• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Sumber – Sumber Risiko Produksi

Selama kegiatan produksi terdapat berbagai sumber risiko yang dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Mengurangi sumber risiko merupakan alternatif untuk mengurangi kerugian dan meningkatkan pendapatan perusahaan. Untuk mengurangi sumber risiko tersebut langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mengidentifikasi sumber – sumber risiko.

Pada peternakan ayam ras pedaging terdapat berbagai sumber penyebab timbulnya risiko. Indikator adanya risiko pada ayam ras pedaging yaitu adanya tingkat mortalitas. Tingkat mortalitas adalah tingkat kematian pada ayam selama proses produksi mulai pada saat DOC masuk ke dalam kandang hingga masa panen. Untuk mengidentifikasi sumber risiko hal yang perlu dilakukan yaitu melakukan wawancara kepada pemilik peternakan dan anak kandang serta melakukan observasi secara langsung pada objek yang diteliti yaitu peternakan ayam.

Terdapat berbagai sumber yang dapat menyebabkan risiko selama proses produksi. Menurut Hermawan (2013), Simanjuntak (2013), Amelia (2012), dan Fitri (2014) sumber - sumber risiko produksi yang dihadapi yaitu kaki kering, kepadatan kandang, layout kandang, pasca vaksinasi, dehidrasi, penyakit, cuaca, predator, kualitas DOC, penyakit, gangguan lingkungan, kualitas pakan dan afkir. Namun tidak semua sumber – sumber tersebut dapat dikategorikan sebagai sumber risiko pada peternak mitra PT MSA. Berdasarkan obersvasi dan wawancara yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa sumber – sumber risiko yang dialami pada peternakan mitra PT MSA adalah cuaca, penyakit, predator dan kualitas DOC. 1. Cuaca

Cuaca merupakan salah satu faktor penting dalam usaha peternakan ayam. Kondisi cuaca yang ekstrim akan mempengaruhi suhu udara di dalam kandang. Suhu yang ideal untuk melakukan budidaya ayam ras pedaging yaitu 23 – 26oC namun untuk DOC dibutuhkan suhu udara yang lebih tinggi.

Berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika, suhu udara di wilayah Samarinda dan sekitarnya yaitu 24 – 33oC. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan suhu udara dan sirkulasi udara di dalam kandang menjadi berkurang sehingga ayam akan mudah stress dan nafsu makan ayam pun akan berkurang. Kondisi ini akan mengakibatkan kematian pada ayam secara mendadak. Hal tersebut dapat ditemukan pada peternakan mitra PT MSA. Terutama pada peternakan milik Saefuddin. Suhu udara di wilayah peternakan yang tinggi, jarak antar kandang yang berdekatan ditambah dengan lokasi kandang yang bersebelahan dengan bukit menyebabkan kondisi di dalam kandang menjadi sangat panas dan

36

sirkulasi udara menjadi berkurang. Pada peternakan Saefuddin ditemukan pula ayam yang terbang secara tiba - tiba dan kemudian mati mendadak. Kondisi ini disebabkan karena suhu udara yang terlalu tinggi. Suhu yang panas menyebabkan gas beracun seperti amoniak terhirup oleh ayam sehingga menyebabkan sistem pernafasan menjadi terganggu. Jumlah oksigen di dalam paru – paru akan berkurang dan meningkatkan gas karbondioksida.

Berkurangnya gas oksigen dan meningkatnya gas karbondioksida di dalam tubuh ayam akan menyebabkan ayam rentan terkena ascites. Apabila ayam telah terkena ascites maka ayam akan mati secara mendadak. Gejala klinis dari kejadian ini yaitu perut ayam akan terlihat menggembung. Ayam yang mati akibat ascitas dapat dilihat pada Gambar 7. Selain ascites terdapat kendala lain yang menyebabkan ayam mati yaitu dehidrasi. Kondisi cuaca yang panas menyebabkan ayam menjadi stress dan mengalami dehidrasi apabila tidak diimbangi dengan jumlah minum yang seimbang maka akan menyebabkan kematian. Gejala klinis akibat dehidrasi yaitu kaki kering. Ayam yang mati dengan gejala kaki kering dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7 Kematian ayam akibat ascites Gambar 8 Kematian ayam akibat kaki kering Berdasarkan dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan dengan para peternak dan anak kandang dapat diketahui bahwa cuaca merupakan salah satu risiko produksi ayam ras pedaging. Kematian ayam akibat sumber cuaca pada peternakan mitra PT MSA periode Maret 2014 - Maret 2015 dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Jumlah kematian ayam akibat sumber cuaca pada peternak mitra PT MSA

Periode Total

(ekor)

Kematian ayam akibat sumber risiko cuaca (ekor) Maret – April 2014 724 161 Mei – Juni 2014 550 122 Juli – Agustus 2014 694 154 Oktober – November 2014 884 250 Desember – Januari 2015 720 160 Februari – Maret 2015 835 171 Rata – Rata MR (%) 22.92

37 Tabel 14 memperlihatkan bahwa sumber risiko cuaca mempengaruhi kematian pada peternakan ayam ras pedaging PT MSA. Jumlah kematian ayam akibat sumber risiko cuaca setiap periodenya berbeda – beda yaitu berkisar pada 122 - 250 ekor. Kematian terbesar terjadi pada periode Oktober – November 2014 yaitu 250 ekor. Adapun rata – rata mortalitas rate atau persentase jumlah kematian ayam akibat sumber risiko cuaca yaitu 22.92 persen. Besarnya jumlah kematian ayam disebabkan pada periode Oktober – November telah memasuki musim kemarau, wilayah Samarinda yang dekat dengan garis khatulistiwa membuat kota Samarinda dan sekitarnya menjadi lebih panas. Cuaca yang panas disekitar kandang dan adanya bukit yang dekat dengan kandang menyebabkan sirkulasi udara menjadi berkurang dan suhu udara di dalam kandang menjadi lebih panas dibandingkan dengan suhu di luar kandang sehingga ayam mati secara mendadak. Untuk mengantisipasi kurangnya nafsu makan ayam dan kematian pada ayam, peternak memberikan sorbitol pada minuman ayam. Pemberian sorbitol dilakukan pada sore hari yang berfungsi memberikan vitamin agar daya tahan tubuh ayam tetap terjaga dan tidak rentan terhadap suhu udara yang tinggi. Namun apabila suhu udara terlalu tinggi maka para peternak memberikan obat electrocool. Obat ini berfungsi mengurangi stress akibat suhu udara yang terlalu tinggi dan mengurangi tingkat kematian akibat cuaca.

Sumber risiko cuaca juga ditemukan pada penelitian Priyambada (2013) di Kecamatan Ciampea. Priyambada menemukan bahwa cuaca mempengaruhi tingkat kematian pada petenakan yang diteliti. Kematian tertinggi akibat sumber risiko cuaca terjadi pada periode November – Desember 2012 dengan jumlah kematian akibat sumber risiko cuaca sebesar 58.70 persen dari jumlah total kematian ayam pada periode tersebut. Nilai rata – rata jumlah kematian ayam pada peternakan di Kecamatan Ciampea akibat sumber risiko cuaca pada tahun 2012 yaitu 35.36 persen. Nilai ini masih lebih besar jika dibandingkan rata – rata jumlah kematian ayam akibat sumber risiko cuaca peternakan mitra PT MSA yakni sebesar 22.92 persen. Sama halnya dengan penelitian Amelia pada peternakan Bapak Maulid di Kelurahan Karang Anyar Kota Palembang (2012). Cuaca mempengaruhi jumlah kematian pada ayam. Kematian tertinggi akibat sumber risiko cuaca terjadi pada periode Oktober – November sebanyak 275 ekor atau 61.11 persen dari total kematian ayam. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandigkan dengan peternakan di Kecamatan Ciampea dan peternakan mitra PT MSA. Hal ini disebabkan karena adanya sumber risiko cuaca setiap periodenya yang menyebabkan kematian pada ayam dalam jumlah yang banyak. Terutama pada periode produksi April - Juli yakni suhu udara tinggi serta periode Oktober – November dimana adanya perubahan cuaca dari musim kemarau ke musim penghujan.

Apabila pada penelitian Amelia (2012) pada bulan April – Juli 2011 jumlah kematian tinggi akibat suhu udara yang tinggi sedangkan pada peternakan mitra PT MSA suhu udara yang tinggi terjadi pada periode Oktober – November 2014. Berbeda dengan penelitian Priyambada. Kematian terbanyak akibat sumber risiko cuaca terjadi pada bulan November – Desember 2012. Hal ini disebabkan karena curah hujan yang cukup tinggi sehingga mengakibatkan suhu udara menjadi rendah. Hal ini menyebabkan ayam tidak dapat beradaptasi dan mati. Dari ketiga penelitian tersebut dapat diketahui bahwa suhu udara yang terlalu tinggi atau rendah akan menyebabkan kematian pada ayam.

38

2. Predator

Sumber risiko yang harus diwaspadai yaitu adanya predator. Predator adalah hewan pemangsa yang dapat mengganggu dan memangsa ayam. Jenis predator yang menyerang peternakan mitra PT MSA adalah kucing dan anjing. Sumber risiko akibat predator biasa terjadi pada saat ayam berumur satu hingga empat belas hari. Predator tidak hanya memangsa ayam tetapi juga menjadikan ayam – ayam tersebut sebagai mainan mereka. Hal ini disebabkan ukuran ayam yang sangat kecil, ketidak mampuan ayam untuk melawan serta bobotnya yang ringan. Berbeda halnya dengan ayam yang berusia diatas empat belas hari. Pada usia ini ukuran ayam sudah besar dan memiliki bobot yang berat sehingga menyulitkan predator untuk memangsa dan menyerang ayam – ayam tersebut. Untuk mengidentifikasi kematian ayam yang disebabkan karena sumber predator tergolong mudah yaitu adanya bekas luka pada badan ayam. Ayam yang mati akibat predator kucing dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Kematian ayam akibat predator

Lokasi kandang yang jauh dari pemukiman dan konstruksi kandang yang berbentuk panggung, terbuat dari kayu dan adanya sela diantara kayu menyebabkan predator mudah masuk ke dalam kandang dan memangsa ayam. Kematian ayam akibat sumber predator dijelaskan secara rinci pada Tabel 15.

Tabel 15 Jumlah kematian ayam akibat sumber predator pada peternak mitra PT MSA

Periode Total

(Ekor)

Kematian ayam akibat sumber risiko predator (ekor) Maret – April 2014 724 44 Mei – Juni 2014 550 34 Juli – Agustus 2014 694 42 Oktober – November 2014 884 46 Desember – Januari 2015 720 41 Februari – Maret 2015 835 47 Rata – Rata MR (%) 5.81

Tabel 15 memperlihatkan bahwa predator merupakan salah satu sumber yang menyebabkan kematian pada peternakan ayam ras pedaging PT MSA. Jumlah

39 kematian ayam akibat sumber risiko predator setiap periodenya berbeda – beda yaitu berkisar pada 34 – 47 ekor. Adapun persentase rata – rata mortalitas rate atau MR sebesar 5.81 persen. Kematian ayam akibat predator terbesar terjadi pada periode Februari – Maret hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan anak kandang sehingga predator memiliki kesempatan untuk memangsa ayam pada saat ayam berumur dibawah empat hari. Berdasarkan dari hasil wawancara, predator biasanya aktif memangsa pada malam hari sehingga untuk mengurangi risiko tersebut para peternak lebih intensif mengawasi ayam terutama pada malam hari pada saat ayam berusia satu sampai empat belas hari. Tidak jarang peternak Saefuddin memilih tidur di dalam kandang agar dapat selalu mengawasi ayam sehingga tidak di mangsa oleh predator.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak (2013) pada peternakan ayam di Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor ditemukan hama dan predator. Hama yang menggaggu adalah kutu dan tungau sedangkan predator yang menyerang adalah musang dan kucing. Namun hama tersebut tidak ditemukan pada peternakan mitra PT MSA. Adapun mortalitas rate atau persentase jumlah kematian ayam akibat sumber risiko predator sebesar tujuh hingga 23 persen. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan pada peternakan mitra PT MSA yaitu sebesar 5.81 persen.

3. Penyakit

Penyakit adalah sumber risiko yang memiliki kontribusi terbesar yang menyebabkan kematian pada ayam pada penelitian yang dilakukan pada peternakan mitra PT MSA. Jumlah kematian yang disebabkan karena sumber penyakit yang tinggi terjadi pada peternakan milik Saefuddin. Pada peternakan ini mayoritas penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi adalah Colibacillosis (CBL). Penyakit ini disebabkan karena adanya bakteri Escherichia Coli atau biasa dikenal dengan naman E.Coli. Penyakit ini biasanya menyerang pada kandang yang memiliki sanitasi yang sangat rendah. Penyebaran coli terjadi melalui kotoran, udara, debu, air dan lingkungan yang telah terkontaminasi. Penyakit Colibacillosis

terjadi apabila ayam dalam kondisi rentan dan kekebalan tubuh ayam mengalami penurunan. Gejala klinis akibat penyakit ini adalah kotoran ayam yang encer dan berwarna kuning. Apabila dibedah maka terlihat hati ayam yang tertutup selaput dan berwarna kuning. Ayam yang mati akibat bakteri E.Coli dapat dilihat pada Gambar 10.

Terdapat beberapa kasus dimana ayam yang mati akibat bakteri E.Coli

berkembang menjadi penyakit yang lebih kompleks seperti adanya radang sendi pada ayam atau Atrhritis. Ayam yang terkena Arthritis akan mengalami pembengkakan pada sendi. Apabila dibedah makan sendi yang bengkak tersebut akan mengeluarkan cairan yang mengkeju. Sendi yang bengkak ini menyebabkan ayam menjadi kesulitan untuk berjalan ke tempat pakan dan minum sehingga menyebabkan kematian. Ayam yang mati akibat Atrhritis dapat dilihat pada Gambar 11.

40

Gambar 10 Kematian ayam akibat bakteri E.Coli

Gambar 11 Kaki ayam yang terkena Atrhritis sebelum dibedah (kiri) dan setelah dibedah (kanan)

Selain Colibacillosis, penyakit lain yang menjangkit peternakan Saefuddin adalah Chronic Respiratory Disease (CRD). Penyakit ini disebabkan karena adanya organisme Mycoplasma gallisepticum. Gejala klinis ayam yang terserang CRD adalah kerusakan pada saluran pernafasan dan radang kantong udara yang kronis. Hal ini menyebabkan ayam menjadi kesulitan bernafas dan terdengar seperti ngorok pada manusia. Selain ngorok, terdapat radang pada selaput lendir mata, menurunnya nafsu makan dan kemerahan pada trakea. Penyakit ini dapat menyebar melalui pakan, peralatan, ayam, dan pakaian Kematian ayam akibat penyakit CRD dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Trakea kemerahan akibat Chronic Respiratory Disease (CRD)

41 Penyakit CRD juga terjadi pada peternakan Thomas Prakoso. Upaya yang dilakukan oleh para peternak untuk meminimalisir penyebaran penyakit yaitu dengan memisahkan ayam yang terkena penyakit dari ayam sehat. Ayam yang terserang penyakit kemudian dibakar atau dikubur. Upaya lain yang dilakukan para peternak adalah menyemprotkan desinfektan pada pakaian anak kandang atau individu yang akan memasuki kandang. Desinfektan adalah bahan kimia yang mampu membasmi mikroorganisme yang ada pada pakaian individu. Tujuan dari penyemprotan desinfektan yaitu meminimalisir penyebaran mikroorganisme agar tidak menjangkiti ayam sehingga ayam tidak rentan terhadap penyakit.

Penyakit lain yang ditemukan selama kegiatan penelitian adalah Infectious Coryza (IC) atau dikenal dengan istilah snot. Snot merupakan penyakit yang menyerang pernafasan pada ayam yang disebabkan karena adanya bakteri

Haemophilus Gallinarum. Snot biasa terjadi pada saat pergantian musim seperti periode selama penelitian yaitu Februari – Maret. Gejala klinis penyakit Snot adalah keluarnya cairan dari hidung, bersin – bersin, radang selaput lendir mata dan rongga hidung.

Penyakit Snot terjadi pada peternakan Thomas Prakoso dan Saefuddin Tirta. Untuk meminimalisir penyebaran penyakit ini, upaya yang dilakukan pada peternakan Thomas Prakoso adalah menjaga sanitasi kandang yang baik, selalu membersihkan tempat minum dan pakan ayam setiap hari, serta memisahkan ayam yang terkena penyakit. Kematian ayam akibat terkena penyakit Snot dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Kematian ayam akibat penyakit Snot

Selain penyakit Colibacillosis (CBL), Atrhritis, Chronic Respiratory Disease (CRD), dan Infectious Coryza (IC) ditemukan pula kasus ayam yang mati akibat pembengkakan pada ginjal ayam. Kasus ini ditemukan pada peternakan Thomas Prakoso. Pembengkakan pada ginjal disebabkan karena obat yang digunakan tidak tepat sasaran serta pemberian dosis obat yang melebihi batas yang dibutuhkan oleh ayam.

Kematian ayam yang disebabkan karena sumber risiko penyakit memiliki kontribusi yang paling besar terhadap total kematian ayam. Mayoritas ayam yang mati diakibatkan karena berbagai jenis penyakit. Jumlah kematian ayam akibat sumber risiko penyakit pada peternakan mitra PT MSA akan dijelaskan secara rinci pada Tabel 16.

42

Tabel 16 Jumlah kematian ayam akibat sumber penyakit pada peternak mitra PT MSA

Periode Total

(Ekor)

Kematian ayam akibat sumber risiko penyakit

(ekor) Maret – April 2014 724 381 Mei – Juni 2014 550 289 Juli – Agustus 2014 694 365 Oktober – November 2014 884 454 Desember – Januari 2015 720 359 Februari – Maret 2015 835 470 Rata – Rata MR (%) 52.54

Tabel 16 memperlihatkan bahwa kematian ayam yang diakibatkan sumber risiko penyakit memiliki persentase yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan sumber risiko lainnya. Setiap periode jumlah kematian ayam akibat sumber risiko penyakit berbeda – beda yaitu berada pada kisaran 289 – 470 ekor. Jumlah kematian terbesar terjadi pada periode Februari – Maret yaitu sebesar 470 ekor. Adapun rata – rata mortalitas rate atau persentase jumlah kematian ayam akibat sumber risiko penyakit sebesar 52.54 persen. Hal ini karena salah satu peternakan yang terkena bakteri E.Coli. Mayoritas ayam yang ditemukan mati disebabkan karena adanya bakteri ini. Kurang sigapnya penanganan menyebabkan ayam terkena penyakit lain yaitu CRD. Adanya wabah bakteri E.Coli ditambah dengan penyakit CRD menyebabkan ayam terkena penyakit CRD kompleks yang berakibat tingginya angka kematian ayam. Kematian tinggi juga terjadi pada periode Oktober – November 2014 yaitu sebesar 453 ekor. Cuaca yang panas menyebabkan banyak penyakit yang mulai menyerang ayam. Banyaknya debu dan gas amoniak yang terhirup mengganggu pernafasan pada ayam dan menimbulkan penyakit CRD. Penyakit CRD merupakan penyakit yang selalu ada pada setiap periode dan peternakan yang diteliti.

Sumber risiko penyakit juga ditemukan David (2013) pada peternakan ayam di Kampung Kandang Kabupaten Bogor. Kematian ayam terbesar disebabkan karena adanya sumber risiko penyakit yaitu sebesar 83.66 persen dari total kematian ayam. Jumlah ini lebih besar jika dibandingkan dengan peternakan mitra PT MSA yaitu sebesar 52.52 persen. Pada penelitian David (2013) jenis penyakit yang ditemukan adalah Chronic Respiratory Disease (CRD), Infection Bursal Disease

(gumboro), dan Colibacillosis (omphalitis). Penyakit yang timbul pada peternakan di Kampung Kandang disebabkan karena kebersihan peralatan, sumber air, dan struktur kandang. Berdasarkan pada wawancara yang dilakukan oleh David pada beberapa anak kandang, kegiatan sterilisasi peralatan pakan dan minum tidak begitu penting. Hal tersebut yang menyebabkan ayam mudah terserang penyakit.

4. Kualitas DOC

Kualitas DOC merupakan salah satu sumber risiko yang dialami oleh para peternak mitra PT MSA. Kualitas DOC yang kurang baik akan menyebabkan bobot ayam yang dipelihara menjadi tidak ideal dan dibawah rata – rata bobot ayam normal atau kerdil (Gambar 14)

43

Gambar 14 DOC kerdil

Agar ayam yang dipelihara sesuai dengan yang diharapkan para peternak perlu menggunakan DOC yang unggul. Menurut Tamalludin (2012), DOC yang unggul memiliki bobot 37 – 40 gr/ekor dengan bulu yang bersih dan tidak cacat, mata bersinar dan lincah. Namun bobot DOC yang digunakan oleh para peternak mitra PT MSA kurang dari 37 gr/ekor yakni sebesar 35 gr/ekor.

Selama proses vaksinasi dilakukan kegiatan seleksi. DOC yang tidak sesuai dengan kriteria maka akan di dibunuh. Hal ini disebabkan karena bobot ayam yang akan dibudidaya tidak akan mencapai bobot ideal selain itu pula ayam yang tidak sesuai kriteria akan mudah terkena penyakit sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh sebab itu pada saat vaksinasi hari keempat jumlah kematian ayam sangat besar.

Kualitas DOC yang kurang baik kurang dari 2 persen dari jumlah populasi maka para peternak tidak memiliki hak untuk penggantian kerugian. Namun apabila kualitas DOC yang buruk melebihi 2 persen dari jumlah populasi maka para peternak berhak melakukan pengaduan dan perusahaan berkewajiban untuk melakukan penggantian kerugian. Penggantian kerugian dilakukan setelah proses budidaya selesai dilakukan yakni dengan pemotongan biaya produksi pembelian DOC. Ketentuan lain mengenai kualitas DOC yakni pengaduan kualitas DOC dapat disampaikan para peternak sampai ayam berusia 5 hari. Apabila DOC telah melebihi usia 5 hari makan para peternak tidak memiliki hak untuk melakukan pengaduan. Adapun jumlah kematian ayam akibat kualitas DOC yang kurang baik akan dijelaskan secara rinci pada Tabel 17.

Tabel 17 Jumlah kematian ayam akibat sumber risiko kualitas DOC pada peternak mitra PT MSA

Periode Total

(Ekor)

Kematian ayam akibat sumber risiko kualitas DOC

(ekor) Maret – April 2014 724 138 Mei – Juni 2014 550 105 Juli – Agustus 2014 694 133 Oktober – November 2014 884 134 Desember – Januari 2015 720 160 Februari – Maret 2015 835 147 Rata – Rata MR (%) 18.72

44

Tabel 17 menunjukkan bahwa kematian ayam akibat sumber risiko kualitas DOC yaitu berbeda – beda yaitu berkisar 105 – 160 ekor. Adapun rata – rata mortalitas rate atau persentase jumlah kematian ayam akibat kualitas DOC sebesar 18.72 persen. Pada tabel diatas diketahui pula bahwa pada periode Desember - Januari jumlah kematian ayam yaitu 160 ekor. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa pada periode Desember – Januari 2015 para peternak menerima DOC dengan kualitas yang kurang baik. Bobot DOC yang diperoleh tidak sesuai dengan bobot ayam normal melainkan dibawah bobot normal. Jumlah DOC dengan kualitas kurang baik yang diterima para peternak melebihi batas wajar selain itu pula kualitas DOC yang kurang baik akan mempengaruhi kualitas ayam. Hal ini dibuktikan dengan jumlah pakan yang tinggi namun menghasilkan bobot ayam yang rendah sehingga indeks prestasi peternak menjadi rendah. Selain itu pula DOC yang kurang baik akan rentan terhadap penyakit sehingga kematian ayam menjadi tinggi dan para peternak akan mengalami kerugian. Upaya yang dilakukan peternak untuk mengantisipasi kerugian yang diperoleh pada periode Desember – Januari yaitu memisahkan ayam kualitas kurang baik dan memelihara secara intensif agar kerugian yang dialami para peternak tidak dapat diminimalkan selain itu pula melakukan pengaduan kepada perusahaan. Upaya yang dilakukan oleh perusahaan pada periode tersebut adalah mengganti biaya kerugian peternak akibat kualitas DOC yang kurang baik setelah proses produksi selesai sedangkan pada periode lain kualitas DOC yang buruk tidak diperlihara melainkan langsung dikubur oleh para peternak.

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan Priyambada (2013) di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. Pada penelitian Priyambada (2013) mortalitase rate atau persentase jumlah kematian ayam sangat kecil yaitu sebesar 1.91 persen jika dibandingkan denga peternakan mitra PT MSA sebesar 18.72 persen. Besarnya probabilitas pada peternakan mitra PT MSA disebabkan karena ditemukannya kualitas DOC yang kurang baik pada setiap periodenya. Menurut Priyambada (2013) rendahnya kualitas DOC disebabkan karena DOC berasal dari indukan muda atau indukan yang berumur afkir. Hal ini tentunya akan mempengaruhi kualitas DOC yang dihasilkan. DOC kualitas rendah akan memiliki ketahanan tubuh yang rendah. Hal ini dapat terlihat saat proses pengiriman DOC ke

Dokumen terkait