• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Itik Dengan dan Tanpa Kulit dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas (Pluchea Indica L.) dalam Pakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Itik Dengan dan Tanpa Kulit dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas (Pluchea Indica L.) dalam Pakan"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK

DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG DAUN BELUNTAS

(Pluchea indica L.)

DALAM PAKAN

SKRIPSI

YANUAR ARIANSAH

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

RINGKASAN

YANUAR ARIANSAH. 2008. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Itik dengan dan Tanpa Kulit dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas (Plucea indica L.) dalam Pakan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Niken Ulupi, MS Pembimbing Anggota : Ir. Rukmiasih, MS

Daging itik merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang masih kurang diminati, lain halnya dengan daging sapi, daging kambing maupun daging ayam, hal ini disebabkan daging itik mempunyai bau yang tak sedap (anyir). Bau daging itik ini menurut Hustiyani (2001), disebabkan oleh komponen volatil yang berasal dari hasil oksidasi lemak. Reaksi ini diakibatkan oleh adanya asam lemak tidak jenuh. Daging itik mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan daging ayam. Menurut Apriyantono (2001), reaksi oksidasi lemak dapat dicegah dengan adanya antioksidan. Beluntas merupakan tanaman herbal yang mengandung zat antioksidan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan organoleptik bakso itik yang dibuat dari daging itik dengan dan tanpa kulit yang berasal dari pemeliharaan dengan pemberian tepung daun beluntas yang berbeda dalam pakan. Sifat fisik yang dipelajari adalah pH, daya mengikat air, susut masak, kekerasan dan kekenyalan serta warna. Palatabilitas diamati melalui uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok pola Faktorial 3 x 2 dengan dua kelompok. Faktor pertama adalah konsentrasi penambahan tepung daun beluntas dalam pakan, yaitu 0%, 1%, dan 2%. Faktor kedua adalah penggunaan bahan baku bakso yaitu dengan dan tanpa kulit itik. Sebagai kelompok adalah waktu pemotongan itik yang berbeda

(3)

ABSTRACT

Physical and Organoleptic Properties of Meatball, With and Without Skin From Duck With Addition of Beluntas Leaf Powder in Feed

Ariansah, Y., N. Ulupi, Rukmiasih

Duck meat has undesire odor. The effort that is used to reduce it, is by adding beluntas leaf meal in feed. Howefer, the physical properties of product from duck meat like meatball need to be learned. The purpose of this research is to figure the effect of adding beluntas leaf meal in feed diet and with or without skin addition of duck meat on physical properties (pH, cooking loss, toughness and color) of duck meatball. This research is used 72 layer duck and given additional beluntas leaf meal (0%, 1% and 2%) to their feed and the treatment was given for eleven weeks. The results were interpreted with descriptive analysis. The result of pH, toughness, lightness, yellowness and redness intensity of duck meatball with beluntas leaf powder addition in diet were almost similar, but the persentage of cooking loss were decreased. Physical properties of meatball (pH, loss cooking, color and toughness) very depended from meat were used. The result of organoleptic test showed that meatball with 2% beluntas leaf powder addition were increased on all of parameters.

(4)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK

DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG DAUN BELUNTAS

(Pluchea indica L.)

DALAM PAKAN

YANUAR ARIANSAH

D14203073

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK

DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG DAUN BELUNTAS

(Pluchea indica L.)

DALAM PAKAN

Oleh

YANUAR ARIANSAH

D14203073

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 23 Januari 2008

Pembimbing Utama

Ir. Niken Ulupi, MS NIP. 131 284 604

Pembimbing Anggota

Ir. Rukmiasih, MS NIP. 131 284 605

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Januari 1984 di Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan bapak Saim dan ibu S. Tin Soyah.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN 07 Pagi Jakarta (1991-1997), pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTPN 186 Jakarta (1997-2000), dan pendidikan lanjutan menengah di SMUN 84 Jakarta (2000-2003). Penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003.

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Itik dengan dan Tanpa Kulit dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas (Plucea indica L.) dalam Pakan”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penyusunan karya ilmiah ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi dalam dunia peternakan. Penulis menyadarai sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga karya tulis ini menjadi lebih baik.

Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusun karya ilmiah ini, hanya Allah SWT Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amal shaleh Amin.

Bogor, Februari 2008

(8)
(9)
(10)

DAFTAR TABEL

Nomor 1.

2.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pengaruh Level Pemberian Tepung Beluntas dalam Pakan terhadap Kadar Protein dan Kadar Lemak Daging Itik Afkir Berkulit Segar ….. Kandungan Asam Lemak pada Daging Itik Afkir Berkulit yang Diberi Tepung Daun Beluntas pada Pakan Selama Tujuh Minggu ………….. Persentase Kadar Lemak Daging Itik ……… Komposisi Nilai Gizi dalam Daging Itik ... Formulasi Bakso Penelitian ………... Nilai Rataan Hasil Uji Sifat Fisik Bakso Daging Itik ……… Hasil Pengujian Organoleptik Bakso Daging Itik ………... Persentase Jumlah Panelis yang Menerima ………...

Halaman

(11)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK

DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG DAUN BELUNTAS

(Pluchea indica L.)

DALAM PAKAN

SKRIPSI

YANUAR ARIANSAH

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

RINGKASAN

YANUAR ARIANSAH. 2008. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Itik dengan dan Tanpa Kulit dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas (Plucea indica L.) dalam Pakan. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Niken Ulupi, MS Pembimbing Anggota : Ir. Rukmiasih, MS

Daging itik merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang masih kurang diminati, lain halnya dengan daging sapi, daging kambing maupun daging ayam, hal ini disebabkan daging itik mempunyai bau yang tak sedap (anyir). Bau daging itik ini menurut Hustiyani (2001), disebabkan oleh komponen volatil yang berasal dari hasil oksidasi lemak. Reaksi ini diakibatkan oleh adanya asam lemak tidak jenuh. Daging itik mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan daging ayam. Menurut Apriyantono (2001), reaksi oksidasi lemak dapat dicegah dengan adanya antioksidan. Beluntas merupakan tanaman herbal yang mengandung zat antioksidan.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik dan organoleptik bakso itik yang dibuat dari daging itik dengan dan tanpa kulit yang berasal dari pemeliharaan dengan pemberian tepung daun beluntas yang berbeda dalam pakan. Sifat fisik yang dipelajari adalah pH, daya mengikat air, susut masak, kekerasan dan kekenyalan serta warna. Palatabilitas diamati melalui uji hedonik terhadap warna, aroma, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok pola Faktorial 3 x 2 dengan dua kelompok. Faktor pertama adalah konsentrasi penambahan tepung daun beluntas dalam pakan, yaitu 0%, 1%, dan 2%. Faktor kedua adalah penggunaan bahan baku bakso yaitu dengan dan tanpa kulit itik. Sebagai kelompok adalah waktu pemotongan itik yang berbeda

(13)

ABSTRACT

Physical and Organoleptic Properties of Meatball, With and Without Skin From Duck With Addition of Beluntas Leaf Powder in Feed

Ariansah, Y., N. Ulupi, Rukmiasih

Duck meat has undesire odor. The effort that is used to reduce it, is by adding beluntas leaf meal in feed. Howefer, the physical properties of product from duck meat like meatball need to be learned. The purpose of this research is to figure the effect of adding beluntas leaf meal in feed diet and with or without skin addition of duck meat on physical properties (pH, cooking loss, toughness and color) of duck meatball. This research is used 72 layer duck and given additional beluntas leaf meal (0%, 1% and 2%) to their feed and the treatment was given for eleven weeks. The results were interpreted with descriptive analysis. The result of pH, toughness, lightness, yellowness and redness intensity of duck meatball with beluntas leaf powder addition in diet were almost similar, but the persentage of cooking loss were decreased. Physical properties of meatball (pH, loss cooking, color and toughness) very depended from meat were used. The result of organoleptic test showed that meatball with 2% beluntas leaf powder addition were increased on all of parameters.

(14)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK

DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG DAUN BELUNTAS

(Pluchea indica L.)

DALAM PAKAN

YANUAR ARIANSAH

D14203073

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

(15)

SIFAT FISIK DAN ORGANOLEPTIK BAKSO DAGING ITIK

DENGAN DAN TANPA KULIT DENGAN PENAMBAHAN

TEPUNG DAUN BELUNTAS

(Pluchea indica L.)

DALAM PAKAN

Oleh

YANUAR ARIANSAH

D14203073

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 23 Januari 2008

Pembimbing Utama

Ir. Niken Ulupi, MS NIP. 131 284 604

Pembimbing Anggota

Ir. Rukmiasih, MS NIP. 131 284 605

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Januari 1984 di Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara, dari pasangan bapak Saim dan ibu S. Tin Soyah.

Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN 07 Pagi Jakarta (1991-1997), pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTPN 186 Jakarta (1997-2000), dan pendidikan lanjutan menengah di SMUN 84 Jakarta (2000-2003). Penulis diterima sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003.

(17)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “ Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Itik dengan dan Tanpa Kulit dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas (Plucea indica L.) dalam Pakan”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penyusunan karya ilmiah ini merupakan wujud peran aktif dan kontribusi dalam dunia peternakan. Penulis menyadarai sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga karya tulis ini menjadi lebih baik.

Tak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang turut membantu penyusun karya ilmiah ini, hanya Allah SWT Yang Maha Pemurah dan Penyayang yang akan membalasnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dalam dunia pendidikan dan peternakan serta menjadi catatan amal shaleh Amin.

Bogor, Februari 2008

(18)
(19)
(20)

DAFTAR TABEL

Nomor 1.

2.

3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pengaruh Level Pemberian Tepung Beluntas dalam Pakan terhadap Kadar Protein dan Kadar Lemak Daging Itik Afkir Berkulit Segar ….. Kandungan Asam Lemak pada Daging Itik Afkir Berkulit yang Diberi Tepung Daun Beluntas pada Pakan Selama Tujuh Minggu ………….. Persentase Kadar Lemak Daging Itik ……… Komposisi Nilai Gizi dalam Daging Itik ... Formulasi Bakso Penelitian ………... Nilai Rataan Hasil Uji Sifat Fisik Bakso Daging Itik ……… Hasil Pengujian Organoleptik Bakso Daging Itik ………... Persentase Jumlah Panelis yang Menerima ………...

Halaman

(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor 1. 2.

Proses Oksidasi Lipid pada Bahan Pangan …...………. Tanaman Beluntas dan Tepung Daun Beluntas ……….

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Proses Pembuatan Bakso Daging Itik ……… Format Uji Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Penampakan Umum… Format Uji Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Warna, Aroma, Tekstur, Kekenyalan dan Rasa ... Komposisi Nutrisi Tepung Daun Beluntas dan Pakan dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas 1% dan 2% ……….. Uji Kruskal-Wallis Warna Bakso Itik ……… Uji Kruskal-Wallis Aroma Bakso Itik ………... Uji Kruskal-Wallis Tekstur Bakso Itik ……….. Uji Kruskal-Wallis Kekenyalan Bakso Itik ………... Uji Kruskal-Wallis Rasa Bakso Itik …...……… Uji Kruskal-Wallis Penampakan Umum Bakso Itik ……….. Uji Banding Rataan Rangking Warna Bakso Itik ………. Uji Banding Rataan Rangking Aroma Bakso Itik ……….. Uji Banding Rataan Rangking Tekstur Bakso Itik ……… Uji Banding Rataan Rangking Kekenyalan Bakso Itik ……….. Uji Banding Rataan Rangking Rasa Bakso Itik …...……….. Uji Banding Rataan Rangking Penampakan Umum Bakso Itik ………

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Itik merupakan unggas air penghasil telur dan daging. Akan tetapi produk yang biasanya diambil dari itik adalah telur. Sumber daging itik sebagian besar berasal dari itik betina afkir. Ketersediaan daging itik dapat juga dipenuhi melalui pemeliharaan itik jantan yang selama ini dipelihara sebagai pejantan berubah fungsi menjadi itik pedaging.

Daging itik merupakan salah satu bahan pangan sumber protein hewani yang masih kurang diminati, lain halnya dengan daging sapi, daging kambing maupun daging ayam, hal ini disebabkan oleh daging itik mempunyai bau yang tak sedap (anyir).

Bau daging itik ini menurut Hustiyani (2001), disebabkan oleh komponen volatil yang berasal dari hasil oksidasi lemak. Reaksi ini diakibatkan oleh adanya asam lemak tidak jenuh. Daging itik mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan daging ayam. Menurut Apriyantono (2001), reaksi oksidasi lemak dapat dicegah dengan adanya antioksidan. Beluntas merupakan tanaman herbal yang mengandung zat antioksidan. Tanaman ini merupakan tanaman obat asli Indonesia yang daunnya dapat digunakan untuk mengurangi bau busuk pada mulut dan atau keringat. Berdasarkan manfaat yang ada tersebut dan kemudahan mendapatkannya, diharapkan daun beluntas dapat digunakan sebagai pakan pada ternak itik yang dapat mengurangi bau amisnya.

Usaha peningkatan daya terima masyarakat terhadap daging itik terus dikembangkan. Salah satunya adalah dengan pembuatan bakso itik. Bakso merupakan produk emulsi yang mempunyai bentuk yang khas dan banyak disukai masyarakat. Penggunaan kulit diharapkan dapat memaksimalkan hasil produk dari pemotongan itik. Kualitas dari bakso antara lain ditentukan oleh sifat fisik daging, hal ini meliputi: pH, susut masak, kekenyalan dan warna serta uji organoleptik.

Tujuan

(24)
(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Itik

Itik merupakan salah satu unggas air yang termasuk kelas Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub-famili Anatinae, tribus Anatini dan Genus Anas (Srigandono, 1996). Salah satu yang termasuk genus anas adalah itik lokal Indonesia. Itik lokal Indonesia hampir seluruhnya merupakan keturunan dari bangsa itik Indian Runner, yang merupakan bangsa itik terkenal sebagai penghasil telur (Samosir,

1984).

Itik digolongkan menjadi tiga jenis yaitu itik petelur, itik ornamental dan itik pedaging. Itik petelur dipelihara untuk diperoleh telurnya, itik ornamental dipelihara sebagai itik hias dan itik pedaging dipelihara untuk diambil dagingnya. Peternakan itik pedaging belum sepopuler peternakan itik petelur, karena itu pada umumnya kebutuhan akan daging itik di pasaran dipenuhi dari itik petelur afkir atau hasil penggemukan itik jantan (Srigandono, 1996).

Daging Itik

Daging unggas merupakan sumber protein hewani yang baik, karena mengandung asam amino essensial yang lengkap dengan perbandingan jumlah yang baik (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Faktor yang menentukan kelezatan dan daya terima daging yang dikonsumsi adalah warna, daya mengikat air oleh protein daging, kadar juiciness, tekstur, keempukan, flavor, citarasa dan pH (Soeparno, 1992).

(26)

Tekstur daging merupakan faktor penting dalam menentukan kualitas daging. Tekstur otot dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu tekstur kasar dan tekstur halus (Lawrie, 1995). Menurut Forrest et al., (1975), otot yang berukuran kecil akan menghasilkan daging dengan penampilan yang halus dan empuk, sebaliknya otot yang semakin besar akan menghasilkan daging yang berpenampilan kasar dan liat. Meningkatnya umur mengakibatkan peningkatan ukuran diameter otot. Menurut Sudjatinah (1998), itik pada umur tua (afkir) memiliki ukuran diameter serabut otot dada yang lebih besar dan lebih keras daripada entog pada umur yang sama.

Itik dapat dikembangkan sebagai penghasil daging alternatif seperti daging ayam. Akan tetapi, daging itik kurang disukai konsumen karena dagingnya yang keras, liat, berbau amis dan berwarna merah (Hustiany, 2001). Menurut Apriyantono (1992), bau amis pada daging itik disebabkan oleh lemak yang terdapat didalamnya. Kandungan lemak banyak ditemukan pada bagian kulit. Sebagai unggas air, itik memiliki kulit yang tebal. Perlemakan pada unggas sebagian besar menyebar di bawah kulit, tebalnya kulit itik antara lain disebabkan oleh penyebaran lemak di bawahnya (Rukmiasih dan Tjakradidjaja, 2006).

Kulit dan Lemak Itik

Menurut Judoamidjojo et al. (1979), secara topografis kulit terdiri dari tiga bagian yaitu, daerah krupon meliputi kira-kira 55% dari seluruh kulit, yang susunan seratnya relatif paling padat dan merata. Daerah leher dan kepala meliputi kira-kira 23% dari seluruh kulit yang memiliki tenunan yang lebih longgar dibandingkan dengan daerah krupon. Daerah perut, paha dan ekor meliputi kira-kira 22% dari seluruh kulit. Secara histologis kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu, lapisan epidermis yang terdiri dari protein keratin. Lapisan korium atau kutis (derma) tersusun dari serat-serat pengikat yaitu kolagen, elastin dan retikular. Lapisan subkutis atau hipodermis yang terdiri dari serat-serat elastin, susunannya longgar dan terdapat tenunan lemak serta merupakan tempat penimbunan lemak.

(27)

Tabel 3. Persentase Kadar Lemak Daging Itik

Sampel Paha Dada

Berkulit Tanpa Kulit Berkulit Tanpa Kulit

---%---Segar 12,21 4,16 9,46 1,53

Freeze dried 39,41 15,94 29,74 6,33

Sumber : Hustiany (2001)

Bagian hipodermis pada kulit unggas merupakan tempat penimbunan lemak. Lemak merupakan salah satu golongan zat-zat selain protein, karbohidrat yang diperoleh melalui konsumsi pakan. Kerusakan lemak yang utama adalah timbulnya proses ketengikan yang disebabkan oleh aksi oksigen terhadap lemak. Lemak terdiri dari asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh lebih reaktif dibandingkan asam lemak jenuh (Kochhar, 1993). Menurut Stadelman et al., (1988) kandungan asam lemak jenuh, tidak jenuh tunggal dan tidak jenuh ganda pada ayam berturut-turut sebesar 29,9, 44,7 dan 21,0 gram per 100 gram daging dan kulit yang dapat dimakan, sedangkan pada itik masing-masing sebasar 33,3, 49,4 dan 13,0 gram per 100 gram daging dan kulit yang dapat dimakan. Asam lemak tidak jenuh yang banyak terdapat pada daging unggas dapat dengan mudah membentuk komponen volatil hasil oksidasi lipid yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan flavor.

Oksidasi Lemak

(28)

Tahapan terminasi ini terjadi ketika konsentrasi oksigen pada permukaan lipid rendah. Adapun tahap-tahap reaksi oksidasi adalah sebagai berikut :

Inisiasi : RH R* + H

Menurut Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006), bau amis pada daging itik ditentukan oleh komponen-komponen volatil yang terdapat pada daging. Komponen volatil daging itik berasal dari hasil oksidasi lipid. Oksidasi komponen bahan pangan akan menyebabkan kepada kerusakan vitamin, pigmen, flavor, dan aroma, serta protein menjadi tidak larut. Menurut Hustiany (2001), faktor yang dapat mempercepat oksidasi lipid yaitu jumlah asam lemak tidak jenuh, logam, dan panas, sedangkan faktor yang dapat menghambat oksidasi lipid adalah antioksidan. Oksidasi bahan pangan akan menyebabkan kerusakan kepada vitamin, pigmen, flavor dan aroma serta protein menjadi tidak larut (Kochhar, 1993).

Gambar 1. Proses Oksidasi Lipid pada Bahan Pangan (Kochhar, 1993) Asam Lemak atau Lipid pada Bahan Pangan

Oksigen

Cahaya, panas, pro - oksidan Enzim (seperti lipoksigenase) Hidroperoksida

Pemecahan

Polimerisasi (warna gelap) yang menghasilkan senyawa toksik Produk sekunder dan tersier seperti

aldehid, keton, lakton, furan, asam, alkohol, dan hidrokarbon yang dapat menyebakan off-flavor dan off-odor, kerusakan asam lemak esensial, pencoklatan

Oksidasi komponen bahan pangan yang akan membawa kepada kerusakan vitamin, pigmen, flavor dan aroma serta protein menjadi tidak larut

Asam Lemak atau Lipid pada Bahan Pangan

Hidroperoksida

(29)

Beluntas (Pluchea indica)

Beluntas adalah tanaman herba/perdu yang ditemukan di seluruh Asia Tenggara (India, Malaysia ke Taiwan) dan Cina Selatan (Indo-China). Di Indonesia tanaman ini tumbuh pada ketinggian 800 m di atas permukaan laut dan di tempat yang terkena sinar matahari. Beluntas mempunyai percabangan yang banyak, berusuk halus, berambut lembut. Daun bertangkai pendek, letak berseling, helai daun terulur sungsang, ujung bulat melancip, tepi bergerigi lemah atau kasar, berkelenjar, panjang 2.5-9 cm dan lebar 1-1.5 cm. Warnanya hijau terang sampai hijau tua, jika diremas menimbulkan bau yang harum, panjang tangkai daun 4-8 mm, tulang daun menyirip, pada permukaan di atas dan bawah daun tidak licin, berambut cukup rapat (Heyne, 1987).

Gambar 2. Tanaman Beluntas dan Tepung Daun Beluntas.

Menurut Asiamaya (2003), klasifikasi tanaman beluntas, termasuk kelas Magnoliophyta, sub-kelas Asteridae, ordo Asterales, famili Asteraceae, genus

Pluchea cass dan spesies Pluchea Indica L. Daun beluntas secara tradisional

(30)

Kandungan antioksidan dalam daun beluntas yaitu senyawa flavonoid, vitamin C dan β-karoten masing-masing sebesar 3,75%; 9,25 mg/100g dan 2,552 mg/100g (Rukmiasih dan Tjakradidjaja, 2006). Menurut Buhler dan Miranda (2000), asupan per hari flavonoid sebagai antioksidan antara 50-800 mg, asupan ini terbilang lebih tinggi dibandingkan dengan vitamin C, vitamin E dan karotenoid masing-masing sebesar 70 mg, 7-10 mg dan 2-3 mg.

Pengaruh Tepung Daun Beluntas terhadap Daging Itik

Penambahan tepung daun beluntas dalam pakan itik dengan konsentrasi yang berbeda didapatkan hasil yang hampir sama, sedangkan kadar lemak yang dihasilkan semakin meningkat, seperti terlihat Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Level Pemberian Tepung Beluntas dalam Pakan terhadap Kadar Protein dan Kadar Lemak Daging Itik Afkir Berkulit Segar

Level Pemberian Tepung Daun Beluntas Peubah yang

Sumber : Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006)

Penambahan tepung daun beluntas pada pakan itik menyebabkan peningkatan kandungan asam lemak tidak jenuh pada daging itik, seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan Asam Lemak pada Daging Itik Afkir Berkulit yang Diberi Tepung Daun Beluntas pada Pakan Selama Tujuh Minggu.

(31)

Bakso

Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging ternak tidak kurang dari 50% dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan (Standar Nasional Indonesia, 1995). Menurut Soekarto (1990), bakso diperkirakan berasal dari Cina yang dibawa oleh perantau Cina ke Indonesia. Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri atas empat tahap, yaitu (1) penghancuran daging, (2) pembuatan adonan, (3) pencetakan dan (4) pemasakan.

Bahan Utama

Daging merupakan bahan utama yang digunakan dalam pembuatan bakso. Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut, yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 1992). Nilai gizi dalam daging itik disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi Nilai Gizi dalam Daging Itik.

Peubah Bagian Daging Itik + Kulit Daging Itik

--- % ---

Kadar Air Paha 66,53 73,31

Dada 68,17 75,82

Kadar Abu Paha 1,03 1,14

Dada 1,13 1,22

Kadar Protein Paha 12,17 16,70

Dada 18,61 18,43

Kadar Lemak Paha 12,21 4,16

Dada 9,46 1,53

Sumber : Hustiany (2001)

(32)

Bahan Pengisi

Bahan pengisi merupakan fraksi bukan daging yang ditambahkan dalam pembuatan bakso. Penggunaan bahan pengisi dalam adonan bakso berdasarkan SNI 01-3818-1995 maksimum 50% dari berat daging. Jumlah bahan pengisi mempengaruhi sifat fisik, kimia dan palatabilitas bakso (Pandisurya, 1983). Penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk meningkatkan daya mengikat air, memperkecil penyusutan dan menekan biaya produk (Sunarlim, 1992). Bahan pengisi yang biasa digunakan pada pembuatan bakso adalah tepung tapioka dan sagu aren (Pandisurya, 1983). Hasil penelitian Gaffar (1998) menunjukkan, bahwa penggunaan jenis tepung yang berbeda baik sagu maupun tapioka pada bakso daging unggas tidak berpengaruh terhadap komposisi kimia bakso, palatabilitas, sifat fisik dan kecerahan warna bakso.

Bahan Tambahan

Garam Dapur (NaCl)

Penambahan garam dimaksudkan untuk memperbaiki sifat-sifat fungsional produk daging dengan (1) mengekstrak protein miofibril dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, (2) Berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matrik yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk (Schmidt,1988). Peningkatan konsentrasi garam dapur yang digunakan akan meningkatkan daya mengikat air pada bakso. Daya mengikat air dapat mempengaruhi mutu bakso. Daging dengan daya mengikat air tinggi menyebabkan rendemen tinggi dan tekstur bakso menjadi baik. Sebaliknya daging dengan daya mengikat air rendah menghasilkan rendemen rendah dan teksturnya kurang baik (Sunarlim, 1992).

Es atau Air Es

(33)

Bumbu-bumbu

Bumbu adalah suatu bahan yang ditambahkan dalam komposisi produk daging untuk memperbaiki citarasa produk. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan mutu, meningkatkan citarasa dari produk yang dihasilkan serta sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Bumbu-bumbu tersebut terdiri dari campuran rempah-rempah, biasanya ditambahkan dalam bentuk tepung, minyak atsiri atau oleoresin (Kramlich, 1971).

Sodium Tripolifosfat (STPP)

Menurut Soeparno (1992), Sodium Tripolifosfat (STPP) merupakan tipe fosfat yang umum digunakan dalam produk daging karena dapat berfungsi untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi pengerutan daging, menghambat ketengikan oksidatif bersama-sama asam askorbat dan dapat memperbaiki tekstur dari produk. Elviera (1988) menyatakan, bahwa STPP berfungsi juga sebagai pengembang dan dapat meningkatkan rendemen, kekerasan, kekompakan dan kekenyalan bakso yang dibuat.

Garam NPS (Nitrit Pokeln Salt)

Garam NPS atau sendawa, yang merupakan campuran dari garam dapur (NaCl) dan nitrit (NaNO2) dengan perbandingan 99,5% dan 0,5% digunakan untuk

mempertahankan warna asli daging. Garam nitrit ini digunakan pada pembuatan produk olahan daging paling banyak 15,7 gram/100 kg (Hill, 1991). Selain untuk mempertahankan warna, garam nitrit juga berfungsi sebagai antioksidan, agen citarasa, mempercepat proses curing dan mencegah berkembangnya mikroba (Soeparno, 1992).

Pembuatan Bakso

(34)
(35)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2006, bertempat di Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan dan Laboratorium Kimia Pangan (SEAFAST) Center, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Itik yang digunakan adalah itik betina afkir yang berumur 12 bulan sebanyak 72 ekor yang berasal dari daerah Cirebon. Pakan yang diberikan adalah pakan komersial produksi PT Japfa Comfeed Indonesia dengan kode produksi Par-L1 serta tepung daun beluntas.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah campuran daging dada dan paha serta kulit itik yang berasal dari pemeliharaan dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan, tepung tapioka, susu skim, gula pasir, garam dapur, STPP, sendawa, lada halus, bawang putih bubuk dan es batu.

Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso antara lain peralatan memasak, timbangan, thermometer, meat grinder, food processor, freezer. Alat yang digunakan dalam uji fisik adalah pH meter, rheoner, chromameter, sedangkan alat yang digunakan untuk uji organoleptik adalah piring kertas, sendok, garpu, pisau, gelas, kertas kuisioner, kertas tissue dan label.

Rancangan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola Faktorial 3 x 2 dengan dua kelompok. Faktor pertama adalah konsentrasi penambahan tepung daun beluntas dalam pakan, yaitu 0%, 1%, dan 2%. Faktor kedua adalah penggunaan bahan baku bakso yaitu dengan dan tanpa kulit itik. Sebagai kelompok adalah perbedaan rataan bobot badan awal itik yaitu kelompok bobot badan kecil dan besar.

(36)

Data sifat fisik dianalisis ragam, sebelumnya dilakukan uji asumsi yang meliputi uji kenormalan, kehomogenan, kebebasan galat dan keaditifan. Bila uji analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey’s untuk membedakan perlakuan yang satu dengan yang lain (Steel dan Torrie 1995). Data uji organoleptik dianalisis dengan uji non parametrik Kruskall-Wallis (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Jika diantara perlakuan terdapat perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan Multiple Comparison of Means Ranks (Daniel, 1990). Model rancangannya sebagai berikut:

│ Ri – Rj │≤ Z [ K(N+1) / 6 ] 0,5

Jika │Ri – Rj │lebih dari Z [ K(N+1) / 6 ] 0,5, maka perbedaan Ri dan Rj adalah nyata pada taraf Z = 0,05.

Keterangan:

Ri = nilai rataan perlakuan ke-i (i = 0, 1 dan 2%) Rj = nilai rataan perlakuan ke-j (j = 1 dan 2) K = jumlah level dalam perlakuan

N = jumalah total data

Z = Nilai Z untuk perbandingan lebih dari dua rata-rata

Prosedur Pembuatan Tepung Daun Beluntas

Daun beluntas diambil sekitar 30-50 cm dari ujung atas tanaman, kemudian daun dipisahkan dari batangnya dan dilayukan selama dua hari pada suhu kamar, kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60 0C selama lima jam. Daun yang telah kering digiling sampai halus menjadi tepung daun beluntas dan dikemas ke dalam kantung plastik tertutup.

Pemeliharaan Itik

(37)

pekan sebanyak 100g/ekor/hari yang dberikan pada pagi sebanyak 50 g/hari dan sore hari 50 g/hari.

Pemotongan Itik

Sebelum dilakukan pemotongan, itik dipuasakan selama 12 jam. Pemotongan dilakukan pada bagian arteri karotis, vena jugularis, trakhea dan esofagus kemudian didiamkan sampai darah tidak menetes. Pencabutan bulu dilakukan sebelum proses pengeluaran jeroan. Daging bagian dada dan paha dari karkas kemudian disimpan dalam freezer. Selanjutnya, dilakukan proses pemisahan daging dari tulang.

Pembuatan Bakso

Formulasi bakso yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Formulasi Bakso Penelitian

Bahan-bahan Tanpa Kulit Dengan Kulit

Gram % Gram %

Daging Itik 300 61,50 210 43,05 Kulit Itik 0 0 90 18,45

Bahan Tambahan*)

Tepung tapioka 36 7,38 36 7,38 Susu Skim 24 4,92 24 4,92 Garam Dapur 9,6 1,97 9,6 1,97 Gula Pasir 4,5 0,92 4,5 0,92 STPP 0,6 0,12 0,6 0,12 Sendawa 0,6 0,12 0,6 0,12 Bawang Putih Bubuk 4,5 0,92 4,5 0,92 Lada Halus 3 0,62 3 0,62 Es Batu 105 21,53 105 21,53 Total 487,2 100 487,2 100 Sumber: *) Sianipar (2003)

(38)

bumbu dan 1/3 bagian es batu dan digiling kembali selama tiga menit. Tepung tapioka, susu skim dan 1/3 bagian es batu dimasukkan terakhir dan digiling kembali selama tiga menit. Adonan bakso kemudian dibentuk bulatan secara manual dan direbus selama 15 menit pada suhu 75 0C. Bakso yang telah matang kemudian ditiriskan, didinginkan dan ditimbang.

Pengukuran Peubah

pH (AOAC, 1995)

Pengujian pH bakso dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Sampel bakso diambil sebanyak 10 gram dan digiling, ditambahkan aquades sebanyak 100 ml kemudian dihomogenkan dengan mixer. Setelah homogen, larutan tersebut diukur pH-nya dengan alat pH meter.

Susut Masak (Ockerman, 1983)

Susut masak menunjukkan banyaknya air dan lemak yang hilang selama pemasakan. Bakso mentah ditimbang, dimasak lalu ditimbang kembali susut masak diperoleh dengan menggunakan rumus:

Pengukuran kekenyalan bakso dilakukan dengan alat Rheoner RE 3305 dengan plunger berbentuk silinder berdiameter 4 cm terhadap 5 cm sampel bakso. Sampel diletakkan pada posisi horizontal dengan arah pergerakan plunger. Pengukuran dilakukan dengan dua penekanan. Penekanan pertama sampai bakso tepat akan pecah, bakso pada alat akan bekerja menarik kembali penekanan secara otomatis, penekanan kedua respon kekenyalan ditampilkan dalam bentuk grafik. Nilai kekenyalan yang dihasilkan merupakan perbandingan nilai puncak grafik pertama dengan satuan persen. Nilai kekenyalan dihitung sebagai berikut:

Kekenyalan (%) =

gf 2

gf 1 x 100% gf 1 = tekanan pertama

(39)

Warna (Hutchings, 1999).

Pengukuran warna dilakukan menggunakan alat Chromameter CR 300 Minolta. Sampel diletakkan pada cawan petri dengan alas putih. Sampel diratakan sampai seluruh permukaan cawan tertutup. Pengukuran dilakukan pada dua posisi yang berbeda dan dua kali untuk tiap sampel. Pengukuran intensitas warna menggunakan metode Hunter (L, a, b). Alat ini menggunakan sistem warna L, a dan b. Nilai L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap) hingga 100 (terang), sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma, nilai a untuk warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif) dan nilai b untuk warna biru (b negatif) sampai kuning (b positif).

Sifat Organoleptik (Amerine et al., 1985)

(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Data

Data sifat fisik, sebelum dilakukan analisis ragam, dilakukan pengujian asumsi yang meliputi uji kenormalan, kehomogenan data, kebebasan galat dan keaditifan data. Hasil uji asumsi tersebut tidak memenuhi persyaratan analisis ragam, maka data dianalisis secara deskriptif.

Analisis Sifat Fisik

Hasil uji fisik bakso daging itik dengan dan tanpa kulit dari itik yang mengkonsumsi tepung daun beluntas dalam pakannya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Rataan Hasil Uji Sifat Fisik Bakso Daging Itik

Peubah %Beluntas

(41)

Hal tersebut didukung dengan laporan Faelani (2006) bahwa penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 1% dalam pakan rata-rata 6,01-6,50 dan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai pH daging itik, sehingga tidak berbeda juga terhadap nilai pH daging hasil olahannya yaitu bakso.

Daging itik termasuk daging gelap karena sebagian besar komposisinya terdiri atas serat merah. Menurut Lawrie (1995) daging yang terdiri dari serat-serat merah mempunyai pH akhir yang lebih tinggi dan kapasitas buffer asam yang lebih rendah daripada urat-urat daging yang terdiri atas serat-serat putih. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa nilai pH bakso yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan pH isoelektrik yaitu 5,2-5,4. Pada saat pH di atas titik isoelektrik maka protein menjadi lebih bermuatan negatif, tingginya muatan negatif akan meningkatkan kekuatan tolak-menolak antara protein di dalam miofilamen yang pada akhirnya akan memudahkan miofibril untuk mengembang dan menahan air (Smith, 2001). Menurut Pearson dan Tauber (1984), perbedaan daya mengikat air diantara setiap individu ternak pada spesies yang sama biasanya berhubungan dengan pH otot. Daya mengikat air akan meningkat jika pH meningkat. Kenaikan atau penurunan pH daging akan menyebabkan penurunan kualitas produk, karena jika pH suatu produk turun maka akan menyebabkan daya mengikat air menjadi turun.

Susut Masak

Susut masak merupakan berat yang hilang (penyusutan berat) selama pemasakan. Perhitungan susut masak bertujuan untuk mengetahui jumlah kehilangan berat dan jumlah produk yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Daging dengan susut masak yang rendah mempunyai kualitas yang baik karena kehilangan nutrisi selama pemasakan akan lebih sedikit.

(42)

pada saat proses pemanasan. Menurut Ockerman (1983), pelepasan air yang terjadi disebabkan adanya daya saling menarik dari muatan elektrik positif dan negatif yang menyebabkan protein saling berikatan, sehingga ruangan menjadi sempit yang akhirnya air tidak dapat ditahan di dalam daging dan terdesak keluar. Keadaan ini menyebabkan daya mengikat air jadi rendah.

Penggunaan tepung daun beluntas dalam pakan menyebabkan kenaikan susut masak. Hal ini disebabkan oleh daun beluntas dapat menahan laju oksidasi lemak, sehingga kandungan lemak dalam daging dengan penambahan tepung daun beluntas lebih tinggi. Hasil penelitian Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006), menunjukkan peningkatan asam lemak tidak jenuh dengan penambahan daun beluntas dalam pakan. Kenaikan susut masak ini disebabkan oleh kandungan asam lemak tidak jenuh pada bakso dengan penambahan tepung daun beluntas yang lebih banyak, sehingga saat terjadi proses pemasakan bakso asam lemak tidak jenuh akan keluar lebih banyak. Asam lemak tidak jenuh merupakan asam lemak yang memiliki titik leleh rendah dan bersifat tidak stabil terutama terhadap perbedaan temperatur.

Kekenyalan

(43)

Berdasarkan hasil penelitian Rukmiasih dan Tjakradidjaja (2006), penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 2% dalam pakan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein daging, jadi daging yang digunakan dalam pembuatan bakso yang berasal dari daging dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan mempunyai kadar protein yang sama, sehingga akan menghasilkan nilai kekenyalan yang sama.

Warna

Warna merupakan salah satu sifat visual yang pertama kali dilihat oleh konsumen, karena warna memberikan suatu kesan disukai atau tidaknya suatu produk.

Nilai L (Lightness) menunjukkan tingkat kecerahan suatu produk. Rentang nilai L dari 0 (gelap) sampai 100 (terang). Semakin tinggi nilai L maka produk semakin cerah. Nilai kecerahan bakso itik berkisar antara 54,94-62,04. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa penggunaan kulit dan tanpa kulit bakso daging itik dengan penambahan tepung daun beluntas dalam pakan hampir sama terhadap nilai kecerahan bakso. Nilai kecerahan bakso ditentukan oleh warna daging yang digunakan dan bahan tambahan lain yang digunakan. Bakso dengan kulit memiliki kecerahan yang lebih tinggi dibandingkan bakso tanpa kulit. Hal ini karena subtitusi kulit dapat menambah kecerahan pada bakso. Menurut Radley (1976) yang dikutip oleh Nashiruddin (2004), kecerahan dapat dipengaruhi oleh pati dalam tepung, namun pada penelitian ini tepung yang digunakan untuk setiap perlakuan jumlahnya sama sehingga tidak berpengaruh terhadap kecerahan bakso.

(44)

pengaruh terhadap nilai intensitas warna merah. Pigmen warna merah yang terdapat pada daun beluntas yaitu pigmen anthosianin. Hal ini diduga karena taraf perlakuan yang diberikan relatif rendah, selain itu adanya pigmen lain yang konsentrasinya lebih besar dapat menutupi warna merah yang ditimbulkan oleh pigmen anthosianin tersebut (Winarno, 1997).

Nilai b (yellowness) menunjukkan intensitas warna kuning pada suatu produk. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran kuning sampai biru. Untuk warna kuning dengan nilai +b (positif) dari 0 sampai +100, sedangkan untuk warna biru dengan nilai –b (negatif) dari 0 sampai -70. Semakin tinggi nilai b maka semakin kuning warna produk. Nilai intensitas warna kuning bakso itik berkisar antara 9,11-12,74. Bakso dengan kulit memiliki intensitas warna kuning yang lebih tinggi dibandingkan bakso tanpa kulit. Hal ini karena warna kuning pada bakso berasal dari lemak kulit dan juga lemak daging. Menurut Ketaren (1986), timbulnya warna kuning pada lemak disebabkan oleh adanya pigmen karoten. Subtitusi kulit yang mengandung pigmen karoten memberikan sumbangan yang lebih besar terhadap intensitas warna kuning pada bakso. Penggunaan daun beluntas tidak memberikan pengaruh karena kandungan pigmen karoten yang terkandung dalam tepung daun beluntas yang rendah, sehingga daya serapnya juga cukup rendah. Menurut Hencken (1992) yang dikutip oleh Surai (2001), pada ayam penyerapan dan akumulasi dari pigmen karoten juga rendah, pada broiler pemberian sekitar 83% zeasantin dalam pakan dan yang dikeluarkan hanya sekitar 1,7% zeasantin yang

terserap oleh kulit.

Hasil Uji Organoleptik

Hasil uji organoleptik bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit yang diberi penambahan tepung daun beluntas dalam pakan dilakukan oleh 100 orang panelis (mahasiswa Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor) tidak terlatih disajikan pada Tabel 7, sedangkan persentase jumlah panelis yang menerima bakso daging itik disajikan pada Tabel 8.

Warna

(45)

menjadi pertimbangan pertama dalam penerimaan produk pangan salah satunya bakso.

Tabel 7. Hasil Pengujian Organoleptik Bakso Daging Itik

Peubah Penambahan % Beluntas

Kulit 0 1 2

Warna Tanpa Kulit 4,56±1,50b 4,74±1,52b 4,83±1,44b Dengan Kulit 4,03±1,56a 4,14±1,50a 4,59±1,54b Aroma Tanpa Kulit 4,90±1,29d 4,42±1,49b 4,58±1,28bc Dengan Kulit 4,22±1,40a 4,53±1,26b 4,74±1,26cd Tekstur Tanpa Kulit 4,97±1,27de 4,81±1,34ce 5,16±1,28d Dengan Kulit 4,43±1,44b 4,06±1,44a 4,73±1,47c Kekenyalan Tanpa Kulit 4,97±1,37c 4,93±1,43c 5,13±1,21c Dengan Kulit 4,61±1,44b 3,78±1,43a 4,62±1,62b Rasa Tanpa Kulit 5,15±1,37bc 5,00±1,53b 5,47±1,03d Dengan Kulit 4,90±1,59b 4,70±1,51a 5,30±1,25cd Penampakan Umum Tanpa Kulit 4,68±1,32bc 4,76±1,62cd 4,95±1,55d

Dengan Kulit 4,52±1,42b 3,86±1,39a 4,70±1,40bc Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata

(p<0,05).

(46)

warna daging pada produk bakso disebabkan pada proses pemasakan terjadi reaksi degradasi dan denaturasi komponen daging dan bermacam pigmen terutama mioglobin. Jumlah panelis yang menerima warna bakso daging itik tanpa kulit dengan atau tanpa penambahan tepung daun beluntas didapatkan hasil di atas 60%, sedangkan untuk bakso itik dengan kulit semakin tinggi level pemberian tepung daun beluntas, maka jumlah penelis yang menerima semakin banyak.

Tabel 8. Persentase Jumlah Panelis yang Menerima Bakso Daging Itik*

Peubah Penambahan % Beluntas

Kulit 0 1 2

---%---

Warna Tanpa Kulit 63 63 63

Dengan Kulit 44 46 53

Aroma Tanpa Kulit 67 49 60

Dengan Kulit 46 52 61

Tekstur Tanpa Kulit 73 68 76

Dengan Kulit 53 42 65

Kekenyalan Tanpa Kulit 70 68 77

Dengan Kulit 61 34 62

Rasa Tanpa Kulit 72 70 85

Dengan Kulit 63 64 77

Penampakan Umum Tanpa Kulit 60 60 71

Dengan Kulit 58 36 63

Keterangan : *) Skala hedonik di atas 5

Aroma

(47)

daun beluntas kurang disukai karena tidak adanya zat antioksidan akan menyebabkan lemak dalam bakso mengalami oksidasi, sehingga menimbulkan bau anyir yang lebih tinggi. Jumlah panelis yang menerima aroma bakso daging itik tanpa kulit tanpa pemberian daun beluntas lebih tinggi yaitu sebesar 67% , sedangkan untuk bakso itik dengan kulit semakin tinggi level pemberian tepung daun beluntas, maka jumlah penelis yang menerima semakin banyak. Menurut Andayani (1999), konsumen lebih menyukai aroma daging rebus pada bakso sapi.

Tekstur

(48)

Kekenyalan

Kekenyalan dapat diukur berdasarkan keelastisannya ketika ditekan diantara ibu jari dan telunjuk. Pembentukan kekenyalan berkaitan dengan daya elastisitas dan berhubungan dengan kemampuan pengikatan air oleh pati dan kelarutan protein miosin, campuran dengan lemak, gula, garam dan pati (Moedjiharto, 2003). Hasil analisis statistik tingkat kesukaan panelis terhadap kekenyalan bakso itik tanpa kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 0 – 2% tidak berbeda nyata, hal ini karena kandungan protein yang ada di dalam bakso tanpa kulit sama, sehingga tingkat kekenyalan yang dihasilkan sama. Untuk bakso dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% nyata (P<0,05) lebih disukai dari pada kontrol maupun penambahan tepung daun beluntas 1%. Hal ini karena kandungan lemak dalam bakso dengan kulit dengan penambahan 2% tidak mengalami oksidasi, sehingga kelarutan protein miosin masih baik. Menurut Kochhar (1993), oksidasi lipid dalam bahan pangan akan menyebabkan protein menjadi tidak larut. Kelarutan protein yang baik akan menyebabkan daya emulsi antara lemak, protein, dan air yang dihasilkan lebih baik sehingga bakso yang dihasilkan menjadi lebih kenyal. Jumlah panelis yang menerima kekenyalan bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 77%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 62%. Standar Nasional Indonesia 01-3818-1995 mensyaratkan bahwa bakso yang baik mempunyai nilai kekenyalan yang cukup.

Rasa

(49)

menghambat proses oksidasi. Untuk bakso dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2% kandungan lemaknya lebih banyak, sehingga saat terjadi pemasakan akan terbentuk senyawa volatil pembentuk rasa yang lebih banyak. Menurut Lawrie (1995), rasa dari daging yang dimasak banyak ditentukan oleh prekursor yang larut dalam air dan lemak serta terbentuknya komponen volatil yang terdapat dalam daging. Komponen-komponen senyawa volatil yang berperan terhadap rasa daging yang dihasilkan terutama adalah senyawa bersulfur. Senyawa bersulfur berperan dalam memberikan bau dan rasa daging (meaty). Jumlah panelis yang menerima rasa bakso daging itik tanpa kulit dan dengan kulit dengan penambahan tepung daun beluntas 2%, mempunyai jumlah penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bakso tanpa penambahan tepung daun beluntas dan dengan penambahan tepung daun beluntas 1%. Jumlah penerimaan untuk bakso tanpa kulit sebesar 85%, sedangkan bakso dengan kulit sebesar 77%. Menurut Sunarlim (1992), umumnya ada tiga macam rasa yang sangat menentukan kesukaan konsumen terhadap bakso, yaitu tingkat keasinan, rasa daging dan tingkat kegurihan yang ditentukan oleh kadar garam dan kadar daging. Konsumen lebih menyukai rasa daging pada bakso dan tidak menyukai rasa pati.

Penampakan Umum

(50)
(51)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Perlakuan penambahan kulit dan tanpa dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas sampai taraf 2% dalam pakan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai pH, kekenyalan dan warna (kecerahan, intensitas warna merah dan intensitas warna kuning) bakso daging itik. Penambahan tepung daun beluntas dalam pakan dapat meningkatkan susut masak bakso daging itik.

Berdasarkan hasil uji hedonik, bakso tanpa kulit dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas 2% dalam pakan meningkatkan kesukaan panelis terhadap warna, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum bakso, tetapi tidak terhadap aroma. Bakso daging itik dengan penambahan kulit dengan perlakuan penambahan tepung daun beluntas 2% dalam pakan meningkatkan kesukaan panelis terhadap warna, aroma, tekstur, kekenyalan, rasa dan penampakan umum bakso daging itik.

Saran

(52)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga sahabat dan umatnya yang tetap istiqomah berada dijalanNya.

Pertama, penulis ucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda Saim dan Ibunda S. Tin Soyah serta kakak-kakakku Euis Nurliana Soraya, Saptadji Adi Kusuma S.H, Dian Harri Permana S.Pt, adikku Sofyan Hadi dan kakak iparku Iin Farida beserta anandanya Sayyida Nafisa Permana yang telah mencurahkan kasih sayang, doa, dan dorongan semangat yang tiada henti.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada ibu Ir. Niken Ulupi, MS. selaku pembimbing utama dan ibu Ir. Rukmiasih, MS. selaku pembimbing anggota atas bimbingan, saran dan perhatian yang telah diberikan pada penulis selama penyusunan karya tulis ini. Terimakasih kepada ibu Ir. B. N. Polii, S.U dan bapak Ir. Abdul Djamil H., MS. sebagai dosen penguji sidang yang telah memberikan saran dan masukkan terhadap skripsi ini. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada bapak Ir. Sudjana Natasasmita selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan perhatian yang telah diberikan selama kuliah.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan lab unggas (Windy, Astri, Maya, Luki, Adit, Rinni, Nina, Aldina, Aif, Anggoro), teknisi dan laboran bagian IPT unggas terima kasih atas kerjasama dan bantuan selama penelitian. Teman-teman T’9 (Aep, Nana, Kardi, Arif, Try, Rudi, Wiwit dan Bogi) yang telah memberikan perhatian dan semangat yang lebih. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman THT’40, Wisma Rawyd, Wisma Dolpin, gradasi_crew rohis THT40, F3 community, serta saudara-saudaraku di TAPAK-PAGI ANABA 2005 atas tausiyah, dukungan, nasihat serta kasih sayang yang diberikan. Tak lupa untuk my Team (Pa Yusfan, Dekri, Denny dan Sauqi).

Terakhir penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Allen, C. D., Russell, S. M., and Fletcher, D. L. 1997. Spoilage bacteria associated with poultry. In: Sams, A. R. (Ed.). Poultry Meat Procesing. CRC Press, USA.

Amerine M. A., R. M. Pangborn and E. Roeslan. 1985. Principle of Sensory Evaluation of Food. Academic Press, New York.

Andayani, R. Y. 1999. Standarisasi mutu bakso berdasarkan kesukaan konsumen (studi kasus bakso di wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Apriyantono, A. 1992. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.

Apriyantono, A. 2001. Off-flavour pada daging unggas. Lokakarya Nasional Unggas Air. Ciawi, Bogor. Hal 58-71

Ardiansyah. 2005. Daun beluntas sebagai bahan antibakteri dan antioksidan. http:// www. beritaiptek.com. [15/02/2007].

Asiamaya. 2003. Beluntas. http:// www. Asiamaya.com/jamu/index jamuinfo.html. [7/03/2004].

Association of Official Analitical Chemistry (AOAC). 1995. Official Methods of Analysis Assosiciation of Official Analitical Chemistry, Washington D. C. Buhler, D.R. dan Miranda, C. 2000. Antioxidant activities of flavonoids.

Departement of Environmental and Molecular Toxicology Oregon State University. http://lpi.oregonstate.edu/f-w00/flavonoid. html. (13 Mei 2006). Daniel, W.W. 1990. Statistik Nonparametrik Terapan. Gramedia Pustaka Utama.

Jakarta.

Elviera, G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Faelani, I. 2006. Flavor dan sifat fisik daging itik jantan yang pakannya diberi penambahan tepung daun beluntas (Pluchea indica l.). Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Forrest, J. C., E.D. Aberle, H.B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel.1975. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fracisco.

(54)

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Vol III. Terjemahan Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Hill, M. J. 1991. Nitrates and Nitrites in Food and Water. Ellis Horwood. Ltd., London.

Hustiany, R. 2001. Identifikasi dan karakterisasi komponen off-odor pada daging itik. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hutchings, J. B. 1999. Food Color and Appearance. 2nded. A Chapman and Hall Food Science Book, an Aspen Publ. Gaithersburg. Maryland.

Indrarmono, T.P. 1987. Pengaruh lama pelayuan dan jenis daging karkas serta jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan terhadap sifat fisik-kimia bakso sapi. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Judoamidjojo, R.M., Fahidin, dan Basuki. 1979. Komoditi Kulit di Indonesia. Departemen Teknologi Hasil Pertanian, Bogor.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Kochhar, S. P. 1993. Oxidative Pathway to Taints and Off-flavours. In:M. J. Saxby (Ed.). New York: Food Taints and Off-flavours. Blackie Academic and Prof. Kramlich, W. E. 1971. Sausage Product. In The Science of Meat and Meat Products.

J. F. Price and B. S. Schweigert (Ed.). W. H. Freeman and Co. p:485.

Lawrie, R.A. 1995. Ilmu Daging. Edisi kelima. Terjemahan: Parakkasi, A dan Y. Amwila. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Lukman, H. 1995. Perbedaan karakteristik daging karkas dan olahannya antara itik afkir dan ayam petelur afkir. Thesis. Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Mattjik, A.A. dan Sumertajaya, M. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I. Edisi

kedua. IPB Press. Bogor.

Moedjiharto, T.J. 2003. Evaluasi fisikokimia sosis tempe-dumbo. J. Teknologi dan Industri Pangan. 16(2) : 164-168.

Mountney, G.J. 1976. Poultry Product and Technology. 2nded. The AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut.

(55)

Nashiruddin, R. 2004. Kualitas fisik, kimia dan organoleptik sosis kelinci dengan penggunaan bahan pengikat dan pengisi yang berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Niwa, E. 1992. Chemistry of surimi gelation. In: Lanier, T. C and C. M. Lee. (Ed.). Surimi Technology. Marcell Dekker, USA.

Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Edition. Departement of Animal Science. The Ohio State University and The Ohio Agriculture Research and Development Center, Ohio.

Pandisurya, C. 1983. Pengaruh jenis daging dan penambahan tepung terhadap mutu bakso. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Pearson, A. M. and F. W. Tauber. 1984. Processed Meats. The AVI publishing Co, Inc. Westport, Conecticut.

Pisula, A. 1984. Meat Processing. FAO Rome, Italy.

Rukmiasih dan A.S. Tjakradidjaja. 2006. Upaya menurunkan lemak penyebab off-flavor pada daging itik melalui pemberian tepung daun beluntas (Pluchea indica l.) dalam pakan. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rust, R. E. 1987. Sausage product. In: Price, J. F and B. S. Schweigrt (Ed.). The

Science of Meat and Meat Product. 3rded. Food and nutrition Press, West Port, Connecticut.

Samosir, D.J. 1984. Ilmu Ternak Itik. Gramedia, Jakarta.

Schmidt, G.R. 1988. Processing. In World Animal Science. Edited by. H. R. Cross and A. J. Overbay. Elsevier Science Publisher, Netherland.

Setiyanto, R. D. 2005. Persentase bagian-bagian tubuh itik jantan lokal umur 10 minggu dengan penambahan tepung daun beluntas (Pluchea indica L.) dalam pakan. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sianipar, D. P. 2003. Meningkatkan daya guna daging itik dan daging entog melalui pemanfaatan sebagai bahan pembuatan sosis. Thesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana.

Smith, D. M. 2001. Functional properties of muscle proteins in processed poultry product. In: Sams, A. R. (Ed.). Poultry Meat Processing. CRC Press, USA. Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. PT.

(56)

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi daging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Srigandono, B. 1996. Beternak Itik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Stadelman, W.J., V.M. Olson, G.A. Shemwell dan S. Pasch. 1988. Egg and

Poultry-Meat Processing. Ellis Horwood Ltd., England.

Standar Nasional Indonesia 01-3818-1995. Bakso Daging. Dewan Standarisasi Indonesia, Jakarta.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi Kedua. Terjemahan : Sumantri B. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sudjatinah. 1998. Pengaruh lama pelayuan terhadap sifat-sifat fisik dan penampilan histologis jaringan otot dada dan paha pada itik dan entog. Thesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana.

Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripolifosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Surai, P.F. 2001. Natural Antioxidants In Avian Nutrition and Reproduction. Nothingham University Press, Nothingham, UK.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

(57)
(58)

Lampiran 1. Proses Pembuatan Bakso Daging Itik

Dibentuk bulatan Penyimpanan 30 menit

Daging

Penggilingan I 3 Menit

Es 35g, Garam 9,6g, Gula Pasir 4,5g,

STPP 0,3% Es 35g,

Bawang Putih 4,5g, Lada Halus 3g

Es 35g, Tepung Tapioka 36g,

Susu Skim 24g

Dimasak 15 menit 75oC

Bakso matang Penggilingan II 3 Menit

(59)

Lampiran 2. Format Uji Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Penampakan

• Sampel dihadapan anda adalah bakso daging itik dan anda diharapkan untuk mengisi kolom yang tersedia dengan tanda silang (X) sesuai dengan pilihan anda

• Peubah yang diujikan meliputi Penampakan Umum

Kode Sampel Sangat

Lampiran 3. Format Uji Tingkat Kesukaan Panelis terhadap Warna, Aroma, Tekstur, Kekenyalan dan Rasa

Uji Hedonik

Nama : No Hp/Telp :

Jenis Sampel : Tanggal Pengujian :

Petunjuk Pengisian

• Sampel dihadapan anda adalah bakso daging itik dan anda diharapkan untuk mengisi kolom yang tersedia dengan tanda silang (X) sesuai dengan pilihan anda

• Peubah yang diujikan meliputi Warna, Aroma, Tekstur, Kekenyalan dan Rasa.

(60)

Lampiran 4. Komposisi Nutrisi Tepung Daun Beluntas dan Pakan dengan Penambahan Tepung Daun Beluntas 1% dan 2%

Komposisi TDB*) Pakan

Rumiasih dan Tjakradidjaja (2006) TDB = Tepung Daun Beluntas

Lampiran 5. Uji Kruskal-Wallis Warna Bakso Itik

Perlakuan N Median Rank Z Lampiran 6. Uji Kruskal-Wallis Aroma Bakso Itik

(61)

Lampiran 7. Uji Kruskal-Wallis Tekstur Bakso Itik

Perlakuan N Median Rank Z

BODK 100 5 269,4 -1,97

BOTK 100 5 332,2 2,01

B1DK 100 4 225,2 -4,76

B1TK 100 5 313,1 0,80

B2DK 100 5 306,1 0,36

B2TK 100 6 357,0 3,57

Total 600 300,5

H = 36,69 DF = 5 P = 0,000

H = 39,14 DF = 5 P = 0,000 (dilakukan uji lanjut)

Lampiran 8. Uji Kruskal-Wallis Kekenyalan Bakso Itik

Perlakuan N Median Rank Z

BODK 100 5 296,9 -0,23

BOTK 100 5 331,0 1,93

B1DK 100 3 198,6 -6,44

B1TK 100 5 327,9 1,73

B2DK 100 5 298,8 -0,11

B2TK 100 6 349,9 3,12

Total 600 300,5

H = 48,34 DF = 5 P = 0,000

H = 51,28 DF = 5 P = 0,000 (dilakukan uji lanjut) Lampiran 9. Uji Kruskal-Wallis Rasa Bakso Itik

Perlakuan N Median Rank Z

BODK 100 5 285,0 -0,98

BOTK 100 6 309,0 0,54

B1DK 100 5 254,0 -2,94

B1TK 100 5 295,2 -0,33

B2DK 100 6 321,5 1,33

B2TK 100 6 338,2 2,38

Total 600 300,5

H = 14,53 DF = 5 P = 0,013

(62)

Lampiran 10. Uji Kruskal-Wallis Penampakan Umum Bakso Itik

Perlakuan N Median Rank Z

BODK 100 5 292,8 -0,49

BOTK 100 5 306,9 0,40

B1DK 100 4 216,9 -5,28

B1TK 100 5 324,7 1,53

B2DK 100 5 312,8 0,78

B2TK 100 5 348,9 3,09

Total 600 300,5

H = 33,86 DF = 5 P = 0,000

H = 35,44 DF = 5 P = 0,000 (dilakukan uji lanjut)

Lampiran 11. Uji Banding Rataan Rangking Warna Bakso Itik

Ri-Ri' |Ri-Ri'| Beda Z [K(N+1)/6]0,5

B0TK vs B1TK 9,9 < 25,74

B0TK vs B2TK 18,4 < 25,74

B0TK vs B0DK 67,1* > 25,74 B0TK vs B1DK 56,4* > 25,74 B0TK vs B2DK 4,9 < 25,74 B1TK vs B2TK 8,5 < 25,74

B1TK vs B0DK 77* > 25,74

B1TK vs B1DK 66,3* > 25,74

B1TK vs B2DK 14,8 < 25,74

B2TK vs B0DK 85,5* > 25,74 B2TK vs B1DK 74,8* > 25,74

B2TK vs B2DK 23,3 < 25,74

B0DK vs B1DK 10,7 < 25,74

(63)

Lampiran 12. Uji Banding Rataan Rangking Aroma Bakso Itik

Lampiran 13. Uji Banding Rataan Rangking Tekstur Bakso Itik

(64)

Lampiran 14. Uji Banding Rataan Rangking Kekenyalan Bakso Itik

Lampiran 15. Uji Banding Rataan Rangking Rasa Bakso Itik

(65)

Lampiran 16. Uji Banding Rataan Rangking Penampakan Umum Bakso Itik

Ri-Ri' |Ri-Ri'| Beda Z [K(N+1)/6]0,5

B0TK vs B1TK 17,8 < 25,74

B0TK vs B2TK 42* > 25,74

B0TK vs B0DK 14,1 < 25,74

B0TK vs B1DK 90* > 25,74

B0TK vs B2DK 5,9 < 25,74 B1TK vs B2TK 24,2 < 25,74 B1TK vs B0DK 31,9* > 25,74 B1TK vs B1DK 107,8* > 25,74 B1TK vs B2DK 11,9 < 25,74 B2TK vs B0DK 56,1* > 25,74

B2TK vs B1DK 132* > 25,74

B2TK vs B2DK 36,1* > 25,74

B0DK vs B1DK 75,9* > 25,74

B0DK vs B2DK 20 < 25,74

Gambar

Tabel 3. Persentase Kadar Lemak Daging Itik
Gambar 1. Proses Oksidasi Lipid pada Bahan Pangan (Kochhar, 1993)
Gambar 2. Tanaman Beluntas dan Tepung Daun Beluntas.
Tabel 1. Pengaruh Level Pemberian Tepung Beluntas dalam Pakan terhadap Kadar Protein dan Kadar Lemak Daging Itik Afkir Berkulit Segar
+6

Referensi

Dokumen terkait

Bogdanoiu (2009) dalam penelitiannya mengatakan bahwa Activity Based Costing adalah metode yang menghasilkan biaya dari tiap aktivitas untuk cost object seperti

Banjir yang terjadi pada Kali Ngotok disebabkan oleh tidak mampunya penampang sungai menampung air, hal ini di sebabkan karena adanya pendangkalan akibat dari endapan

Laser Jaya Sakti Pasuruan”.Tujuannya untuk mengetahui pengaruh variabel pendidikan dan pelatihan tenaga kerja secara simultan dan parsial terhadap kinerja karyawan

Model DSI-PK, yaitu gambaran proses rancangan sistematis tentang pengembangan pembelajaran baik mengenai proses maupun bahan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan

Sumber data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh melalui kuesioner (angket)..Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis regresi linier

Berdasarkan hasil pengujian dengan menggunakan analisis SEM untuk menguji pengaruh harga, label dan kemasan terhadap keputusan pembelian produk rokok A Mild, maka dapat diambil

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dilihat dari faktor pendidikan lansia yang tidak hadir ke posyandu lansia di desa Rubaru kecamatan Rubaru kabupaten

Dalam hal ini penulis akan menguraikan tentang Gambaram Umum Pembangunan Gedung Rumah sakit &amp; Sejarah Rumah sakit Ortopedi (Prof. Soeharso) Surakarta, Bagaimana Proses