• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Pertumbuhan vegetatif dan produksi rimpang Kaempferia parviflora pada ketinggian 1,200 m dpl lebih baik dibandingkan pada 240 m dpl. Pada tiap ketinggian tempat, K. parviflora memiliki pertumbuhan vegetatif dan produksi rimpang terbaik pada naungan tajuk. Secara umum, kombinasi ketinggian tempat 1,200 m dpl di bawah naungan tajuk merupakan perlakuan terbaik yang menghasilkan produksi rimpang K. parviflora tertinggi dibanding perlakuan lainnya. Rimpang dewasa K. parviflora mengandung beberapa bahan aktif utama yaitu flavonoid, triterpenoid, dan alkaloid. Kandungan bahan aktif tersebut tidak dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan ketinggian tempat dan taraf naungan.

Saran

Penelitian lanjutan untuk mengetahui kandungan flavonoid khususnya metoksiflavon pada tiap tingkatan naungan dalam K. parviflora sebaiknya dilakukan. Karena penelitian ini hanya mengetahui kandungan zat aktif fitokimia secara kualitatif.

Campbell, N. A., J. B. Reece, dan L. G. Mitchell. 2000. Biologi Edisi ke 5 Jilid 2. (diterjemahkan dari : Biology Fifth Edition, penerjemah : W. Manalu). Penerbit Erlangga. Jakarta. 404 hal.

Campbell, N. A., dan J. B. Reece. 2008. Biologi Edisi ke 8 Jilid 1. (diterjemahkan dari : Biology Eighth Edition, penerjemah : D.T. Wulandari). Penerbit Erlangga. Jakarta. 486 hal.

Chansakaow, S., Y. Srigiofun, L. Chitarree, and K. Panyakard. 2005. Effect of Light Intensity and Soil Amendments on Total Phenolics and Antioxidant Activity of Kaempferia parviflora Wall. Ex. Bak. 31st Congress on Science and Technology of Thailand at Suranaree University of Technology.

De Padua, L.S., Bunyapraphastsara. N., and Lemmens.1999. Plant Resources of

South East Asia 12 (1). p.268-286. In Kardono, L.B.S., T. Basuki dan K.

Padmawinata. Selected Indonesian Medical Plants Monographs and Descriptions. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.

Dropkin, V.H. 1989. Introduction to Plant Nematology. Second Edition. John Wiley & Sons, Inc. Canada. 304 p.

Evi. 2012. Altitude and Shading Conditions Affect Vegetative Growth of Kaempferia parviflora. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 hal. Fahn, A. 2000. Anatomi Tumbuhan. Edisi Ketiga. A. Soediarto (Trans). Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta. 253 hal.

Fitter, A. H. and R. K. M. Hay. 1987. The Physiology of Plants. Academic Press. London. 423p.

Friend, A.D., Woodward, F.I., 1990. Evolution and ecophysiological responses of mountain plants to growing season environment. in p. 298. Zhana S.B., Z.K. Zhou, H. Hu, K. Xu, N. Yan, S.Y., Lin., 2005. Photosinthetic performance of quercus pannosa vary with altitude in the hengduan mountains, southweast China.

Gardner, F. P., R. B. Pearce, R.L. Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. (diterjemahkan dari : Physiology of Crop Plants, penerjemah : H. Susilo). Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 428 hal.

Ghulamadi, M., S. A. Aziz., dan Nirwan. 2008. Peningkatan Laju Pertumbuhan dan Kandungan Flavonoid daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) Melalui Periode Pencahayan. Bul. Agron. 36 : 41-47

Tumbuhan. ITB. Bandung. Terjemahan Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. 354 hal.

Harjadi, S. 1989. Dasar-dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian Faperta, IPB. Bogor. 500 hal.

Haryudin, W. dan O. Rostiana. 2008. Morfologi bunga kencur. Bul. Littro. 19:109-116

ICS UNINDO. 2009. Kaempferia parviflora Wall. Ex. Baker. www.ics.trieste.it [14 September 2011]

IPTEK. 2005.Tanaman Obat Indonesia. http://www.iptek.net.id [17 Mei 2011]

Istiana dan Heri. 2007. Cara aplikasi pupuk nitrogen dan pengaruhnya pada tanaman tembakau Madura. Bul. Teknik Pertanian. 12:66-67

Katno dan S. Pramono. 2002. Tingkat manfaat dan keamanan tanaman obat dan obat tradisional. http://iaijogja.com [ 9 September 2011].

Kementan. 2006. Profil Sentra Produksi Kencur (Kaempferia galangaL.). Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Dirjen Hortikultura. Jakarta. 66 hal.

Kementan. 2012. Penyakit akar. Direktorat Perlindungan Hortikultura. Jakarta. [29 Agustus 2012]

Kisman, N. Khumaida, Trikoesoemaningtyas, Sobir, D., Sopandie. 2007. Karakter morfo-fisiologi daun, penciri adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah. Bul. Agron. 35: 96-102.

Kuntorini, E.M., M.D. Astuti, dan Miliana. 2011. Struktur anatomi dan kerapatan sel sekresi serta aktivitas antioksidan ekstrak etanol dari rimpang temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) asal kecamatan Pengaron kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Bioscientiae. 8:28-37.

Kummee.S., S. Tewtrakul and S. Subhadhirasakul. 2008. Antimicrobial activity of the ethanol extract and compounds from the rhizomes of Kaempferia parviflora. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30:463-466.

Lakitan, B. 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 205 hal.

Lamuhuria, D. Soepandie, N. Khumaida, Trikosoemaningtyas, L.K. Darusman, T. June. 2006. Mekanisme fisiologi dan pewarisan sifat toleransi kedelai

(Glycine max (L.) Merrill) terhadap intensitas cahaya rendah. Makalah

Swadaya. Jakarta.

Miskin, E.K., D.C. Rasmusson, and D.N. Moss. 1992. Inheritance and physiological effects of stomatal frequency in barley. Crop Science 12: 780-783.

Mulyadi. 2009. Nematologi Pertanian. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 339 hal.

Putiyanan S, Chansakaow S, Phrutivorapongkul A, Charoensup W. 2008. Standard pharmacognostic characteristic of some thai herbal medicine. CMU. J. Nat. Sci. 7:239-255.

Ren, H.X., Z.L. Wang, X. Chen, Y.L. Zhu., 1999. Antioksidative responses to different altitudes ain Plantago major. Environ. Exp. Bot. 42: 51-59. Rostiana, O. dan D.S. Effendi. 2007. Teknologi Unggulan Kencur, Perbenihan

dan Budidaya Pendukung Varietas Unggul. Pusat Penelitian dan Perkembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 21 hal.

Rukmana, R. 1994. Kencur. Kanisius.Yogyakarta.24 hal.

Salisbury, F. B. dan C. W. Ross.1995b. Fisiologi Tumbuhan Jilid II. (diterjemahkan dari Plant Physiology, penerjemah : D. R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung. 173 hal.

________________________________ 1995c. Fisiologi Tumbuhan Jilid III. (diterjemahkan dari Plant Physiology, penerjemah : D. R. Lukman dan Sumaryono). Penerbit ITB. Bandung. 343 hal.

Sims, D.A. and J.A. Gamon . 2002. Relationship between leaf pigment content and spectral reflectance across a wide range of species, leaf structure and developmental stages. Remote Sensing Environ. 81: 331-354.

Sukaesih, E. 2002. Studi Karakter Iklim Mikro pada Berbagai Tingkat Naungan Pohon Karet dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan 20 Genotipe Kedelai (Glycine Max (L) Merr.). Skripsi. Departemen Budidaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sutthanut, K., B. Sripanidkulchai, C. Yenjai, M. Jay. 2007. Simultaneous identification and quantitation of 11 flavonoid constituens in Kaempferia parviflora by gas chromatography. J. Chromatogr. 1143 : 227-233

Taiz, L. dan E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. Third Edition. The Benjamin/Cummings pb. Co.,Inc. California. 690p.

Yogyakarta. 268 hal.

Trisomboon, H. 2008. Kaempferia parviflora, a Thai herbal plant, neither promote reproductive function nor increase libido via male hormone. Thai. J. Physiol. Sci. 21: 83-86.

Vichitphan, S., K. Vichitphan, and P. Sirikhansaeng. 2007. Flavonoid content and antioxidant activity of Krachai-Dum. KMITL Sci. Tech. J. 7: 97-105.

Walpole, R.E. 1995. Pengantar Stastistika Edisi ke 3. Jakarta. PT Gramedia.

Yenjai, C., K. Prasanphen, S. Daodee, V. Wongpanich, and P. Kittikoop. 2004. Bioactive flavonoids from Kaempferia parviflora. Fitoterapia 75:89-92. Zulfa,U. 2012. Application of Liquid Bio-Fertilizer Reduced The Need of

Chemical Fertilizer In Black Galingale (Kaempferia parviflora) Production. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal.

2002)

Klorofil a = ((0.01373*A663) – (0.000897*A537) – (0.003046*A647)) x 8 Berat sample

Klorofil b = ((0.02405*A647) – (0.004305*A537) – (0.005507*A663)) x 8 Berat sample

Klorofil total = rumus perhitungan klorofil a + rumus perhitungan klorofil b

Anthosianin = ((0.08173*A537) – (0.00697*A647) – (0.002228*A663)) x 8 Berat sample

Karotenoid = [A470 - (17.1*((0.01373*A663) – (0.000897*A537) – (0.003046*A647)) + ((0.02405*A647) – (0.004305*A537) –

(0.005507*A663))) – (9.479*((0.08173*A537) – (0.00697*A647) – (0.002228*A663)))] / 119.26 * 8 / Berat sample

Keterangan : Angka 8 adalah faktor pengenceran dari 2 ml (larutan awal) menjadi 4 ml (hasil akhir). Satuan hasil perhitungan adalah µmol.g-1

Sediakan daun segar yang akan dianalisis sebanyak 0.02 g

Gerus dengan menggunakan mortar hingga halus, kemudian tambahkan 2 ml Acetris

Masukan larutan dalam cuvet kemudian tambahkan Acertis hingga 2 ml

Sentrifugasi larutan sekitar 10 detik

Ambil 1 ml cairan bening (supernatan) hasil sentrifugasi kemudian tambahkan 3 ml Acertis

Ukur larutan yang sudah tercampur mengggunakan Spektrofotometer pada 470, 5γ7 , 647, dan 66γ

Lampiran 3. Karakteristik Agroklimat di KP Cikabayan dan KP Pasir Sarongge pada Maret 2011 - Maret 2012

Karakteristik Agroklimat

Lokasi Waktu RH LPM

Suhu

Rata-rata Max min KP Cikabayan (240 m dpl) 2011 Maret 82 - 26 - - April 84 - 26 32 23 Mei 84 - 26 32 23 Juni 80 - 26 32 22 Juli 80 87 26 31 22 Agustus 75 91 26 31 21 September 73 90 25 32 22 Oktober 75 74 26 32 23 November 80 56 25 31 24 Desember 84 44 26 30 24 2012 Januari 86 29 25 27 23 Februari 87 57 26 30 23 Maret 80 55 26 30 24 Rataan 80 62 26 30 23 KP Pasir Sarongge (1,200 m dpl) 2011 Maret 82 37 20 27 16 April 83 37 20 26 16 Mei 80 43 21 27 16 Juni 76 62 21 26 17 Juli 75 63 21 26 16 Agustus 71 73 20 26 16 September 72 70 20 27 16 Oktober 73 56 21 27 16 November 86 37 20 26 16 Desember 81 48 21 27 16 2012 Januari 87 27 20 25 17 Februari 82 42 20 26 16 Maret 81 47 20 26 16 Rataan 79 49 20 26 16 Keterangan : RH = Kelembaban

Lampiran 4. Sidik Ragam Tinggi Tanaman Hasil Analisis Percobaan

Tinggi Tanaman 25 MST

Sumber Keragaman Derajat Bebas F-Hitung Pr > F

Ketinggian (K) 1 0.00 0.0014 Naungan (N) 2 20.42 0.0007 N x K 2 11.86 0.0040 Galat 8 KK (%) 16.18 Tinggi Tanaman 29 MST Ketinggian (K) 1 86.75 <.0001 Naungan (N) 2 11.28 0.0047 N x K 2 4.76 0.0434 Galat 8 KK (%) 17.66 Tinggi Tanaman 33 MST Ketinggian (K) 1 122.50 <.0001 Naungan (N) 2 8.92 0.0092 N x K 2 0.46 0.6481 Galat 8 KK (%) 21.23 Tinggi Tanaman 37 MST Ketinggian (K) 1 276.40 <.0001 Naungan (N) 2 34.49 0.0001 N x K 2 2.61 0.1340 Galat 8 KK (%) 15.45 Tinggi Tanaman 41 MST Ketinggian (K) 1 412.11 0.0375 Naungan (N) 2 15.19 0.0019 N x K 2 10.41 <.0001 Galat 8 0.0059 KK (%) 16.02 Tinggi Tanaman 42 MST Ketinggian (K) 1 211.75 <.0001 Naungan (N) 2 6.05 0.0251 N x K 2 5.47 0.0318 Galat 8 KK (%) 20.80 KK : Koefisien Keragaman

Lampiran 5. Sidik Ragam Jumlah Daun Hasil Analisis Percobaan

Jumlah Daun 25 MST

Sumber Keragaman Derajat Bebas F-Hitung Pr > F

Ketinggian (K) 1 279.92 <.0001 Naungan (N) 2 4.10 0.0595 N x K 2 1.56 0.2673 Galat 8 KK (%) 15.86 Jumlah Daun 29 MST Ketinggian (K) 1 226.91 <.0001 Naungan (N) 2 4.46 0.0501 N x K 2 0.28 0.7625 Galat 8 KK (%) 21.32 Jumlah Daun 33 MST Ketinggian (K) 1 242.41 <.0001 Naungan (N) 2 1.39 0.3042 N x K 2 0.83 0.4702 Galat 8 KK (%) 24.12 Jumlah Daun 37 MST Ketinggian (K) 1 78.27 <.0001 Naungan (N) 2 3.86 0.0669 N x K 2 3.27 0.0918 Galat 8 KK (%) 41.91 Jumlah Daun 41 MST Ketinggian (K) 1 174.25 <.0220 Naungan (N) 2 10.40 0.0060 N x K 2 10.11 0.0065 Galat 8 KK (%) 28.79 Jumlah Daun 42 MST Ketinggian (K) 1 187.58 <.0202 Naungan (N) 2 10.38 0.0060 N x K 2 10.84 0.0053 Galat 8 KK (%) 28.82 KK : Koefisien Keragaman

Lampiran 6. Sidik Ragam Luas Daun Hasil Analisis Percobaan

Luas Daun 8 BST

Sumber Keragaman Derajat Bebas F-Hitung Pr > F

Ketinggian (K) 1 87.08 <.0001 Naungan (N) 2 11.48 0.0045 N x K 2 0.84 0.4679 Galat 8 KK (%) 23.84 Luas Daun 10 BST Ketinggian (K) 1 102.89 <.0001 Naungan (N) 2 5.02 0.0387 N x K 2 1.72 0.2393 Galat 8 KK (%) 21.86 KK : Koefisien Keragaman

Lampiran 7. Sidik Ragam Stomata Daun Hasil Analisis Percobaan

Stomata Terbuka 10 BST

Sumber Keragaman Derajat Bebas F-Hitung Pr > F

Ketinggian (K) 1 0.00 0.7634 Naungan (N) 2 0.28 0.9683 N x K 2 0.07 0.9339 Galat 8 KK (%) 36.46T Stomata Tertutup 10 BST Ketinggian (K) 1 1.26 0.2942 Naungan (N) 2 3.12 0.0998 N x K 2 1.75 0.0334 Galat 8 KK (%) 34.63 Rasio Stomata 10 BST

Sumber Keragaman Derajat Bebas F-Hitung Pr > F

Ketinggian (K) 1 0.00 0.7634 Naungan (N) 2 0.28 0.9683 N x K 2 0.07 0.9339 Galat 8 KK (%) 36.46T Keterangan μ T = √x KK : Koefisien Keragaman

Lampiran 8. Sidik Ragam Kandungan Pigmen Fotosintesis Daun K. parviflora

Kandungan Klorofil-a 8 BST

Sumber Keragaman Derajat Bebas F-Hitung Pr > F

Ketinggian (K) 1 4.13 0.0591 Naungan (N) 2 20.48 <.0001 N x K 2 3.50 0.0547 Galat 16 KK (%) 26.23 Kandungan Klorofil-a 10 BST Ketinggian (K) 1 4.13 0.0591 Naungan (N) 2 20.48 <.0001 N x K 2 3.50 0.0547 Galat 16 KK (%) 26.23 Kandungan Klorofil-b 8 BST Ketinggian (K) 1 6.60 0.0206 Naungan (N) 2 11.67 0.0007 N x K 2 2.73 0.0952 Galat 16 KK (%) 19.51T Kandungan Klorofil-b 10 BST Ketinggian (K) 1 15.42 0.0012 Naungan (N) 2 2.96 0.0806 N x K 2 0.13 0.8763 Galat 16 KK (%) 26.60T

Kandungan Klorofil Total 8 BST

Ketinggian (K) 1 4.13 0.0591

Naungan (N) 2 20.48 <.0001

N x K 2 3.50 0.0547

Galat 16

KK (%) 26.23

Kandungan Klorofil Total 10 BST

Ketinggian (K) 1 12.38 0.0029 Naungan (N) 2 4.67 0.0253 N x K 2 0.11 0.8937 Galat 16 KK (%) 37.72 Keterangan μ T = √x KK : Koefisien Keragaman

Kandungan Anthosianin 8 BST

Sumber Keragaman Derajat Bebas F-Hitung Pr > F

Ketinggian (K) 1 0.42 0.5267 Naungan (N) 2 0.97 0.4012 N x K 2 1.33 0.2922 Galat 16 KK (%) 18.90T Keterangan μ T = √x+1 Kandungan Anthosianin 10 BST Ketinggian (K) 1 0.28 0.6069 Naungan (N) 2 0.40 0.6769 N x K 2 0.60 0.5586 Galat 16 KK (%) 17.24 Keterangan μ T = √x+1 KK : Koefisien Keragaman

Lampiran 9. Sidik Ragam Bobot Rimpang K. parviflora

Bobot Rimpang 12 BST

Sumber Keragaman Derajat Bebas F-Hitung Pr > F

Ketinggian (K) 1 145.06 <.0001

Naungan (N) 2 13.86 0.0025

N x K 2 6.42 0.0127

Galat 8

KK (%) 24.58

Bobot Rimpang 12 dan 14 BST

Ketinggian (K) 1 45.33 0.0001 Naungan (N) 2 7.53 0.0145 N x K 2 3.80 0.0692 Galat 8 KK (%) 40.84 KK : Koefisien Keragaman

Latar Belakang

Kesehatan adalah hal yang sangat penting bagi setiap orang. Upaya kesehatan yang dapat dilakukan meliputi pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), pemulihan kesehatan (rehabilitatif), serta peningkatan kesehatan (promotif) (Katno dan Pramono, 2002). Penggunaan obat-obatan kimia dalam upaya menjaga kesehatan atau menyembuhkan penyakit dapat menimbulkan efek samping.

Oleh karena itu, pemanfaatan obat secara tradisional dengan konsep back to nature (kembali ke alam) semakin digemari oleh masyarakat. Tanaman obat memiliki kelebihan dibandingkan dengan obat kimia yaitu efek sampingnya relatif rendah bila digunakan sesuai dosis secara benar dan tepat (Katno dan Pramono, 2002). Salah satu kelompok tanaman yang secara empiris telah digunakan sebagai obat yaitu tanaman yang termasuk dalam famili Zingiberaceae, terutama dari genus Kaempferia (kencur-kencuran) seperti temu kunci (Kaempferia pandurata Roxb), kencur (Kaempferia galanga Linn.), dan Kaempferia parviflora Wall Ex. Baker (K. parviflora).

Kaempferia parviflora adalah tanaman yang berasal dari Burma, India dan Thailand. Di Thailand, K. parviflora disebut sebagai Kra-Chai-Dum, black galingale, atau Thailand ginseng. Tanaman ini banyak ditemukan di Provinsi Loei dan dikenal dengan Thai Viagra atau ginseng (Trisomboon, 2008). Provinsi

Loei terletak di bagian Utara Thailand. Menurut Kummee et al. (2008), K. parviflora dimanfaatkan masyarakat Thailand untuk dibuat tonik dan

aphrodisiac, dan dalam pengobatan tradisional bisa dimanfaatkan untuk mengobati infeksi karena cendawan, impotensi, alergi, asma, diare, disentri, radang lambung, dan diabetes. Selanjutnya Vichitphan et al. (2007)

menambahkan bahwa terdapat kandungan antioksidan yang tinggi dalam K. parviflora.

K. parviflora diintroduksikan ke Indonesia untuk menambah kekayaan tanaman obat Indonesia. Dari negeri asalnya, K. parviflora ditanam pada ketinggian 500-700 m di atas permukaan laut (dpl), serta merupakan tanaman

mengetahui tempat tumbuh K. parviflora yang baik di Indonesia maka dilakukan percobaan pada beberapa ketinggian tempat dan naungan.

Tanaman hortikultura di Indonesia, terutama tanaman bunga, sayur, dan buah dominan ditanam di dataran tinggi. Oleh sebab itu, K. parviflora dicoba di tanam pada ketinggian yang lebih rendah dari tempat asalnya ,Thailand (500-700 m dpl), yaitu pada 240 m dpl untuk menghindari persaingan lahan. Apabila tanaman K. parviflora yang di tanam pada ketinggian lebih rendah bisa tumbuh dan menghasilkan produksi serta kandungan bahan aktif yang baik, maka budidaya tanaman K. parviflora di Indonesia dapat dilakukan pada ketinggian yang lebih rendah.

Pada penelitian sebelumnya, K. parviflora ditanam di dua ketinggian tempat dan tiga taraf naungan untuk mengetahui lingkungan tumbuh terbaik bagi tanaman ini di Indonesia (Evi, 2012). Ketinggian tempat dan naungan berpengaruh pada suhu dan intensitas cahaya yang diterima tanaman. Hasil penelitian Evi (2012) menunjukan bahwa hingga 13 minggu setelah tanam (MST), pertumbuhan vegetatif K. parviflora pada ketinggian 240 m di atas permukaan laut (dpl) lebih baik dibandingkan pada ketinggian 1,200 m dpl. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa K. parviflora lebih baik ditanam di bawah naungan tajuk.

Mengingat umur panen K. parviflora yang cukup lama (11-12 bulan) (ICS UNINDO, 2009), penelitian mengenai pengaruh ketinggian tempat dan taraf naungan yang berbeda terhadap hasil rimpang tanaman ini perlu dipelajari lebih lanjut. Di samping itu, penelitian Chansakaow et al. (2005) menunjukkan bahwa kandungan zat fenolik dan antioksidan K. parviflora dipengaruhi oleh taraf naungan. Naungan berpengaruh pada kandungan senyawa fenol dan antioksidan yang dikandung oleh K. parviflora. Hal tersebut menunjukkan bahwa selain mempengaruhi pertumbuhan tanaman, kondisi lingkungan tumbuh dapat mempengaruhi kandungan bahan aktif tanaman obat.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pertumbuhan tanaman, produksi rimpang dan kandungan bahan aktif rimpang K. parviflora pada ketinggian tempat dan tingkat naungan yang berbeda.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan pertumbuhan tanaman, produksi rimpang, dan kandungan bahan aktif rimpang K. parviflora yang ditanam pada ketinggian tempat dan naungan yang berbeda.

Botani Kaempferia parviflora

Kaempferia parviflora Wall Ex. Baker adalah terna aromatik yang tergolong kedalam famili Zingiberaceae (Putiyanan, 2008). K. parviflora merupakan tanaman herbal indigenous yang banyak ditemukan di Burma, India dan Thailand. Di Thailand, K. parviflora disebut sebagai Kra-Chai-Dum, black galingale, atau Thailand ginseng. Sebagian besar tumbuh di provinsi Loei dan dikenal dengan nama Thai Viagra atau ginseng (Trisomboon, 2008). Tanaman ini tumbuh baik pada ketinggian 500-700 m dpl. K. parviflora tumbuh sangat baik pada tanah beraerasi dibawah sedikit cahaya matahari. Di bagian Timur Laut Thailand, rimpangnya digunakan sebagai obat dari gangguan pencernaan seperti gangguan lambung, usus dan juga sebagai sebagai anti bengkak, tonik, dan aphrodisiac (Yenjai et al., 2004; ICS UNINDO, 2009). Berikut adalah taksonomi dari K. parviflora :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermathophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberals Family : Zingiberaceae Subfamily : Zingiberoidae Genus : Kaempferia

Spesies : Kaempferia parviflora Wall Ex. Baker Sinonim : Boesenbergia pendurata (Roxb.) Holtt

Kencur (K. galanga) dan K. parviflora tergolong dalam genus yang sama, sehingga memiliki kemiripan dalam morfologi tanaman. Hasil penelitian Putiyanan (2008), menunjukkan keragaan morfologi K. parviflora berdasarkan contoh herbarium dari fakultas farmasi, CMU (Lampiran 1). Perbedaan yang jelas dari kedua tanaman ini terletak pada warna rimpang dan bentuk daunnya. Kaempferia parviflora memiliki daging rimpang berwarna ungu kehitaman hingga

mempunyai daging rimpang yang berwarna putih (IPTEK, 2005). Daun tanaman kencur berbentuk bulat dengan ujung runcing dan warna daun hijau terang

(Rostiana et al., 2005) dan rata dengan permukaan tanah, sedangkan daun K. parviflora berbentuk bulat panjang dan tidak rata dengan permukaan tanah

(Evi, 2012). Tinggi tanaman K. parviflora bisa mencapai 90 cm (Putiyanan, 2008). Bunga kencur merupakan bunga majemuk sempurna (lengkap) dengan jumlah bunga per tandan sekitar 5-10 bunga (Haryudin et al., 2008). Bunga K. parviflora termasuk bunga majemuk dengan 1-4 bunga dalam satu infloroscense. Warna bunga putih dengan bercak ungu pada bagian tengah (Evi, 2012). Keragaan tanaman dan rimpang K. parviflora dan kencur ditampilkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Keragaan Tanaman K. parviflora dan K. galanga. Tanaman (A), bunga (B), dan rimpang (C) K. parviflora (Sumber: dokumentasi pribadi); Tanaman (D), bunga (E), dan rimpang (F) K. galanga (Sumber: www.widyani.org, 2012 dan Rostiana dan Effendi, 2007)

Di Indonesia, kencur (Kaempferia galanga) dapat tumbuh pada dataran rendah hingga dataran tinggi antara 50-600 m dpl (Rostiana dan Effendi, 2007). Di Thailand, Kaempferia parviflora paling baik ditanam pada ketinggian 500-700 m dpl (ICS UNINDO, 2009). Kencur tumbuh baik pada tanah yang subur dan gembur seperti latosol, regosol, dan kombinasinya (Rostiana dan Effendi, 2007). Kondisi tanah untuk K. parviflora baik pada tanah berlempung dan tumbuh lebih baik pada tempat yang ternaungi (Evi, 2012).

Menurut Rostiana et al., (2005), penyakit yang menyerang tanaman kencur diantaranya adalah busuk rimpang. Busuk rimpang disebabkan oleh bakteri layu seperti pada jahe (Ralstonia solanacearum), dengan gejala daun layu, berwarna kekuningan dan menggulung. Selain itu, didalam rimpang kencur yang terinfeksi penyakit memungkinkan berkembang biaknya telur dan larva serangga hama seperti lalat rimpang (Mimegralla coeruleifrons) dan belatung (Eumerus figurans). Penyakit yang menyerang K. parviflora sama seperti bakteri yang menyerang pada kencur yaitu Ralstonia solanacearum (Zulfa, 2012).

Bahan perbanyakan tanaman K. parviflora adalah rimpang yang berumur 11-12 bulan, bebas penyakit dan disimpan di tempat kering dan sejuk selama 1-3 bulan sebelum ditanam. Formula pupuk yang dianjurkan adalah N-P-K 15-15-15 dengan dosis sekitar 150-125 kg ha-1. Saat panen yang terbaik adalah pada 8-9 bulan setelah tanam (ICS UNINDO, 2009). Menurut Rostiana dan Effendi (2007), aplikasi pupuk yang dianjurkan pada tanaman kencur adalah 20-30 ton/ha pupuk kandang, 250-300 kg ha-1 Urea, 200-250 kg ha-1 SP-36, dan 200-250 kg ha-1 KCl. Penanaman dapat dilakukan secara bedengan atau disesuaikan dengan kondisi lahan. Aplikasi pupuk untuk K. parviflora pada penelitian Evi (2012) menggunakan standar pupuk seperti pada tanaman kencur yaitu 30 ton ha-1 pupuk

kandang, 30 ton ha-1 kompos, 300 kg ha-1 Urea, 250 kg ha-1 SP-36, dan 250 kg ha-1 KCl.

Jarak tanam yang digunakan untuk penanaman monokultur kencur bervariasi antara 15 cm x 15 cm atau 15 cm x 20 cm (Rostiana et al., 2005). K. parviflora ditanam mengikuti teknik budidaya kencur yaitu 15 cm x 15 cm dan 30 cm x 30 cm (Evi, 2012).

Pertumbuhan K. parviflora

Naungan dan ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman (Taiz dan Zeiger, 1991). Naungan sangat berpengaruh pada intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman. Cahaya sangat besar peranannya dalam proses fisiologi, seperti fotosintesis, respirasi, pertumbuhan dan perkembangan, penutupan dan pembukaan stomata, berbagai pergerakan tanaman, dan perkecambahan (Salisbury dan Ross, 1995b).

Komponen penting cahaya yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah kualitas, lama penyinaran dan intensitas. Kualitas berhubungan dengan panjang gelombang. Panjang gelombang yang mempengarui laju pertumbuhan tanaman adalah panjang gelombang 400-700 nm. Cahaya tampak pada kisaran panjang gelombang tersebut memberikan radiasi aktif untuk fotosintesis tanaman (Fitter dan Hay, 1989). Rentang untuk cahaya merah paling efisien, disusul cahaya biru, sedangkan cahaya hijau paling tidak efisien. Cahaya merah dan biru efektif dalam pembukaan stomata. Pada intensitas rendah, dimana cahaya merah tidak menunjukkan pengaruh, cahaya biru telah dapat mempengaruhi pembukaan stomata (Lakitan, 2007; Gardner et al., 2008).

Kelebihan intensitas cahaya dapat menurunkan hasil panen. Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu pertama, kandungan klorofil menjadi berkurang dan daun menjadi hijau kekuningan, akibatnya laju penyerapan cahaya rendah dan fotosintesis menjadi rendah. Kedua, kelebihan intensitas cahaya dapat meningkatkan suhu daun, laju transpirasi naik dan tidak seimbang dengan laju absorbsi air, stomata menutup dan fotosintesis berkurang. Ketiga, intensitas cahaya mempengaruhi suhu daun dan mempengaruhi enzim tertentu, menonaktifkan enzim yang mengubah gula ke pati, lalu gula menumpuk dan mengakibatkan fotosintesis menjadi lambat (Harjadi, 1989).

Sukaesih (2002) menyatakan bahwa tinggi tanaman semakin meningkat dengan meningkatnya perssentase naungan, tapi sebaliknya untuk jumlah buku, jumlah batang dan diameter batang. Pemanjangan batang ditujukan untuk memaksimumkan intensitas radiasi surya yang diterima untuk mempertahankan laju fotosintesis. Selain mempengaruhi keragaan tanaman, naungan juga

fenol dan antioksidan yang dikandung oleh K. parviflora dipengaruhi oleh naungan. Hasil penelitian Chansakaow et al. (2005), menunjukkan bahwa K. parviflora yang ditanam pada tingkat naungan 60% menghasilkan senyawa fenolik yang paling tinggi, dan pada tingkat naungan 80% menghasilkan senyawa antioksidan tertinggi. Selain itu, hasil penelitian Ghulamadi et. al, (2008) juga menunjukkan bahwa periode pencahayaan cenderung meningkatkan total flavonoid pada umur 16 minggu setelah tanam. Total flavonoid tertinggi (11.92%) dihasilkan pada naungan 50% selama 3 bulan dengan 1 bulan cahaya 100%. Total flavonoid yang dianalisis pada masing-masing klon adalah total dari seluruh senyawa-senyawa golongan flavonoid termasuk antosianin.

Ketinggian tempat berpengaruh pada lingkungan tumbuh tanaman terutama pada suhu. Semakin tinggi suatu tempat maka semakin rendah suhunya. Tiap spesies tumbuhan memiliki suhu minimum, optimum, dan maksimum. Di bawah suhu minimum tumbuhan tidak akan tumbuh. Pada suhu optimum, laju pertumbuhannya paling tinggi. Pada suhu maksimum, tumbuhan tidak tumbuh dan bahkan mati (Salisbury dan Ross, 1995c).

Hasil penelitian Evi (2012) menunjukkan bahwa pertumbuhan vegetatif K. parviflora di bawah naungan tajuk pada ketinggian tempat 240 m dpl lebih baik dari pada tanpa naungan dan ketinggian tempat 1,200 m dpl sampai umur 13 minggu setelah tanam.

Kandungan bahan aktif pada tanaman obat bermacam-macam diantaranya terdapat senyawa alkaloid dan fenolik. Alkaloid merupakan senyawa nitrogen aromatik yang terdapat pada tumbuhan. Sebagian alkaloid merupakan senyawa kistal putih yang agak larut dalam air (Salisbury dan Ross, 1995b).

Senyawa fenol berupa senyawa aromatik sehingga semuanya menunjukkan serapan kuat di daerah spektrum UV, contohnya adalah flavonoid yang umum terdapat pada tumbuhan dan terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang terdapat dalam kombinasi glikosida. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena berkaitan dengan gula sebagai glikosidan, dan biasanya terdapat pada vakuola sel. Peran beberapa senawa fenol sudah diketahui misalnya lignin sebagai bahan pembangun dinding sel, antosianin sebagai pigmen bunga (Harborne, 1987). Senyawa fenol mempunyai cincin aromatik yang mengandung bermacam gugus pengganti yang menempel, seperti gugus hidroksil, karboksil, metoksil, dan sering juga struktur cincin bukan aromatik (Salisbury dan Ross, 1995b). Senyawa flavonoid merupakan senyawa 15-karbon, dan termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Senyawa-senyawa ini dapat ditemukan pada batang, daun, bunga, dan buah. Senyawa flavonoid ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru, dan sebagai warna kuning yang ditemukan pada tumbuh-tumbuhan.

Spesies tanaman obat yang berbeda memiliki kandungan bahan aktif yang berbeda. Kandungan bahan aktif pada rimpang kencur diantaranya adalah minyak atsiri 2.4-3.9% yang terdiri dari 25% ethyilcinnamate, dan lebih dari 30% metil p-metoksisinamat (De Padua et al., 1999). Kandungan zat lainnya adalah alkaloid, mineral, flavonoid, pati, dan gom (Martha Tilaar, 2002). Selain itu, senyawa kimia yang lainnya yang dikandung kencur adalah sineol, bromeol, kaemphene, asam sinamik, asam metilkanil, dan alkaloid (Kementan, 2006).

Kandungan bahan aktif K. parviflora diantaranya adalah senyawa fenol

Dokumen terkait