• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum

Penelitian ini dilakukan di KP Cikabayan (240 m dpl) dan KP Pasir Sarongge (1,200 m dpl). Terdapat perbedaan suhu, kelembaban dan lama penyinaran matahari pada dua lokasi yang berbeda ketinggian tersebut. Informasi kondisi lingkungan di lokasi penelitian hingga 6 BST (Maret - Juli 2011) diperoleh berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika dalam Evi (2012), sedangkan informasi kondisi lingkungan pada bulan Oktober 2011 sampai Maret 2012 diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Besar Wilayah II Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor.

Berdasarkan gabungan data kondisi lingkungan dari bulan Maret 2011 hingga Maret 2012 (Lampiran 3), maka rata-rata suhu di 1,200 m dpl adalah 20°C dengan suhu maksimum 27°C dan minimum 16°C, kelembaban 79% dan lama penyinaran matahari 49%. Suhu rata-rata di 240 m dpl adalah 26°C, dengan suhu maksimum 32°C, suhu minimum 19°C, kelembaban 82% dan lama penyinaran matahari per hari 71%. Suhu rata-rata di 240 m dpl dan 1,200 m dpl disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Suhu Rata-rata (°C) di Ketinggian 1,200 m dpl dan 240 m dpl pada Bulan Maret 2011- Maret 2012

0 5 10 15 20 25 30 M ar A pr M ei Jun Jul Ags t S ept Okt N o v D es Ja n F eb M ar 2011 2012 S uh u ra ta -r a ta ( C)

Bulan Setelah Tanam (BST)

240 m dpl 1,200 m dpl

Suhu yang meningkat dan menurun mempengaruhi pertumbuhan K. parviflora di 1,200 m dpl dan 240 m dpl. Suhu mulai menurun pada bulan

Oktober dikarenakan musim hujan sehingga temperatur lebih rendah dari biasanya.

Terdapat perbedaan kondisi tanah antara ketinggian 240 m dpl dan 1,200 m dpl (Evi, 2012). Kondisi tanah yang terdapat di 1,200 m dpl pada perlakuan tanpa naungan dan naungan buatan tergolong kelas SR A, sedangkan pada naungan alami tergolong kelas SR B. Kondisi tanah ketinggian 240 m dpl pada perlakuan tanpa naungan dan naungan buatan tergolong kelas CB A, dan pada naungan alami tergolong kelas CB B. Kadar masam (pH) pada semua contoh tanah yang diambil adalah ± 5.

Hama utama yang menyerang tanaman K. parviflora adalah ulat bulu dan belalang. Pengendalian hama dilakukan secara manual menggunakan perangkap likat kuning berukuran 15 cm x 20 cm yang dipasang dengan jumlah 1 perangkap tiap bedeng pada tiap taraf naungan di ketinggian 240 m dpl maupun di 1,200 m

dpl. Pada ketinggian 1,200 m dpl dan 240 m dpl, terdapat pertanaman K. parviflora yang terletak cukup dekat dengan petak percobaan pada penelitian

ini. Pertanaman tersebut terserang penyakit busuk rimpang yang disebabkan oleh bakteri (Ralstonia solanacearum) pada 10 BST. Untuk mencegah penyebaran penyakit ke petak percobaan pada penelitian ini maka dilakukan penyemprotan dengan menggunakan bakterisida dan fungisida (Agrept dan Dithane) dengan konsentrasi 20 g L-1. Aplikasi bakterisida dan fungisida pada 9 hingga 11 BST secara efektif dapat mencegah penyebaran penyakit ke petak percobaan ini.

Pada akar K. parviflora ini terdapat bagian seperti akar tambahan yang tumbuh di ujung akar. Menurut Hidayat (1995), istilah akar tambahan digunakan bagi akar yang tumbuh pada bagian tumbuhan yang telah mengalami pertumbuhan sekunder. Akar tambahan dapat dibentuk pada tumbuhan utuh yang tumbuh pada kondisi normal, atau tumbuh sehubungan dengan infeksi oleh hama dan penyakit tumbuhan atau luka.

Penyakit yang menyerang tanaman K. parviflora dengan penyebaran yang

cukup luas adalah puru akar yang disebabkan oleh nematoda (Meloidogyne sp). Hasil penelitian Zulfa (2012), menunjukkan bahwa akar

K. parviflora yang ditanam pada ketinggian 1,200 m dpl terserang nematode (Meloidogyne sp). Menurut Dropkin (1989) infeksi oleh Meloidogyne sp. diinisiasi secara beruntun hingga merubah seluruh bagian tanaman yang terinfeksi. Mulyadi (2009) menyatakan bahwa nematoda puru akar (Meloidogyne sp.) merupakan nematoda endoparasit menetap yaitu menyerang di dalam jaringan tanaman dan menetap dalam jaringan tersebut sampai mati khususnya nematoda betina. Selanjutnya, Kementan (2012) menambahkan bahwa penyakit akar gada menyerang tanaman dengan gejala serangan berupa bengkak (puru) pada rimpang dan akar. Di dalam setiap puru terdapat betina yang mengandung ratusan sampai ribuan telur dan larva nematoda. Bila bagian puru dipotong terlihat bercak cokelat pada jaringan di sekitarnya.

Puru akar hanya terdapat pada rimpang di di ketinggian 1,200 m dpl (Gambar 6). Suhu di ketinggian 1,200 m dpl lebih rendah dibandingkan 240 m dpl. Pada suhu tinggi larva nematoda menjadi inaktif lebih cepat dari pada suhu lebih rendah (Mulyadi, 2009). Suhu di di ketinggian 240 m dpl relatif lebih tinggi dari pada 1,200 m dpl sehingga akar tidak terserang nematoda.

Gambar 6. Puru Akar pada Akar K. parviflora di Ketinggian 1,200 m dpl. (A) Tanaman K. parviflora, (B) Puru pada bagian ujung akar K. parviflora, dan (C) Gambar representatif puru yang banyak ditemukan pada akar K. parviflora

Rekapitulasi hasil analisis ragam disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Data Pengamatan

Keterangan : KK: Koefisien Keragaman tn : tidak nyata

* μ berbeda nyata pada α = 5% **: berbeda nyata pada α =1%

T μ data setelah ditransformasi dengan (√x) Parameter Umur Tanaman

(BST) Ketinggian Naungan Interaksi KK (%)

Tinggi tanaman 7 * * ** 16.17 8 ** ** * 17.66 9 ** ** tn 21.23 10 ** ** * 15.45 11 ** ** ** 16.02 12 ** * * 20.80 Jumlah daun 8 ** * tn 21.23 9 ** tn tn 24.11 10 ** tn tn 24.92T 11 ** ** ** 28.79 12 ** ** ** 28.82 Luas daun 8 ** ** tn 23.84 10 ** * tn 21.86 Jumlah rumpun 8 ** tn tn 24.46 10 ** tn tn 27.33 12 ** tn tn 26.56 Kerapatan stomata 10 tn tn tn 39.09 Stomata terbuka 10 tn tn tn 36.46T Stomata tertutup 10 tn tn tn 34.63 Rasio stomata 10 tn tn tn 39.98T Warna daun 8 ** ** ** 22.82 Kandungan klorofil total 8 10 tn ** * 37.72 Bobot panen rimpang 12 ** ** * 24.57

Morfologi Akar Kaempferia parviflora

Bagian yang dipanen dari tanaman K. parviflora adalah rimpangnya. Oleh karena itu dilakukan pengamatan secara lebih mendalam pada morfologi perakaran tanaman ini, yang meliputi akar dan rimpang. Akar K. parviflora pada 1,200 m dpl lebih besar dan banyak dibandingkan dengan akar K. parviflora 240 m dpl yang hanya terdiri dari akar dan rimpang tua. Bagian akar K. parviflora 1,200 m dpl terbagi kedalam 4 bagian (Gambar 7).

Berdasarkan morfologinya, akar K. parviflora dapat dibagi kedalam 4 bagian yaitu, (1) rimpang hijau, (2) rimpang muda ungu, (3) rimpang tua, dan (4) akar gemuk (fleshy root). Akar gemuk kebanyakan ditemukan pada tanaman di 1,200 m dpl, sedangkan tanaman K. parviflora di 240 m dpl tidak memiliki akar gemuk sama sekali.

Gambar 7. Morfologi Akar K. parviflora dari 1,200 m dpl. Morfologi lengkap akar (panel kiri), bagian-bagian akar (panel tengah), dan histologi jaringan pada tiap bagian akar (panel kanan). Keterangan: (1) rimpang hijau, (2) rimpang muda ungu, (3) rimpang , dan (4) akar gemuk.

0 5 10 15 20 25 30 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 Jum la h da un

Minggu Setelah Tanam (MST)

1,200 m dpl 240 m dpl 0 5 10 15 20 25 30 35 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 T ing g i T ana m an ( cm )

Minggu Setelah Tanam (MST)

1,200 m dpl 240 m dpl

Pengaruh Ketinggian Tempat terhadap Pertumbuhan Vegetatif dan Produksi Kaempferia parviflora

Uji Barltlet dilakukan pada pengolahan data untuk melihat kehomogenan suatu ragam (Walpole, 1995). Jika Fhitung < Ftabel maka ragam tersebut homogen, Fhitung > Ftabel maka ragam tersebut tidak homogen. Faktor peubahyang diamati mencakup tinggi tanaman, jumlah daun, banyaknya rumpun, kerapatan stomata, warna daun, kandungan klorofil, bobot panen rimpang.

Pengamatan K. parviflora pertumbuhan vegetatif lanjut dilakukan mulai 25 minggu setelah tanam (MST). Pertumbuhan vegetatif K. parviflora di 240 m dpl mulai mengalami penurunan pada 27 MST, yang ditunjukkan dengan menurunnya jumlah daun (Gambar 8A) dan tinggi tanaman (Gambar 8B). Jumlah daun menurun akibat banyaknya daun yang mengalami senesen. Sebaliknya, pertumbuhan vegetatif K. parviflora di 1,200 m dpl pada 25 MST masih terus mengalami peningkatan, yang ditunjukkan oleh pertambahan jumlah daun (Gambar 8A) dan tinggi tanaman (Gambar 8B).

Gambar 8. Jumlah Daun (A) dan Tinggi Tanaman (B) K. parviflora pada Ketinggian Tempat Berbeda. Data hingga 13 MST bersumber dari Evi (2012).

Jumlah daun tanaman K. parviflora di 1,200 m dpl terus mengalami peningkatan dan baru mulai mengalami penurunan pada 36 MST. Perbedaan laju pertumbuhan vegetatif K. parviflora pada ketinggian tempat yang berbeda berkaitan dengan kondisi lingkungan. Jumlah daun ini mengindikasi bahwa K. parviflora di 1,200 m dpl masih dapat tumbuh lebih lama. Ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap kondisi lingkungan, terutama suhu, sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Taiz dan Zeiger, 1991). Semakin tinggi suatu tempat maka semakin rendah suhunya. Tiap spesies tumbuhan memiliki suhu minimum, optimum, dan maksimum. Di bawah suhu minimum tumbuhan tidak akan tumbuh. Pada suhu optimum, laju pertumbuhannya paling tinggi. Pada suhu maksimum, tumbuhan tidak tumbuh dan bahkan mati (Salisbury dan Ross, 1995c).

Perbedaan ketinggian dalam fotosintesis dapat disebabkan oleh perbedaan pigmen fotosintesis (Friend dan Woodward, 1990). Namun, efisiensi fotosintesis dan hasil tanaman adalah dua hal yang berbeda (Lakitan, 2008). Adapun kandungan klorofil yang terdapat di masing-masing ketinggian tidak berbeda nyata pada 8 BST, tetapi berbeda nyata pada 10 BST (Tabel 2).

Tabel 2. Kandungan Pigmen Fotosintesis Daun K. parviflora pada 8 dan 10 BST Umur Tanaman Ketinggian (m dpl) Klorofil a Klorofil b Klorofil

Total Antosianin Karotenoid

8 BST 240 0.53 0.15 0.53 0.29 0.33 1,200 0.64 1.20 0.69 0.11 0.32 Uji F tn tn tn tn tn KK (%) 26.23 47.75 26.23 326.43 18.52 10 BST 240 0.39 0.22 0.60 0.36 0.38 1,200 0.26 0.11 0.37 0.34 0.23 Uji F * * * * * KK (%) 37.58 44.08 37.72 164.61 32.09

Perbedaan laju pertumbuhan menyebabkan tanaman K. parviflora di 1,200 m dpl memiliki tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun yang lebih tinggi dibandingkan tanaman di 240 m dpl pada 11 BST (Tabel 3). Penurunan jumlah daun pada tanaman menandakan tanaman siap untuk dipanen. Menurut Rukmana (1994), salah satu ciri-ciri kencur siap panen adalah daun-daunnya tampak layu, menguning dan mengering atau berguguran.

Tabel 3. Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, dan Luas Daun K. parviflora pada Ketinggian Tempat yang Berbeda pada 11 BST

Ketinggian tempat

Parameter pertumbuhan vegetatif pada 42 MST

Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Luas daun (cm2)

1,200 m dpl 29.00 23.48 92.24

240 m dpl 4.85 0.84 28.90

Uji F ** ** **

Keterangan : ** = berbeda sangat nyata pada P < 0.01.

Akibat laju pertumbuhan yang berbeda, maka panen tanaman 240 m dpl dan 1,200 m dpl tidak dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Tanaman di ketinggian 1,200 m dpl masih rimbun dan segar pada 11 BST (Gambar 9A), sedangkan tajuk tanaman K. parviflora di ketinggian 240 m dpl pada 10 BST sudah tidak tampak di atas permukaan tanah (Gambar 9B). Oleh karena itu, panen K. parviflora di ketinggian 240 m dpl dilakukan pada 12 BST, sedangkan panen di 1,200 m dpl dilakukan lebih lambat yakni pada 14 BST. Sebagian tanaman contoh di ketinggian 1,200 m dpl dipanen pada 12 BST untuk dibandingkan dengan tanaman yang sudah dipanen di ketinggian 240 m dpl.

Gambar 9. Kondisi Tanaman K. parviflora Sebelum Panen pada Ketinggian (A) 1,200 m dpl (11 BST); (B) 240 m dpl (10 BST).

Tujuan memperoleh hasil panen yang lebih tinggi ialah dengan cara menyerap radiasi matahari sebanyak mungkin dan penanaman dengan jarak yang sama akan memberikan penyerapan sinar matahari yang paling awal dan maksimum. Gulma berkompetisi dengan tanaman budidaya dalam memperebutkan faktor - faktor lingkungan, sehingga pengendalian gulma yang baik sangat penting agar dapat dicapai hasil panen yang tinggi. Pengendalian gulma sulit dilakukan dengan jarak deretan yang terlalu sempit untuk disiangi (Gardner et al., 2008 ). Jarak awal tanam pada budidaya K. parviflora di petak percobaan adalah 15 cm x 20 cm, dengan menggunakan jarak tanam standar kencur. Jarak tanam K. parviflora yang digunakan terlalu dekat menyebabkan pertumbuhan daun yang rimbun bersaing untuk menyerap radiasi matahari. Daun - daun sebelah atas menerima radiasi langsung dan radiasi difusi, sedangkan daun - daun yang lebih bawah dalam tajuk menerima sebagian kecil radiasi langsung (yaitu bercak-bercak matahari). Sehingga untuk budidaya K. parviflora lebih baik ditanam pada jarak tanam lebih dari 15 cm x 20 cm, yaitu 20 cm x 30 cm atau 30 cm x 30 cm.

Banyaknya jumlah daun yang masih tumbuh pada K. parviflora di 1,200 m dpl mengindikasikan bahwa panen dapat dilakukan pada waktu yang lebih lama dari 14 BST, dengan menunggu hingga daun K. parviflora senescence seperti pada panen K. parviflora di 240 m dpl. Selain itu, diharapkan bahan aktif yang terdapat dalam rimpang K. parviflora di 1,200 m dpl lebih tinggi dari rimpang yang dipanen pada 14 BST.

Laju pertumbuhan yang berbeda ternyata menyebabkan hasil panen (bobot akar dan bobot rimpang) yang berbeda (Tabel 4).

Tabel 4. Bobot Rimpang dan Akar K. parviflora pada Ketinggian Tempat Berbeda pada 12 BST

Ketinggian tempat Rimpang+Akar Rimpang Akar ………….Bobot (g) ………….

1,200 m dpl 116.66 50.79 52.89

240 m dpl 9.69 9.05 0.64

Uji F * * *

Pada 12 BST, hasil panen di ketinggian 1,200 m dpl nyata lebih tinggi dibandingkan hasil panen di ketinggian 240 m dpl. Bobot rimpang di 1,200 m dpl adalah 50.79 g, sedangkan bobot rimpang di 240 m dpl 9.05 g. Istiana (2007) menyatakan bahwa tinggi tanaman dan jumlah daun merupakan parameter pertumbuhan yang mendukung produksi secara tidak langsung.

Umur panen tanaman yang lebih panjang dan daunnya yang belum senesen di 1,200 m dpl menyebabkan hasil panen (bobot basah dan kering tajuk, dan bobot rimpang) lebih tinggi dibandingkan tanaman di 240 m dpl (Tabel 5).

Tabel 5. Bobot Panen/plot K. parviflora di Ketinggian 240 m dpl (12 BST) dan 1,200 m dpl (14 BST)

Ketinggian tempat

Bobot

Rimpang Basah Daun Kering Daun Akar + Puru ………… (g)…………...

1,200 m dpl 836.22 216.34 50.04 1328.2

240 m dpl 178.49 4.38 0.57 16.3

Uji F * * * *

Keterangan : * = berbeda nyata pada P < 0.05

Bobot panen K. parviflora per plot menunjukkan bahwa bobot rimpang di 1,200 m dpl pada 12 BST maupun 14 BST tetap menunjukkan hasil lebih tinggi dari pada K. parviflora 240 m dpl. Bobot basah daun K. parviflora 1,200 m dpl tinggi karena jumlah daun hingga masa panen masih banyak dibandingkan dengan jumlah daun 240 m dpl. Seiring hal tersebut, bobot kering daun K. parviflora di 1,200 m dpl nyata lebih tinggi dari pada bobot kering daun K. parviflora di 240 m dpl. Hal ini berkaitan dengan banyaknya jumlah tajuk yang terdapat pada tanaman K. parviflora di 1,200 m dpl. Gardner et al, (2008) menyatakan bahwa hasil berat kering total merupakan akibat efisiensi penyerapan dan pemanfaatan radiasi matahari yang tersedia sepanjang musim pertumbuhan oleh tajuk tanaman budidaya. Untuk memperoleh laju pertumbuhan tanaman budidaya maksimum, harus terdapat cukup banyak daun dalam tajuk untuk menyerap sebagian radiasi matahari yang jatuh ke atas tajuk tanaman. Selain itu, produksi berat kering daun total merupakan suatu faktor yang menentukan berapa lama tanaman budidaya tersebut dapat mempertahankan tajuk daun yang aktif dan hijau.

Rimpang K. parviflora di ketinggian 240 m dpl lebih kecil dan sedikit mempunyai anak rimpang, sedangkan rimpang K. parviflora pada 1,200 m dpl mempunyai lebih banyak anak rimpang dengan ukuran yang lebih besar. Dalam klasifikasi ukuran rimpang, maka rimpang K. parviflora pada 240 m dpl termasuk ke dalam kelas kecil dari rimpang K. parviflora 1,200 m dpl. Besarnya ukuran rimpang berkaitan dengan kondisi keadaan tanaman baik dari ketinggian tempat maupun naungan. Tanaman di 1,200 m dpl memiliki jumlah rimpang sekitar dua kali lipat lebih banyak dibanding tanaman di 240 m dpl (Tabel 6). Kriteria rimpang diklasifikasikan berdasarkan bobot rimpang.

Tabel 6. Jumlah dan Klasifikasi Rimpang K. parviflora pada 12-14 BST Ketinggian

tempat

Jumlah rimpang pada tiap

kelas Total jumlah

rimpang Kecil Sedang Besar

1,200 m dpl 188 74 48 310

240 m dpl 168 0 0 168

Keterangan: Jumlah rimpang di tiap ketinggian tempat dihitung dari total rimpang pada 3 taraf naungan. Setiap naungan terdiri atas 3 petak masing- masing berukuran 60 cm x 200 cm

Morfologi rimpang K. parviflora di ketinggian 240 m dpl berbeda dengan rimpang K. parviflora di 1,200 m dpl (Gambar 10). Rimpang pada 240 m dpl terdiri dari rimpang tua dengan sedikit anak rimpang. Rimpang di ketinggian 1,200 m dpl terdiri dari rimpang tua, rimpang muda, dan rimpang hijau dengan anak rimpang yang banyak sehingga berukuran lebih besar dalam satu tanaman.

Gambar 10. Klasifikasi Rimpang K. parviflora yang Dibudidayakan di Ketinggian 1,200 m dpl dan 240 m dpl

240 m dpl 1,200 m dpl

Pengaruh Naungan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kaempferia parviflora

Pertumbuhan vegetatif tanaman K. parviflora dipengaruhi oleh taraf naungan. Pada 10 BST, tanaman yang ditanam di bawah naungan tajuk memiliki jumlah daun, tinggi tanaman, jumlah rumpun, dan luas daun yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang ditanam tanpa naungan atau menggunakan naungan paranet 55% (Tabel 7). Naungan sangat berpengaruh pada intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Tumbuhan yang hidup dibawah tegakan pohon atau terlindung oleh kanopi daun akan terjadi pemanjangan batang yang dikarenakan pada kondisi intensitas cahaya matahari yang rendah, degradasi auksin akan berkurang sehingga kandungan auksin akan meningkat (Salisbury dan Ross, 1995b).

Tabel 7. Jumlah Daun, Tinggi Tanaman, Jumlah Rumpun dan Luas Daun K. parviflora pada 11 BST di Taraf Naungan yang Berbeda

Naungan Jumlah daun Tinggi tanaman (cm) Jumlah rumpun Luas daun (cm2) Tanpa naungan 8.57b 14.96 b 4.67 a 52.52 a 55% 10.57b 15.08 b 4.23 a 54.70 b Tajuk 17.37a 21.00 a 4.50 a 74.51 a KK (%) 28.82 20.80 26.56 21.87

Keterangan : Angka – angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%. Kandungan klorofil daun K. parviflora juga dipengaruhi oleh taraf naungan. Harjadi (1989) mengemukakan bahwa kelebihan intensitas cahaya dapat menyebabkan kandungan klorofil menjadi berkurang dan daun menjadi hijau kekuningan, akibatnya laju penyerapan cahaya rendah dan fotosintesis menjadi rendah. Menurut Salisbury dan Ross (1995b), berdasarkan bobot, daun naungan umumnya juga mempunyai klorofil lebih banyak, khususnya klorofil b, terutama karena tiap kloroplas memiliki lebih banyak grana dibandingkan pada daun matahari. Taiz dan Zeiger (2002), menyatakan bahwa daun naungan mempunyai lebih banyak total klorofil tiap pusat reaksi, mempunyai perbandingan klorofil b lebih tinggi dari klorofil a, dan biasanya daun lebih tipis dari daun matahari. Selain itu, menurut Lakitan (2008) efisiensi fotosintesis maksimum tercapai pada

intensitas cahaya yang rendah, tidak pada intensitas cahaya yang penuh dan hari panjang, dimana hasil tanaman tertinggi dicapai.

Tanaman pada naungan tajuk mempunyai kandungan klorofil a, klorofil b, dan klorofil total yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang ditanam dengan naungan paranet 55% dan tanpa naungan pada 8 BST. Kandungan klorofil pada 10 BST juga berbeda nyata, tetapi kandungan klorofil a, klorofil b maupun klorofil total pada naungan 55% lebih kecil dibandingkan dengan tanaman tanpa naungan (Tabel 8).

Tabel 8. Tabel Kandungan Pigmen Fotosintesis Daun K. parviflora pada 10 BST Umur Tanaman Naungan Klorofil a Klorofil b Klorofil

Total Antosianin Karotenoid ………(µmol.g-1)…………..

8 BST Tanpa

naungan 0.36c 0.31b 0.36c 1.03a 0.23c

55% 0.62b 0.43a 0.62b 1.05a 0.32b

Tajuk 0.79a 0.47a 0.79a 1.15a 0.42a

KK (%) 26.23 19.51T1 26.23 18.91T2 18.52

10 BST Tanpa

naungan 0.29b 0.38ab 0.45b 1.11a 0.32a

55% 0.26b 0.34b 0.39b 1.19a 0.26a

Tajuk 0.42a 0.45a 0.63a 1.14a 0.35a

KK (%) 37.58 26.60T1 37.72 17.24T2 32.09 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α = 5%. T1 : data setelah ditransformasi dengan (√x) ;

T2 : data setelah ditransformasi dengan (√x+1)

Kandungan antosianin pada 8 dan 10 BST tidak berbeda nyata. Pada tanaman kedelai, pigmentasi antosianin meningkat pada persentase naungan yang semakin tinggi (Lamuhuria et al., 2006). Hasil penelitian Ghulamadi et al. (2008) menunjukkan kandungan antosianin tertinggi diperoleh pada naungan 50% selama 1 bulan dengan 3 bulan cahaya 100% dibanding penggunaan naungan 25% dan cahaya 100% selama 4 bulan.

Karotenoid pada membran tilakoid juga mengirim energi eksitasinya ke pusat reaksi yang sama dengan klorofil. Di samping berperan sebagai penyerap cahaya, karotenoid pada tilakoid juga berperan untuk melindungi klorofil dari kerusakan oksidatif oleh O2 jika intensitas cahaya sangat tinggi (Lakitan, 2008).

Hal ini dapat dilihat pada jumlah karotenoid daun K. parviflora tanpa naungan. Pada 8 BST, karotenoid daun K. parviflora tanpa naungan manunjukkan hasil berbeda nyata dengan daun K. parviflora dibawah naungan 55% dan naungan tajuk. Namun, pada 10 BST hasilnya tidak berbeda nyata, tetapi jumlah karotenoid daun K. parviflora tanpa naungan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dari naungan 55% dan lebih rendah dari naungan tajuk.

Intensitas cahaya mempengaruhi proses fotosintesis yang berlangsung sehingga mempengaruhi hasil panen rimpang dari tiap naungan. Menurut Harjadi (1989), kelebihan intensitas cahaya dapat menurunkan hasil panen, mempengaruhi suhu daun dan mempengaruhi enzim tertentu sehingga menonaktifkan enzim yang mengubah pati ke gula. Gula menumpuk dan mengakibatkan fotosintesis menjadi lambat. Hal tersebut tampak pada hasil panen rimpang tanpa naungan lebih rendah dari pada naungan 55% dan naungan tajuk dimana suhu rata-rata harian lebih tinggi menyebabkan hasil panen menurun (Tabel 9).

Tabel 9. Bobot Panen K. parviflora pada Taraf Naungan yang Berbeda di Ketinggian 240 m dpl (12 BST) dan 1,200 m dpl (14 BST)

Taraf Naungan

Bobot Rimpang Rimpang dan

akar Akar Basah daun

Kering daun ………..…..(g)……….. Tanpa naungan 318.40 b 672.60 b 352.90 b 11.82 b 3.34 b 55% 437.10 b 898.00 b 459.70 b 39.50 b 7.22 b Tajuk 766.50 a 1971.50 a 1204.10 a 279.76 a 65.34 a Keterangan : Angka - angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT pada taraf α =5%.

Kelebihan intensitas cahaya meningkatkan suhu daun, laju transpirasi naik dan tidak seimbang dengan laju absorbsi air, stomata menutup dan fotosintesis berkurang (Harjadi 1989). Stomata pada sebagian tumbuhan lebih terkonsentrasi pada bagian bawah daun (abaksial), yang mengurangi transpirasi karena permukaan bagian bawah menerima lebih sedikit cahaya dibandingkan dengan permukaan atas (Campbell et al, 2000). Pada analisis sidik ragam stomata terbuka dan tertutup yang diukur pada bagian abaksial daun, dari setiap naungan di ketinggian 1,200 m dpl dan 240 m dpl menunjukkan hasil yang tidak berbeda

nyata. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Evi (2012) yang menyatakan bahwa pada pada 16 MST stomata menujukkan hasil yang berbeda nyata pada taraf 5%.

Pengaruh Ketinggian Tempat dan Naungan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kaempferia parviflora

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, terdapat interaksi antara pengaruh naungan dan ketinggian. Interaksi naungan dan ketinggian tempat secara nyata mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, kandungan klorofil total dan bobot rimpang panen. Secara keseluruhan, pertumbuhan tinggi tanaman K. parviflora di KP Pasir Sarongge (1,200 m dpl) lebih baik dibandingkan di KP Cikabayan (240 m dpl) (Tabel 10).

Tabel 10. Pengaruh Interaksi antara Ketinggian Tempat dan Naungan terhadap Tinggi, Jumlah, dan Luas Daun K. parviflora.

Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah daun Luas daun Ketinggian Naungan 8 BST 10BST 12 BST 10BST 11BST 8BST 10BST 1,200 m dpl Tanpa

naungan 24.15b 24.58b 24.47b 21.80b 16.20b 88.73ab 88.02ab 55% 26.31ab 25.65b 25.60b 20.13b 20.26b 90.42ab 78.19b Tajuk 31.37a 39.18a 36.93a 36.47a 34.00a 116.56a 110.53a 240 m dpl Tanpa

naungan 4.41d 8.48c 4.92c 2.13c 1.40c 12.37c 17.02c 55% 4.97d 6.61c 5.07c 1.00c 1.33c 18.04c 31.21c Tajuk 14.11c 14.87c 4.56c 2.13c 1.13c 61.83b 38.48c Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menyatakan pengaruh yang tidak nyata dengan DMRT pada taraf 5% .

Tanaman K. parviflora tanpa naungan di bawah naungan tajuk tumbuh lebih tinggi dari pada di bawah naungan paranet 55% dan tanpa naungan (Gambar 12). Puncak pertambahan tinggi tanaman di bawah naungan tajuk terdapat pada 35 MST (9 BST), sedangkan untuk tanaman di 240 m dpl mengalami penurunan tinggi yang cukup signifikan pada 26 MST (7 BST). Penurunan tinggi tanaman di 240 m dpl ini dikarenakan banyak daun yang sudah mulai mengalami kematian (senescence). Kematian sel-sel dan jaringan daun bisa

dikarenakan umur daun yang sudah tua serta kekeringan akibat kondisi lingkungan dan temperatur yang tinggi.

Gambar 12. Pertambahan Tinggi Tanaman K. parviflora pada Beberapa Taraf Naungan di Ketinggian di 1,200 m dpl dan 240 m dpl

Tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun yang berbeda menunjukkan

bahwa naungan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif daun K. parviflora. Pada masing-masing ketinggian tempat, tanaman pada naungan

tajuk memiliki luas daun yang lebih tinggi. Menurut Kisman et al. (2007) pada kondisi lingkungan cahaya kurang, diperlukan morfologi daun yang lebar dan tipis untuk dapat menangkap cahaya sebanyak mungkin dengan cahaya yang direfleksikan serendah mungkin. Selain itu, Lakitan (1998) menyatakan bahwa cahaya merangsang masuknya ion kalium ke sel penjaga dan jika tumbuhan tersebut kemudian ditempatkan ditempatkan dalam gelap, maka ion kalium akan kembali keluar dari sel penjaga. Cahaya merah dan biru efektif dalam pembukaan

Dokumen terkait