Kerangka Pemikiran Teoritis
Teori Perdagangan Internasioanal
Perdagangan merupakan suatu proses pertukaran barang dan jasa yang dilakukan atas dasar suka sama suka, untuk memperoleh barang yang dibutuhkan. Dalam masa globalisasi, perdagangan tidak hanya dilakukan dalam satu negara saja, bahkan dunia sudah memasuki perdagangan bebas. Hampir tidak ada satu negara pun yang tidak melakukan hubungan perdagangan dengan negara lain (Dumairy 1997). Perdagangan internasional dapat terjadi karena setiap negara dengan negara mitra mempunyai beberapa perbedaan, diantaranya perbedaan kandungan sumber daya alam, iklim, penduduk, sumber daya manusia, spesifikasi tenaga kerja, dan lain sebagainya. Perbedaan tersebut berkaitan dengan perbedaan dalam tingkat kapasitas produksi secara kuantitas, kualitas, dan jenis produksinya.
Dari perbedaan tersebut maka atas dasar kebutuhan yang saling menguntungkan maka terjadilah perdagangan internasional (Halwani 2005).
Secara teoritis, perdagangan internasional terjadi karena dua alasan utama. Pertama, negara-negara berdagang karena pada dasarnya mereka berbeda satu sama lain. Setiap negara dapat memperoleh keuntungan dengan melakukan sesuatu yang relatif lebih baik. Kedua, negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (scale of economy) dalam produksi. Hal ini berarti, jika setiap negara hanya memproduksi sejumlah barang tertentu, mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dengan skala yang lebih besar dan karenanya lebih efisien jika dibandingkan kalau negara tersebut memproduksi segala jenis barang (Basri 2010).
Perdagangan internasional terjadi karena adanya perbedaan dalam hal kepemilikan sumberdaya dan cara pengolahannya di tiap-tiap negara. Suatu negara akan mengekspor sejumlah barang, jasa, dan faktor produksi untuk ditukarkan dengan impor barang, jasa, dan faktor produksi lain yang hanya dapat diproduksi dengan cara yang kurang efisien atau tidak diproduksi sama sekali. Dengan demikian akan berkembang hubungan saling ketergantungan dan peranan perdagangan internasional dari setiap negara akan menjadi penting. Secara lebih jelas aliran perdagangan internasional terdapat pada Gambar 2.
P
Gambar 2 Aliran perdagangan Internasional Sumber: Salvator 1997
Keterangan:
P2 :Harga keseimbangan di pasar dunia
P3 :Harga keseimbangan di negara B sebelum berdagang P1 :Harga keseimbangan di negara A sebelum berdagang Da :Permintaan domestik negara A
Sa :Penawaran domestik negara A D :Permintaan di pasar dunia S :Penawaran di pasar dunia Sb :Permintaan domestik negara B Db :Penawaran domestik negara B
Teori Daya Saing
Daya saing didefenisikan sebagai kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dalam lingkungan global selama biaya imbangnya lebih rendah dari
PppP P P A* B* Impor Sa A” B’ E’ A’ Db D S E* A X 0 0 0 Sb Pasar Negara B Pasar Negara A Pasar Dunia
Da X P3 P2 P1 B X Ekspor Ekspor
penerimaan sumber daya yang digunakan (Esterhuizen 2008). Menurut Uchida dan Cook (2004), menyatakan bahwa daya saing berkaitan erat dengan teknologi yang menghasilkan peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas produk. Peningkatan spesialisasi teknologi juga memungkinkankan dilakukannya pengembangan kapasitas.
Daya saing dapat diidentifikasikan dengan masalah produktivitas, yakni dengan melihat tingkat ouput yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktivitas ini disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal maupun tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan, dan peningkatan teknologi (Porter 1990). Konsep daya saing dalam perdagangan internasional sangat terkait dengan keunggulan yang dimiliki oleh suatu komoditi atau kemampuan suatu negara dalam menghasilkan suatu komoditi tersebut secara efisien dibanding negara lain.
Teori daya saing dalam penelitian ini berdasarkan pada kerangka Policy
Analysis Matrix (PAM). Konsep daya saing dalam PAM dikategorikan menjadi 2
macam yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif menyatakan keunggulan yang dimiliki ketika pasar tidak terdistorsi yaitu didekati dengan menilai biaya dan penerimaan menggunakan harga sosial sedangkan keunggulan kompetitif adalah keunggulan pada saat harga aktual dimana ada distorsi Pemerintah.
Keunggulan Komparatif
Konsep keunggulan komparatif pertama kali dicetuskan oleh david Ricardo yang dikenal dengan nama hukum keunggulan komparatif (law of
comparative advantage) atau Teori Ricardian. Teori ini menyatakan bahwa
keunggulan komparatif timbul karena adanya perbedaan teknologi antar negara. Hal ini berarti bahwa berlangsungnya perdagangan internasional merupakan akibat adanya perbedaan produktivitas antar negara (Basri 2010).
Teori Ricardo berpendapat bahwa keunggulan komparatif muncul karena berbeda dalam teknologi antar negara. Namun, hal berbeda menurut Teori Heckscher-Ohlin (H-O) yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif ditentukan oleh perbedaan relatif kekayaan faktor produksi dan penggunaan faktor produksi tersebut secara relatif intensif dalam kegiatan produksi barang ekspor. Model H-O telah dikembangkan oleh 3 teori penting yaitu factor-price
equalization theorem, Stopler-Samuelson Theorem dan Rybzynski theorem.
Pearson et al. (2005) mengemukakan bahwa keunggulan komparatif bersifat dinamis, dengan kata lain keunggulan komparatif tidak stabil dan dapat diciptakan karena dipengaruhi oleh perubahan dalam sumberdaya alam, perubahan faktor-faktor biologi, perubahan harga input, perubahan teknologi, dan biaya transportasi. Suatu daerah yang memiliki keunggulan komparatif di sektor tertentu secara potensial harus mampu mempertahankan dan bersaing dengan negara lain. Komoditas yang memiliki keunggulan komparatif dapat dikatakan telah mencapai efisiensi ekonomi yang terkait dengan kelayakan secara ekonomi.
Salvatore (1996) menyatakan bahwa, keunggulan komparatif masih dapat dilakukan sekalipun suatu negara mengalami kerugian memproduksi dua jenis komoditi jika dibandingkan dengan negara lain. Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang mempunyai
keunggulan komparatif, sebaliknya negara tersebut akan mengimpor komoditi yang mempunyai kerugian absolut yang besar. Keunggulan komparatif berubah karena faktor yang mempengaruhinya antara lain ekonomi dunia, lingkungan domestik dan teknologi (Zulkarnaini 2007).
Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur daya saing suatu aktivitas pada kondisi perekonomian aktual. Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur kelayakan suatu kegiatan dimana keuntungan privat dihitung berdasarkan harga pasar yang berlaku dan nilai uang yang berlaku berdasarkan analisis finansial. Harga pasar adalah harga yang sebenarnya dibayar oleh produsen untuk membeli faktor produksi dan harga yang benar-benar diterima dari hasil penjualan output. Keunggulan kompetitif lebih sesuai untuk menganalisis kelayakan finansial dari suatu aktivitas. Kelayakan finansial melihat manfaat proyek atau aktivitas ekonomi dari sudut lembaga atau individu yang terlibat dalam aktivitas tersebut, sedangkan analisa ekonomi menilai suatu aktivitas atas manfaat bagi masyarakat secara keseluruhan (Kadariah et.al 1978). Komoditi yang memiliki keunggulan kompetititf dikatakan juga memiliki efisiensi secara finansial. Dengan kata lain konsep keunggulan kompetitif ini didasarkan pada perekonomian yang berada dalam distorsi Pemerintah.
Salah satu faktor untuk mencapai keunggulan kompetitif adalah teknologi, karena dengan adanya kemajuan teknologi, untuk menghasilkan sejumlah output yang sama diperlukan kombinasi pemakaian input yang lebih sedikit. Keadaan ini disebabkan karena produktivitas input yang meningkat dengan kemajuan teknologi tersebut (Sugiarto et al. 2005).
Teori Kebijakan Pemerintah
Kebijakan Pemerintah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan ekspor ataupun sebagai usaha dalam melindungi produk dalam negeri agar dapat bersaing dengan produk luar negeri. Kebijakan yang ditetapkan Pemerintah pada suatu komoditas ada dua bentuk yaitu subsidi dan hambatan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan subsidi negatif (pajak), sedangkan hambatan perdagangan berupa tarif dan kuota. Menurut Monke dan Pearson (1989) perbedaan kebijakan perdagangan dengan subsidi berbeda dalam tiga aspek yaitu pada budget Pemerintah, tipe alternatif kebijakan yang dilakukan, dan tingkat kemampuan penerapan kebijakannya. Beberapa tipe alternatif kebijakan yang dilaksanakan Pemerintah terdapat pada Tabel 7.
Tabel 7 Klasifikasi kebijakan Pemerintah terhadap harga komoditi
Instrumen Dampak Pada
Produsen
Dampak Pada Konsumen Kebijakan Subsidi
1. Tidak merubah harga 2. Merubah harga pasar pasar dalam negeri
Subsidi pada produsen 1. Pada barang-barang substitusi impor (S+PI;S-PI) 2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S+PE; S-PE) Subsidi Pada Konsumen 1. Pada barang-barang substitusi impor (S+CI; S-CI) 2. Pada barang-barang orientasi ekspor (S+CE; S-CE) Kebijakan Perdagangan
(Merubah harga pasar dalam negeri)
Hambatan pada barang
impor (TPI)
Hambatan pada barang ekspor (TCE)
Sumber : Monke and Pearson, 1989 Keterangan :
S+ : Subsidi CE : Konsumen Barang Orientasi Ekspor S- : Pajak CI : Konsumen Barang Substitusi Impor PE : Produsen Barang Orientasi Ekspor TCE : Hambatan Barang Ekspor
PI : Produsen Barang Substitusi Impor TPI : Hambatan Barang Impor
Pada Tabel 7 menunjukan bahwa kebijakan harga dapat dibedakan dalam tiga kriteria. Pertama. tipe instrumen yang berupa subsidi atau kebijakan perdagangan. Kedua kelompok penerima, meliputi produsen atau konsumen, dan ketiga tipe komoditas yang berupa komoditas dapat di impor atau dapat diekspor. 1. Tipe Instrumen
Dalam kebijakan tipe instrumen, dibedakan pengertian antara subsidi dan kebijakan perdagangan. Subsidi adalah pembayaran dari dan atau untuk Pemerintah. Apabila dibayar dari Pemerintah maka disebut subsidi positif, sedangkan apabila dibayar untuk Pemerintah disebut subsidi negatif (pajak). Pada dasarnya, subsidi positif dan negatif bertujuan untuk menciptakan harga domestik agar berbeda dengan harga internasional untuk melindungi konsumen atau produsen dalam negeri.
Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang diterapkan pada impor ekspor suatu komoditas. Pembatasan dapat diterapkan baik terhadap harga komoditas yang diperdagangkan (dengan suatu pajak perdagangan) atau dengan pembatasan jumlah komoditas (dengan kuota perdagangan) untuk menurunkan jumlah yang diperdagangkan secara internasional dan mengendalikan antara harga internasional (harga dunia) dengan harga domestik (harga dalam negeri). Untuk barang yang diimpor misalnya dapat dilakukan dengan menekan tarif per unit (pajak impor) maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi kuantitas yang diimpor dan meningkatkan harga domestik diatas harga internasional. Kebijakan perdagangan ekspor dimaksudkan untuk membatasi jumlah yang diekspor melalui penekanan baik pajak ekspor maupun pembatasan jumlah ekspor sehingga harga domestik lebih rendah bila dibandingkan dengan harga dipasar dunia. Kebijakan subsidi dan perdagangan berbeda dalam tiga aspek. Pertama, yang berimplikasi pada anggaran Pemerintah, kedua berupa alternatif kebijakan dan ketiga adalah kemampuan penerapan.
a. Implikasi Pada Anggaran Pemerintah
Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran Pemerintah, sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran Pemerintah dan subsidi negatif (pajak) akan menambah anggaran Pemerintah.
b. Tipe Alternatif Kebijakan
Ada delapan tipe subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor (PE) dan barang substitusi impor (SI) yaitu :
a. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) b. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) c. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) d. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) e. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) f. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) g. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) h. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE)
Subsidi positif yang diterapkan pada produsen maupun konsumen membuat harga yang diterima menjadi lebih tinggi bagi produsen dan lebih rendah bagi konsumen. Penerapan subsidi negatif (pajak) membuat harga yang diterima produsen lebih rendah, dan jika diterapkan pada konsumen akan menyebabkan harga lebih tinggi. Pada kebijakan perdagangan hanya terdapat dua tipe yaitu hambatan pada barang impor (TPI) dan hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE). Aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang Pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan, sedangkan dampak dari perluasan ekspor atau impor tidak dapat diciptakan oleh kebijakan perdagangan. Negara hanya dapat melakukan subsidi impor atau ekspor dan memperluas perdagangan. c. Tingkat Kemampuan Penerapan
Kebijakan subsidi dapat diterapkan untuk setiap komoditas baik komoditas
tradable maupun komoditas non tradable, sedangkan kebijakan perdagangan
hanya diterapkan untuk barang-barang yang diperdagangkan (tradable). 2. Kelompok Penerima
Kelompok kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah kebijakan dimaksudkan untuk konsumen atau produsen. Subsidi atau kebijakan perdagangan mengakibatkan terjadinya transfer di antara produsen, konsumen dan keuangan Pemerintah. Jika tidak ada kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan, Pemerintah melalui anggarannya harus membayar keseluruhan transfer, ketika produsen memperoleh keuntungan dan konsumen mengalami kerugian, dan sebaliknya ketika konsumen memperoleh keuntungan dan produsen mengalami kerugian. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa keuntungan yang didapatkan oleh satu pihak hanya menjadi pengganti dari kerugian yang dialami pihak lain, tetapi dengan adanya transfer yang diikuti oleh efisiensi ekonomi yang hilang. Maka keuntungan yang diperoleh akan lebih kecil daripada kerugian yang diderita. Oleh karena itu, manfaat yang diperoleh kelompok tertentu (konsumen, produsen atau keuangan Pemerintah) adalah lebih kecil dari jumlah yang hilang dari kelompok yang lain.
3. Tipe Komoditas
Klasifikasi tipe komoditas bertujuan untuk membedakan antara komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Apabila tidak ada
kebijakan harga, maka harga domestik adalah sama dengan harga dipasar internasional, dimana untuk barang yang diekspor digunakan harga fob (harga di pelabuhan ekspor) dan untuk barang yang dapat diimpor digunakan harga cif (harga pelabuhan impor). Kebijakan harga yang ditetapkan pada input dapat berupa kebijakan subsidi baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak) dan kebijakan hambatan perdagangan yang berupa tarif dan kuota.
Kebijakan Pemerintah pada Harga Output
Kebijakan Pemerintah pada output dapat berupa subsidi dan pajak. Kebijakan Pemerintah terhadap output baik berupa subsidi dan pajak dapat diterapkan pada barang ekspor maupun impor. Kebijakan Pemerintah terhadap output dijelaskan dengan menggunakan Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient On Output/NPCO). Dampak dari subsidi positif terhadap produsen dan konsumen pada barang impor terdapat pada Gambar 3.
.
Gambar 3 Dampak subsidi positif terhadap produsen dan konsumen barang impor
Sumber : Monke dan Pearson 1989 Keterangan :
Pw : Harga di pasar internasional Pd : Harga di pasar domestik
Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi PE : Produsen barang orientasi ekspor
PI : Produsen barang substitusi impor CE : Konsumen barang orientasi ekspor CI : Konsumen barang substitusi impor S+ : Subsidi positif
S- : Subsidi negatif (Pajak)
S + PI : Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor S+ PE : Substitusi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor S + CI : Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor S+CE : Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor
Gambar 3(a) merupakan gambar subsidi positif untuk produsen barang impor dimana harga yang diterima oleh produsen domestik lebih tinggi dari harga di pasar internasional. Hal ini menyebabkan output produksi dalam negeri meningkat dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi tetap pada Q3. Harga yang diterima konsumen akan tetap sama dengan harga di pasar dunia. Subsidi ini akan menyebabkan jumlah impor turun dari Q3-Q1 menjadi Q3-Q2. Tingkat subsidi per output sebesar (Pp – Pw) pada output Q2, maka transfer total dari Pemerintah kepada produsen sebesar Q2 x (Pp – Pw) atau PpABPw. Subsidi menyebabkan barang yang seharusnya diimpor menjadi diproduksi sendiri dengan biaya korbanan sebesar Q1CAQ2, sedangkan opportunity cost yang diperoleh jika barang tersebut diimpor adalah sebesar Q1CBQ2. Dengan adanya subsidi tersebut, maka akan terjadi kehilangan efisiensi sebesar CAB. Gambar 3(b) menunjukkan subsidi untuk produsen barang ekspor. Adanya subsidi dari Pemerintah menyebabkan harga yang diterima produsen lebih tinggi dari harga yang berlaku di pasar dunia. Harga yang tinggi berakibat pada peningkatan output produksi dalam negeri dari Q3 ke Q4, sedangkan konsumsi menurun dari Q1 ke Q2 sehingga jumlah ekspor meningkat dari Q3 ke Q4. Tingkat subsidi yang diberikan Pemerintah adalah sebesar GABH.
Gambar 3(c) menunjukkan subsidi positif untuk konsumen untuk output yang diimpor. Kebijakan subsidi sebesar Pw–Pd kepada konsumen menyebabkan produksi menurun dari Q1 menjadi Q2 sedangkan konsumsi akan meningkat dari Q3 menjadi Q4 karena kebijakan subsidi akan merubah harga dalam negeri menjadi lebih rendah. Subsidi ini akan menyebabkan peningkatan impor dari Q3- Q1 menjadi Q4-Q2. Transfer Pemerintah terdiri dari dua bagian, yaitu transfer dari Pemerintah ke konsumen sebesar ABGH dan transfer dari produsen ke konsumen sebesar PwAPd. Dengan demikian akan terjadi kehilangan efisiensi ekonomi pada sisi konsumsi dan produksi. Di sisi produksi, output turun dari Q2 menjadi Q1 menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar Q2FAQ1 atau sebesar Pw x (Q2-Q1), sehingga terjadi inefisiensi ekonomi sebesar AFB. Di sisi konsumsi opportunity cost akibat peningkatan konsumsi adalah sebesar Pw x (Q4
– Q3) atau sebesar Q3EGHQ4 dengan kemampuan membayar konsumen sebesar Q3EHQ4 sehingga terjadi inefisiensi sebesar EGH. Dengan demikian total inefisiensi yang terjadi adalah sebesar AFB dan EGH.
Gambar 3(d) menunjukkan subsidi untuk barang ekspor, pada grafik tersebut harga dunia (Pw) lebih besar dari harga yang diterima produsen (Pp). Harga yang lebih rendah menyebabkan konsumsi barang ekspor menjadi meningkat dari Q1 menjadi Q2. Perubahan ini akan menyebabkan opportunity cost sebesar Pw x (Q2 –Q1) atau area yang sama dengan kemampuan membayar konsumen yaitu Q1CAQ2, dengan inefisiensi yang terjadi yaitu sebesar CBA.
Kebijakan Pemerintah Pada Harga Input
Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable dan input
non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa subsidi positif
dan subsidi negatif (pajak). Sedangkan kebijakan hambatan perdagangan tidak diterapkan pada input domestik (non tradable) karena input non tradable diproduksi dan di konsumsi di dalam negeri.
1. Kebijakan Input Tradable
Kebijakan pada input tradable dapat berupa kebijakan subsidi atau pajak dan kebijakan hambatan perdagangan. Pengaruh subsidi dan pajak pada input
tradable dapat ditunjukan pada Gambar 4. berikut ini :
Gambar 4 Pengaruh pajak dan subsidi pada input tradable Sumber: Monke and Pearson, 1989
Keterangan: S+ : Subsidi S- : Pajak
S – II : Pajak untuk input impor S + II : Subsidi untuk input impor
Pada Gambar 4.a menunjukkan adanya pajak pada input menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga pada tingkat harga output yang sama. output domestik turun dari Q1 ke Q2 dan kurva suplai bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang adalah sebesar ABC, yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q1CA Q2 dengan ongkos produksi dari output Q2BC Q1. Gambar 4.b menggambarkan dampak subsidi input yang menyebabkan harga input lebih rendah dan biaya produksi lebih rendah sehingga kurva suplai bergeser ke kanan bawah dan produksi naik dari Q1 ke Q2. efisiensi ekonomi yang hilang dari produksi adalah sebesar ABC yaitu perbedaan antara biaya produksi yang bertambah dengan meningkatnya output dengan peningkatan nilai input.
2. Kebijakan Input Non Tradable
Kebikan yang berlaku pada input non tradable meliputi kebijakan pajak dan subsidi karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. Sedangkan kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non
tradable. Ilustrasi mengenai dampak kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan
Pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Dampak pajak dan subsidi pada input non tradable Sumber : Monke and Pearson, 1989
Keterangan : S+ : Subsidi S- : Pajak
S – N : Pajak untuk barang non tradable S + N : Subsidi untuk barang non tradable
Pd : Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi Pc : Harga konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi
Pp : Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi
Pada Gambar 5(a) terlihat dengan adanya pajak (PC - PP) menyebabkan produksi yang dihasilkan turun dari Q1 menjadi Q2. Efisiensi ekonomi dari produsen yang hilang sebesar BCA dan dari konsumen yang hilang sebesar DBA. Pada subsidi positif (Gambar 5(b), adanya subsidi menyebabkan produksi meningkat dari Q1 ke Q2. karena harga yang diterima produsen naik menjadi Pp dan harga yang diterima konsumen turun menjadi PC. Kehilangan efisiensi dapat dilihat dari perbandingan antara peningkatan nilai output dengan meningkatnya ongkos produksi dan meningkatnya keinginan konsumen untuk membayar.
Policy Analysis Matrix
Menurut Monke dan Pearson (1989), PAM (Policy Analysis Matrix) adalah alat yang digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi Pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas meliputi empat aktivitas yaitu aktivitas usahatani, penyampaian dari usahatani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran. Metode PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi tiga hal, yaitu analisis keuntungan (Privat dan Sosial), analisis daya saing (keunggulan komparatif dan kompetitif), serta analisis dampak kebijakan Pemerintah. Tujuan utama dari metode PAM adalah (1) memberikan informasi dan analisis untuk membantu pengambi kebijakan pertanian. (2) Menghitung tingkat keuntungan sosial, dihasilkan dengan menilai output dan
social opportunity cost, (3) Menghitung transfer effect sebagai dampak dari
sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan biaya untuk selanjutnya akan kita sebut sebagai budget sebelum dan sesudah penerapan kebijakan kita bisa menentukan dampak dari kebijakan tersebut.
Matrik PAM terdiri dari tiga baris dan empat kolom, dimana baris pertama adalah perhitungan dengan harga privat atau harga aktual untuk mengestimasi keuntungan privat. Keuntungan privat dihitung berdasarkan selisih antara pendapatan dan biaya berdasarkan harga aktual yang mencerminkan nilai-nilai yang dipengaruhi oleh semua kebijakan dan kegagalan pasar. Keuntungan privat dalam angka absolut atau rasio merupakan indikator keuntungan atau daya saing (keunggulan kompetitif) dari usahatani berdasarkan teknologi. nilai output. biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Baris kedua merupakan perhitungan keuntungan ekonomi/sosial berdasarkan harga sosial atau harga bayangan yaitu harga yang menggambarkan nilai ekonomi yang sesungguhnya bagi unsur-unsur biaya dan hasil. dimana efek kebijakan distortif dan kegagalan pasar tidak ada. Baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan baris kedua yang menggambarkan divergensi.
Divergensi akan menggambarkan penyebab perbedaan hasil perhitungan antara perhitungan berdasarkan harga privat dan perhitungan berdasarkan harga sosial. Divergensi dapat disebabkan oleh adanya kegagalan pasar atau kebijakan
Pemerintah. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu
competitiveoutcome dan harga efisiensi. Jenis kegagalan pasar yang umum adalah
monopoli, externality dan pasar faktor produksi domestik yang tidak sempurna. Kebijakan Pemerintah adalah intervensi Pemerintah yang meyebabkan harga pasar berbeda dengan harga efesiensinya. Kebijakan Pemerintah yang dapat menyebabkan divergensi antara lain pajak/subsidi, hambatan perdagangan atau