• Tidak ada hasil yang ditemukan

Data sifat fisik, sebelum dilakukan analisis ragam, dilakukan pengujian asumsi yang meliputi uji kenormalan, kehomogenan data, kebebasan galat dan keaditifan data. Hasil uji asumsi tersebut tidak memenuhi persyaratan analisis ragam, maka data dianalisis secara deskriptif.

Analisis Sifat Fisik

Hasil uji fisik bakso daging itik dengan dan tanpa kulit dari itik yang mengkonsumsi tepung daun beluntas dalam pakannya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Rataan Hasil Uji Sifat Fisik Bakso Daging Itik

Peubah %Beluntas Penambahan kulit 0 1 2 pH Tanpa Kulit 6,22 ± 0,18 6,19 ± 0,38 6,28 ± 0,34 Dengan Kulit 6,21 ± 0,33 6,17 ± 0,18 6,27 ± 0,20 Susut Masak (%) Tanpa Kulit 0,78 ± 0,35 0,98 ± 0,47 0,93 ± 0,26 Dengan Kulit 1,54 ± 0,25 1,74 ± 1,16 1,75 ± 0,65 Kekenyalan (%) Tanpa Kulit 62,19 ± 3,39 61,41 ± 2,09 61,22 ± 3,17 Dengan Kulit 58,99 ± 3,39 59,29 ± 2,79 59,68 ± 6,34

Warna :

Kecerahan (L) Tanpa Kulit 56,65 ± 3,43 55,05 ± 3,47 54,94 ± 1,08 Dengan Kulit 62,04 ± 1,14 60,02 ± 1,53 58,40 ± 2,19

Intensitas Warna Merah (a) Tanpa Kulit 6,34 ± 0,35 6,61 ± 0,41 6,36 ± 0,34 Dengan Kulit 5,70 ± 0,49 5,98 ± 0,74 5,83 ± 0,20 Intensitas Warna Kuning (b) Tanpa Kulit 11,23 ± 2,99 10,87 ± 2,17 9,11 ± 0,53 Dengan Kulit 12,20 ± 1,17 12,74 ± 1,16 11,26 ± 0,18

pH

Nilai pH bakso yang didapat pada penelitian berkisar antara 6,17-6,28. pH bakso yang dihasilkan hampir sama antara bakso yang tanpa kulit dengan bakso yang menggunakan kulit. Nilai pH suatu produk berkaitan dengan nilai pH daging yang digunakan dalam pembuatan produk tersebut (Sianipar, 2003). Menurut Allen et al., (1997) nilai pH daging gelap (itik) berkisar antara 6,08-6,22, nilai pH tersebut hampir sama dengan nilai pH bakso pada penelitian yaitu berkisar antara 6,17-6,28.

Hal tersebut didukung dengan laporan Faelani (2006) bahwa penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 1% dalam pakan rata-rata 6,01-6,50 dan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai pH daging itik, sehingga tidak berbeda juga terhadap nilai pH daging hasil olahannya yaitu bakso.

Daging itik termasuk daging gelap karena sebagian besar komposisinya terdiri atas serat-serat merah. Menurut Lawrie (1995) daging yang terdiri dari serat- serat merah mempunyai pH akhir yang lebih tinggi dan kapasitas buffer asam yang lebih rendah daripada urat-urat daging yang terdiri atas serat-serat putih. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai pH bakso yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pH isoelektrik yaitu 5,2-5,4. Pada saat pH di atas titik isoelektrik maka protein menjadi lebih bermuatan negatif, tingginya muatan negatif akan meningkatkan kekuatan tolak-menolak antara protein di dalam miofilamen yang pada akhirnya akan memudahkan miofibril untuk mengembang dan menahan air (Smith, 2001). Menurut Pearson dan Tauber (1984), perbedaan daya mengikat air diantara setiap individu ternak pada spesies yang sama biasanya berhubungan dengan pH otot. Daya mengikat air akan meningkat jika pH meningkat. Kenaikan atau penurunan pH daging akan menyebabkan penurunan kualitas produk, karena jika pH suatu produk turun maka akan menyebabkan daya mengikat air menjadi turun.

Susut Masak

Susut masak merupakan berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan. Perhitungan susut masak bertujuan untuk mengetahui jumlah kehilangan berat dan jumlah produk yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang baik karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.

Nilai susut masak bakso daging itik berkisar antara 0,78-1,75%. Bakso dengan kulit memiliki susut masak yang lebih tinggi dibandingkan bakso tanpa kulit. Penambahan kulit dapat meningkatkan susut masak, karena menurut Rust (1987), fungsi protein dalam pembuatan bakso yaitu menyelubungi lemak dan mengikat air. Deposit lemak pada unggas berada pada jaringan kulit dan di bagian bawah kulit. Penambahan lemak kulit tanpa disertai dengan jumlah protein yang cukup menyebabkan tidak seluruh partikel lemak dapat terselubungi oleh protein, selebihnya lemak yang tidak terselubungi tersebut akan keluar dari bahan pangan

pada saat proses pemanasan. Menurut Ockerman (1983), pelepasan air yang terjadi disebabkan adanya daya saling menarik dari muatan elektrik positif dan negatif yang menyebabkan protein saling berikatan, sehingga ruangan menjadi sempit yang akhirnya air tidak dapat ditahan di dalam daging dan terdesak keluar. Keadaan ini menyebabkan daya mengikat air jadi rendah.

Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan menyebabkan kenaikan susut masak. Hal ini disebabkan oleh daun beluntas dapat menahan laju oksidasi lemak, sehingga kandungan lemak dalam daging dengan penambahan tepung daun beluntas lebih tinggi. Hasil penelitian Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006), menunjukkan peningkatan asam lemak tidak jenuh dengan penambahan daun beluntas dalam pakan. Kenaikan susut masak ini disebabkan oleh kandungan asam lemak tidak jenuh pada bakso dengan penambahan tepung daun beluntas yang lebih banyak, sehingga saat terjadi proses pemasakan bakso asam lemak tidak jenuh akan keluar lebih banyak. Asam lemak tidak jenuh merupakan asam lemak yang memiliki titik leleh rendah dan bersifat tidak stabil terutama terhadap perbedaan temperatur.

Kekenyalan

Nilai kekenyalan bakso daging itik berkisar antara 58,99-62,19%. Bakso tanpa kulit memiliki kekenyalan yang lebih tinggi dibandingkan bakso dengan kulit. Kekenyalan bakso berkaitan dengan pembentukan gel. Menurut Niwa (1992), yang paling berperan dalam pembentukan gel adalah protein yang berasal dari daging. Protein miofibril terutama miosin yang terekstrak pada saat penggilingan dengan garam berperan besar dalam pembentukan gel. Pembentukan gel pada bakso terjadi karena adanya interaksi antara protein, pati dan air yang dipengaruhi oleh pH, suhu dan konsentrasi larutan garam. Gel protein terbentuk pada saat pemanasan (Smith, 2001). Menurut Winarno (1997), pada saat pemasakan protein miofibril yang terlarut akan membentuk suatu matriks hidrogel sehingga menghasilkan produk yang lebih kenyal. Bakso dengan kulit memiliki kekenyalan yang lebih rendah karena subtitusi kulit mengurangi jumlah daging yang digunakan dalam pembuatan bakso, dengan bertambahnya lemak maka kandungan protein miofibril juga akan semakin berkurang. Selain itu menurut Lukman (1995), kadar lemak yang tinggi melarutkan atau menurunkan kandungan kolagen jaringan ikat.

Berdasarkan hasil penelitian Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006), penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 2% dalam pakan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein daging, jadi daging yang digunakan dalam pembuatan bakso yang berasal dari daging dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan mempunyai kadar protein yang sama, sehingga akan menghasilkan nilai kekenyalan yang sama.

Warna

Warna merupakan salah satu sifat visual yang pertama kali dilihat oleh konsumen, karena warna memberikan suatu kesan disukai atau tidaknya suatu produk.

Nilai L (Lightness) menunjukkan tingkat kecerahan suatu produk. Rentang nilai L dari 0 (gelap) sampai 100 (terang). Semakin tinggi nilai L maka produk semakin cerah. Nilai kecerahan bakso itik berkisar antara 54,94-62,04. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa penggunaan kulit dan tanpa kulit bakso daging itik dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan hampir sama terhadap nilai kecerahan bakso. Nilai kecerahan bakso ditentukan oleh warna daging yang digunakan dan bahan tambahan lain yang digunakan. Bakso dengan kulit memiliki kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan bakso tanpa kulit. Hal ini karena subtitusi kulit dapat menambah kecerahan pada bakso. Menurut Radley (1976) yang dikutip oleh Nashiruddin (2004), kecerahan dapat dipengaruhi oleh pati dalam tepung, namun pada penelitian ini tepung yang digunakan untuk setiap perlakuan jumlahnya sama sehingga tidak berpengaruh terhadap kecerahan bakso.

Nilai a (redness) menunjukkan intensitas warna merah pada suatu produk. Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah sampai hijau. Untuk warna merah dengan nilai +a (positif) dari 0 sampai +100, sedangkan untuk warna hijau dengan nilai –a (negatif) dari 0 sampai -80. Semakin tinggi nilai a maka semakin merah warna produk. Nilai intensitas warna merah bakso itik berkisar antara 5,70- 6,61. Bakso dengan kulit memiliki intensitas warna merah yang lebih rendah. Menurut Kramlich (1971), warna merah pada bakso disebabkan oleh pigmen mioglobin yang terkandung dalam daging. Subtitusi kulit mengurangi jumlah daging, sehingga pigmen mioglobinnya lebih rendah. Pada bakso tanpa kulit terjadi hal yang sebaliknya. Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan tidak memberikan

pengaruh terhadap nilai intensitas warna merah. Pigmen warna merah yang terdapat pada daun beluntas yaitu pigmen anthosianin. Hal ini diduga karena taraf perlakuan yang diberikan relatif rendah, selain itu adanya pigmen lain yang konsentrasinya lebih besar dapat menutupi warna merah yang ditimbulkan oleh pigmen anthosianin tersebut (Winarno, 1997).

Nilai b (yellowness) menunjukkan intensitas warna kuning pada suatu produk. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning sampai biru. Untuk warna kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +100, sedangkan untuk warna biru dengan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70. Semakin tinggi nilai b maka semakin kuning warna produk. Nilai intensitas warna kuning bakso itik berkisar antara 9,11-12,74. Bakso dengan kulit memiliki intensitas warna kuning yang lebih tinggi dibandingkan bakso tanpa kulit. Hal ini karena warna kuning pada bakso berasal dari lemak kulit dan juga lemak daging. Menurut Ketaren (1986), timbulnya warna kuning pada lemak disebabkan oleh adanya pigmen karoten. Subtitusi kulit yang mengandung pigmen karoten memberikan sumbangan yang lebih besar terhadap intensitas warna kuning pada bakso. Penggunaan daun beluntas tidak memberikan pengaruh karena kandungan pigmen karoten yang terkandung dalam tepung daun beluntas yang rendah, sehingga daya serapnya juga cukup rendah. Menurut Hencken (1992) yang dikutip oleh Surai (2001), pada ayam penyerapan dan akumulasi dari pigmen karoten juga rendah, pada broiler pemberian sekitar 83% zeasantin dalam pakan dan yang dikeluarkan hanya sekitar 1,7% zeasantin yang terserap oleh kulit.

Hasil Uji Organoleptik

Hasil uji organoleptik bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit yang diberi penambahan tepung daun beluntas dalam pakan dilakukan oleh 100 orang panelis (mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor) tidak terlatih disajikan pada Tabel 7, sedangkan persentase jumlah panelis yang menerima bakso daging itik disajikan pada Tabel 8.

Warna

Warna mempunyai peranan penting dalam menentukan penerimaan produk pangan dan hasil-hasil pertanian. Warna merupakan salah satu parameter yang

menjadi pertimbangan pertama dalam penerimaan produk pangan salah satunya bakso.

Tabel 7. Hasil Pengujian Organoleptik Bakso Daging Itik

Peubah Penambahan % Beluntas

Kulit 0 1 2

Warna Tanpa Kulit 4,56±1,50b 4,74±1,52b 4,83±1,44b Dengan Kulit 4,03±1,56a 4,14±1,50a 4,59±1,54b Aroma Tanpa Kulit 4,90±1,29d 4,42±1,49b 4,58±1,28bc Dengan Kulit 4,22±1,40a 4,53±1,26b 4,74±1,26cd Tekstur Tanpa Kulit 4,97±1,27de 4,81±1,34ce 5,16±1,28d Dengan Kulit 4,43±1,44b 4,06±1,44a 4,73±1,47c Kekenyalan Tanpa Kulit 4,97±1,37c 4,93±1,43c 5,13±1,21c Dengan Kulit 4,61±1,44b 3,78±1,43a 4,62±1,62b Rasa Tanpa Kulit 5,15±1,37bc 5,00±1,53b 5,47±1,03d Dengan Kulit 4,90±1,59b 4,70±1,51a 5,30±1,25cd Penampakan Umum Tanpa Kulit 4,68±1,32bc 4,76±1,62cd 4,95±1,55d

Dengan Kulit 4,52±1,42b 3,86±1,39a 4,70±1,40bc Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata

(p<0,05).

Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap warna bakso itik tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas pada taraf 0 – 2% didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata, sedangkan bakso itik dengan kulit untuk penambahan tepung daun beluntas 2% nyata (P<0,05) lebih disukai daripada kontrol dan penambahan tepung daun beluntas 1%. Hal ini karena bakso yang menggunakan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% mempunyai warna yang lebih gelap. Menurut Andayani (1999), konsumen cenderung menyukai bakso berwarna abu-abu pucat. Bakso dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% mempunyai nilai kesukaan panelis yang sama dengan yang tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%. Hal ini karena penambahan tepung daun beluntas akan meningkatkan nilai kegelapan dari bakso. Menurut Kochhar (1993), reaksi oksidasi dari suatu bahan pangan akan menyebabkan kerusakan pigmen yang ada dalam bahan pangan tersebut. Warna bakso dapat juga dipengaruhi oleh jenis dan jumlah daging yang digunakan. Lukman (1995) menyatakan, bahwa perubahan

warna daging pada produk bakso disebabkan pada proses pemasakan terjadi reaksi degradasi dan denaturasi komponen daging dan bermacam pigmen terutama mioglobin. Jumlah panelis yang menerima warna bakso daging itik tanpa kulit dengan atau tanpa penambahan tepung daun beluntas didapatkan hasil di atas 60%, sedangkan untuk bakso itik dengan kulit semakin tinggi level pemberian tepung daun beluntas, maka jumlah penelis yang menerima semakin banyak.

Tabel 8. Persentase Jumlah Panelis yang Menerima Bakso Daging Itik*

Peubah Penambahan % Beluntas

Kulit 0 1 2

---%---

Warna Tanpa Kulit 63 63 63

Dengan Kulit 44 46 53

Aroma Tanpa Kulit 67 49 60

Dengan Kulit 46 52 61

Tekstur Tanpa Kulit 73 68 76

Dengan Kulit 53 42 65

Kekenyalan Tanpa Kulit 70 68 77

Dengan Kulit 61 34 62

Rasa Tanpa Kulit 72 70 85

Dengan Kulit 63 64 77

Penampakan Umum Tanpa Kulit 60 60 71

Dengan Kulit 58 36 63

Keterangan : *) Skala hedonik di atas 5

Aroma

Pembauan disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium bau atau aroma makanan tersebut dari jarak jauh (Soekarto, 1985). Menurut Winarno (1997), aroma lebih banyak dipengaruhi oleh indera penciuman. Aroma bakso dapat dipengaruhi oleh senyawa volatil, zat yang ada di dalam daging dan bahan-bahan selain daging. Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap aroma bakso itik tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 1% sama dengan 2%, sedangkan untuk bakso dengan kulit yang ditambah tepung daun beluntas dalam pakan 1 dan 2% nyata (p<0,05) lebih disukai daripada kontrol. Bakso tanpa kulit tanpa penambahan tepung

daun beluntas kurang disukai karena tidak adanya zat antioksidan akan menyebabkan lemak dalam bakso mengalami oksidasi, sehingga menimbulkan bau anyir yang lebih tinggi. Jumlah panelis yang menerima aroma bakso daging itik tanpa kulit tanpa pemberian daun beluntas lebih tinggi yaitu sebesar 67% , sedangkan untuk bakso itik dengan kulit semakin tinggi level pemberian tepung daun beluntas, maka jumlah penelis yang menerima semakin banyak. Menurut Andayani (1999), konsumen lebih menyukai aroma daging rebus pada bakso sapi.

Tekstur

Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur bakso itik tanpa kulit kontrol tidak berbeda dengan penambahan tepung daun beluntas 1% dan 2%, sedangkan untuk bakso dengan kulit yang ditambahkan tepung daun beluntas dalam pakan 2% nyata (P<0,05) lebih disukai daripada kontrol dan 1%. Hal ini karena pada bakso tanpa kulit memiliki kandungan lemak yang sedikit dan persentase daging yang sama, sehingga persentase protein di dalam bakso tanpa kulit juga sama. Untuk bakso dengan kulit penambahan tepung daun beluntas 2% akan mencegah terjadi oksidasi, sehingga emulsi yang dihasilkan antara lemak, protein dan air masih baik. Penggunaan kulit akan menyebabkan berkurangnya nilai kesukaan dari tekstur bakso itik yang dihasilkan. Hal ini karena persentase daging bakso tanpa kulit lebih banyak, sehingga terjadinya emulsi dan daya mengikat air dari protein daging itik dengan air, lemak dan tepung serta bahan-bahan lainnya menjadi lebih baik dan dihasilkan tekstur yang lebih kompak. Menurut Forrest et al., (1975), tekstur daging masak mempengaruhi penampakan dan memberikan kesan sensori yang dihubungkan dengan kekompakan, kesan pada saat dimakan atau digigit. Jumlah panelis yang menerima tekstur bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 76%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 65%. Menurut Andayani (1999), konsumen lebih menyukai bakso yang kompak dengan tekstur yang halus.

Kekenyalan

Kekenyalan dapat diukur berdasarkan keelastisannya ketika ditekan diantara ibu jari dan telunjuk. Pembentukan kekenyalan berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan kemampuan pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin, campuran dengan lemak, gula, garam dan pati (Moedjiharto, 2003). Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan bakso itik tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 0 – 2% tidak berbeda nyata, hal ini karena kandungan protein yang ada di dalam bakso tanpa kulit sama, sehingga tingkat kekenyalan yang dihasilkan sama. Untuk bakso dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% nyata (P<0,05) lebih disukai dari pada kontrol maupun penambahan tepung daun beluntas 1%. Hal ini karena kandungan lemak dalam bakso dengan kulit dengan penambahan 2% tidak mengalami oksidasi, sehingga kelarutan protein miosin masih baik. Menurut Kochhar (1993), oksidasi lipid dalam bahan pangan akan menyebabkan protein menjadi tidak larut. Kelarutan protein yang baik akan menyebabkan daya emulsi antara lemak, protein, dan air yang dihasilkan lebih baik sehingga bakso yang dihasilkan menjadi lebih kenyal. Jumlah panelis yang menerima kekenyalan bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 77%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 62%. Standar Nasional Indonesia 01-3818-1995 mensyaratkan bahwa bakso yang baik mempunyai nilai kekenyalan yang cukup.

Rasa

Rasa bakso dipengaruhi oleh daging, bumbu-bumbu dan bahan-bahan yang ditambahkan selama proses pengolahan. Hasil uji statistik tingkat kesukaan panelis terhadap rasa bakso itik tanpa kulit dengan taraf 2% berbeda dengan kontrol dan 1%, sedangkan untuk bakso dengan kulit yang ditambahkan tepung daun beluntas dalam pakan 2% nyata (p<0,05) lebih disukai dari pada kontrol dan penambahan tepung daun beluntas 1%. Adanya zat antioksidan dalam pakan akan mengurangi kerusakan dari flavor yang dihasilkan (Kochhar, 1993), bakso tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% lebih disukai karena adanya zat anti oksidan yang

menghambat proses oksidasi. Untuk bakso dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% kandungan lemaknya lebih banyak, sehingga saat terjadi pemasakan akan terbentuk senyawa volatil pembentuk rasa yang lebih banyak. Menurut Lawrie (1995), rasa dari daging yang dimasak banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak serta terbentuknya komponen volatil yang terdapat dalam daging. Komponen-komponen senyawa volatil yang berperan terhadap rasa daging yang dihasilkan terutama adalah senyawa bersulfur. Senyawa bersulfur berperan dalam memberikan bau dan rasa daging (meaty). Jumlah panelis yang menerima rasa bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 85%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 77%. Menurut Sunarlim (1992), umumnya ada tiga macam rasa yang sangat menentukan kesukaan konsumen terhadap bakso, yaitu tingkat keasinan, rasa daging dan tingkat kegurihan yang ditentukan oleh kadar garam dan kadar daging. Konsumen lebih menyukai rasa daging pada bakso dan tidak menyukai rasa pati.

Penampakan Umum

Penampakan secara umum merupakan salah satu penilaian secara visual dan menjadi pertimbangan konsumen dalam penerimaan suatu produk pangan. Penampakan umum merupakan kesimpulan dari beberapa faktor yang saling mempengaruhi dan sulit dipisahkan satu dengan yang lain, seperti warna, bentuk, kesan tekstur halus atau kasar dan lain sebagainnya. Permukaan bakso yang tidak berlubang, tidak basah atau tidak berlendir dan tidak kasar lebih disukai oleh konsumen. Hasil uji statistik pada bakso tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 1% sama dengan kontrol dan penambahan tepung daun beluntas 2%, sedangkan untuk bakso yang menggunakan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% nyata (P<0,05) lebih disukai daripada kontrol dan penambahn tepung daun beluntas 1%. Hal ini karena bakso tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% memilki tingkat kesukaan terhadap warna, tekstur dan kekenyalan yang lebih tinggi, begitu pula dengan bakso yang dengan kulit. Penampakan umum berkolerasi dengan warna, tekstur dan kekenyalan. Semakin tinggi nilai warna,

tekstur dan kekenyalan maka semakin tinggi pula nilai penampakan umum yang dihasilkan. Jumlah panelis yang menerima tekstur bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 71%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 63%.

Dokumen terkait