• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir di Indonesia"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENGARUH KEBIJAKAN TATANIAGA GULA

TERHADAP KETERSEDIAAN DAN HARGA DOMESTIK

GULA PASIR DI INDONESIA

SKRIPSI

OLEH :

FAISAL RUSHDY

070304057

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Faisal Rushdy (070304057/Agribisnis) Judul Skripsi Analisis Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik

Gula Pasir di Indonesia Dosen Pembimbing Dr. Ir. Tavi Supriana MS dan Dr. Ir. Rahmanta Ginting MS.

Sepanjang sejarah di Indonesia perdagangan gula tidak pernah lepas dari campur tangan pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan dan mengatur perdagangan gula yang tentunya berdampak pada produksi nasional, ketersediaan (stok), pemasaran dan distribusi, impor, harga gula, dan lain sebagainya. Hal ini karena perdagangan gula tidak hanya suatu masalah teknis saja, melainkan suatu sistem yang didalamnya banyak komponen yang mempengaruhi maupun terpengaruh olehnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan dan harga domestik gula pasir di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dan data yang digunakan berupa data time series dengan rentang waktu tahun 1990-2009 yang dianalisis dengan alat bantu software program Statistical Package for Social

Science.

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi produksi gula pasir domestik adalah kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor, luas areal, dan rendemen tebu. Harga gula domestik secara signifikan dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga disetiap periode, impor, dan konsumsi gula. Kebijakan tataniaga gula berpengaruh secara langsung terhadap produksi gula dan harga domestik. Kebijakan tataniaga gula periode Bulog cenderung untuk stabilisasi (menekan impor dan harga domestik untuk menjaga stabilisasi harga). Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas/liberalisasi hanya signifikan mempengaruhi harga domestik dengan korelasi negatif. Kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor secara signifikan berpengaruh positif baik terhadap produksi maupun harga gula domestik.

(3)

RIWAYAT HIDUP

Faisal Rushdy, lahir di Pematangsiantar pada tanggal 13 Februari 1989

anak dari Bapak Arman dan Ibu Tumini. Penulis merupakan anak pertama dari

tiga bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1995 masuk Sekolah Dasar Negeri No.122367 Pematangsiantar tamat

tahun 2001.

2. Tahun 2001 masuk Sekolah Lanjut Tingkat Pertama Negeri 4 Pematangsiantar

tamat tahun 2004.

3. Tahun 2004 masuk Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Pematangsiantar tamat

tahun 2007.

4. Tahun 2007 menempuh pendidikan di Program Studi Agribisnis, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Selama perkuliahan penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan organisasi

yaitu :

1. Ketua Forum Silaturrahim Mahasiswa Muslim Sosial Ekonomi Pertanian

(FSMM-SEP) tahun 2009-2010.

2. Staf Humas Ikatan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (IMASEP) tahun

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Adapun judul dari penelitian ini adalah “Analisis Pengaruh Kebijakan

Tataniaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik Gula Pasir di

Indonesia”. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat

untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara Medan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada

Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Bapak Dr. Ir. Rahmanta Ginting MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah meluangkan waktunya membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Salmiah MSi, selaku Ketua Program Studi Agribisnis FP USU dan

Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis MEc, selaku Sekretaris Program Studi

Agribisnis FP USU yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam

hal kuliah dan administrasi kegiatan organisasi di kampus.

2. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Program Studi Agribisnis FP USU yang

selama ini telah membekali ilmu pengetahuan kepada penulis.

(5)

Segala hormat dan terima kasih khusus penulis ucapkan kepada Ayahanda

Arman dan Ibunda Tumini atas kasih sayang, motivasi, dan dukungan baik

secara materi maupun do’a yang diberikan kepada penulis selama menjalani

kuliah, tak lupa kepada para adinda Norman dan Adhary Ismail atas semangat

yang diberikan.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua teman-teman di Program

Studi Agribisnis angkatan 2007, khususnya kepada Afreri Purnama Dewi Harahap

yang telah banyak membantu penulis dalam suka dan duka, kepada A3BF (Abdi,

Azhar, Acha, dan Badar) feat Cemoul, Kakanda Evan, Juan, RoviL, Reza Dark,

Ilham, Halim, Tika, Jefry, dan Kos Badar Pemondokan Emma yang telah menjadi

saksi bisu penulis dalam mengerjakan skripsi, serta DWL Futsal Club yang telah

mengajarkan penulis arti dari sebuah kebersamaan, serta semua pihak yang

banyak membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga apa

yang kita cita-citakan dapat terwujud dan semoga Allah SWT selalu memberikan

yang terbaik bagi kita semua.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2011

(6)

DAFTAR ISI

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI ... 7

Tinjauan Pustaka ... 7

Landasan Teori ... 11

Penelitian terdahulu ... 16

Kerangka Pemikiran ... 17

Hipotesis ... 19

METODE PENELITIAN ... 20

Metode Pengumpulan Data ... 20

Metode Analisis Data ... 20

Langkah-Langkah Analisis Kebijakan ... 23

Mengubah Harga Nominal ke dalam Harga Riil ... 23

Interpretasi Hasil ... 23

Uji Asumsi Regresi Linear berganda ... 25

Defenisi dan Batasan Operasional ... 27

Defenisi ... 27

Batasan Operasional ... 28

PROFIL INDUSTRI DAN KEBIJAKAN TATANIAGA GULA PASIR DI INDONESIA ... 29

Perkembangan Luas Areal, Produktivitas, dan Kebijakan Tataniaga Gula Pasir di Indonesia ... 29

Kebijakan Tataniaga Gula Pasir di Indonesia ... 31

(7)

Kebijakan Periode Bebas/Liberalisasi ... 32

Kebijakan Periode Pengendalian Impor ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula Dalam Negeri ... 35

Hasil Asumsi Regresi Linear Berganda ... 38

Uji Linearitas ... 38

Uji Gejala Multikolinearitas ... 38

Uji Gejala Autokorelasi ... 39

Pembahasan Identifikasi Masalah I ... 39

Pengaruh Luas Areal Tebu ... 39

Pengaruh Rendemen ... 40

Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula ... 40

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik ... 42

Hasil Asumsi Regresi Linear Berganda ... 45

Uji Linearitas ... 45

Uji Gejala Multikolinearitas ... 46

Uji Gejala Autokorelasi ... 46

Pembahasan Identifikasi Masalah II ... 46

Pengaruh Impor ... 46

Pengaruh Produksi ... 47

Pengaruh Konsumsi ... 48

Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula ... 48

KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

Kesimpulan ... 50

Saran ... 50 DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal.

Konsumsi dan Produksi Gula Nasional Tahun 1990-2009 ... 4

Beberapa Regim Kebijakan Pergulaan Nasional ... 10

Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Produksi Gula di Indonesia ... 37

Hasil Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Hal.

Daftar Pengenaan Tarif Impor Terhadap Efisiensi ... 14

Skema Kerangka Pemikiran ... 18

Perkembangan Luas Areal Tebu di Indonesia, 1969-2009 ... 29

Perkembangan Produktivitas Tebu di Indonesia, 1969-2009 ... 30

(10)

ABSTRAK

Faisal Rushdy (070304057/Agribisnis) Judul Skripsi Analisis Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula Terhadap Ketersediaan dan Harga Domestik

Gula Pasir di Indonesia Dosen Pembimbing Dr. Ir. Tavi Supriana MS dan Dr. Ir. Rahmanta Ginting MS.

Sepanjang sejarah di Indonesia perdagangan gula tidak pernah lepas dari campur tangan pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan dan mengatur perdagangan gula yang tentunya berdampak pada produksi nasional, ketersediaan (stok), pemasaran dan distribusi, impor, harga gula, dan lain sebagainya. Hal ini karena perdagangan gula tidak hanya suatu masalah teknis saja, melainkan suatu sistem yang didalamnya banyak komponen yang mempengaruhi maupun terpengaruh olehnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan dan harga domestik gula pasir di Indonesia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan dan data yang digunakan berupa data time series dengan rentang waktu tahun 1990-2009 yang dianalisis dengan alat bantu software program Statistical Package for Social

Science.

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda didapatkan bahwa faktor yang signifikan mempengaruhi produksi gula pasir domestik adalah kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor, luas areal, dan rendemen tebu. Harga gula domestik secara signifikan dipengaruhi oleh kebijakan tataniaga disetiap periode, impor, dan konsumsi gula. Kebijakan tataniaga gula berpengaruh secara langsung terhadap produksi gula dan harga domestik. Kebijakan tataniaga gula periode Bulog cenderung untuk stabilisasi (menekan impor dan harga domestik untuk menjaga stabilisasi harga). Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas/liberalisasi hanya signifikan mempengaruhi harga domestik dengan korelasi negatif. Kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor secara signifikan berpengaruh positif baik terhadap produksi maupun harga gula domestik.

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gula pasir merupakan suatu komoditi strategis yang memiliki kedudukan

unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

pasir merupakan salah satu bahan kebutuhan pokok yang dikonsumsi masyarakat

secara luas. Keadaan ini tentu akan mempengaruhi kebijaksanaan dan sistem

pergulaan yang terjadi baik dari segi produksi, pengolahan, dan pemasarannya.

Disamping sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat juga sebagai sumber

kalori yang relatif murah. Di Indonesia setiap tahun konsumsi gula oleh rumah

tangga cenderung mengalami peningkatan. Penurunan konsumsi terjadi pada

tahun 1998 sebagai akibat dari tingginya peningkatan harga gula di pasar

domestik. Namun pada periode berikutnya konsumsi gula kembali mengalami

peningkatan.

Kebijaksanaan pemasaran gula pasir yang dilakukan pemerintah pada

prinsipnya mempunyai tujuan untuk menjamin tersedianya gula yang kontinue

kapan saja dan dimana saja serta berupaya menghemat penggunaan devisa.

Dengan struktur produksi yang musiman dan terkonsentrasi di Jawa Timur, maka

pemerintah melakukan campur tangan baik secara langsung maupun tidak

langsung, dengan berbagai peraturan yang diberlakukan (Amang, 2003).

Masyarakat mengkonsumsi gula sebagai kalori atau lebih utamanya

sebagai pemanis maupun pengawet. Upaya untuk menjaga ketersediaan gula

dalam negeri diwujudkan dalam salah satu program ketahanan pangan (revitalisasi

(12)

bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah

yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada

optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik. Salah

satu indikator untuk mengukur ketahanan pangan adalah ketergantungan

ketersediaan pangan nasional terhadap impor.

Harga merupakan salah satu pertimbangan bagi petani untuk memilih

komoditas apa yang bakal dipilih. Dalam situasi harga cenderung kurang

menguntungkan atau lebih rendah dibanding biaya produksi, sangat besar

kemungkinan petani untuk tidak memilih komoditas tersebut. Dalam konteks

gula, sejak gula menjadi komoditas dengan akses ke pasar global sedemikian

luasnya, perubahan sekecil apapun pada lingkungan eksternal akan berdampak

terhadap terbentuknya harga gula di pasar domestik. Perlindungan petani dan

industri gula menjadi sangat penting untuk menghindari perangkap harga gula

yang sangat disortif (Sabil, 2004).

Sepanjang sejarah di Indonesia perdagangan gula tidak pernah lepas dari

intervensi/campur tangan pemerintah. Pemerintah membuat kebijakan-kebijakan

yang mengatur perdagangan gula yang tentunya berdampak pada produksi

nasional, pemasaran/distribusi, ketersediaan domestik, impor, harga gula dalam

negeri, dan lain sebagainya. Hal ini karena perdagangan gula bukan hanya

masalah teknis, melainkan suatu sistem yang didalamnya banyak komponen dan

faktor-faktor yang mempengaruhi dan terpengaruh olehnya.

Kebijakan pergulaan secara garis besar terbagi menjadi 3 regim, yaitu

periode Bulog/stabilisasi (1971-1996), periode perdagangan bebas/liberalisasi

(13)

Pada prinsipnya peningkatan produksi gula dapat dilaksanakan dengan

perluasan areal, peningkatan bobot tebu perhektar dan peningkatan rendemen.

Pilihan untuk peningkatan produksi yang lebih unggul tampaknya adalah

peningkatan rendemen, karena kinerja rendemen selama kurang lebih 27 tahun

masih berada di bawah potensi yang sebenarnya. Bahkan kinerja rendemen

selama lima tahun terakhir hampir hanya separuh dari yang pernah dicapai

sebelum tahun 1975. Karena itu peningkatan rendemen hanya mengembalikan

kinerjanya seperti waktu lalu.

Peningkatan rendemen akan meningkatkan produktivitas (produksi) tanpa

perlu meningkatkan kapasitas pabrik gula. Peningkatan kapasitas pabrik berarti

peningkatan biaya bagi industri gula yang pada saat sekarang barangkali tidak

direkomendasikan untuk melaksanakan investasi peningkatan kapasitas pabrik.

Sebagai contoh, dengan kapasitias giling total seluruh pabrik gula di Indonesia

lebih dari 170 ribu ton tebu per hari pada saat ini dan menggiling tebu lebih dari

25 juta ton hanya mampu menghasilkan hablur sebesar 1,7 juta ton. Hal ini berarti

bahwa produktivitas hablur hanya sekitar 5,01 ton per hektar karena kisaran

rendemen rata-rata hanya sebesar 6,9 % saja. Oleh karena itu dengan total

kapasitas pabrik yang relatif tetap serta bahan baku digiling yang juga relatif

tetap, jika rendemen rata-rata dapat dinaikkan menjadi 8 % maka potensi hablur

yang akan dihasilkan mencapai lebih dari 2 juta ton, dan ini berarti dengan luas

areal yang relatif tetap produktivitas hablur meningkat menjadi sekitar 6 ton per

hektar. Program akselerasi yang akan didukung dengan berbagai terobosan

(14)

hektar. Ini berarti apabila kenaikan produksi hanya bertumpu pada kenaikan

rendemen, maka rendemen rata-rata harus ditingkatkan paling tidak menjadi

sekitar 11%.

Tabel 1. Konsumsi dan Produksi Gula Nasional Tahun 1990 – 2009

Tahun Konsumsi

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara 2010, diolah

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dampak akibat terjadinya krisis

moneter pada tahun 1998 tidak hanya mempengaruhi produksi gula tetapi juga

konsumsi gula dalam negeri. Pada saat itu konsumsi gula mengalami penurunan

yang cukup drastis yakni hingga mencapai 23,55%. Rata-rata konsumsi gula

dalam jangka waktu dua puluh tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar

1,56 % setiap tahunnya. Penurunan konsumsi gula yang terjadi lebih disebabkan

oleh faktor meningkatnya harga yang menurunkan daya beli masyarakat. Tetapi

(15)

dengan pendapatan masyarakat, konsumsi gula juga mengalami peningkatan

kembali meskipun besarnya masih dibawah nilai konsumsi pada tahun-tahun

sebelum krisis moneter.

Dalam rentang waktu dua puluh tahun terakhir ternyata produksi gula

dalam negeri baru mampu memenuhi 68,71% dari kebutuhan konsumsi nasional.

Bahkan sejak terjadinya krisis moneter hingga pada tahun 2003 produksi hanya

sekitar 50% dari total konsumsi. Oleh karena itu pemerintah masih perlu

melakukan impor sekitar 32% untuk memenuhi konsumsi domestik. Kebutuhan

konsumsi gula tersebut belum termasuk untuk persediaan (stok) jika terjadi

lonjakan permintaan pada saat-saat tertentu, seperti menjelang lebaran atau hari

besar lainnya, terjadinya bencana alam, dan lain sebagainya walaupun tidak

sepenting stok pada komoditas beras.

Identifikasi Masalah

1. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula dalam negeri?

2. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula domestik?

3. Bagaimana pengaruh kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan,

produksi, impor, dah harga domestik gula pasir di Indonesia?

Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi gula

dalam negeri.

2. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi harga gula

domestik.

3. Untuk menganalisis pengaruh kebijakan tataniaga gula terhadap

(16)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk data penyusunan skripsi sebagai salah satu

syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian,

Universitas Sumatera Utara, Medan. Serta diharapkan dapat pula berguna sebagai

(17)

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

Tinjauan Pustaka

Bahan baku proses pabrik gula adalah tanaman yang banyak mengandung

gula. Kandungan gula dalam tanaman ini berasal dari hasil proses asimilasi yang

terjadi dalam tanaman ini. Tanaman sebagai bahan baku pabrik gula di Indonesia

terutama adalah tebu, memang ada banyak tanaman yang juga dapat

menghasilkan gula seperti kelapa, enau, nipah, dan lain sebagainya. Tanaman

yang paling banyak digunakan sebagai sumber bahan baku pabrik gula di

Indonesia adalah tebu. Tebu adalah tanaman keluarga rumput-rumputan

(graminae) yang mempersyaratkan iklim banyak hujan saat mulai ditanam dan

sedikit hujan pada saat akan dipanen. Kebetulan kondisi ini sesuai dengan iklim di

Indonesia yang memiliki dua macam iklim yaitu musim penghujan dan musim

kemarau. Tebu yang digunakan sebagai bahan baku pabrik merupakan tanaman

keturunan hasil persilangan antara tebu alam dan pimping untuk tumbuhnya juga

mempersyaratkan kondisi tanah tempat tumbuhnya. Maka untuk memperoleh

hasil yang sesuai dengan yang diharapkan agar di tanaman jenis (varietas) tertentu

yang sesuai dengan kondisi tanah dan iklim (suhu, angin, dan intensitas curah

hujan) agar didapat hasil gula yang cukup tinggi.

Gula sebagai hasil proses asimilasi disimpan oleh tanaman di dalam cairan

sel tebu, cairan ini di lingkungan pabrik gula disebut nira. Selanjutnya mudah

dimengerti bahwa di dalam nira tanaman ini pasti gula tercampur dengan

(18)

Batang tanaman tebu merupakan sumber gula. Namun demikian

rendemen/persentase gula yang dihasilkan hanya berkisar 10-15%. Sisa

pengolahan batang tebu adalah :

1. Tetes tebu (molase) yang diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula dan

masih mengandung gula 50-60%, asam amino, dan mineral. Tetes tebu

adalah bahan baku bumbu masak MSG, gula cair, dan arak.

2. Putik dan tebu yang diperoleh dari penebangan digunakan untuk pakan

ternak dalam bentuk silase, pelet, dan wafer.

3. Ampas tebu merupakan hasil sampingan dari proses ekstrasi cairan tebu.

Dimanfaatkan sebagai bahan bakar pabrik, bahan industri kertas, particle

board dan media untuk budidaya jamur atau dikompakkan untuk pupuk.

4. Blotong yang merupakan hasil sampingan dari proses penjernihan. Bahan

organik ini dipakai sebagai pupuk (Anonimousa

Beberapa masalah yang perlu diperhatikan dan memerlukan tindak lanjut

antara lain :

, 2010).

1. Gula yang terdapat dalam tanaman (tebu) merupakan hasil proses

asimilasi. Proses asimilasi hanya dapat dilakukan tanaman terjadi di dalam

hijau daun dan bantuan sinar matahari. Karena terbentuknya gula dengan

cara ini maka dapat dikatakan yang mampu membuat gula hanyalah

tanaman dalam hal pabrik gula Indonesia adalah tanaman tebu, karena itu

dalam kegiatan di pabrik gula harus berusaha agar terbentuknya gula

(19)

2. Gula yang sudah terbentuk di dalam tebu secara maksimal itu harus

diusahakan agar selama proses di pabrik gula yang sudah terbentuk

tersebut tidak hilang maupun rusak.

Untuk dapat memperoleh hasil sesuai dengan rencana diatas maka perlu

diikuti perkembangan terbentuknya gula di tanaman tebu maupun langkah

pabrikasi di dalam mengambil gula yang sudah terdapat di dalam tebu. Agar gula

yang sudah terbentuk tersebut tidak hilang dan tidak rusak. Karena itu petugas

yang menangani kegiatan di pabrik harus dapat mengikuti proses yang terjadi baik

semenjak usaha menghasilkan gula di dalam tanaman maupun pada saat

memisahkan gula dari komponen tebu yang lain dalam proses pabrikasi

(Soejardi, 2003).

Pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan yang secara langsung

ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan

pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input

(20)

Tabel 2. Beberapa Regim Kebijakan Pergulaan Nasional

Regim Kebijakan

Nomor

SK/Kepres/Kepmen Perihal Tujuan

Bulog / no.43/1971 tang meliputi gula PNP

Inpres No.9/1975, 22 April 1975

Intensifikasi tebu (TRI) Peningkatan produksi gula serta peningkatan pendapatan gula pasir serta peningkatan pendapatan petani

Kepmenkeu No. 342/KMK. 011/1987

Penetapan harga gula pasir dalam negeri dan impor pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas sesuai dengan UU No. 12/1992 Kepmenperindag No.

Tataniaga impor gula Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula untuk melindungi industri

Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri

Perubahan bea masuk Peningkatan efektifitas bea masuk

Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/200 2, 23 September 2002

Tataniaga impor gula Pembatasan pelaku impor gula hanya pada importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani / produsen Kepmenperindag No.

527/MPP/Kep/2004

Pengaturan Impor, kualitas

gula, dan harga referen gula petani

Pembatasan pelaku impor gula, kualiatas gula , waktu impor, dan harga

(21)

Landasan Teori

Indonesia pernah mengalami masa gemilang sebagai negara utama

penghasil gula pasir yaitu sekitar tahun 1930-1932 ketika mampu memproduksi

gula pasir hampir 3 juta ton. Pada saat itu, di Indonesia terdapat 179 buah pabrik

gula yang menguasai areal tanaman tebu hanya 196,65 ribu Ha. Dengan

kemampuan ekspor gula pasir antara 1,5-2,0 juta ton. Indonesia saat itu tercatat

sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Kuba

(Winarno dan Birowo, 1988).

Namun sejak perusahaan gula diambil alih oleh pemerintah Indonesia

(setelah kemerdekaan RI) secara perlahan kinerja industri gula menurun.

Meskipun demikian industri gula masih bertahan hidup dan merupakan industri

yang dapat memberikan penghidupan yang terhormat bagi banyak pihak karena

industri gula banyak mendapatkan proteksi dan subsidi dari pemerintah. Laju

peningkatan produksi masih lebih rendah dari konsumsi gula sehingga kebutuhan

impor makin besar (Masyuhuri, 2005).

Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, maka permintaan akan gula

ini juga mengalami peningkatan. Konsumsi yang semakin bertambah ini harus

segera direspon pemerintah tentang bagaimana penyediaannya (dari produksi

dalam negeri, impor ataukah keduanya). Untuk memenuhi kebutuhan gula pasir

yang terus meningkat, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk

mendorong peningkatan produksi dalam negeri melalui berbagai kebijakan antara

lain TRI, rehabilitasi pabrik gula, penetapan harga provenue, dan sebagainya yang

bertujuan menjaga ketersediaan gula dengan melindungi produsen dalam negeri

(22)

Kondisi dan permasalahan pergulaan nasional memang sangat kompleks

dari sisi produksi, konsumsi, impor maupun perdagangannya. Keseluruhan sisi

tersebut tidak terlepas dari kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Mengingat gula

merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok yang dibutuhkan oleh seluruh

kalangan masyarakat.

Untuk melindungi produsen lokal dari persaingan internasional, ada dua

bentuk utama kebijakan yaitu kebijakan hambatan tarif dan non tarif. Kebijakan

tarif dirancang untuk meningkatkan harga dari barang impor secara langsung dan

non tarif merupakan alat yang dirancang untuk mengurangi arus dari barang

impor. Hanya hambatan tarif yang dapat diterapkan untuk produsen lokal, non

tarif tidak diperkenankan lagi oleh WTO. Tarif juga dapat diterapkan dalam dua

bentuk yaitu tarif spesifik yang dikenakan dengan jumlah uang tertentu untuk tiap

satuan produk, dan tarif ad valorem yang dikenakan sebagai persentase tertentu

dari harga produk.

Dampak dari pengenaan tarif pada efisiensi ekonomi dapat dianalisis

dengan menggunakan konsep surplus konsumen dan surplus produsen dalam

ekonomika mikro (Gambar 1). Surplus konsumen adalah selisih antara nilai yang

diterima konsumen dari konsumsi barang tertentu dengan jumlah yang mereka

bayar untuk barang tersebut. Dalam hal ini digambarkan oleh luas daerah di

bawah kurva permintaan terkompensasi dan di atas harga pasarnya.

Secara umum, istilah produksi diartikan sebagai penggunaan atau

pemanfaatan sumberdaya yang mengubah suatu komoditas menjadi komoditas

lainnya yang sama sekali berbeda, baik dalam pengertian apa, dimana atau kapan

(23)

dapat dikerjakan oleh konsumen terhadap komoditas itu. Produksi dapat

didefenisikan sebagai hasil dari suatu proses atau aktivitas ekonomi dengan

memanfaatkan beberapa masukan (input). Dengan demikian, kegiatan produksi

tersebut adalah mengombinasikan berbagai input untuk menghasilkan output

(Agung,dkk.,2008).

Dalam perekonomian, fungsi perusahaan dalam perekonomian adalah

sebagai penyedia berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat. Dalam

kegiatan mewujudkan barang dan jasa yang diperlukan masyarakat tersebut,

perusahaan-perusahaan haruslah menggunakan faktor-faktor produksi. Teori

produksi menerangkan sifat hubungan diantara tingkat produksi yang akan dicapai

dengan jumlah faktor-faktor produksi yang digunakan (Sukirno, 1996).

Didalam ekonomi, kita kenal apa yang disebut fungsi produksi yaitu suatu

fungsi yang menunjukkan hubungan antara hasil produksi fisik (output) dengan

faktor – faktor produksi (input). Dalam bentuk matematika sederhana fungsi

produksi ini dituliskan sebagai berikut.

Y = f (x1, x2,…..xn)

Dimana :

Y = hasil produksi fisik

x1 = faktor – faktor produksi

(Mubiyarto, 1989)

Perkaitan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat prodiksi yang

diciptakannya dinamakan fungsi produksi. Faktor-faktor produksi dapat

dibedakan kepada empat golongan, yaitu tenaga kerja, tanah, modal, dan keahlian

(24)

Surplus produsen adalah selisih antara total nilai yang diterima produsen

dari semua satuan produk yang terjual dari suatu komoditas dengan biaya variabel

total untuk memproduksi komoditas tesebut. Dalam hal ini digambarkan oleh

daerah di atas kurva penawaran dan di bawah harga pasar komoditas tersebut.

Surplus konsumen dan produsen untuk menggambarkan kesejahteraan konsumen

dan produsen secara berturut-turut yang dapat diperoleh dalam perdagangan

tersebut.

Harga Harga

D S D S

pd

pw pw a b d e

c

q0 q1 q0 q3 q2 q1

Kuantitas Kuantitas

(A) (B)

Gambar 1. Dampak Pengenaan Tarif Impor Terhadap Efisiensi

Pada kedua bagian dari Gambar 1, D dan S berturut-turut menunjukkan

kurva permintaan dan penawaran dalam negeri dan pw adalah tingkat harga dunia

dari komoditas yang diimpor dan dihasilkan di dalam negeri. Konsumsi dalam

negeri sebesar q1, produksi dalam negeri q0, impor q0 q1. Bagian A menunjukkan

(25)

dengan pengenaan tarif oleh pemerintah sebesar T tiap satuan komoditas,

sehingga harga dalam negeri meningkat menjadi pd. Konsumen mengurangi

konsumsi dari q1 menjadi q2 dan membayar tambahan uang yang ditunjukkan

oleh daerah a , b dan d, untuk kuantitas sebesar q2 yang mereka beli sekarang.

Produksi dalam negeri meningkat dari q1 menjadi q2 dan impor menjadi q3 q2

sehingga penerimaan pemerintah menjadi d.

Dampak pengenaan tarif pada konsumen dalam negeri berupa kehilangan

surplus konsumen yang ditunjukkan oleh daerah a+b+d+e. Dari daerah yang

hilang tersebut daerah a ditransfer kepada produsen sebagai produsen surplus dan

daerah d diperoleh pemerintah sebagai penerimaan. Daerah b merupakan biaya

langsung untuk menghasilkan tambahan produksi sebesar q3 q0, di dalam negeri.

Biaya tersebut mencerminkan adanya produksi yang tidak efisien, yang

seharusnya dapat diperoleh dengan impor pada harga yang lebih rendah. Daerah e

merupakan surplus konsumen yang hilang akibat dari konsumsi yang berkurang.

Daerah b dan e merupakan daerah yang hilang dan tidak ada satupun pihak yang

dapat memperolehnya, yang disebut sebagai kerugian percuma (dead weight loss)

dari tarif.

Tingkat tarif impor optimum merupakan tingkat tarif yang ditentukan

dengan mempertimbangkan dampak pengenaannya terhadap konsumen yaitu

kehilangan surplus konsumen dan keterjangkauan konsumen termiskin untuk

membeli komoditas yang meningkat harganya. Selain itu juga mempertimbangkan

dampak terhadap produsen untuk mempertahankan operasinya dan surplus

produsen yang diperolehnya akibat dari kenaikan harga yang terjadi. Dalam

(26)

diperlukan ketajaman wawasan, karena lebih banyak bersifat subyektif daripada

obyektif.

Penelitian Terdahulu

Pada penelitian ini terdapat beberapa penelitian terdahulu yang digunakan

sebagai referensi dalam penulisan, yaitu :

Menurut kholifah (1995) aktivitas intervensi pemerintah ini dilakukan

bukan tanpa alasan yang kuat. Pemerintah berkepentingan sekali terhadap

stabilitas harga dan stok gula di pasaran. Kondisi yang tidak memungkinkan

menciptakan stabilitas menjadi sasaran perubahan. Selama ini pemerintah menjadi

kekuatan superior yang tidak dapat dipengaruhi oleh kelompok lain. Kondisi ini

tercermin dalam setiap kali pemerintah memformulasikan kebijakan gula,

khususnya kebijakan perdagangan gula.

Disamping kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan

kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan

harga gula di pasar domestik. Bahkan dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan

perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan kebijakan produksi dan input.

Diantara kebijakan tersebut, Kepres No. 43/1971 merupakan salah satu contoh

intervensi pemerintah dalam hal pemasaran gula. Kepres tersebut pada dasarnya

memberi wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan

(27)

Kerangka Pemikiran

Semenjak tahun 1990 konsumsi gula pasir dalam negeri sudah mengalami

kenaikan yang signifikan dan tergolong tinggi yaitu mencapai 2,4 juta ton. Angka

ini tidak diikuti oleh pertumbuhan produksi gula yang signifikan. Hal ini

disebabkan oleh tingginya angka pertumbuhan penduduk dan perkembangan

industri gula pada saat itu. Di tengah meningkatnya konsumsi, harga gula rata-rata

pada saat itu sudah sebesar Rp 708,00/kg sebelum akhirnya melonjak naik secara

drastis hingga Rp 1.450/kg tahun 1998 akibat dari krisis moneter yang melanda

Indonesia. Tahun itu juga ditandai dengan babak baru regim bebas/liberalisasi dan

berakhirnya regim Bulog sebagai lembaga stabilisator pergulaan nasional yang

dianggap tidak mampu lagi menjaga kestabilan harga gula dalam negeri.

Semua kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dianggap akan mampu

memenuhi konsumsi gula pasir domestik dan menjaga pasokan tebu sebagai

bahan baku pembuatan gula pasir di dalam negeri. Secara garis besar banyak

kalangan menilai semua kebijakan tersebut tidak efektif karena hanya bersifat

jangka pendek dan berpihak pada sebagian kalangan. Namun pemerintah tetap

menjalankan kebijakan tersebut dengan alasan bahwa kebijakan dalam negeri

menstabilkan harga kebutuhan pokok, termasuk gula pasir yang merupakan hal

yang penting bagi masyarakat dan bagi perekonomian secara keseluruhan.

Jika kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut dinilai efektif maka akan

mampu membuat harga gula pasir turun menjadi harga semula dan stabil. Namun

jika tidak maka pemerintah seharusnya mencari lagi kebijakan lain (kebijakan

alternatif) yang bisa dengan efektif menurunkan harga gula pasir dan bukan hanya

(28)

Dalam penelitian ini kebijakan pemerintah sebagai suatu instrumen

penstabil harga akan dilihat pengaruhnya dalam menurunkan harga gula pasir dan

memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri serta melihat kebijakan mana yang

paling efektif untuk menstabilkan harga gula pasir di Indonesia. Secara ringkas

dapat dilihat pada skema di bawah ini :

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran Kenaikan Harga

Gula Pasir

Produksi dan Ketersediaan

Harga Domestik Kebijakan

Pemerintah

Bulog / Stabilisasi

Bebas / Liberalisasi

Pengendalian Impor Produksi Gula

(29)

Hipotesis

Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang telah diuraikan

maka hipotesis dari penelitian ini adalah :

1. Kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor, luas areal, dan

rendemen tebu berpengaruh positif terhadap produksi gula pasir.

2. Harga gula domestik secara signifikan dipengaruhi oleh kebijakan

(30)

METODE PENELITIAN

Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dengan

range tahun 1990-2009 yang dianalisis dengan alat bantu program SPSS 16

(Statistical Package for Social Science) dan berupa Data Sekunder. Menurut

Wirartha (2005), penggunaan Metode Data Sekunder lebih banyak digunakan

untuk penelitian mengenai kebijakan. Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan Jenis Data Sekunder yang diperoleh peneliti dari Dinas

Perkebunan, Badan Pusat Statistik, serta berbagai terbitan dan publikasi lain yang

terkait dengan pergulaan baik cetak maupun elektronik (internet).

Metode Analisis Data

Untuk mengevaluasi berpengaruh secara langsung atau tidak berpengaruh

secara langsung (pada identifikasi masalah 3) kebijakan yang telah diberlakukan

pemerintah dalam rangka menstabilkan harga gula dalam negeri dilakukan dengan

pendekatan ekonometrika. Salah satu pendekatan yang digunakan yaitu dengan

Analisis Regresi Linear Berganda. Sehingga nantinya akan diperoleh dugaan dari

koefisien/parameter hubungan ekonomi. Nilai koefisien/parameter dugaan ini

dapat digunakan untuk mengevaluasi keseimbangan atau parameter dari teori

ekonomi yang kemudian akan sangat penting untuk pengambilan keputusan bagi

perusahaan maupun formulasi kebijakan ekonomi pemerintah dan nilai tersebut

(31)

Untuk menguji identifikasi masalah (1) akan diuji dengan menggunakan

regresi, dengan persamaan :

Y = α1 + α2D1 + α3D2 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + µ

Keterangan :

Y = produksi gula (ton)

X1 = luas areal (Ha)

X2 = rendemen (%)

X3 = jumlah pabrik gula (unit)

D1 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bulog/stabilisator

0 : kebijakan tataniaga lainnya.

D2 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bebas/liberalisasi

0 : kebijakan tataniaga lainnya.

µ = random error

Sedangkan untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor

(terkendali) dalam defenisi ini disebut grup dasar (base category).

Dan untuk menguji identifikasi masalah (2) akan diuji dengan

menggunakan regresi, dengan persamaan :

Y = α1 + α2D1 + α3D2 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + µ

Keterangan :

Y = harga gula domestik (Rp/ton)

X1 = harga gula dunia (US$/ton)

X2 = nilai tukar rupiah terhadap dollar (Rp/US$)

X3 = impor gula (ton)

(32)

X5 = konsumsi gula (ton)

D1 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bulog/stabilisator

0 : kebijakan tataniaga lainnya.

D2 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bebas/liberalisasi

0 : kebijakan tataniaga lainnya.

µ = random error

Sedangkan untuk kebijakan tataniaga gula periode pengendalian impor

(33)

Langkah-Langkah Analisis Kebijakan

Untuk mendapatkan hasil yang optimal didalam penelitian ini digunakan

langkah-langkah sebagai berikut:

Mengubah Harga Nominal ke dalam Harga Riil

Data yang digunakan adalah data harga gula domestik dan data harga

tersebut di ubah kedalam harga riil. Untuk mendapatkan harga riil digunakan

rumus sebagai berikut :

Harga Riil =

Harga riil adalah harga satu barang dilihat dari satu waktu yang konstan.

Untuk mendapatkan harga riil yaitu dengan mengeluarkan faktor inflasi dengan

menggunakan data Indeks Harga Konsumen (IHK).

IHK atau Indeks Harga Konsumen adalah nomor indeks yang mengukur

harga rata-rata dari barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga

(Household). IHK sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara

dan juga sebagai pertimbangan untuk penyesuaian gaji, upah, uang pensiun, dan

kontrak lainnya.

Interpretasi Hasil

Uji Kesesuaian (Test of Godness of Fit) Koefisien Determinasi (R2

Besaran R

)

2

adalah yang paling lazim digunakan untuk mengukur

kebaikan/kesesuaian (goodness of fit) dari garis regresi. R2 mengukur proporsi

(bagian) atau persentase total variasi dalam Y yang dijelaskan oleh model regresi. Harga Nominal × 100

(34)

Uji Tingkat Penting (Test of Significance)

Pengujian tingkat penting adalah suatu prosedur dengan mana hasil sampel

digunakan untuk menguji kebenaran atau kepalsuan suatu hipotesis nol.

Keputusan untuk menerima atau menolak H0

Uji parsial (Uji t-Statistik)

dibuat atas dasar nilai statistik uji

yang diperoleh dari data yang dimiliki.

Dengan Kriteria Uji :

a. Jika th >tt maka ada pengaruh nyata variabel bebas terhadap variabel terikat

Rumus :

SE = standar error koefisien a

= koefisien regresi hasil estimasi untuk variable ke-h

Selanjutnya identifikasi masalah lainnya dianalisis secara deskriptif

berdasarkan data sekunder dan fakta-fakta yang terjadi. Penelitian deskriptif

terbatas pada usaha mengungkapkan masalah, keadaan atau peristiwa

sebagaimana adanya. Sifatnya sekedar mengungkapkan fakta (fact finding). Hasil

penelitian lebih ditekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang

(35)

keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki. Penelitian deskriptif melakukan

analisis hanya sampai pada taraf deskriptif, yaitu menganalisis dan menyajikan

fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.

Kebanyakan pengolahan data didasarkan pada analisis persentase dan analisis

kecenderungan.

Uji Asumsi Regresi Linear Berganda

Uji linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah persamaan regresi yang

diperoleh linear atau tidak. Kriteria yang digunakan adalah bila Fhitung > Ftabel

Uji Multikolinearitas bentuk hubungan adalah linier.

Uji multikolinearitas dimaksudkan untuk menghindari adanya hubungan

yang linear antar variabel bebas. Multikolinearitas dapat dideteksi dengan

beberapa metode, diantaranya adalah dengan melihat :

Jika nilai Toleransi atau VIF (Variance Inflation Factor) kurang dari 0,1

atau nilai VIF melebihi 10.

 Terdapat koefisien korelasi sederhana yang mencapai atau melebihi 0,8.  Jika nilai F-hitung melebihi nilai F-Tabel dari regresi antar variabel bebas.

Uji Autokorelasi

Autokorelasi didefinisikan sebagai korelasi antara anggota observasi

(36)

berbagai obyek atau ruang (spatial correlation). Uji Autokorelasi terutama

digunakan untuk data time series. Untuk mengetahui ada tidaknya gejala

autokorelasi dalam model analisis regresi yang digunakan, maka cara yang

digunakan dengan melakukan pengujian serial korelasi dengan metode

Durbin-Watson.

Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi :

 Bila DW terletak antara batas atas atau upper bound (du) dan (4-du), maka

koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autokorelasi.

Bila nilai DW lebih rendah daripada batas bawah atau lower bound

 Bila nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi

lebih kecil daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif.

(dl),

maka koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada

autokorelasi positif.

 Bila nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau

DW terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat

(37)

Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekeliruan dalam penafsiran

penelitian ini maka perlu dibuat defenisi dan batasan operasional sebagai berikut :

Defenisi

1. Kebijakan pemerintah adalah kebijakan dalam program stabilisasi harga

gula pasir yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia untuk komoditi

tebu (kebijakan bulog/stabilisasi, bebas/liberalisasi, dan kebijakan

pengendalian impor).

2. Gula adalah gula pasir yang diproduksi oleh prosesor dalam negeri.

3. Bulog/stabilisasi adalah kebijakan pemerintah yang pada dasarnya

memberikan wewenang kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga serta

pasokan gula pasir, dan menandai era dimulainya peran Bulog sebagai

lembaga stabilisator.

4. Bebas/liberalisasi adalah kebijakan pemerintah yang membuka pasar

impor Indonesia secara dramatis, dimana dalam hal ini pelaku impor

dibebaskan atau tidak dimonopoli oleh Bulog sehingga importir bebas

untuk mengimpor gula tanpa dikenakan tarif impor.

5. Pengendalian impor adalah kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk

mengendalikan impor dengan membatasi importir hanya menjadi importir

produsen dan importir terdaftar.

6. Stabilisasi harga gula pasir adalah tujuan yang ingin dicapai oleh

pemerintah melalui program kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan yaitu

(38)

Batasan Operasional

1. Waktu penelitian dimulai pada tahun 2011.

2. Data yang diambil adalah data dalam kurun waktu tahun 1990 sampai

(39)

PROFIL INDUSTRI DAN KEBIJAKAN TATANIAGA

GULA PASIR DI INDONESIA

Perkembangan Luas Areal, Produktivitas, dan Produksi Gula di Indonesia

Perkembangan luas areal tebu di Indonesia pada periode tahun 1969-2009

cenderung mengalami peningkatan yaitu dari 123.036 ha pada tahun 1969

menjadi 443.832 ha pada tahun 2009 atau mengalami peningkatan rata-rata

sebesar 3,53% per tahun. Namun demikian, pada periode 1997-2003 luas areal

tebu di Indonesia cenderung mengalami penurunan, tetapi tahun berikutnya

kembali mengalami peningkatan. Penurunan luas areal tebu yang cukup tinggi

terjadi pada periode tahun 1997 sebesar 13,36% (Gambar 3).

Gambar 3. Perkembangan Luas Areal Tebu di Indonesia, 1969–2009

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara 2010

Rata-rata peningkatan luas areal tebu tertinggi terjadi pada dekade

1970-1979 dengan peningkatan luas areal rata-rata per tahun sebesar 11,31%. Pada

dekade berikutnya hanya mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar

0,63%. Periode 1990-1999, saat terjadi krisis, luas areal tebu mengalami

penurunan rata-rata sebesar 0,25%, tetapi pada dekade terakhir 2000-2009

(40)

Produktivitas tebu nasional diukur dalam wujud produksi gula hablur.

Perkembangan produktivitas tebu nasional pada kurun waktu 1969–2009 secara

umum terus berfluktuasi. Pada tahun 1969–1979 produktivitas tebu cenderung

mengalami penurunan, tetapi pada periode 1980–1987 cenderung mengalami

peningkatan. Pada periode berikutnya yakni tahun 1988–1998 kembali cenderung

menurun dan pada periode 1999–2009 cenderung mengalami peningkatan.

Gambar 4. Perkembangan Produktivitas Tebu di Indonesia, 1969 - 2009

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara 2010

Produksi tebu nasional dihitung dalam wujud produksi gula hablur.

Perkembangan produksi gula hablur di Indonesia pada periode tahun 1969 – 2009

cenderung mengalami peningkatan walaupun sempat mengalami guncangan

berupa penurunan produksi pada tahun 1998 dan 1999. Hal tersebut lebih banyak

disebabkan menurunnya luas areal pada periode tersebut dan tak kunjung

meningkatnya produktivitas tebu. Namun demikian, setelah periode tersebut

produksi tebu mulai membaik dan sedikit demi sedikit mengalami peningkatan

(41)

Gambar 5. Perkembangan Produksi Gula Pasir di Indonesia, 1969 – 2009

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara 2010

Kebijakan Tataniaga Gula Pasir di Indonesia

Kebijakan Periode Bulog/Stabilisasi

Periode regim stabilisasi ditandai oleh berbagai kebijakan pemerintah

untuk mendorong produksi dalam negeri, stabilitas persediaan dan harga di pasar

domestik. Pada periode ini, kebijakan yang diterapkan pemerintah sangat intensif

baik pada sisi produksi, distribusi, dan harga. Sebagai langkah awal, pemerintah

mengeluarkan Keppres No. 43/1971 yang pada dasarnya memberi wewenang

kepada Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. SK ini

menandai era dimulainya peran Bulog sebagai lembaga stabilisator.

Agar Keppres tersebut lebih efektif, maka Keppres tersebut didukung oleh

Surat Mensekneg No. B. 136/APBN Sekneg/3/74 yang menjelaskan mengenai

Keppres tersebut. Pada periode 1970-1980, jumlah stok yang dikuasai Bulog

berkisar antara 50-80% dari stok total. Ketika program TRI (intensifikasi tebu)

mulai dijalankan dan bagian gula petani menjadi semakin besar, maka stok dan

(42)

1980 Bulog membeli semua produksi gula dalam negeri dan menyalurkannya ke

pasar.

Kebijakan selanjutnya yang dikeluarkan pemerintah pada periode ini

adalah Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987 mengenai harga gula. Instrumen

utama kebijakan tersebut adalah harga provenue dan harga jual yang dikelola oleh

Bulog. Kebijakan ini mempunyai tujuan untuk stabilisasi harga gula di pasar

domestik, peningkatan penghasilan penerimaan pemerintah, harga gula yang

terjangkau masyarakat, serta menjamin pendapatan petani tebu dan pabrik gula

(Sudana, dkk, 2000). Kebijakan ini bersifat multi tujuan, bahkan antar tujuan ada

yang bersifat berlawanan (conflicting) seperti peningkatan pendapatan petani

versus harga yang terjangkau, serta peningkatan penerimaan pemerintah.

Dari sisi kebijakan produksi dan kebijakan input, kebijakan yang paling

signifikan dari pemerintah pada periode stabilisasi adalah kebijakan TRI yang

tertuang dalam Inpres No. 9/1975, pada tanggal 22 April 1975. Tujuan dari

kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi gula serta pendapatan

petani tebu. Dengan demikian, impor gula diharapkan terjadi penurunan. Esensi

dari kebijakan tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya

sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis,

perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD, serta menciptakan suatu

hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik gula (Adisasmito, 1998).

Kebijakan Periode Bebas/Liberalisasi

Pada periode perdagangan bebas/liberalisasi (1997-2002), pemerintah

(43)

dibebaskan, atau tidak dimonopoli oleh Bulog. Dengan argumen untuk

peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Kepmenperindag No.

25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli pada Bulog untuk

mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Era ini merupakan

akhir dari peran Bulog sebagai lembaga yang memonopoli impor, sekaligus

dimulainya era perdagangan bebas untuk gula di pasar Indonesia. Karena tidak

ada tarif impor pada periode ini, maka impor gula dilakukan dengan tarif impor

0% dan pelaku dilakukan oleh perusahaan importir. Akibatnya, impor gula

melonjak pesat pada periode ini. Jika pada tahun 1995 impor masih dibawah 1

juta ton, maka pada tahun 1996 sudah mencapai 1,286 juta ton dan mencapai

puncaknya menjadi 1,677 juta ton pada tahun 2000 (Anonimousb

Banjirnya gula impor dengan harga murah membuat industri gula dalam

negeri mengalami kontraksi/kemunduran. Pada periode ini areal turun drastis dari

446 ribu Ha pada tahun 1996 menjadi sekitar 386 ribu Ha pada tahun 1997.

Sebagai akibatnya produksi menurun menjadi di bawah 2 juta ton pada periode

pada tahun 1998-2003.

, 2010).

Kebijakan Periode Pengendalian Impor

Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah

diambang kebangkrutan dan tekanan produsen (pabrik gula dan petani) semakin

kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan

impor, dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen dan importir

terdaftar. Era ini merupakan era dimulainya regim pengendalian impor. Gula yang

(44)

industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi

importir terdaftar, bahan baku dari pabrik gula milik IT minimal 75% berasal dari

petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No. 643/MPP/Kep/9/

2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut

adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai

minimal Rp 3100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkat harga di dalam

negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen.

Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan

kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga

gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi

areal, dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 areal diperkirakan mulai

meningkat secara signifikan. Produksi mulai meningkat dan mulai tahun 2004

produksi sudah kembali diatas 2 juta ton. Sebagai akibatnya, impor mulai

menurun dari sekitar 1,677 juta ton pada tahun 2000 menjadi sekitar 1,181 juta

ton pada tahun 2004. Jika kebijakan-kebijakan ini terus dipertahankan dan

didukung oleh program revitalisasi pembangunan industri gula nasional,

Indonesia dapat berharap mencapai swasembada gula pada tahun 2015. Paling

tidak, kebijakan-kebijakan tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk

(45)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Gula Dalam Negeri

Dalam persamaan diketahui variabel bebas terdiri dari Luas Areal Tebu

(X1), Rendemen (X2), Jumlah Pabrik Gula (X3), Dummy Kebijakan Tataniaga

Gula Periode Bulog (D1), dan Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bebas

(D2), sedangkan Kebijakan Tataniaga Gula Periode Pengendalian Impor dalam

defenisi ini disebut sebagai grup dasar (base category). Dari variabel-variabel

bebas tersebut akan dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap peningkatan

produksi gula nasional sebagai variabel dependen (variabel terikat). Namun dalam

kajian penulisan lebih lanjut ditentukan bahwa variabel bebas yang digunakan

hanya Luas Areal Tebu (X1), Rendemen (X2), Dummy Kebijakan Tataniaga Gula

Periode Bulog (D1), dan Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bebas (D2

Gejala multikolinearitas dapat dideteksi salah satunya dengan Tabel

Coefficient (Lampiran 5). Pada semua variabel nilai VIF mempunyai nilai lebih

dari 10, dan nilai toleransi kurang dari 0,1. Nilai tolerance yang mendekati 0,

menunjukkan adanya multikolineritas yang tinggi, yang mengakibatkan

peningkatan standar error dari koefisien regresi. Tolerance adalah persentase

variance pada setiap variabel yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel lainnya.

Sehingga, tolerance yang kecil menunjukkan bahwa 70%-90% variance dapat

dijelaskan oleh variabel lain.

).

Hal ini dikarenakan adanya gejala Multikolinearitas yang terjadi pada persamaan.

Gujarati (1994) mengungkapkan tindakan perbaikan yang bisa dilakukan

(46)

mengeluarkan suatu variabel atau variabel-variabel dari bias spesifikasi. Cara ini

merupakan cara yang sederhana karena kesalahan yang mungkin terjadi adalah

bias spesifikasi atau kesalahan spesifikasi. Dalam persamaan, variabel X1 (Luas

Areal) secara logika akan berkolinear dengan variabel X3 (Jumlah Pabrik Gula).

Hal ini disebabkan karena luas areal akan cenderung bergerak searah dengan

jumlah pabrik gula, dimana jumlah tebu yang dihasilkan dari daerah penanaman

tebu akan dibawa ke pabrik gula untuk diolah. Sehingga untuk menghilangkan

multikolinearitas dari persamaan maka variabel X3

Setelah mengeluarkan variabel X

(Jumlah Pabrik Gula) harus

dikeluarkan dari persamaan.

3

Y = α1 + α2D1 + α3D2 + β1X1 + β2X2 + µ

(Jumlah Pabrik Gula) dari persamaan,

maka diperoleh persamaan baru :

Keterangan :

Y = produksi gula (ton)

X1 = luas areal (Ha)

X2 = rendemen (%)

D1 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bulog/stabilisator

0 : kebijakan tataniaga lainnya.

D2 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bebas/liberalisasi

0 : kebijakan tataniaga lainnya.

(47)

Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi

Error T-hitung Signifikan

Constant -2,365E6 605357,764 -3,907 0,001(*)

X1=luas areal 6,138 1,091 5,627 0,000(*)

X2=rendemen 329339,757 74866,745 4,399 0,001(*)

D1=kebijakan tataniaga bulog -494766,541 106977,778 -4,625 0,000(*) D2=kebijakan tataniaga bebas -242625,987 95589,578 -2,538 0,023(*) R=0,937

R-Square=0,877

F-Hitung=26,782 0,000a

F-Tabel=3,06 T-Tabel=2,13

Keterangan : tn=tidak nyata pada taraf kepercayaan 95% *=nyata pada taraf kepercayaan 95% Sumber : Diolah dari Lampiran 6

Persamaan yang diperoleh dari hasil analisis adalah :

Y = -2,365E6 - 494766,541D1 - 242625,987D2 + 6,138X1 + 329339,757X

(-3,907) (-4,625) (-2,538) (5,627) (4,399)

2

Dari model diatas dihasilkan nilai Koefisien Determinasi sebesar 0,877.

Hal ini menunjukkan bahwa 87,7% variasi variabel produksi gula domestik telah

dapat dijelaskan oleh variabel bebas luas areal, rendemen, kebijakan tataniaga

bulog, kebijakan tataniaga bebas, dan kebijakan tataniaga pengendalian impor.

Secara serempak pengaruh variabel Luas Areal, Rendemen, dan ketiga

periode kebijakan tataniaga yang mengaturnya adalah nyata pada taraf 95%. Hal

ini dapat ditunjukkan dari Uji F, yaitu F-Hitung = 26,782 > F-Tabel = 3,06 dan

Nilai Signifikansi 0,000.

Secara Parsial, variabel Luas Areal berpengaruh terhadap produksi gula

nasional. Pengaruh tersebut nyata pada taraf kepercayaan 95%. Nilai koefisien

variabel Luas Areal sebesar 6,138 menunjukkan jika luas areal bertambah sebesar

(48)

Secara Parsial, variabel Rendemen berpengaruh terhadap produksi gula

nasional. Pengaruh tersebut nyata pada taraf kepercayaan 95%. Nilai koefisien

variabel Rendemen sebesar 329339,757 menunjukkan jika Rendemen naik

sebesar 1% maka akan menaikkan produksi gula nasional sebesar 329339,757 ton.

Secara Parsial, variabel Kebijakan Tataniaga Periode Bulog tidak

berpengaruh terhadap produksi gula nasional. Hal ini dapat dilihat dari nilai

T-Hitung = -4,625 < T-Tabel = 2,13.

Secara Parsial, variabel Kebijakan Tataniaga Periode Bebas tidak

berpengaruh terhadap produksi gula nasional. Hal ini dapat dilihat dari nilai

T-Hitung = -2,538 < T-Tabel = 2,13.

Hasil Asumsi Regresi Linear Berganda

Uji Linearitas

Dari persyaratan untuk melihat apakah persamaan dilakukan uji F dengan

kriteria penilaian adalah jika Hitung > Tabel adalah signifikan, dan didapat

F-Hitung = 26,782 dan F-Tabel = 3,06 (Lampiran 6), sehingga persaman yang

digunakan adalah Linear.

Uji Gejala Multikolinearitas

Setelah melihat tabelCoefficient terdapat nilai VIF untuk masing-masing

variabel mempunyai nilai < 10 dan nilai Tolerance > 0,1 (Lampiran 6). Sehingga

diperoleh kesimpulan bahwa gejala multikolinearitas tidak terdapat dalam

(49)

Uji Gejala Autokorelasi

Uji Autokorelasi dilihat dari nilai Durbin-Watson yang bernilai 1,697

(Lampiran 6) dengan signifikansi 0,05%. Berdasarkan syarat pengambilan

keputusan ada atau tidaknya autokorelasi diperoleh kesimpulan tidak ada

autokorelasi pada persamaan.

Pembahasan Identifikasi Masalah I

Pengaruh Luas Areal Tebu

Dari hasil analisis diperoleh bahwa luas areal tebu berpengaruh nyata

terhadap produksi gula nasional. Pengaruh luas areal tebu terhadap produksi gula

adalah relatif tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar

6,138. Jika diperinci komponen penyusun ketersediaan gula adalah produksi, net

stock, dan impor. Hasil estimasi produksi menunjukkan salah satu variabel yang

signifikan mempengaruhi produksi gula nasional adalah kebijakan tataniaga

periode pengendalian impor. Net stock merupakan selisih antara stok awal dan

stok akhir pada tahun tertentu karena adanya konsumsi.

Bertambahnya luas areal merupakan faktor utama terjadinya peningkatan

produksi gula dalam negeri. Namun demikian peningkatan luas daerah penanaman

tebu harus disertai dengan peningkatan produktivitasnya (intendifikasi) mengingat

semakin kecil dan terbatasnya lahan untuk pertanian terutama di Pulau Jawa dan

(50)

Pengaruh Rendemen

Dari hasil analisis diperoleh bahwa rendemen berpengaruh nyata terhadap

produksi gula nasional. Pengaruh rendemen terhadap produksi gula adalah relatif

tinggi. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi sebesar 329339,757.

Rendemen menunjukkan kandungan gula yang ada dalam satuan berat tebu.

Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya kandungan rendemen dalam tebu

seperti waktu pemanenan yang tidak tepat, cara pemanenan yang salah, sistem

tebang yang buruk, lokasi jarak ke pabrik gula, suhu dan iklim, serta pengelolaan

usahatani sangat mempengaruhi besar kecilnya kandungan rendemen. Rendemen

tebu yang dihasilkan cukup bervariasi, begitu juga tingkat ketepatan dalam

mengukurnya. Pabrik gula yang mengukur rendemen dengan akurat mendorong

petani untuk memasok tebu dengan kualitas yang baik, sehingga rendemen pabrik

gula juga tinggi mengingat gula tidak diproduksi di pabrik melainkan di tanaman

tebu.

Pengaruh Kebijakan Tataniaga Gula

Kebijakan tataniaga gula pada periode Bulog dan perdagangan bebas tidak

berpengaruh signifikan terhadap produksi gula nasional. Pada periode ini

kebijakan yang lebih berperan terhadap peningkatan produksi adalah kebijakan

TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) berdasarkan Inpres No.9 tahun 1975 yang

berlaku sampai dikeluarkannya UU No.12 tahun 1992. Walaupun sebenarnya

peningkatan produksi bukan dikarenakan peningkatan produktivitas maupun

rendemen tetapi lebih dikarenakan oleh perluasan area perkebunan tebu baik TRIS

(51)

lahan Tegal). Sementara jatah produksi yang dikuasai oleh Bulog dari PG PNP

semakin kecil (60-70%) karena Bulog hanya diijinkan untuk membeli gula yang

menjadi bagian dari PG PNP. Sedangkan gula dari non PNP bebas dipasarkan

(30-40%). Akibatnya terjadi fluktuasi harga akibat spekulasi pedagang disamping

stok gula Bulog yang semakin berkurang.

Pada tahun 1990-an produksi gula semakin menurun, apalagi setelah

dikeluarkannya UU No.12 Tahun 1992. Banyak petani tebu yang mengganti

komoditas usahataninya dengn komoditas lain terutama beras sebagai bahan

makanan pokok masyarakat Indonesia. Disamping itu, semakin terpencarnya

lokasi perkebunan tebu yang berpengaruh terhadap produktivitas dan rendemen

serta biaya produksi yang mahal terutama pada saat krisis moneter turut

memberikan pengaruh negatif terhadap produksi gula.

Kebijakan tataniaga pada periode perdagangan bebas berdampak negatif

terhadap produksi gula dalam negeri meskipun tidak signifikan. Pembebasan bea

masuk impor gula mengakibatkan impor gula tidak terkendali. Hal ini makin

diperparah dengan tingginya biaya produksi gula dalam negeri akibat krisis

moneter tahun 1998. Dari sisi pergulaan dunia pada saat itu terjadi surplus gula

dunia (harga gula rendah) sehingga gula dalam negeri tidak mampu bersaing

dalam hal harga. Kondisi demikian mengakibatkan produsen tidak mendapat

insentif untuk melanjutkan produksinya.

Kebijakan tataniaga gula pada periode pengendalian impor antara lain

Kepmenperindag No.643/MPP/Kep/9/2002 yang membatasi importir (hanya

(52)

melindungi dan menjaga harga domestik dan pendapatan petani. Walaupun

pembatasan tersebut disisi lain memberi peluang akan adanya impor gula ilegal

yang otomatis akan merusak harga gula domestik. Kebijakan tersebut kemudian

direvisi dalam bentuk penetapan harga gula ditingkat petani sebesar Rp

3,410,00/kg (Kepmenperindag No.527/MPP/Kep/9/2004), Rp 3.800,00/kg

(Permendag No.08/M-Dag/Per/4/2005), dan Rp 4.800,00/kg (Permendag

No.19/M-Dag/Per/4/2006).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga Gula Domestik

Dalam persamaan diketahui variabel bebas terdiri dari Harga Gula Dunia

(X1), Nilai Tukar Rupiah terhadap Dollar (X2), Impor (X3), Produksi (X4),

Konsumsi (X5), Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bulog (D1), dan

Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bebas (D2), sedangkan Kebijakan

Tataniaga Gula Periode Pengendalian Impor dalam defenisi ini disebut sebagai

grup dasar (base category). Dari variabel-variabel bebas tersebut akan dilihat

seberapa besar pengaruhnya terhadap harga gula domestik sebagai variabel

dependen (variabel terikat). Namun dalam kajian penulisan lebih lanjut ditentukan

bahwa variabel bebas yang digunakan hanya Impor (X3), Produksi (X4),

Konsumsi (X5), Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bulog (D1), dan

Dummy Kebijakan Tataniaga Gula Periode Bebas (D2

Dalam persamaan, variabel (X

). Hal ini dikarenakan

adanya gejala Multikolinearitas yang terjadi pada persamaan.

1) Harga Gula Dunia dan variabel (X2) Nilai

(53)

disebabkan karena harga gula dunia dan kurs rupiah bergerak searah dengan

impor, dimana komponen dari variabel impor adalah penetapan harga gula dunia

dan kurs rupiah. Sehingga untuk menghilangkan gejala Multikolinearitas kedua

variabel yaitu variabel harga gula dunia dan kurs rupiah harus dikeluarkan dari

persamaan.

Setelah mengeluarkan variabel (X1) Harga Gula Dunia dan variabel (X2

Y = α1 + α2D1 + α3D2 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + µ

)

Nilai Tukar Rupiah dari persamaan, maka diperoleh persamaan baru yaitu :

Keterangan :

Y = harga gula domestik (Rp/ton)

X1 = impor gula (ton)

X2 = produksi gula (ton)

X3 = konsumsi gula (ton)

D1 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bulog/stabilisator

0 : kebijakan tataniaga lainnya.

D2 = 1 : kebijakan tataniaga gula periode bebas/liberalisasi

0 : kebijakan tataniaga lainnya.

(54)

Tabel 4. Hasil Analisis Pengaruh Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga

Error T-hitung Signifikan

Constant -2,424E6 3,930E6 -0,617 0,547

X1=impor 0,551 0,545 1,013 0,328

X2=produksi 0,557 1,093 0,509 0,618

X3=konsumsi 1,607 1,387 1,159 0,266

D1=kebijakan tataniaga bulog -289734,622 1,284E6 -0,226 0,825 D2=kebijakan tataniaga bebas 2,378E6 905203,565 2,627 0,020(*) R=0,830

R-Square=0,689

F-Hitung=6,211 0,000a

F-Tabel=2,96 T-Tabel=2,14

Keterangan : tn=tidak nyata pada taraf kepercayaan 95% *=nyata pada taraf kepercayaan 95% Sumber : Diolah dari Lampiran 8

Persamaan yang diperoleh dari hasil analisis adalah :

Y = -2,424E6 - 289734,622D1 + 2,378E6D2 + 0,551X1 + 0,557X2 + 1,607X

(-0,617) (-0,226) (2,627) (1,013) (0,509) (1,159)

3

Dari model diatas dihasilkan nilai Koefisien Determinasi sebesar 0,689.

Hal ini menunjukkan bahwa 68,9% variasi variabel harga gula domestik telah

dapat dijelaskan oleh variabel bebas impor, produksi, konsumsi, kebijakan

tataniaga bulog, kebijakan tataniaga bebas, dan kebijakan tataniaga pengendalian

impor.

Secara serempak pengaruh variabel Impor, Produksi, Konsumsi adalah

nyata walaupun taraf kepercayannya tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat dilihat dari

Uji F, yaitu F-Hitung = 6,211 > F-Tabel = 2,96 dan Nilai Signifikansi 0,000.

Secara Parsial, variabel Impor berpengaruh terhadap harga gula domestik.

(55)

67,2%. Nilai koefisien variabel Impor sebesar 0,551 menunjukkan jika impor naik

sebesar 1 ton maka akan menaikkan harga gula domestik sebesar 0,551 rupiah.

Secara Parsial, variabel Produksi tidak berpengaruh terhadap harga gula

domestik. Pengaruh tersebut tidak nyata pada taraf kepercayaan 38,2%. Nilai

koefisien variabel Produksi sebesar 0,557 menunjukkan jika Produksi naik 1 ton

maka akan menaikkan harga gula domestik sebesar 0,557 rupiah.

Secara Parsial, variabel Konsumsi berpengaruh terhadap harga gula

domestik. Pengaruh ini nyata pada taraf kepercayaan 73,4%. Nilai koefisien

variabel Konsumsi sebesar 1,607 menunjukkan jika Konsumsi naik 1 ton maka

akan menaikkan harga gula domestik sebesar 1,607 rupiah.

Secara Parsial, variabel Kebijakan Tataniaga Bulog tidak berpengaruh

terhadap harga gula domestik. Hal ini dapat dilihat dari nilai T-Hitung = -0,226 <

T-Tabel = 2,14, dan tidak signifikan pada taraf kepercayaan 95%.

Secara Parsial, variabel Kebijakan Tataniaga Bebas berpengaruh terhadap

harga gula domestik. Hal ini dapat dilihat dari nilai T-Hitung = 2,627 > T-Tabel =

2,14, dan signifikan pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil Asumsi Regresi Linear Berganda

Uji Linearitas

Dari persyaratan untuk melihat apakah persamaan dilakukan uji F dengan

kriteria penilaian adalah jika Hitung > Tabel adalah signifikan, dan didapat

F-Hitung = 6,211 dan F-Tabel = 2,96 (Lampiran 6), sehingga persaman yang

Gambar

Tabel 1. Konsumsi dan Produksi Gula Nasional Tahun 1990 – 2009
Tabel 2. Beberapa Regim Kebijakan Pergulaan Nasional
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran
Gambar 3. Perkembangan Luas Areal Tebu di Indonesia, 1969–2009
+4

Referensi

Dokumen terkait

Fenomena Urban Sprawl terjadi karena perkembangan pemukiman perkotaan yang tidak terkendali. Perkembangan permukiman yang tidak terkendali ini berdampak pada

Dari hasil buku dan beberapa skripsi di atas, dapat diketahui yang menjadi perbandingan dengan penelitian saya adalah perkembangan fisik Kota dari tahun 1993-2018,

(b) Salinan minit Mesyuarat Agong Tahunan hendaklah dikemukakan kepada Timbalan Naib Canselor Hal Ehwal Pelajar, dan mana-mana kakitangan Universiti sebagaimana yang

Hasil pengujian statistik menunjukkan tingkat signifikansi VAIC sebesar 0,076 yang lebih besar dari tingkat signifikansi 0,05 sehingga tidak dapat membuktikan bahwa

Selain itu, tugas akhir ini disusun sebagai pembanding antara teori mengenai pengaruh kebijakan utang terhadap kinerja perusahaan yang telah penulis dapat selama perkuliahan

dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara karakter-karakter pada semua kelompok STO serta analisis diferensiasi morfologi dua arah dengan..

Pada masalah ini perhatian utama yang akan diteliti adalah pada upacara tradisi pesta laut yang merupakan suatu bentuk upacara khas masyarakat nelayan yang hidup di

12 M. Nu’am Yasin, Fikih Kedoktern di terjemahkan oleh Munirul Abidin, h.194.. bagi Donor yang hidup adalah bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital