• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Kondisi Umum

Penelitian dilakukan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009 di Kebun Percobaan Lewikopo IPB dimana pada bulan tersebut merupakan akhir dari musim hujan. Curah hujan yang turun selama penelitian berdasarkan data statistik dari stasiun klimatologi Dramaga yaitu 346.57 mm/bulan, dimana pada bulan Mei curah hujan sangat tinggi (570.60 mm). Suhu udara berkisar 26o C dengan kelembaban udara 81.67%. Dengan demikian curah hujan tersebut adalah cukup untuk fase pertumbuhan sampai pembentukan tongkol. Tim Penebar Swadaya (1992) menyatakan bahwa kisaran curah hujan ideal bagi jagung semi adalah 100 – 125 mm/bulan. Data curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara dicantumkan pada Lampiran 11.

Pertumbuhan tanaman jagung cukup baik, terlihat dari daya tumbuh rata-rata dari 18 genotipe adalah 99.44%. Hal ini dikarenakan sebelum penanaman jagung untuk penelitian, benih diperbanyak terlebih dahulu.

Gambar 1 memperlihatkan beberapa hama dan penyakit yang menyerang tanaman jagung selama penelitian. Serangan hama mulai terlihat saat tanaman berumur 3 MST berupa belalang (Melanoplus sp.), ulat tanah (Agrotis ipsilon) dan ulat grayak (Spodoptera litura). Hama ulat penggerek tongkol (Heliothis armigera) dan ulat penggerek batang (Sesamia inferens) menyerang saat panen jagung semi berlangsung sekitar 40 – 55 HST, akibat serangan keduanya terjadi penurunan kualitas tongkol jagung semi.

Penyakit bulai (Sclerospora maydis) menyerang tanaman jagung yang masih muda berumur sekitar 3 MST sehingga untuk menghindari penyebaran penyakit ini dilakukan pencabutan dan pembuangan tanaman jagung yang terserang (Gambar 1). Saat tanaman jagung berumur lebih dari 5 MST serangan bulai cukup luas sekitar 8.04% secara keseluruhan. Genotipe yang banyak terserang bulai antara lain BC 10 MS 15 (37.33%), Sadewa (14%) dan EY Pool C6S2 (15.33%). Genotipe BC 10 MS 15 merupakan genotipe hasil pemuliaan yang terserang penyakit bulai cukup tinggi sehingga dalam satu petakan hanya

terdapat 15 – 25 tanaman. Penyakit lain yang menyerang tanaman jagung selama penelitian adalah hawar daun (Helminthosporium maydis) dan karat (Puccinia sp.). Penyakit hawar daun awalnya berupa bercak-bercak kecil selanjutnya berwarna coklat kehijauan dan lama kelamaan membesar sedangkan penyakit karat pada tingkatan yang jauh menyebabkan bagian-bagian daun mengering (Semangun, 1991).

(a) (b) (c)

(d) (e) (f) (g)

(h)

Gambar 1. Hama dan Penyakit yang Teridentifikasi Menyerang Tanaman Jagung Semi. (a) ulat tanah (b) ulat grayak (c) ulat penggerek tongkol (d) batang tanaman jagung akibat serangan penggerek batang (e) bercak daun (f) bulai (g) karat daun dan (h) hawar daun

Pemanenan jagung semi dilakukan setiap dua hari sekali, dengan ciri-ciri panen berupa panjang rambut 2 – 3 cm dan warna kelobot hijau tua. Panjang rambut ini hanya dapat digunakan untuk kriteria pemanenan sampai tongkol kedua saja, panen selanjutnya diperkirakan pada tongkol dengan panjang rambut

lebih dari 3 cm. Tongkol muncul tidak serempak sehingga panen tidak dapat dilakukan sekaligus.

Berdasarkan hasil sidik ragam peubah yang diperoleh, pengaruh genotipe untuk semua peubah adalah nyata atau sangat nyata (Tabel 3 disarikan dari Lampiran 3-14).

Tabel 3. Rekapitulasi Uji F Pengaruh Genotipe Beberapa Karakter Tanaman Jagung.

Keterangan :

* = berbeda nyata pada taraf 5% ** = berbeda sangat nyata pada taraf 1% tn = tidak berbeda nyata

w) = transformasi (√x+o.5)

4.2 Parameter Genetik

4.2.1 Keragaman Genetik, Keragaman Fenotipik dan Heritabilitas

Nilai ragam genetik (VG) dan ragam fenotipik (VP) pada beberapa peubah yang diamati lebih besar daripada nilai ragam lingkungan (VE). Hal ini dikarenakan nilai VP merupakan hasil penjumlahan dari nilai VG dan VE. Dengan demikian dapat diartikan bahwa populasi jagung semi untuk beberapa peubah yang diamati mempunyai ragam genetik luas karena peubah-peubah ini lebih dikendalikan oleh faktor genetik daripada lingkungan.

Nilai koefisien keragaman genetik (Tabel 4) diperoleh dari nilai ragam genetik, jika nilai ragam genetik kecil maka koefisien keragaman genetik akan

Karakter F-hitung Pr > F KK (%)

Tinggi tanaman 4.39** 0.0001 6.20

Diameter batang 10.43** 0.0001 6.18

Jumlah buku per tanaman 71.88** 0.0001 3.83

Umur berbunga 109.63** 0.0001 1.79

Umur panen rata-rata 11.90** 0.0001 3.55

Jumlah tongkol per tanaman 15.92** 0.0001 10.43

Bobot tongkol kotor 10.83** 0.0001 13.45

Bobot tongkol bersih 12.66** 0.0001 16.77

Diameter tongkol 9.02** 0.0001 5.86

Panjang tongkol 29.55** 0.0001 7.82

Jumlah tongkol layak pasar 2.49* 0.0115 10.37w)

kecil pula yang menunjukkan variabilitas genetik yang sempit. Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994) kriteria KKG relatif yaitu : rendah (0% <x≤ 25%),

agak rendah (25% <x≤ 50%), cukup tinggi (50% <x≤ 75%) dan tinggi (75% <x≤ 100%). Dengan menjadikan nilai absolut 33.10% hasil penelitian

ini sebagai nilai relatif 100%, maka kisaran nilai absolut koefisien keragaman genetik (KKG) jagung semi ini berturut-turut rendah (0% <x≤ 8.28%), agak rendah (8.28% <x≤ 16.55%), cukup tinggi (16.55% <x≤ 24.83%) dan tinggi (24.83% <x≤ 33.10%). Berdasarkan kriteria tersebut, karakter yang keragaman genetiknya relatif rendah adalah : tinggi tanaman, diameter batang, umur panen rata-rata dan jumlah tongkol layak pasar; agak rendah yakni : umur berbunga dan diameter tongkol; cukup tinggi yakni : jumlah buku per tanaman, jumlah tongkol per tanaman, bobot tongkol kotor, panjang tongkol dan jumlah tongkol afkir; dan tinggi yakni bobot tongkol bersih. Menurut Warid et al. (1999) seleksi akan efektif dilakukan pada peubah dengan variabilitas genetik luas, yang ditunjukkan oleh nilai KKG yang tinggi.

Tabel 4. Nilai Ragam Genetik (Vg), Ragam Fenotipik (Vp), Ragam Galat (Ve), Koefisien Keragaman Genetik (KKG), dan Heritabilitas Arti Luas (h2bs) Beberapa Karakter

Keterangan :

w) = transformasi (√x+o.5)

Keragaan tanaman jagung semi juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Besar atau kecilnya peranan faktor genetik terhadap keragaan tanaman dapat dilihat dari nilai heritabilitas arti luas (h2bs). Pada percobaan nilai heritabilitas

Peubah Vg Vp Ve KKG (%) h2bs

Tinggi tanaman 225.76 292.32 66.56 6.60 0.77 Diameter batang 3.27 3.61 0.35 1.10 0.90 Jumlah buku per tanaman 5.70 5.78 0.08 18.60 0.99 Umur berbunga 28.99 29.26 0.27 10.80 0.99 Umur panen rata-rata 7.44 8.12 0.68 6.80 0.92 Jumlah tongkol per tanaman 0.30 0.32 0.02 23.20 0.94 Bobot tongkol kotor 117.44 129.39 11.95 24.30 0.91 Bobot tongkol bersih 8.31 9.02 0.71 33.10 0.92 Diameter tongkol 1.46 1.64 0.18 9.60 0.89 Panjang tongkol 3.85 3.98 0.13 24.20 0.97 Jumlah tongkol layak pasar 0.001 0.003 0.002 0.04 0.80w) Jumlah tongkol afkir 0.21 0.23 0.020 20.80 0.91

yang tinggi terlihat pada hampir semua peubah sehingga secara umum peubah yang diamati tidak banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Hal ini dapat ditunjukkan oleh nilai h2bs masing-masing peubah yang lebih dari 50%. Kriteria nilai heritabilitas tinggi berkisar 50% - 100% (Stanfield, 1991). Nilai heritabilitas yang tinggi (Tabel 4) pada penelitian jagung semi ini antara 77.20% - 99.10%. Nilai heritabilitas yang tinggi dari beberapa peubah pada 18 genotipe jagung semi didukung oleh nilai ragam genetik yang luas. Terhadap populasi dengan nilai heritabilitas tinggi, memungkinkan dilakukan seleksi. Menurut Jonharnas (1995) seleksi pada karakter yang memiliki heritabilitas tinggi akan berlangsung efektif karena pengaruh lingkungan kecil dan faktor genetik lebih dominan dalam penampilan genotipe tanaman.

4.2.2 Keeratan Hubungan Antar Peubah

Dalam pencapaian tujuan seleksi terhadap peubah tanaman, perlu diketahui korelasi antar peubah. Saat seleksi berlangsung terkadang ada peubah tidak dikehendaki yang ikut terseleksi dimana peubah ini dapat menguntungkan atau merugikan. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya dengan pasti digunakan korelasi dengan melihat nilai keeratan hubungan antar peubah. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) koefisien korelasi dinotasikan dengan r pada kisaran nilai -1 ≤ r ≤ 1, r mendekati 1 atau -1 menunjukkan semakin erat hubungan linier antara kedua peubah dan nilai r mendekati nol menunjukkan hubungan kedua peubah tersebut tidak linier atau tidak ada hubungan antar peubah. Nilai r ini didukung juga oleh peluang nyata atau tidak nyata untuk menentukan keeratan hubungan antar dua peubah yang diamati.

Keeratan hubungan antar peubah yang diamati dapat dilihat pada Tabel 5. Tinggi tanaman memiliki keeratan yang tinggi dengan jumlah buku per tanaman (r : 0.7688, p : 0.0001) namun memiliki nilai rendah dan berkorelasi negatif dengan jumlah tongkol afkir (r : -0.4265, p : 0.0013). Dengan demikian, semakin banyak jumlah buku maka tanaman akan semakin tinggi dan fase vegetatif pun berlangsung lama yang dapat memperpanjang umur berbunga (fase generatif) dan umur panen.

Umur berbunga berkorelasi positif dan mendekati satu (r : 0.9503, p : 0.0001) dengan panen awal. Dengan demikian, semakin genjah umur berbunga

maka akan semakin genjah pula umur panen jagung semi. Bobot tongkol kotor memiliki keeratan yang mendekati satu dengan bobot tongkol bersih (r : 0.8339, p : 0.0001) sedangkan bobot tongkol bersih sendiri juga memiliki nilai korelasi yang mendekati satu dengan jumlah tongkol layak pasar (r : 0.9957, p : 0.0001). Jumlah tongkol per tanaman dengan jumlah tongkol afkir memiliki nilai korelasi positif dan tingkat keeratan hubungannya terlihat sangat erat karena nilai korelasinya mendekati satu (r : 0.9612, p : 0.0001).

Yodpetch dan Bautista (1983) menyatakan bahwa kriteria jagung semi yang baik seharusnya memiliki umur berbunga yang genjah, hasil per hektar tinggi, jumlah tongkol per tanaman yang banyak, tinggi tanaman yang rendah, kualitas yang baik, dan indeks panen tinggi. Jumlah tongkol per tanaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi hasil jagung semi karena terkait dengan jumlah tongkol layak pasar dan jumlah tongkol afkir. Dengan demikian dapat diperkirakan beberapa kriteria seleksi jagung semi yaitu tinggi tanaman rendah, umur berbunga genjah, umur panen genjah, jumlah tongkol per tanaman banyak dan jumlah tongkol layak pasar banyak. Peubah-peubah inilah yang dapat digunakan dalam memilih atau menyeleksi populasi genotipe jagung semi. Berdasarkan kriteria tersebut, Genjah Kodok memenuhi kriteria tinggi tanaman rendah, umur berbunga dan umur panen genjah. Kiran memenuhi kriteria jumlah tongkol per tanaman banyak dan Phil DMR Comp. 2 memenuhi kriteria jumlah tongkol layak pasar banyak.

Tabel 5. Nilai Koefisien Korelasi Antar Peubah Tanaman Jagung

TT DB BU UB UPR PAW PAK JT BTK BTB JTL JTA DT

DB 0.5661 0.0001 BU 0.7688 0.4752 0.0001 0.0003 UB 0.6387 0.5694 0.8451 0.0001 0.0001 0.0001 UPR 0.4655 0.5617 0.7344 0.6501 0.0004 0.0001 0.0001 0.0001 PAW 0.6502 0.4509 0.8546 0.9503 0.5891 0.0001 0.0006 0.0001 0.0001 0.0001 PAK 0.4496 0.4804 0.7478 0.7487 0.8445 0.7330 0.0006 0.0002 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 JT -0.4355 -0.0897 -0.5373 -0.6877 -0.0283 -0.7964 -0.3251 0.0010 0.0519 0.0001 0.0001 0.8389 0.0001 0.0165 BTK 0.4664 0.5663 0.5437 0.6511 0.4073 0.6595 0.5322 -0.5008 0.0004 0.0001 0.0001 0.0001 0.0022 0.0001 0.0001 0.0001 BTB 0.5360 0.5485 0.6813 0.7676 0.5472 0.8181 0.6487 -0.5801 0.8339 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 JTL 0.5605 0.5467 0.7159 0.8005 0.5537 0.8521 0.6584 -0.6235 0.8250 0.9957 0.0001 0.0001 0.0010 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 JTA -0.4265 -0.1034 -0.5323 -0.6517 -0.0261 -0.7677 -0.3197 0.9612 -0.4685 -0.5516 -0.5941 0.0013 0.4567 0.0001 0.0001 0.8513 0.0001 0.0184 0.0001 0.0004 0.0001 0.0001 DT 0.3227 0.3680 0.5152 0.4967 0.3520 0.5689 0.4324 -0.4302 0.7419 0.7966 0.7899 -0.3710 0.0173 0.0061 0.0001 0.0001 0.0090 0.0001 0.0011 0.0012 0.0001 0.0001 0.0001 0.0057 PT 0.6269 0.6957 0.7763 0.8616 0.6573 0.8463 0.7305 -0.5537 0.7183 0.8820 0.8955 -0.5497 0.5730 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001 0.0001

Keterangan : TT : Tinggi tanaman, DB : Diameter Batang, BU : Jumlah Buku per Tanaman, UB : Umur Berbunga, UPR : Umur Panen Rata-rata, PAW : Panen Awal, PAK : Panen Akhir, JT : Jumlah Tongkol per Tanaman, BTK : Bobot Tongkol Kotor, BTB : Bobot Tongkol Bersih, PT : Panjang Tongkol, DT : Diameter Tongkol, JTL : Jumlah Tongkol Layak, JTA : Jumlah Tongkol Afkir, jika p ≤ 0.01 maka berkorelasi nyata pada taraf 1%, jika p ≤ 0.05 dan p< 0.01 maka berkorelasi nyata pada taraf 5%.

2.3 Analisis Lintas

Analisis lintas (sidik lintas) sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemuliaan tanaman yang efektif. Analisis lintasan (sidik lintas) dapat digunakan untuk mengetahui sifat-sifat pertumbuhan, komponen hasil dan hasil tanaman yang mempunyai pengaruh lansung maupun tidak langsung sehingga pemilihan sifat yang diinginkan menjadi lebih efektif (Ganefianti et al., 2006).

Karakter diameter batang dan umur panen rata-rata memiliki nilai korelasi yang tidak nyata pada taraf 5% terhadap jumlah tongkol per tanaman sehingga kedua karakter ini tidak dapat digunakan sebagai karakter penduga jumlah tongkol per tanaman. Koefisien lintas yang bernilai negatif terhadap jumlah tongkol per tanaman adalah tinggi tanaman (P1 = -0.0685), umur berbunga (P4 = -0.1303), panen awal (P6 = -0.5311), panen akhir (P7 = -0.0372), bobot tongkol kotor (P8 = -0.0608), jumlah tongkol layak pasar (P10 = -0.7419) dan diameter tongkol (P12 =-0.0995). Menurut Tiwari dan Verma (1997) diameter batang berpengaruh langsung pada hasil jagung semi. Hasil peneliltian Hidajat dan Puspitarati (1985) menunjukkan bahwa analisis lintasan tinggi tanaman kacang hitam amat berpengaruh terhadap hasil.

Korelasi antara jumlah buku dengan jumlah tongkol per tanaman adalah nyata pada taraf 5% (r3h = -0.5373). Adapun pengaruh langsungnya bernilai positif (P3 = 0.13868) sedangkan pengaruh tidak langsung dari karakter ini melalui umur panen rata-rata (r3-5P3 = 0.2363) dan bobot tongkol bersih (r3-9P3 = 0.5843) memberikan kontribusi lebih besar daripada pengaruh langsungnya terhadap jumlah tongkol per tanaman (P3 = 0.1387). Dengan demikian berarti bahwa jumlah buku berpengaruh tidak langsung terhadap jumlah tongkol per tanaman melalui umur panen rata-rata dan bobot tongkol bersih. Diagram lintas yang menunjukkan pengaruh langsung dan tak langsung beberapa karakter morfologi jagung semi terhadap jumlah tongkol per tanaman ditampilkan pada Gambar 2.

Korelasi antara bobot tongkol bersih dan jumlah tongkol afkir dengan

jumlah tongkol per tanaman adalah nyata pada taraf 5% (r9h = -0.5801, r11h = 0.9612). Adapun pengaruh langsungnya bernilai positif masing-masing P9 = 0.85759 dan P11 = 0.43819 yang memberikan kontribusi lebih besar daripada pengaruh tidak langsungnya terhadap jumlah tongkol per tanaman. Menurut

Koauychai et al. (1999) hasil analisis lintas dari bobot tongkol bersih berpengaruh langsung terhadap hasil jagung semi. Dengan demikian berarti bahwa bobot tongkol bersih dan jumlah tongkol afkir berpengaruh langsung terhadap jumlah tongkol per tanaman. Menurut Risliawati (2007), karakter vegetatif maupun karakter generatif tanaman pala menjadi penduga paling efektif bagi produksi, selain tergantung pada morfologi tanaman, juga tergantung pada kondisi lingkungan di mana tanaman berkembang.

Nilai pengaruh sisa dari hasil analisis lintas penelitian ini Px = 0.1696 dimana tergolong kecil sehingga pengaruh selain komponen hasil berpengaruh kecil terhadap hasil jagung semi. Kecilnya nilai pengaruh sisa memudahkan dalam penentuan kriteria seleksi selanjutnya.

Tabel 6. Koefisien Lintasan yang Menunjukkan Pengaruh Langsung dan Tak Langsung pada Jumlah Tongkol per Tanaman melalui Berbagai Karakter dari Beberapa Genotipe Jagung Semi

TT DB BU UB UPR PAW PAK BTK BTB JTL JTA DT PT

rijPj TT - DB 0.0873 - BU 0.1066 0.0659 - UB -0.0832 -0.0742 -0.1101 - UPR 0.1498 0.1807 0.2363 0.2092 - PAW -0.3453 -0.2395 -0.4539 -0.5047 0.1896 - PAK -0.0167 -0.0179 -0.0278 -0.0279 -0.4486 -0.0273 - BTK -0.0283 -0.0344 -0.0330 -0.0396 -0.0152 -0.0401 -0.0323 - BTB 0.4597 0.4704 0.5843 0.6583 -0.0332 0.7015 0.5563 0.7151 - JTL -0.4158 -0.4056 -0.5312 -0.5939 0.4749 -0.6322 -0.4885 -0.6121 -0.7387 - JTA -0.1869 -0.0453 -0.2332 -0.2856 0.0194 -0.3364 -0.1401 -0.2053 -0.2417 -0.2603 - DT -0.0321 -0.0366 -0.0512 -0.0494 0.1543 -0.0566 -0.0430 -0.0738 -0.0792 -0.0786 0.0369 - PT -0.0619 -0.0687 -0.0766 -0.0851 -0.0654 -0.0836 -0.0721 -0.0709 -0.0871 -0.0884 0.0543 -0.0566 - Pj -0.0685 0.1543 0.1387 -0.1303 0.3218 -0.5311 -0.0372 -0.0608 0.8576 -0.7419 0.4382 -0.0995 -0.0987 rih -0.4355 -0.0897 -0.5373 -0.6877 -0.0283 -0.7964 -0.3251 -0.5008 -0.5801 -0.6235 0.9612 -0.4302 -0.5537 Keterangan :  Px = pengaruh sisa = 0.1696

 TT : Tinggi tanaman, DB : Diameter Batang, BU : Jumlah Buku per Tanaman, UPR : Umur Panen Rata-rata, PAW : Panen Awal, PAK : Panen Akhir, BTK : Bobot Tongkol Kotor, BTB : Bobot Tongkol Bersih, JT : Jumlah Tongkol per Tanaman, JTL : Jumla h Tongkol Layak, JTA : Jumlah Tongkol Afkir, DT : Diameter Tongkol, PT : Panjang Tongkol

 rijPj = pengaruh tidak langsung

Pj = koefisien lintasan/pengaruh langsung

Gambar 2. Diagram Lintas Berantai antara Komponen Produksi dan Produksi Jagung Semi pada Beberapa Genotipe Jagung. JT : Jumlah Tongkol per Tanaman, TT : Tinggi tanaman, UB : Umur Berbunga,

PAW : Panen Awal, PAK : Panen Akhir, BTK : Bobot Tongkol Kotor, JTL : Jumlah Tongkol Layak, DT : Diameter Tongkol, PT : Panjang Tongkol, JTA : Jumlah Tongkol Afkir, BU : Jumlah Buku,

BTB : Bobot Tongkol Bersih, Px : Pengaruh Sisa, : berpengaruh tidak langsung, : berpengaruh langsung.

Keragaan Karakter Agronomi

4.3.1 Karakter Vegetatif dan Generatif

Perbandingan karakter vegetatif pada 17 genotipe jagung dengan varietas hibrida BISI-2 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai Tengah Tinggi Tanaman, Diameter Batang dan Jumlah Buku per Tanaman pada Beberapa Genotipe Jagung

Genotipe Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (mm) Jumlah Buku per Tanaman (buku) Lokal Campaloga 212.81 *(-) 15.65 *(-) 9.63 *(-) Genjah Kodok 190.68 *(-) 15.17 *(-) 6.97 *(-) Ketip Kuning 226.72 tn(-) 15.80 *(-) 13.73 *(-) Lokal Oesao 230.75 tn(-) 17.21 *(-) 14.03 *(-) Lokal Srimanganti 221.58 *(-) 15.60 *(-) 13.80 *(-) Hasil Pemuliaan Antasena 239.72 tn(-) 19.44 tn(-) 14.70 tn(-) Arjuna P18 225.01 tn(-) 17.21 *(-) 13.37 *(-) Bayu 245.01 tn(-) 16.27 *(-) 14.03 *(-) BC 10 MS 15 218.16 *(-) 18.60 *(-) 12.67 *(-) Nakula 240.06 tn(-) 17.13 *(-) 12.80 *(-) Sadewa 242.05 tn(-) 16.71 *(-) 14.70 tn(-) Wisanggeni 238.76 tn(-) 14.75 *(-) 13.57 *(-) Introduksi EW DMR Pool C6S2 228.63 tn(-) 14.77 *(-) 14.40 tn(-) EY Pool C4S2 242.36 tn(-) 17.48 *(-) 13.17 *(-) Kiran 197.27 *(-) 13.55 *(-) 7.40 *(-) Phil DMR Comp. 2 213.24 *(-) 15.32 *(-) 12.17 *(-) Phil DMR 6 229.31 tn(-) 14.76 *(-) 14.00 *(-) Pembanding BISI 2 258.57 21.28 15.53

Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata 5% berdasarkan uji t-Dunnett dengan varietas hibrida BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (+) : lebih dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (=) : sama dengan varietas hibrida BISI-2

4.3.1.1Tinggi Tanaman

Hasil sidik ragam peubah tinggi tanaman menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh sangat nyata (Lampiran 3), berarti terdapat perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman antar genotipe jagung semi. Perbedaan ini sesuai dengan genotipe masing-masing, terlihat pada Tabel 7 tinggi tanaman untuk genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan dan introduksi lebih rendah dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2. Rata-rata tinggi tanaman genotipe lokal antara 190.68 - 230.75 cm, genotipe hasil pemuliaan antara 218.16 - 245.01 cm, genotipe introduksi antara 197.27 - 242.36 cm, dan varietas hibrida BISI-2 sebesar 258.57 cm. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 7 diperoleh 6 genotipe yang memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Lokal Srimanganti, BC 10 MS 15, Kiran, dan Phil DMR Comp. 2. Hasil penelitian Wakhyono (2003) menunjukkan bahwa tinggi tanaman genotipe Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Arjuna P18, Nakula, Sadewa, Kiran sangat nyata lebih rendah dibanding Bisi-3.

Tabel 8. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Tinggi Tanaman Beberapa Genotipe Jagung

Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F

Pemuliaan vs Kiran 7.36 *(-) 0.0104

Pemuliaan vs Genjah Kodok 7.58**(-) 0.0094

Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a,(+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a.

Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 8) terlihat bahwa genotipe yang memiliki tinggi tanaman nyata lebih rendah dibanding rata-rata tinggi tanaman kelompok genotipe pemuliaan (222.16 cm) yaitu Kiran (197.27 cm) dan sangat nyata lebih rendah yaitu Genjah Kodok (190.68 cm). Hasil penelitian Indriati (1999) menyatakan bahwa semakin tinggi tanaman maka fase vegetatifnya akan semakin lama sehingga umur panennya semakin lama pula.

4.3.1.2Diameter Batang

Lampiran 4 menunjukkan bahwa genotipe untuk peubah diameter batang berbeda sangat nyata sehingga peubah ini berbeda untuk masing-masing genotipenya. Terlihat pada Tabel 7 bahwa diameter batang varietas hibrida BISI-2 lebih besar dibandingkan dengan genotipe lokal, hasil pemuliaan, dan introduksi dengan nilai 21.28 mm. Hasil penelitian Wakhyono (2003) diameter batang genotipe Campaloga (14.00 mm) dan Sadewa (18.00 mm) lebih kecil dibandingkan dengan BISI-3 (20.00 mm). Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 7 diperoleh 16 genotipe yang memiliki diameter batang nyata lebih kecil dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Sadewa, Wisanggeni, EW DMR Pool C6S2, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6.

Tabel 9. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Diameter Batang Beberapa Genotipe Jagung

Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F

Introduksi vs Lokal Oesao 13.83**(+) 0.0007

Kiran vs Phil DMR 6 7.18 *(+) 0.0113

Bayu vs Wisanggeni 0.32 tn(-) 0.5733

Genjah Kodok vs Lokal Srimanganti 7.99**(+) 0.0078

Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a,(+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a.

Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 9) terlihat bahwa genotipe Wisanggeni memiliki diameter batang lebih kecil dibandingkan dengan genotipe Bayu. Genotipe Lokal Oesao dan Lokal Srimanganti diameter batangnya sangat nyata lebih besar dibanding masing-masing dengan kelompok genotipe introduksi dan genotipe Genjah Kodok. Genotipe Phil DMR 6 sendiri nyata lebih besar diameter batangnya dibandingkan dengan Kiran.

4.3.1.3Jumlah Buku per Tanaman

Berdasarkan tabel sidik ragam (Lampiran 5) terlihat bahwa jumlah buku per tanaman berbeda sangat nyata berarti masing-masing genotipe memiliki perbedaan dalam jumlah buku per tanamannya. Varietas hibrida BISI-2 memiliki jumlah buku per tanaman terbanyak dari genotipe lokal, hasil pemuliaan, dan introduksi. Berturut-turut adalah jumlah buku per tanaman genotipe lokal, hasil pemuliaan, dan introduksi sebanyak 13.69, 12.23, dan 15.53 buku. Berdasarkan hasil uji t-Dunnett pada Tabel 7 diperoleh 14 genotipe yang memiliki jumlah buku per tanaman nyata lebih sedikit dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, BC 10 MS 15, Nakula, Wisanggeni, EY Pool C4S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6.

Tabel 10. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Jumlah Buku per Tanaman Beberapa Genotipe Jagung

Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F

Lokal vs Kiran 11.94**(-) 0.0015

Pemuliaan vs Genjah Kodok 34.88**(-) 0.0001

Introduksi vs Genjah Kodok 14.59**(-) 0.0005

Campaloga vs Genjah Kodok 22.44**(-) 0.0001

Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a,(+) : b lebih

dibanding a, (=) : b sama dengan a.

Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 10) terlihat bahwa genotipe Kiran sangat nyata memiliki jumlah buku lebih sedikit dibandingkan dengan genotipe kelompok lokal. Genjah Kodok sendiri sangat nyata jumlah bukunya lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok genotipe hasil pemuliaan, kelompok genotipe introduksi dan genotipe Campaloga.

4.3.2 Karakter Umur Berbunga dan Umur Panen

Perbandingan karakter generatif pada 17 genotipe jagung dengan varietas hibrida BISI-2 disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Nilai Tengah Umur Panen Awal, Umur Panen Akhir, Umur Panen Rata-rata dan Umur Berbunga pada Beberapa Genotipe Jagung

Genotipe Umur Berbunga (HST) Umur Panen Awal (HST) Umur Panen Akhir (HST) Umur Panen Rata-rata (HST) Lokal Campaloga 42.67 *(-) 43.33 *(-) 53.67 *(-) 35.31 *(-) Genjah Kodok 38.67 *(-) 40.77 *(-) 54.22 *(-) 33.52 *(-) Ketip Kuning 51.33 *(-) 55.13 tn(-) 68.61 tn(-) 42.61 tn(-) Lokal Oesao 58.00 *(+) 58.20 tn(+) 65.90 tn(-) 40.45 *(-) Lokal Srimanganti 51.33 *(-) 55.60 tn(-) 67.22 tn(-) 41.67 tn(-) Hasil Pemuliaan Antasena 53.33 tn(-) 56.10 tn(+) 67.87 tn(-) 43.43 tn(-) Arjuna P18 50.67 *(-) 55.53 tn(-) 68.67 tn(-) 41.62 tn(-) Bayu 49.00 *(-) 53.77 tn(-) 60.82 tn(-) 40.30 *(-) BC 10 MS 15 53.33 tn(-) 54.17 tn(-) 67.24 *(-) 42.58 tn(-) Nakula 53.33 tn(-) 56.56 tn(+) 63.45 *(-) 39.59 *(-) Sadewa 53.33 tn(-) 57.70 tn(+) 64.25 tn(-) 38.59 *(-) Wisanggeni 49.67 *(-) 54.30 tn(-) 62.65 *(-) 39.97 *(-) Introduksi EW DMR Pool C6S2 50.67 *(-) 53.80 tn(-) 68.89 tn(-) 42.28 tn(-) EY Pool C4S2 55.00 tn(+) 60.03 *(+) 67.33 tn(-) 40.23 *(-) Kiran 38.67 *(-) 40.00 *(-) 54.60 *(-) 36.89 *(-) Phil DMR Comp. 2 44.33 *(-) 44.63 *(-) 65.17 tn(-) 41.32 *(-) Phil DMR 6 49.67 *(-) 54.43 tn(-) 64.00 tn(-) 39.17 *(-) Pembanding BISI 2 54.00 55.70 70.22 44.97

Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, tn : tidak berbeda nyata 5% berdasarkan uji t-Dunnett dengan varietas hibrida BISI-2, (-) : kurang dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (+) : lebih dibandingkan dengan varietas hibrida BISI-2, (=) : sama dengan varietas hibrida BISI-2

4.3.2.1Umur Berbunga (bunga jantan)

Lampiran 6 menunjukkan bahwa umur berbunga genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan dan introduksi yang digunakan lebih genjah dibanding dengan varietas hibrida BISI-2. Genotipe introduksi memiliki umur paling genjah diantara genotipe lokal, genotipe hasil pemuliaan dan varietas hibrida BISI-2, umur berbunganya yaitu 47.67 HST. Umur berbunga ini akan menentukan kapan

munculnya tongkol pada jagung semi. Terlihat pada Tabel 11 dari hasil uji t-Dunnett bahwa 11 genotipe memiliki umur berbunga yang nyata lebih genjah dibanding varietas hibrida BISI-2 yaitu : Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Bayu, Wisanggeni, EW DMR Pool C6S2, Kiran, Phil DMR Comp. 2 dan Phil DMR 6. Namun demikian genotipe Lokal Oesae memiliki umur berbunga yang nyata lebih dalam daripada varietas hibrida BISI-2. Wakhyono (2003) menyimpulkan bahwa genotipe Bima, Campaloga, Genjah Kodok, Ketip Kuning, Lokal Oesao, Lokal Srimanganti, Arjuna P18, Nakula, Sadewa dan EW DMR Pool C6S2 memiliki umur berbunga yang lebih genjah dibanding Bisi-3.

Tabel 12. Rekapitulasi Uji Kontras Ortogonal Umur Berbunga Beberapa Genotipe Jagung

Keterangan : * : berbeda nyata pada taraf 5%, ** : berbeda nyata pada taraf 1%, tn : tidak

berbeda nyata berdasarkan uji kontras ortogonal, (-) : b kurang dibanding a,(+) : b lebih dibanding a, (=) : b sama dengan a.

Berdasarkan uji kontras ortogonal (Tabel 12) terlihat bahwa genotipe Kiran dan Phil DMR Comp. 2 nyata memiliki umur berbunga lebih genjah dibandingkan kelompok genotipe Lokal. Genjah Kodok, Ketip Kuning, Bayu, Phil DMR Comp. 2 dan Kiran sangat nyata memiliki umur berbunga lebih genjah dibandingkan kelompok hasil pemuliaan. Menurut Koswara (1985), cepat lambatnya umur berbunga menentukan genjah dalamnya umur suatu varietas tanaman dan hasil penelitian Perwitasari (2001) disimpulkan bahwa semakin cepat tanaman jagung berbunga maka akan semakin genjah umurnya.

Kontras (a vs b) F-hitung Pr>F

Lokal vs Kiran 5.01 *(-) 0.0319

Lokal vs Phil DMR Comp. 2 6.12 *(-) 0.0185

Pemuliaan vs Genjah Kodok 187.95**(-) 0.0001

Pemuliaan vs Ketip Kuning 187.95**(-) 0.0001

Pemuliaan vs Bayu 8.92**(-) 0.0052

Pemuliaan vs Phil DMR Comp. 2 78.87**(-) 0.0001

4.3.2.2 Umur Panen Rata-rata

Berdasarkan sidik ragam pada Lampiran 7 menunjukkan bahwa genotipe sangat berbeda nyata berarti umur panen rata-rata dari genotipe lokal, genotipe

Dokumen terkait