• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sumber Risiko Produksi Identifikasi Sumber Risiko

Risiko produksi pembenihan ikan lele sangkuriang dapat diakibatkan oleh banyak faktor seperti pada penelitian terdahulu, penelitian Dewiaji (2011), Ferdian (2011) dan Farman (2013) yaitu kualitas air, pakan, kualitas indukan, cuaca, kanibalisme, penyakit, hama dan sumber daya manusia. Berdasarkan hasil pengamatan langsung selama proses penelitian di CV Dejee Fish, tidak semua sumber risiko tersebut mempengaruhi proses produksi kegiatan usaha CV Dejee Fish. Identifikasi terhadap sumber-sumber risiko produksi pembenihan yang dilakukan oleh perusahaan dapat dilakukan dengan mengikuti alur proses produksi mulai dari pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva hingga proses pemanenan larva umur 7 hari. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung pada tanggal 15 – 21 januari 2015 pada siklus pertama dan pada 3 – 9 Februari pada siklus kedua, risiko produksi yang dialami oleh CV Dejee Fish adalah kemtian benih ikan lele sangkuriang yang disebabkan oleh kualitas ari yang dipengaruhi oleh suhu air, kadar oksigen dan kotoran yang

31 ada pada air; pakan merupakan salah satu sumber yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup benih, adanya jamur yang dapat menghambat perumbuhan benih dan merupakan sumber kematian, dan teknis pemanenan yang dilakukan oleh karyawan saat dilakukannya proses panen. Penjelasan sumber risiko produksi pembenihan ikan lele sangkuriang adalah sebagai berikut:

1. Jamur

Sumber risiko yang berasal dari jamur timbul akibat proses penebaran telur yang kurang baik, dimana saat telur-telur yang telah dicampur dengan sperma ketika akan di tebar seharusnya dilakukan secara merata di dalam kolam penetasan. Telur-telur yang nantinya tidak dibuahi lalu membusuk lama kelamaan akan berubah menjadi berwarna putih yang disebut jamur karena membusuk. Oleh karena itu, proses penebaran telur merupakan hal penting dalam proses produksi dimana nantinya dapat mempengaruhi hasil produksi pada saat panen. Proses penebaran telur pada kolam penetasan harus dilakukan secara hati-hati, tepat dan cepat. Apabila telur-telur yang telah tercampur dengan sperma tersebut didiamkan lama di dalam wadah dan tidak langsung dimasukan kedalam kolam penetasan maka telur-telur tersebut akan terhambat proses pembuahannya dan akan mengakibatkan gagal menetas yang nantinya ketika ditebar pada kolam akan menjadi busuk yang berakibat gagal produksi.

Para pegawai yang ada di CV Dejee Fish umumnya telah melakukan proses budidaya dengan baik dan telah mengikuti tatacara budidaya ikan yang baik sesuia dengan SOP yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Akan tetapi, ada kalanya para pegawai tersebut kurang teliti dan hati-hati dalam melaksakan proses produksi dimana hal tersebut mungkin dikarenakan faktor personal masing-masing pegawai. Kejadian beresiko yang terkait dengan kesalahan dalam proses penebaran telur ini adalah kurang meratanya telur-telur yang ditebar pada kolam dimana dalam proses penebaran telur tersebut dilakukan secara sekaligus pada satu titik tertentu pada kolam yang seharusnya telur-telur tersebut ditebar secara merata keseluruh titik bagian yang ada pada kolam agar telur-telur tersebut tidak saling bertumpuk satu sama lain. Adanya tumpukan atau gumpalan telur yang kurang merata inilah yang nantinya akan menyebabkan jamur karena telur-telur tersebut tidak menetas dan membusuk dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 9 Benih yang mati karena jamur

Berdasarkan hasil pengamatan langsung yang dilakukan pada tanggal 15 – 21 januari 2015 pada siklus pertama dan pada siklus kedua yaitu tanggal 3 – 9

32

Februari 2015 dilokasi penelitian, jumlah kematian benih yang diakibatkan oleh jamur pada siklus pertama yaitu 25 958 ekor dari jumlah benih awal yaitu 260 000 ekor dan pada siklus kedua yaitu 20 671 ekor dari jumlah benih awal yaitu 140 000 ekor. Adanya perbedaan jumlah kematian pada siklus pertama dan kedua diakibatkan oleh proses penebaran telur yang kurang baik sehingga mengakibatkan telur membusuk dan menjadi jamur. Dari hasil perhitungan angka relatifnya, siklus kedua merupakan siklus yang memiliki jumlah persentase kematian akibat jamur lebih besar yaitu 15 persen sedangkan siklus pertama sebesar 10 persen. Angka menunjukan bahwa tingkat kematian yang diakibatkan oleh jamur masih berada pada batas normal yaitu dibawah 30 persen.

2. Kualitas Air (suhu, oksigen, feses)

Air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan. Kualitas air yang buruk dapat mengakibatkan terhambatnya proses produksi benih ikan lele sangkuriang. Meskipun ikan lele sangkuriang dikenal sebagai ikan yang tahan hidup pada kondisi air yang buruk, namun dalam fase proses produksi tahap awal yaitu proses penetasan hingga pemeliharaan larva harus berada pada kondisi dan kualitas air yang baik karena fase larva sangat rentan terjadi kematian. Adanya perubahan suhu air yang drastis dapat mengakibatkan ikan mati dimana batas normal perubahan suhu lebih dari 10C akan mengakibatkan ikan mudah mati. Kadar oksigen pada air juga sangat mempengaruhi proses pertumbuhan larva, dimana diperlukan alat bantu untuk mensupply oksigen yaitu berupa aerasi. Selain itu juga, timbulnya kotoran dari benih ikan (feses) juga mempengaruhi kualitas air.

Sistem pemeliharaan kualitas air yang dilakukan di CV Dejee Fish adalah keberadaan kolam pemeliharaan benih yang berada di dalam ruangan, hal ini bertujuan agar benih-benih yang dibudidayakan agar lebih terkontrol dan terlindungi dari keadaan luar yang sulit untuk dikendalikan. Adanya bantuan alat berupa aerator yang digunakan untuk membantu mensupply oksigen agar benih-benih ikan tetap terjaga kebutuhan oksigennya. Berdasrkan hasil pengamatan secara langsung dan setelah mulai mempelajari sifat dan gerak gerik benih, salah satu ciri-ciri benih yang kekurangan oksigen biasanya benih ikan tersebut akan berenang ke permukaan kolam untuk mencari oksigen dan pergerakan ikan tersebut terlihat lemas yang lama kelamaan akan turun kepermukaan dan selang 1 hari akan mati. Menurut kepala produksi, Kadar oksigen yang ideal dalam kolam pemeliharaan adalah 4,0 mg/L. Suhu normal dalam kolam pemeliharaan yaitu berkisar 26-290C. Namun, pada kondisi tertentu yaitu saat musim hujan tiba dan suhu air turun menjadi dibawah suhu ideal bagi pertumbuhan benih, maka benih tetap mampu bertahan namun pertumbuhannya menjadi lambat dan ada juga yang langsung mati. Selain itu juga kualitas air yang buruk dapat terjadinya karena timbulnya kotoran (feses) yang dikeluarkan oleh benih ikan itu sendiri yang nantinya dapat membuat air menjadi kotor dan menghambat pertumbuhan benih ikan lele sangkuriang tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan langsung yang dilakukan pada tanggal 15 – 21 Januari 2015 pada siklus pertama dan pada siklus kedua yaitu tanggal 3 – 9 Februari 2015 dilokasi penelitian, jumlah kematian benih yang diakibatkan oleh kualitas air (suhu, oksigen, feses) pada siklus pertama yaitu 11 477 ekor dari jumlah benih awal yaitu 260 000 ekor dan pada siklus kedua yaitu 24 588 dari jumlah benih awal ayitu 140 000 ekor. Dari hasil perhitungan angka relatifnya, siklus kedua merupakan siklus yang memiliki

33 jumlah persentase kematian lebih besar yaitu 17.5 persen sedangkan siklus pertama sebesar 4.4 persen. Angka menunjukan bahwa tingkat kematian yang diakibatkan oleh kualitas air masih berada pada batas normal yaitu dibawah 30 persen.

Gambar 10 Benih yang mati karena kualitas air

Hal tersebut menandakan adanya perbedaan kualitas air yang sangat mempengaruhi pada proses produksi siklus kedua. Kualitas air pada siklus kedua sangat mempengaruhi terjadinya kematian benih, hal itu disebabkan oleh keadaan cuaca yang tak menentu dimana sedang terjadi musim hujan sehingga suhu air menjadi turun dibawah suhu ideal yaitu menjadi 250C. Proses perhitungannya dilakuka dengan cara mengambil benih ikan yang telah mati yang berada di dasar kolam dengan menggunakan saringan, lalu benih-benih tersebut dihitung secara manual dengan bantuan sendol dan lidi. Biasanya benih ikan yang mati akibat kualitas air (suhu, oksigen, feses) berwarna putih dan sudah mengendap pada dasar kolam.

3. Pakan

Pakan menjadi salah satu masalah dalam risiko produksi pembenihan ikan lele sangkuriang. Pada awal menetas, benih ikan lele sangkuriang memiliki cadangan makanan tersendiri dalam perutnya. Cadangan makanan tersebut cukup untuk masa hidupnya selama 3 hari. Sehingga pakan berupa kuning telur ayam baru diberikan pada usia setelah 3 hari hingga masa panen larva. Kegiatan pemberian pakan yang dilakukan di CV Dejee Fish yaitu diberikan secara teratur dan merata seingga dapat mengurangi jumlah kematian benih ikan lele sangkuriang. Ketika pemberian pakan tersebut kurang tepat dimana pakan kuning telur rebus tersebut mengendap dan mengumpul di dasar kolam, maka akan menimbulkan kotoran yang nantinya menyebabkan racun bagi ikan. Oleh sebab itu, pemberian pakan kuning telur rebus tersebut haruslah dilakukan dengan baik dan benar. Pakan kuning telur rebus tersebut diberikan selama 1x sehari yaitu pada pagi hari. Cara pemberiannya yaitu dengan menghaluskan kuning telur rebus kedalam saringan (jaring scope net kecil) lalu di tuang ke dalam air tapi telur tetap berada di dalam scope net lalu di tebar secara merata di dalam kolam hapa agar benih ikan lele sangkuriang bias memakannya. Satu butir kuning telur rebus biasanya diberikan untuk 1 kolam hapa.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung yang dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2015 dilokasi penelitian, jumlah kematian benih yang diakibatkan oleh pakan pada siklus pertama yaitu 6 222 ekor dari jumlah benih awal yaitu 260

34

000 ekor dan pada siklus kedua yaitu 3 231 ekor dari jumlah benih awal yaitu 140 000 ekor. Dari hasil perhitungan angka relatifnya, siklus pertama merupakan siklus yang memiliki jumlah persentase kematian lebih besar yaitu 3.2 persen sedangkan siklus kedua sebesar 2.3 persen. Angka menunjukan bahwa tingkat kematian yang diakibatkan oleh pakan masih berada pada batas normal yaitu dibawah 30 persen. Adanya perbedaan jumlah kematian pada siklus pertama dan kedua yaitu ketelitian dalam pemberian pakan yang lebih terkontrol pada siklus kedua, dimana pada siklus pertama proses pemberian pakan dilakukan bukan hanya oleh pegawai perusahaan yang bertugas dibagian ikan lele sangkuriang namun juga adanya campur tangan para mahsiswa yang sedang melakukan praktek kerja lapang. Sehingga, hal tersebut berdampak terjadinya kemtian yang lebih besar dibandingkan pada siklus kedua.

Gambar 11 Benih yang mati karena pakan 4. Teknis Pemanenan

Kegiatan pemanenan larva harus dilakukan dengan baik dan benar. Larva yang telah siap untuk dipanen, harus segera dipindahkan kedalam wadah yang nantinya akan siap untuk di packing lalu dipasarkan. Pada proses pemanenan larva, penangan proses panen yang kurang cepat akan berakibat pada kelansungan hidup benih dimana benih tersebut akan stress dan lama kelamaan akan lemas lalu berakibat pada kematian. Kegiatan pemanenan yang dilakukan di CV Dejee Fish ini, sudah mengikuti tatacara dan SOP yang telah diterapkan oleh perushaan. Langkah-langkah yang biasnaya dilakukan dalam proses pemanenan larva yaitu dengan menyediakan bambu ukuran 1,5 m untuk mengumpulkan benih ikan menuju ke pojokan hapa, tujuannya agar benih ikan berkumpul. Setelah berkumpul di pojok hapa, barulah benih-benih ikan tersebut disaring dengan menggunakan canting kecil (saringan). Setelah itu, benih-benih tersebut dimasukan kedalam gelas ukur untuk dihitung. Dalam 1 gelas ukur 500 ml terdapat 10 000 ekor larva. Kemudian setelah di hitung semua, maka akan diketahui hasil panennyayang kemudian siap untuk dijual.

Berdasarkan hasil pengamatan langsung yang dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2015 dilokasi penelitian, jumlah kematian benih yang diakibatkan oleh teknis pemanenan pada siklus pertama yaitu 813 ekor dari jumlah benih awal yaitu 260 000 ekor dan pada siklus kedua yaitu 1 092 ekor dari benih awal yaitu 140 000 ekor. Dari hasil perhitungan angka relatifnya, siklus kedua merupakan siklus yang memiliki jumlah persentase kematian lebih besar yaitu 0.7 persen

35 sedangkan siklus pertama sebesar 0.3 persen. Angka menunjukan bahwa tingkat kematian yang diakibatkan oleh teknis pemanenan masih berada pada batas normal yaitu dibawah 30 persen. Adanya perbedaan jumlah kematian larva pada siklus pertama dan kedua diakibatkan oleh kurang cepatnya proses penangan ketika sedang panen dimana pada siklus kedua wadah yang nantinya digunakan untuk menampung larva sementara menunggu proses packing belum siap tersedia secara baik dan adanya campur tangan dari mahasiswa yang sedang melaksanakan praktek kerja lapang.

Gambar 12 Benih yang mati karena teknis pemanenan Analisis Probabilitas Sumber Risiko Produksi

Setelah melakukan pengamatan dan perhitungan secara langsung dan sumber-sumber risiko produksi pembenihan ikan lele sangkuriang telah diketahui yaitu berasal dari kualitas air (oksigen, suhu, feses), jamur, pakan dan teknis pemanenan yang dialami oleh perusahaan CV Dejee Fish. Langkah selanjutnya adalah menganalisis probabilitas atau kemungkinan terjadinya risiko yang diakibatkan oleh masing-masing sumber. Data yang digunakan adalah data pengamatan dan perhitungan secara langsung pada bulan Januari akhir hingga Februari 2015, selain itu juga data diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak perusahaan yaitu bagian kepala produksi dan karyawan yang bertugas dalam proses pembenihan ikan lele sangkuriang. Pengamatan dan perhitungan dilakukan setiap hari selama proses pembenihan mulai dari pemijahan hingga proses pemanenan selama satu minggu dengan pengamatan sebanyak 2x yaitu pagi dan sore sebayak 5 kolam yang diamati dalam 2 siklus. Data yang diperoleh adalah jumlah ekor ikan yang tidak terjual atau mati akibat sumber-sumber risiko yang dialami oleh CV Dejee Fish. Setelah data diperoleh lalu diolah dengan menggunakan alat analisis Z-score, dimana nilai Z yang diperoleh akan menghasilkan nilai kemungkinan atau probabilitas dari masing-masing sumber. Perhitungan analisis probabilitas secara detail dapat dilihat pada Lampiran 2. Untuk mengetahui nilai probabilitas dari masing-masing sumber risiko pada pengamatan rata-rata 2 siklus dengan menghitung jumlah benih ikan yang mati dari setiap sumber risiko, kemudian menghitung rata-rata dari total benih ikan yang mati dari setiap sumber risiko dan menentukan batas normal. Setelah itu, dengan rumus Z-score dan bantuan perangkat lunak Ms. Excel maka dapat diperoleh nilai Z-score. Peluang atau probabilitas masing-masing sumber risiko dapat dilihat pada tabel 7.

36

Tabel 7 Hasil perhitungan probabilitas sumber risiko rata-rata 2 siklus Sumber Risiko 5 Kolam Total benih mati (ekor) Rata-rata benih/kolam (ekor) Standar deviasi Xi |z-score| Peluang (%) Jamur 46 692 717.37 345.82 642 0.26 40 Kualitas Air 36 065 554.85 283.63 592 0.14 44 Pakan 9 453 315.10 79.75 167 1.7 5 Teknis Pemanenan 1 905 381 199.49 57 1.71 4

Sumber : Hasil perhitungan penelitian, 2015

Tabel 7 menjelaskan bahwa probabilitas risiko dari sumber risiko produksi pada 5 kolam dalam 2 siklus adalah jamur sebesar 40 persen, kualitas air 44 persen, pakan 5 persen dan teknis pemanenan 4 persen. Dari hasil pengolahan data diperoleh hasil yaitu nilai Z untuk jamur |0.26|. Nilai Z untuk sumber risiko jamur, jika dipetakan pada tabel distribusi Z akan nemunjukan nilai sebesar 0.397. Nilai 0.397 tersebut berarti bahwa probabilitas kematian benih ikan lele sangkuriang akibat faktor jamur melebihi batas normal 642 ekor adalah sebesar 40 persen. Nilai Z untuk sumber risiko kualitas air yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode z-score adalah sebesar |0.14|. Nilai Z untuk sumber risiko kualitas air, jika dipetakan pada tabel distribusi Z akan menunjukan nilai sebesar 0.444. Nilai 0.444 tersebut menunjukan bahwa probabilitas kematian benih ikan lele sangkuriang akibat kualitas air melebihi batas normal yaitu 592 ekor adalah sebesar 44 persen. Sumber risiko kualitas air ini merupakan sumber risiko terbesar dari rata-rata 2 siklus dimana hal tersebut disebabkan oleh suhu air yang berubah secara drastis akibat adanya musim hujan yang mempengaruhi suhu air dan menyebabkan benih ikan menjadi mati.

Nilai Z untuk sumber risiko pakan yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode z-score adalah sebesar |1.7|. Nilai Z untuk sumber risiko pakan, jika dipetakan pada tabel distribusi Z akan menunjukkan nilai sebesar 0.045. Nilai 0.045 tersebut menunjukkan bahwa probabilitas kematian benih ikan lele sangkuriang akibat pakan melebihi batas normal yaitu 167 ekor adalah sebesar 5 persen. Nilai Z untuk sumber risiko teknis pemanenan yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode z-score adalah sebesar |1.71|. Nilai Z untuk sumber risiko teknis pemanenan, jika dipetakan pada tabel distribusi Z akan menunjukan nilai sebesar 0.044. Nilai 0.044 tersebut menunjukkan bahwa probabilitas kematian benih ikan lele sangkuriang akibat teknis pemanenan melebihi batas normal yaitu 57 ekor adalah sebesar 4 persen. Probabilitas risiko terbesar yang dialami oleh CV Dejee Fish untuk usaha pembenihan lele sangkuriang yaitu sumber risiko kualitas air 44 persen dan terkecil berasal dari sumber risiko teknis pemanenan sebesar 4 persen.

Analisis Dampak Risiko Produksi

Analisis dampak risiko digunakan untuk mengetahui seberapa besar kerugian yang dialami oleh perusahaan dari adanya kematian benih yang

37 diakibatkan oleh sumber-sumber risiko yang ada. Alat analisis yang digunakan dalam perhitungan dampak risiko yang dialami oleh perusahaan adalah alat analisis Value at Risk (VaR). Untuk mengetahui dampak risiko maka dibutuhkan data tambahan lainnya seperti nilai kerugian rata-rata dan standar deviasi dari masing-masing sumber risiko yang terlampir pada lampiran 3. Nilai VaR dihitung dengan menggunakan taraf nyata 95 persen dan eror sebesar 5 persen. Hal tersebut memiliki arti bahwa ada kemungkinan 5 persen lebih tinggi dampak risiko yang akan diterima oleh perusahaan dari perhitungan yang dilakukan oleh peneliti. Hasil perhitungan dari dampak risiko yang telah dilakukan oleh peneliti ditunjukan pada tabel 9. Total penerimaan dari panen pada siklus pertama yaitu sebesar Rp 1 505 000,00 sedangkan pada siklus kedua yaitu sebesar Rp 630 000,00. Total kerugian pada siklus pertama yaitu sebesar Rp 315 000,00 sedangkan pada siklus kedua yaitu sebesar Rp 350 000,00. Berdasarkan perhitungan penerimaan dan kerugian dapat disimpulkan bahwa siklus kedua memiliki persentase kerugian yang lebih besar yaitu 55 persen sedangkan siklus pertama sebesar 21 persen. Dampak risiko terbesar berasal dari jamur, kualitas air, pakan dan teknis pemanenan. Untuk mengetahui nilai dari dampak masing-masing risiko pada 5 kolam dalam 2 siklus tersebut adalah dengan menghitung kerugian total benih ikan lele sangkuriang yang mati berdasarkan sumber kematiannya. Lalu, menghitung standar deviasi dan menentukan nilai Z alfa 5 persen sebesar 1.645. Proses perhitungannya menggunakan alat bantu Ms. Excel untuk mendapatkan nilai Value at Risk (VaR) seperti ditunjukan pada tabel 8.

Tabel 8 Hasil penghitungan dampak risiko rata-rata 2 siklus Sumber Risiko 5 Kolam Total benih mati (ekor) Harga (Rp/ekor) Nilai Kerugian (Rp) Rata-rata (ekor) Standar deviasi Value at Risk (Rp) Jamur 46 692 7 163 202 5 022 2 420.76 5 795 Kualitas Air 36 065 7 126 228 3 884 1 985.43 4 937 Pakan 9 453 7 33 086 2 206 558.22 3 388 Teknis Pemanenan 1 905 7 6 668 2 667 1 396.41 3 736

Sumber : Hasil perhitungan penelitian, 2015

Nilai Value at Risk pada selang kepercayaan 5 % (nilai Z alfa 5 % yaitu 1.645)

Tabel 8 menjelaskan bahwa dampak risiko rata-rata dari siklus 1&2 yang terjadi akibat dari sumber risiko jamur dengan menggunakan metode Value at Risk menghasilkan nilai sebesar Rp 5 795 dengan tingkat keyakinan 95 persen. Nilai Value at Risk tersebut memiliki arti bahwa kerugian maksimal yang diderita akibat sumber risiko jamur adalah sebesar Rp 5 795, tetapi ada 5 persen kemungkinan kerugian lebih besar dari angka tersebut. Dampak risiko yang terjadi akibar sumber risiko kualitas air yang dilakukan dengan metode Value at Risk menghasilkan nilai sebesar Rp 4 937 dengan tingkat keyakinan 95 persen. Nilai Value at Risk tersebut memiliki arti bahwa kerugian maksimal yang diderita akibat sumber risiko kualitas air adalah sebesar Rp 4 937, tetapi ada 5 persen kemungkinan kerugian lebih besar dari angka tersebut. Perhitungan yang dilakukan terhadap sumber risiko pakan yang dilakukan dengan menggunakan metode Value at Risk menghasilkan nilai sebesar Rp 3 388 dengan tingkat

38

kepercayaan 95 persen. Nilai Value at Risk tersebut memiliki arti bahwa kerugian maksimal yang diderita akibat sumber risiko pakan adalah sebesar Rp 3 388, tetapi ada 5 persen kemungkinan kerugian lebih besar dari angka tersebut. Perhitungan yang dilakukan terhadap sumber risiko teknis pemanenan yang dilakukan dengan menggunakan metode Value at Risk menghasilkan nilai sebesar Rp 3 736 dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Nilai Value at Risk tersebut memiliki arti bahwa kerugian maksimal yang diderita akibat sumber teknis pemanenan adalah sebesar Rp 3 736, tetapi ada 5 persen kemungkinan kerugian lebih besar dari angka tersebut. Meskipun dampak dari setiap sumber risiko nilainya tidak besar, tetapi dalam setiap periode produksi, sumber risiko seperti jamur, kualitas air, pakan dan teknis pemanenan selalu ada. Maka sumber risiko tersebut tetap perlu diperhatikan dengan serius.

Berdasarkan hasil perhitungan dampak risiko yang dialami oleh perusahaan, menunjukan nilai dampak kerugian yang tidak terlalu besar yaitu Rp 5 795 untuk dampak yang ditimbulkan dari sumber risiko jamur. Meskipun demikian, peluang dari masing – masing risiko nemunjukan persentase yang cukup besar yaitu 44 persen untuk sumber risiko jamur. Hal tersebut disebabkan oleh persentase kematian relatif yang diakibatkan oleh jamur yaitu 15 persen. Angka 15 persen tersebut merupakan angka yang masih berada pada batas normal toleransi kematian yaitu berada dibawah 30 persen dan perusahaan ini juga merupakan perusahaan yang berada di bawah Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBAT) sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan CV Dejee Fish merupakan perusahaan percontohan.

Analisis Peta Risiko

Pemetaan risiko didasarkan pada hasil perhitungan probabilitas risiko dan dampak risiko sehingga dapat diketahui keberadaan posisi dari masing-masing sumber risiko yang dialami oleh perushaan. Setelah mengetahui posisi dari masing-masing sumber risiko maka dapat diketahui strategi penanganan atau penegndalian risiko dari masing-masing sumber risiko. Peta risiko terbagi menjadi

Dokumen terkait