaga yang mengaturnya adalah nyata pada taraf 95%. Hal ini dapat ditunjukkan dari Uji F, yaitu F-Hitung = 26,782 > F-Tabel = 3,06 dan Nilai Signifikansi 0,000.

Secara Parsial, variabel Luas Areal berpengaruh terhadap produksi gula nasional. Pengaruh tersebut nyata pada taraf kepercayaan 95%. Nilai koefisien variabel Luas Areal sebesar 6,138 menunjukkan jika luas areal bertambah sebesar 1 Hektar maka akan meningkatkan produksi gula nasional sebesar 6,138 ton.

Secara Parsial, variabel Rendemen berpengaruh terhadap produksi gula nasional. Pengaruh tersebut nyata pada taraf kepercayaan 95%. Nilai koefisien variabel Rendemen sebesar 329339,757 menunjukkan jika Rendemen naik sebesar 1% maka akan menaikkan produksi gula nasional sebesar 329339,757 ton.

Secara Parsial, variabel Kebijakan Tataniaga Periode Bulog tidak berpengaruh terhadap produksi gula nasional. Hal ini dapat dilihat dari nilai T- Hitung = -4,625 < T-Tabel = 2,13.

Secara Parsial, variabel Kebijakan Tataniaga Periode Bebas tidak berpengaruh terhadap produksi gula nasional. Hal ini dapat dilihat dari nilai T- Hitung = -2,538 < T-Tabel = 2,13.

Hasil Asumsi Regresi Linear Berganda Uji Linearitas

Dari persyaratan untuk melihat apakah persamaan dilakukan uji F dengan kriteria penilaian adalah jika F-Hitung > F-Tabel adalah signifikan, dan didapat F- Hitung = 26,782 dan F-Tabel = 3,06 (Lampiran 6), sehingga persaman yang digunakan adalah Linear.

Uji Gejala Multikolinearitas

Setelah melihat tabelCoefficient terdapat nilai VIF untuk masing-masing

variabel mempunyai nilai < 10 dan nilai Tolerance > 0,1 (Lampiran 6). Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa gejala multikolinearitas tidak terdapat dalam persamaan ini.

Uji Gejala Autokorelasi

Uji Autokorelasi dilihat dari nilai Durbin-Watson yang bernilai 1,697 (Lampiran 6) dengan signifikansi 0,05%. Berdasarkan syarat pengambilan keputusan ada atau tidaknya autokorelasi diperoleh kesimpulan tidak ada autokorelasi pada persamaan.

Pembahasan Identifikasi Masalah I

Pengaruh Luas Areal Tebu

Dari hasil analisis diperoleh bahwa luas areal tebu berpengaruh nyata terhadap produksi gula nasional. Pengaruh luas areal tebu terhadap produksi gula adalah relatif tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 6,138. Jika diperinci komponen penyusun ketersediaan gula adalah produksi, net

stock, dan impor. Hasil estimasi produksi menunjukkan salah satu variabel yang

signifikan mempengaruhi produksi gula nasional adalah kebijakan tataniaga periode pengendalian impor. Net stock merupakan selisih antara stok awal dan stok akhir pada tahun tertentu karena adanya konsumsi.

Bertambahnya luas areal merupakan faktor utama terjadinya peningkatan produksi gula dalam negeri. Namun demikian peningkatan luas daerah penanaman tebu harus disertai dengan peningkatan produktivitasnya (intendifikasi) mengingat semakin kecil dan terbatasnya lahan untuk pertanian terutama di Pulau Jawa dan Sumatera serta kemampuan bersaing dengan komoditas pertanian lainnya.

Pengaruh Rendemen

Dari hasil analisis diperoleh bahwa rendemen berpengaruh nyata terhadap produksi gula nasional. Pengaruh rendemen terhadap produksi gula adalah relatif tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 329339,757. Rendemen menunjukkan kandungan gula yang ada dalam satuan berat tebu. Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya kandungan rendemen dalam tebu seperti waktu pemanenan yang tidak tepat, cara pemanenan yang salah, sistem tebang yang buruk, lokasi jarak ke pabrik gula, suhu dan iklim, serta pengelolaan usahatani sangat mempengaruhi besar kecilnya kandungan rendemen. Rendemen tebu yang dihasilkan cukup bervariasi, begitu juga tingkat ketepatan dalam mengukurnya. Pabrik gula yang mengukur rendemen dengan akurat mendorong petani untuk memasok tebu dengan kualitas yang baik, sehingga rendemen pabrik gula juga tinggi mengingat gula tidak diproduksi di pabrik melainkan di tanaman tebu.

Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula

Kebijakan tataniaga gula pada periode Bulog dan perdagangan bebas tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi gula nasional. Pada periode ini kebijakan yang lebih berperan terhadap peningkatan produksi adalah kebijakan TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) berdasarkan Inpres No.9 tahun 1975 yang berlaku sampai dikeluarkannya UU No.12 tahun 1992. Walaupun sebenarnya peningkatan produksi bukan dikarenakan peningkatan produktivitas maupun rendemen tetapi lebih dikarenakan oleh perluasan area perkebunan tebu baik TRIS (Tebu Rakyat Intensifikasi lahan Sawah) dan TRIT (Tebu Rakyat Intensifikasi

lahan Tegal). Sementara jatah produksi yang dikuasai oleh Bulog dari PG PNP semakin kecil (60-70%) karena Bulog hanya diijinkan untuk membeli gula yang menjadi bagian dari PG PNP. Sedangkan gula dari non PNP bebas dipasarkan (30-40%). Akibatnya terjadi fluktuasi harga akibat spekulasi pedagang disamping stok gula Bulog yang semakin berkurang.

Pada tahun 1990-an produksi gula semakin menurun, apalagi setelah dikeluarkannya UU No.12 Tahun 1992. Banyak petani tebu yang mengganti komoditas usahataninya dengn komoditas lain terutama beras sebagai bahan makanan pokok masyarakat Indonesia. Disamping itu, semakin terpencarnya lokasi perkebunan tebu yang berpengaruh terhadap produktivitas dan rendemen serta biaya produksi yang mahal terutama pada saat krisis moneter turut memberikan pengaruh negatif terhadap produksi gula.

Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas berdampak negatif terhadap produksi gula dalam negeri meskipun tidak signifikan. Pembebasan bea masuk impor gula mengakibatkan impor gula tidak terkendali. Hal ini makin diperparah dengan tingginya biaya produksi gula dalam negeri akibat krisis moneter tahun 1998. Dari sisi pergulaan dunia pada saat itu terjadi surplus gula dunia (harga gula rendah) sehingga gula dalam negeri tidak mampu bersaing dalam hal harga. Kondisi demikian mengakibatkan produsen tidak mendapat insentif untuk melanjutkan produksinya.

Kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor antara lain Kepmenperindag No.643/MPP/Kep/9/2002 yang membatasi importir (hanya Importir Produsen dan Importir Terdaftar) yang diijinkan melakukan impor untuk

melindungi dan menjaga harga domestik dan pendapatan petani. Walaupun pembatasan tersebut disisi lain memberi peluang akan adanya impor gula ilegal yang otomatis akan merusak harga gula domestik. Kebijakan tersebut kemudian direvisi dalam bentuk penetapan harga gula ditingkat petani sebesar Rp 3,410,00/kg (Kepmenperindag No.527/MPP/Kep/9/2004), Rp 3.800,00/kg (Permendag No.08/M-Dag/Per/4/2005), dan Rp 4.800,00/kg (Permendag No.19/M-Dag/Per/4/2006).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik

Dalam persamaan diketahui variabel bebas terdiri dari Harga Gula Dunia (X1), Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar (X2), Impor (X3), Produksi (X4),

Konsumsi (X5), Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bulog (D1), dan

Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bebas (D2), sedangkan Kebijakan

Tataniaga Gula Periode Pengendalian Impor dalam defenisi ini disebut sebagai grup dasar (base category). Dari variabel-variabel bebas tersebut akan dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap harga gula domestik sebagai variabel dependen (variabel terikat). Namun dalam kajian penulisan lebih lanjut ditentukan bahwa variabel bebas yang digunakan hanya Impor (X3), Produksi (X4),

Konsumsi (X5), Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bulog (D1), dan

Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bebas (D2

Dalam persamaan, variabel (X

). Hal ini dikarenakan adanya gejala Multikolinearitas yang terjadi pada persamaan.

1) Harga Gula Dunia dan variabel (X2) Nilai

disebabkan karena harga gula dunia dan kurs rupiah bergerak searah dengan impor, dimana komponen dari variabel impor adalah penetapan harga gula dunia dan kurs rupiah. Sehingga untuk menghilangkan gejala Multikolinearitas kedua variabel yaitu variabel harga gula dunia dan kurs rupiah harus dikeluarkan dari persamaan.

Setelah mengeluarkan variabel (X1) Harga Gula Dunia dan variabel (X2

Y = α1 + α2D1 + α3D2 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + µ

) Nilai Tukar Rupiah dari persamaan, maka diperoleh persamaan baru yaitu :

Keterangan :

Y = harga gula domestik (Rp/ton) X1 = impor gula (ton)

X2 = produksi gula (ton) X3 = konsumsi gula (ton)

D1 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bulog/stabilisator 0 : kebijakan tataniaga lainnya.

D2 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bebas/liberalisasi 0 : kebijakan tataniaga lainnya.

Tabel 4. Hasil Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik Variabel Bebas Koefisien Regresi Standar

Error T-hitung Signifikan

Constant -2,424E6 3,930E6 -0,617 0,547

X1=impor 0,551 0,545 1,013 0,328

X2=produksi 0,557 1,093 0,509 0,618

X3=konsumsi 1,607 1,387 1,159 0,266

D1=kebijakan tataniaga bulog -289734,622 1,284E6 -0,226 0,825 D2=kebijakan tataniaga bebas 2,378E6 905203,565 2,627 0,020(*) R=0,830

R-Square=0,689

F-Hitung=6,211 0,000a

F-Tabel=2,96 T-Tabel=2,14

Keterangan : tn=tidak nyata pada taraf kepercayaan 95% *=nyata pada taraf kepercayaan 95% Sumber : Diolah dari Lampiran 8

Persamaan yang diperoleh dari hasil analisis adalah :

Y = -2,424E6 - 289734,622D1 + 2,378E6D2 + 0,551X1 + 0,557X2 + 1,607X

(-0,617) (-0,226) (2,627) (1,013) (0,509) (1,159)

3

Dari model diatas dihasilkan nilai Koefisien Determinasi sebesar 0,689. Hal ini menunjukkan bahwa 68,9% variasi variabel harga gula domestik telah dapat dijelaskan oleh variabel bebas impor, produksi, konsumsi, kebijakan tataniaga bulog, kebijakan tataniaga bebas, dan kebijakan tataniaga pengendalian impor.

Secara serempak pengaruh variabel Impor, Produksi, Konsumsi adalah nyata walaupun taraf kepercayannya tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Uji F, yaitu F-Hitung = 6,211 > F-Tabel = 2,96 dan Nilai Signifikansi 0,000.

Secara Parsial, variabel Impor berpengaruh terhadap harga gula domestik. Walaupun tidak terlalu tinggi, pengaruh tersebut nyata pada taraf kepercayaan

67,2%. Nilai koefisien variabel Impor sebesar 0,551 menunjukkan jika impor naik sebesar 1 ton maka akan menaikkan harga gula domestik sebesar 0,551 rupiah.

Secara Parsial, variabel Produksi tidak berpengaruh terhadap harga gula domestik. Pengaruh tersebut tidak nyata pada taraf kepercayaan 38,2%. Nilai koefisien variabel Produksi sebesar 0,557 menunjukkan jika Produksi naik 1 ton maka akan menaikkan harga gula domestik sebesar 0,557 rupiah.

Secara Parsial, variabel Konsumsi berpengaruh terhadap harga gula domestik. Pengaruh ini nyata pada taraf kepercayaan 73,4%. Nilai koefisien variabel Konsumsi sebesar 1,607 menunjukkan jika Konsumsi naik 1 ton maka akan menaikkan harga gula domestik sebesar 1,607 rupiah.

Secara Parsial, variabel Kebijakan Tataniaga Bulog tidak berpengaruh terhadap harga gula domestik. Hal ini dapat dilihat dari nilai T-Hitung = -0,226 < T-Tabel = 2,14, dan tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%.

Secara Parsial, variabel Kebijakan Tataniaga Bebas berpengaruh terhadap harga gula domestik. Hal ini dapat dilihat dari nilai T-Hitung = 2,627 > T-Tabel = 2,14, dan signifikan pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil Asumsi Regresi Linear Berganda Uji Linearitas

Dari persyaratan untuk melihat apakah persamaan dilakukan uji F dengan kriteria penilaian adalah jika F-Hitung > F-Tabel adalah signifikan, dan didapat F- Hitung = 6,211 dan F-Tabel = 2,96 (Lampiran 6), sehingga persaman yang digunakan adalah Linear.

Uji Gejala Multikolinearitas

Setelah melihat tabelCoefficient terdapat nilai VIF untuk masing-masing

variabel mempunyai nilai < 10 dan nilai Tolerance > 0,1 (Lampiran 6). Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa gejala multikolinearitas tidak terdapat dalam persamaan ini.

Uji Gejala Autokorelasi

Uji Autokorelasi dilihat dari nilai Durbin-Watson yang bernilai 1,609 (Lampiran 6) dengan signifikansi 0,05%. Berdasarkan syarat pengambilan keputusan ada atau tidaknya autokorelasi diperoleh kesimpulan tidak ada autokorelasi pada persamaan.

Pembahasan Identifikasi Masalah II

Pengaruh Impor

Dari hasil analisis diperoleh bahwa Impor berpengaruh terhadap harga gula domestik. Pengaruh Impor terhadap harga gula relatif kecil. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 0,551.

Pembatasan impor dan dukungan positif terhadap harga domestik memberikan insentif bagi produsen gula maupun pelaku industri gula untuk meningkatkan prouksinya menuju swasembada gula khususnya untuk konsumsi langsung. Pada era kebijakan tataniaga bebas terjadi ledakan impor gula di Indonesia yang mengakibatkan anjloknya harga gula domestik. Sehingga perlu dilakukan pembatasan Impor untuk melindungi harga gula dalam negeri.

Pengaruh Produksi

Dari hasil analisis diperoleh bahwa produksi tidak terlalu signifikan berpengaruh terhadap harga gula domestik. Pengaruh poduksi terhadap harga gula domestik relatif kecil. Hal ini dapat ditunjukkan dari nilai koefisien variabelnya sebesar 0,557. Kondisi demikian merupakan anomali dari teori penawaran yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah barang yang ditawarkan maka harga yang terjadi semakin menurun. Tetapi hal ini tidak terjadi pada harga domestik gula pasir di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan ketersediaan gula pasir yang ada sebagian besar dari produksi dalam negeri yang pertumbuhan produksinya relatif lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi yang setiap tahun semakin tinggi mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk di Indonesia yang semakin banyak.

Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir rata-rata produksi gula hanya mampu memenuhi 68,71% dari total rata-rata konsumsi gula tiap tahunnya. Disamping itu suplai gula dunia pada tahun 2004 menurun akibat kenaikan harga BBM dan reformasi kebijakan pergulaan dunia di Uni Eropa membuat negara- negara produsen gula di Eropa mengkonversi produk gula menjadi bio-etanol sebagai bahan bakar pengganti. Hal itulah yang menyebabkan kondisi pergulaan dunia defisit sehingga harga gula dunia meningkat (menjadi lebih kompetitif) hingga saat ini. Meskipun produksi beberapa tahun terakhir menunjukkan perkembangan positif, tetapi impor masih tetap dilakukan karena belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi (langsung maupun tidak langsung) dan stok gula.

Pengaruh Konsumsi

Dari hasil analisis diperoleh bahwa Konsumsi berpengaruh nyata terhadap harga gula domestik. Pengaruh konsumi terhadap harga gula relatif kecil. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 1,607.

Harga yang diterima konsumen (harga eceran) mempengaruhi besar kecilnya tingkat konsumsi terhadap suatu barang dan sebaliknya. Namun besar kecilnya pengaruh harga tergantung jenis barang, elastisitas harga, dan sebagainya. Besarnya konsumsi gula dalam analisis ini juga mempengaruhi harga gula domestik dengan tingkat kepercayaan 98%. Peningkatan konsumsi gula pada tingkat rata-rata menyebabkan kenaikan harga dalam negeri sebesar 1,607. Hal ini sesuai dengan teori permintaan, yaitu semakin banyak jumlah barang yang diminta maka harga akan meningkat. Kenaikan konsumsi gula ini dikarenakan kenaikan konsumsi langsung akibat peningkatan populasi (jumlah penduduk) maupun kenaikan konsumsi tidak langsung akibat peningkatan industri makanan, minuman, farmasi, dan lain sebagainya. Walaupun tidak menutup kemungkinan penggunaan pemanis lain (gula non tebu maupun gula sintetis) juga mengalami peningkatan seiring dengan diversifikasi kebutuhan konsumen.

Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula

Kebijakan tataniaga gula yang mengatur tentang harga dilakukan untuk menjaga stbilitas harga domestik dengan tetap melindungi produsen atau industri pergulaan pada umumnya. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode Bulog berkorelasi negatif. Kebijakan yang dikeluarkan pada periode ini misalnya kebijakan penetapan harga dasar menyebabkan penurunan harga domestik.

Kebijakan tentang harga dikeluarkan untuk melindungi produsen (jika harga di pasar terlalu rendah) atau melindungi konsumen jika terjadi gejolak harga sebagai pengaruh inflasi dan sebagainya. Kebijakan tataniaga Bulog sebenarnya merupakan sebuah hambatan non tarif (impor dan distribusi) yang mengisolasi pasar domestik dari pasar gula dunia. Harga cenderung stabil baik ditngkat konsumen maupun produsen. Namun hal ini menyebabkan inefisiensi karena

margin atau selisih harga yang terjadi antara harga tingkat produsen dengan

tingkat konsumen cukup besar.

Kebijakan tataniaga gula pada periode perdagangan bebas jelas berpengaruh negatif terhadap harga gula domestik. Dengan diserahkannya tataniaga gula ke mekanisme pasar mengakibatkan gula impor bebas masuk ke Indonesia. Kebijakan ini tidak efektif memproteksi industri gula nasional. Gula dunia yang terdistorsi akibat proteksi yang dilakukan oleh negara-negara produsen dengan subsidi dan sebagainya mengakibatkan harga gula dunia relatif lebih rendah dibandingkan dengan harga gula nasional.

Tidak semua kebijakan memiliki hubungan negatif terhadap harga domestik. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada perode pengendalian impor ternyata memiliki pengaruh positif terhadap harga domestik. Kebijakan tataniaga yang dikeluarkan pada periode ini antara lain pengendalian impor dengan membatasi hanya Importir Terdaftar (IT) dan Importir Produsen (IP) yang diijinkan melakukan impor gula (Kepmenperindag No.643/MPP/Kep/9/2002) dengan berbagai revisi terkait dengan penetapan harga gula ditingkat petani. Kebijakan terakhir (Permendag No.19/M-Dag/Per/4/2006) menetapkan harga gula putih

Dokumen terkait