• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Daya Saing Teh di PTPN VIII Afdeling Rancabali III

Pada bab ini akan dibahas mengenai hasil perhitungan pada Policy

Analysis Matrix yang merefleksikan daya saing komoditas teh dan dampak

kebijakan Pemerintah terhadap komoditas teh di PT. Perkebunan Nusantara VIII Afdeling Rancabali III. Analisis ini dilakukan secara multiperiode yaitu selama 25 tahun. Tingkat suku bunga privat dan sosial yang digunakan adalah sebesar 6 persen (asumsi menggunakan suku bunga bank milik Pemerintah 2012). Dasar dari analisis Policy Analysis Matrix adalah analisis usahatani. Analisis usahatani ini berdasarkan harga privat atau harga yang berlaku di pasar dimana ada distorsi pasar atau kegagalan pasar, dan analisis ini juga dilakukan berdasarkan harga sosial atau harga pada pasar persaingan sempurna dimana tidak ada distorsi Pemerintah atau kegagalan pasar.

Matriks PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom yang secara berurutan terdiri dari kolom penerimaan, kolom biaya yang terdiri dari input

tradable dan input non tradable, dan kolom keuntungan yang merupakan selisih

dari penerimaan dengan biaya-biaya. Baris pertama pada PAM menunjukkan keuntungan privat yang perhitungannya berasal dari pengurangan penerimaan

terhadap biaya tradable dan non tradable berdasarkan harga yang berlaku di pasar yang mencerminkan bahwa nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan Pemerintah dan kegagalan pasar. Baris kedua pada PAM menunjukkan perhitungan keuntungan sosial yang berasal dari pengurangan penerimaan terhadap biaya tradable dan non tradable berdasarkan harga pada kondisi pasar persaingan sempurna yang mencerminkan bahwa nilai-nilai tidak dipengaruhi oleh semua kebijakan Pemerintah dan kegagalan pasar. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang merefleksikan divergensi akibat adanya kebijakan Pemerintah. Hasil perhitungan terdapat pada rekapitulasi budget privat dan rekapitulasi sosial yang dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Berdasarkan hasil perhitungan maka diperoleh Tabel PAM komoditas teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III secara keseluruhan. Secara lengkap PAM tersaji pada Tabel 14.

Tabel 14 Policy Analysis Matrix (PAM) usahatani teh hitam orthodoks (dalam hektar/25 tahun) Penerimaan Biaya Keuntungan Input Tradable Faktor Domestik Privat 1 590 857 428 184 976 346 936 077 245 469 803 837 Sosial 1 351 292 487 157 822 423 876 914 776 316 555 288 Efek Divergensi 239 564 941 27 153 923 59 162 469 153 248 548 Berdasarkan Tabel 14 maka dapat diketahui penerimaan privat usahatani komoditas teh hitam orthodoks adalah sebesar Rp1 590 857 428, dengan biaya input tradable yaitusebesar Rp184 976 346 dan biaya input non tradable sebesar Rp936 077 245, sehingga keuntungan privat usahatani teh hitam orthodoks yang diperoleh yaitu sebesar Rp469 803 837. Selanjutnya, pada baris kedua pada Tabel 14 dapat diketahui bahwa penerimaan sosial usahatani komoditas teh hitam orthodoks sebesar Rp1 351 292 487 dengan biaya input yaitu tradable sebesar Rp157 822 423 dan biaya input non tradable sebesar Rp876 914 776, sehingga didapatkan keuntungan sosial pengusahaan komoditas teh hitam orthodoks sebesar Rp316 555 288.

Pada Tabel 14 menunjukkan bahwa, efek difergensi yang dihasilkan

Policy Analysis Matrix keseluruhan (penerimaan, biaya input tradable, input non

tradable dan keuntungan) bernilai positif. Divergensi penerimaan bernilai positif

yaitu sebesar Rp153 248 548, hal ini berarti harga teh hitam orthodoks pada harga privat lebih besar daripada harga sosial. Harga privat teh hitam orthodoks adalah Rp 22 116 per Kg, sedangkan untuk harga sosial output teh hitam orthodoks yaitu sebesar Rp18 860 per Kg. Harga sosial teh hitam orthodoks diperoleh dari harga perbatasan (border price) dikurangi dengan biaya handling dan tansportasi. Meskipun belum ada kebijakan secara khusus yang memproteksi output teh hitam orthodoks namun kebijakan pengenaan PPN sebesar 10 persen akan menambah biaya untuk transportasi untuk pemasaran output dan pengangkutan output. Kebijakan Pemerintah ini berpengaruh secara tidak langsung terhadap output.

Sedangkan divergensi pada biaya input tradable bernilai positif yaitu sebesar Rp27 153 923. Hal ini berarti, bahwa dengan adanya kebijakan Pemerintah, perkebunan PTPN VIII Afdeling Rancabali III harus membayar lebih tinggi daripada harga ekonominya/sosialnya. Kebijakan yang dimaksud adalah adanya bea masuk dan pajak pertambahan nilai dari Pemerintah terhadap input

tradable yaitu pupuk anorganik, dan obat-obatan (insektisida, fungisida dan

herbisida). Kebijakan Pemerintah ini bertujuan untuk melindungi produsen input

tradable yaitu berupa subsidi, sedangkan di Afdeling Rancabali III dikenakan

pajak atas input tradable.

Divergensi pada biaya non tradable (faktor domestik) juga bernilai positif yaitu sebesar Rp59 162 469. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan adanya kebijakan Pemerintah, Afdeling Rancabali III harus mengeluarkan biaya input domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga ekonominya. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan Pemerintah mengenai Upah Minimum Regional (UMR). Keuntungan privat didapatkan dari perhitungan penerimaan dikurangi biaya berdasarkan harga berlaku (harga pasar) yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan Pemerintah dan kegagalan pasar.

Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa keuntungan privat yang diperoleh dari usahatani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III adalah sebesar Rp469 803 837 per hektar (hasil selisih dari total penerimaan dan total biaya tradable dan domestik). Oleh karena itu secara finansial kegiatan pengusahaan teh hitam orthodoks di PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III masih layak untuk dijalankan baik jangka pendek maupun jangka panjang karena mampu memberikan keuntungan yang positif dan cukup besar. Nilai B/C ratio yang diperoleh adalah sebesar 1.42. Hal ini berarti bahwa, setiap Rp1 per hektar biaya yang dikeluarkan PTPN VIII Afdeling Rancabali III untuk menanam teh hitam orthodoks, maka penerimaan yang akan diperoleh sebesar Rp1.42 per hektar. Sehingga bisa disimpulkan bahwa usahatani teh hitam orthodoks layak diusahakan dan efisien secara produksi.

Keuntungan sosial adalah perhitungan penerimaan dikurangi biaya berdasarkan harga pada pasar persaingan sempurna yang mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya, dimana harga ini tidak mengandung nilai- nilai kebijakan Pemerintah dan kegagalan pasar. Pada komoditas tradable, harga bayangan (sosial) adalah harga yang terjadi di pasar internasional. Berdasarkan Tabel 14 dapat diketahui bahwa keuntungan sosial yang diperoleh dari pengusahaan teh hitam orthodoks di PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III adalah sebesar Rp316 555 288 per hektar. Hal ini menggambarkan bahwa tanpa adanya kebijakan Pemerintah, pengusahaan teh hitam orthodoks di PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III masih menguntungkan karena masih memberikan keuntungan yang positif dan cukup besar dan secara ekonomi kegiatan usahatani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III masih layak untuk dijalankan. Namun, jika dibandingkan keuntungan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan pada kondisi adanya kebijakan atau intervensi Pemerintah (harga privat).

Berdasarkan hasil analisis keuntungan, maka dapat disimpulkan bahwa usahatani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III menguntungkan secara finansial maupun ekonomi. Sehingga pengusahaan teh hitam orthodoks di PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III layak untuk

dijalankan baik secara finansial maupun ekonomi. Berdasarkan tabulasi yang dilakukan pada matriks PAM, dapat diketahui bahwa keuntungan privat yang dihasilkan lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan sosial. Hal ini menyebabkan divergensi keuntungan yang dihasilkan bernilai positif yaitu sebesar Rp153 248 548 per hektar selama periode analisis 25 tahun.

Selanjutnya, analisis daya saing teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III dapat dilihat dari keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai Rasio Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC) dan keuntungan sosial (Social

Profit/SP). Sedangkan keunggulan kompetitif teh hitam orthodoks PTPN VIII

Afdeling Rancabali III ditunjukkan oleh nilai Rasio Biaya Privat (Privat Cost

Ratio/PCR) dan keuntungan privat (Privat Profit/PP). Perbandingan nilai

keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif pada usahatani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Perbandingan nilai keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani teh

hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancbali III

Uraian Nilai

Keunggulan Kompetitif

Rasio Biaya Privat (PCR) 0.67

Keuntungan Privat (KP) Rp469 803 837

Keunggulan Komparatif

Rasio Sumberdaya Domestik (DRC) 0.74

Keuntungan Sosial (SP) Rp316 555 288

Indikator untuk melihat keunggulan kompetitif adalah nilai Private Cost

Ratio (PCR) dan keuntungan privat. Adapun nilai Private Cost Ratio (PCR) dari

usahatani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III adalah sebesar 0.67. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu satuan dibutuhkan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu satuan yaitu sebesar 0.67. Nilai PCR sebesar 0.67 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III sebesar satu satuan pada harga privat, maka diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari satu satuan yaitu sebesar 0.67. Sedangkan nilai keuntungan privat yang dihasilkan adalah sebesar Rp469 803 837 per hektar selama 25 tahun. Keuntungan privat yang dihasilkan ini bernilai positif, hal ini berarti bahwa usahtani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III menguntungkan secara finansial dan layak untukdijalankan.

Berdasarkan nilai PCR dan nilai keuntungan privat yang dihasilkan tersebut, teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III dapat dikatakan memiliki daya saing dari segi keunggulan kompetitif karena memiliki nilai PCR<1 dan nilai keuntungan privat yang bernilai positif (KP>0). Selain itu, dapat diartikan juga bahwa usahatani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III dapat membayar faktor domestiknya. Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik dapat diminimumkan dan atau memaksimalkan nilai tambah output (Pranoto 2011). Menurut Pranoto (2011), peningkatan nilai tambah output dapat ditingkatkan dengan penggunaan teknologi

yang dapat menurunkan biaya per unit output. Semakin kecil nilai PCR yang dihasilkan (PCR<1) maka semakin teh hitam orthodoks berdaya saing karena memiliki keunggulan kompetitif dan begitu pula sebaliknya semakin besar nilai PCR yang dihasilkan maka semakin teh hitam orthodoks tidak memiliki daya saing atau tidak memiliki keunggulan kompetitif. Hasil Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Manalu (2014) yang mengatakan bahwa nilai PCR<1 mengindikasikan bahwa produsen memiliki keuntungan finasial (privat) positif atau memiliki keunggulan kompetitif. Semakin kecil nilai PCR, maka semakin tinggi keunggulan kompetitifnya.

Indikator dari keunggulan komparatif dapat dilihat dari nilai Rasio Sumberdaya Domestik (Domestic Resource Cost/DRC) dan keuntungan sosial

(Social Profit/SP). Adapun nilai DRC yang dihasilkan adalah sebesar

0.74. Artinya, jika teh hitam orthodoks diproduksi di dalam negeri maka hanya membutuhkan biaya sebesar 0.74 satu satuan, sehingga terjadi penghematan biaya sebesar 0.74 satu satuan. Artinya, jika memproduksi teh hitam orthodoks di dalam negeri akan menjadi lebih murah dibandingkan jika mengimpor dari negara lain sehingga teh hitam orthodoks berdaya saing karena memiliki keunggulan komparatif. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk memproduksi teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III hanya membutuhkan biaya sumberdaya domestik sebesar 74 persen terhadap biaya impor yang dibutuhkan. Nilai keuntungan sosial/ekonomi Rp316 555 288 per hektar selama 25 tahun.

Jadi, dapat dikatakan bahwa usahatani usahatani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III memiliki daya saing dari segi keunggulan komparatif karena nilai DRC<1 yaitu sebesar 0.74 dan secara ekonomi menguntungkan karena nilai keuntungan sosial yang didapatkan bernilai positif. Semakin kecil nilai DRC yang dihasilkan (DRC<1) maka semakin teh hitam orthodoks berdaya saing atau memiliki keunggulan komparatif dan begitu pula sebaliknya semakin besar nilai DRC yang dihasilkan maka semakin teh hitam orthodoks tidak memiliki daya saing atau tidak memiliki keunggulan komparatif.

Hasil DRC yang diperoleh dari penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jamilah (2014), Rogers (2011), dan Hermayanti et.al 2013) yang mengatakan bahwa nilai DRC<1 mengindikasikan suatu komoditas memiliki keunggulan komparatif. Semakin kecil nilai DRC, maka semakin tinggi keunggulan komparatif komoditas tersebut.

Perbandingan selanjutnya yang dapat disimpulkan adalah nilai keuntungan privat yang lebih besar dibandingkan keuntungan sosialnya. Hal ini berarti pengusahaan teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III lebih menguntungkan saat adanya intervensi dari Pemerintah terhadap input yang dikeluarkan dan output yang dihasilkan. Divergensi keuntungan menunjukkan angka positif sebesar Rp153 248 548 per hektar. Berdasarkan Tabel 14 maka dapat diketahui bahwa nilai PCR lebih kecil daripada nilai DRC. Hal ini berarti komoditas teh yang dihasilkan PTPN VIII Afdeling Rancabali III didukung oleh kebijakan atau intervensi Pemerintah yang meningkatkan efisiensi dalam berproduksi. Artinya, kebijakan terkait input-output yaitu pajak bea masuk atas input produksi (pupuk anorganik dan obat-obatan) sebesar 5 persen dan PPN 10 persen, dan pengenaan PPN terhadap BBM sebesar 10 persen sudah efektif untuk meningkatkan daya saing dan memberikan keuntungan bagi PTPN VIII Afdeling Rancabali III. Berdasarkan analisis daya saing yang tercermin dari indikator-

indikator daya saing maka dapat disimpulkan bahwa usahatani teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III ini memiliki daya saing baik dari segi keunggulan komparatif maupun kompetitif.

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Teh di PTPN VIII Afdeling Rancabali III

Kebijakan Pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampak positif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi yang terlibat didalamnya. Tujuan dibuat kebijakan Pemerintah dalam perdagangan adalah untuk melindungi produsen maupun konsumen dalam negeri dapat membuat perbedaan harga yang terjadi dari kebijakan Pemerintah dalam perdagangan adalah untuk melindungi produsen maupun konsumen di alam negeri. Dampak kebijakan juga dapat menurunkan atau meningkatkan produksi maupun produktivitas dari suatu aktivitas ekonomi.

Indikator-indikator dampak kebijakan Pemerintah terhadap komoditas teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III terdiri dari indikator dampak kebijakan terhadap output yaitu Transfer Output dan Koefisien Proteksi Output Nominal, indikator dampak kebijakan terhadap input yaitu Transfer Input, Transfer Faktor, dan Koefisien Proteksi Input Nominal. Indikator dampak kebijakan terhadap input-output yaitu Koefisien Proteksi efektif, Transfer Bersih, Koefisien Keuntungan, dan Rasio Subsidi Produsen. Secara lengkap analisis dampak kebijakan Pemerintah terhadapp komoditas teh hitam orthodoks dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Indikator-indikator dampak kebijakan Pemerintah terhadap teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III

Indikator Satuan Nilai

Dampak Kebijakan Terhadap Output

Transfer Output (TO) Rp/ha 239 564 941

Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 1.18

Dampak Kebijakan Terhadap Input

Transfer Input (TI) Rp/ha 27 153 923

Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1.17

Transfer Faktor (TF) Rp/ha 59 162 469

Dampak Kebijakan Terhadap Input-Output

Transfer Bersih (TB) Rp/ha 153 248 548

Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 1.18

Rasio Subsidi Produsen (SRP) 0.11

Keofisien Keuntungan (PC) 1.48

Kebijakan Output

Adapun indikator-indikator dampak kebijakan output adalah Transfer Output (TO), Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO). Nilai Transfer Output

(TO) dari pengusahaan komoditas teh hitam orthodoks bernilai positif yaitu sebesar Rp239 564 941, Artinya harga output teh hitam orthodoks di pasar domestik lebih tinggi dari harga internasionalnya. Hal ini bisa terlihat dari harga output pada struktur harga privat yang lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya yaitu Rp22 116 per kg (harga privat) dan Rp18 816 per Kg (harga sosial). Perbedaan harga antara privat dan sosial diduga karena adanya pengenaan pajak PPn sebesar 10 persen terhadap BBM. Saat ini belum ada kebijakan Pemerintah yang langsung mengenai output teh hitam orthodoks. Namun ada kebijakan pengenaan PPN terhadap BBM yang tertuang dalam Undang-Undang No 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan barang mewah yang mulai berlaku tanggal 1 April 2010 serta berlakunya Peraturan Pajak Penghasilan Pasal 22 berkenaan dengan pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap BBM. Meskipun belum ada kebijakan secara khusus yang memproteksi output teh hitam orthodoks namun, kebijakan pengenaan PPN sebesar 10 persen akan menambah biaya untuk transportasi untuk pemasaran output dan pengangkutan output berpengaruh secara tidak langsung terhadap output. Perbedaan harga pada struktur privat dan struktur sosial menyebabkan konsumen membeli dengan harga yang tinggi dari harga yang seharusnya dibayarkan kepada produsen. Dengan kata lain, masyarakat memberikan insentif terhadap PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali III dengan adanya kebijakan Pemerintah.

Nilai Koefisien Proteksi Output (NPCO) adalah rasio antara penerimaan berdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Penerimaan privat sebesar Rp1 590 857 428 per hektar, sedangkan penerimaan sosial sebesar Rp1 351 292 487 per hektar, sehingga didapatkan nilai NPCO sebesar 1.18. Nilai NPCO yang dihasilkan adalah lebih besar dari satu (NPCO>1), hal ini berarti Pemerintah memberikan proteksi pada usaha perkebunan di PTPN VIII Afdeling Rancabali III dengan cara menaikkan harga output diatas harga efisiennya. Hal ini berarti bahwa harga domestik untuk output lebih tinggi dari harga output internasionalnya yang terlihat dari harga output pada struktur harga privat yang lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya yaitu Rp22 116 per kg (harga privat) dan Rp18 816 per Kg (harga sosial). Saat ini belum ada kebijakan Pemerintah yang langsung mengenai output teh hitam orthodoks. Kebijakan pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap BBM tertuang dalam Undang-Undang No 42 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas Penjualan barang mewah yang mulai berlaku tanggal 1 April 2010 serta berlakunya Peraturan Pajak Penghasilan Pasal 22 berkenaan dengan pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap BBM. Meskipun belum ada kebijakan secara khusus yang memproteksi output teh hitam orthodoks namun kebijakan pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap BBM akan menambah biaya untuk transportasi untuk pemasaran output dan pengangkutan output berpengaruh secara tidak langsung terhadap output.

Secara keseluruhan, analisis dampak kebijakan pemerintah terhadap output yaitu pengenaan PPN untuk BBM sebesar 10 persen terhadap output teh hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut efektif atau mampu mendorong peningkatan daya saing, sehingga penerimaan yang diperoleh PTPN VIII Afdeling Rancabali III menjadi

lebih tinggi dibandingkan dengan penerimaan tanpa adanya kebijakan tersebut. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah terhadap output yaitu pengenaan PPN untuk BBM sebesar 10 persen mampu mendukung peningkatan daya saing (keunggulan kompetitif dan komparatif) hitam orthodoks di PTPN VIII Afdeling Rancabali III.

Kebijakan Input

Indikator untuk kebijakan Input adalah Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Nilai Tranfer Input dalam penelitian ini adalah sebesar Rp27 153 923. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam pengusahaan teh hitam orthodoks, harga input tradable yang dikeluarkan pada harga privat lebih tinggi daripada harga input pada harga sosial/ekonomi sehingga PTPN VIII Afdeling Rancabali III membayar input lebih besar yaitu sebesar Rp27 153 923 daripada kondisi seharusnya akibat adanya kebijakan Pemerintah. Hal ini dikarenakan PTPN VIII Afdeling Rancabali III tidak mendapatkan subsidi dari Pemerintah, bahkan PTPN VIII Rancabali Afdeling Rancabali ini membayar input dengan harga yang jauh lebih mahal karena terkena pajak. Kebijakan yang mempengaruhi input antara lain kebijakan bea masuk produk bahan baku impor sebesar 5 persen. Pada tanggal 22 Desember 2010, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.241/PMK.011/2010 yang menjadi dasar kebijakan kenaikan bea masuk atas impor barang. Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan dan adanya pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap BBM.

Nilai Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) adalah perbandingan antara biaya input tradable berdasarkan harga privat dengan biaya input tradable berdasarkan harga sosial/ekonomi. Nilai NPCI yang dihasilkan yaitu sebesar 1.17, hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah menaikkan harga input tradable di pasar domestik yang dihadapi PTPN VIII Afdeling Rancabali III dibawah harga dunia. Jadi, kebijakan Pemerintah terhadap input tidak mendorong peningkatan daya saing teh hitam orthodoks di lokasi penelitian. Nilai NPCI>1 menunjukkan adanya proteksi Pemerintah terhadap produsen input tradable di pasar domestik. Hal ini terjadi dikarenakan adanya kebijakan Pemerintah berupa adanya bea masuk (pajak impor) dan Pajak Pertambahan Nilai input tradable seperti pupuk anorganik dan obat-obat-obatan (Mantau 2009, Saptana et.al 2004). Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat proteksi terhadap produsen input asing tradable, yang menyebabkan sektor yang menggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi karena petani membeli input tradable lebih mahal dari harga dunia akibat adanya pajak impor sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen pada input tradable (pupuk anorganik dan obat-obatan) dan pengenaan PPN sebesar 10 persen terhadap pembelian BBM jenis Premium. Hasil Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Najarzadeh et al. (2011) dan Mobasser et al. (2012) yang mengatakan bahwa jika nilai NPCI>1 maka biaya input

Selain input tradable, input lain yang digunakan dalam proses produksi adalah input domestik (faktor domestik). Harga atas input tersebut ditentukan oleh mekanisme pasar lokal atau di dalam negeri. Transfer Faktor (TF) merupakan indikator dampak kebijakan Pemerintah terhadap input produksi tersebut. TF merupakan selisih antara biaya input domestik yang dihitung pada harga privat dengan biaya input produksi pada harga bayangan (sosial). Kebijakan Pemerintah untuk input domestik dilakukan dalam bentuk kebijakan subsidi (positif atau negatif). Nilai Transfer Faktor (TF) adalah perbedaan harga sosial dengan harga privat yang diterima PTPN VIII Afdeling Rancabali III untuk pembayaran faktor- faktor produksi domestik. Adapun nilai Transfer Faktor (TF) pada peneliitan ini adalah memiliki nilai positif yaitu sebesar Rp59 162 469. Hal ini mengindikasikan bahwa harga input domestik/non tradable yang dikeluarkan pada tingkat harga

Dokumen terkait