• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Wilayah Keadaan geografis

Keadaan geografis Provinsi Papua terletak antara 2025’- 90 Lintang Selatan dan 1300- 1410 Bujur Timur. Di sebelah utara Provinsi Papua dibatasi Samudera Pasifik, sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafuru. Sebelah barat berbatasan dengan Laut Seram, Laut Banda, Provinsi Maluku, dan sebelah timur berbatasan dengan Papua New Guinea (BPS 2011).

Ketinggian wilayah di Papua sangat bervariasi. Diukur dari permukaan laut ketinggian wilayah Papua berkisar antara 0-3000 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kabupaten Puncak Jaya dengan ibukota Mulia merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 2.980 mdpl, sedangkan Kota Jayapura merupakan daerah dengan ketinggian terendah yaitu 4 mdpl. Berdasarkan keadaan topografi, wilayah pesisir Papua umumnya merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 10-2.980 mdpl (BPS 2011).

Seperti provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Papua memiliki iklim tropis yang di pengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Selama tahun 2010, hujan turun setiap bulannya dengan jumlah hari dan curah hujan masing-masing 202 hari dan 2.792 mm. suhu udara di Papua berkisar antara 14,80C-32,10C dan tekanan udara 834,9-1.009,3 mb. Sedangkan kelembaban udara rata-rata 77-86 persen dengan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Curah hujan yang relatif tinggi dan wilayah yang dimiliki sebenarnya sangat potensial untuk dikembangkannya sektor pertanian di Papua mengingat hampir 30 persen perekonomian tanpa tambang berasal dari sektor tersebut (BPS 2011).

Provinsi Papua mempunyai kelembaban relatif tinggi dimana pada tahun 2010 rata-rata kelembaban udara berkisar antara 77 persen (Kabupaten Jayawijaya- stasiun Wamena) dan 86 persen (Nabire) sedangkan tekanan udara antara 834,9-1.009,3 mb dan rata-rata penyinaran matahari 31,5-46,9 persen. Jumlah gempa bumi yang dirasakan di Papua selama tahun 2010 sebanyak 82 kali, lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 60 kali (BPS 2011).

Peta papua dapat dilihat pada Lampiran 1.

Demografi dan Sosial Ekonomi

Provinsi Papua merupakan provinsi dengan wilayah terluas di Indonesia, yaitu 319.036,05 km2 atau 16,70 persen dari luas Indonesia. Pada tahun 2010, Papua dibagi menjadi 28 kabupaten dan 1 kota dimana Marauke merupakan

kabupaten/kota terluas (56,84 persen) dan kota Jayapura merupakan kabupaten/kota terkecil di Provinsi Papua (0,10 persen dari luas Papua. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Provinsi Papua sebanyak 2.833.381 jiwa. Penduduk laki-laki Provinsi Papua sebanyak 1.505.883 jiwa (53,15 persen) dan perempuan sebanyak 1.327.498 jiwa (46,85 persen). Dengan demikian, rasio jenis kelamin di Provinsi Papua diatas 100, yaitu 113,4. Rasio jenis kelamin (sex ratio) terdapat di Kabupaten Mimika sebesar 130 dan terendah di Kabupaten Dogiyai sebesar 102 (BPS 2011).

Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-2010 adalah 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Tolikara adalah tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah di Kabupaten Pegunungan Bintang (2,48 persen). Jumlah penduduk yang begitu besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran penduduk. Pada tahun 2010, sebagian besar penduduk Papua massih berpusat di Kota Jayapura (BPS 2011).

Kepadatan penduduk di Provinsi Papua merupakan yang terendah di Indonesia. Dengan luas wilayah 756.881,89 km2, kepadatan penduduk di Papua hanya 4 jiwa per km2. Kepadatan tertinggi terjadi di Kota Jayapura, yakni 327 jiwa per km2, sedangkan kepadatan terendah terjadi di Kabupaten Marauke yakni kurang dari 1 jiwa per km2. Penduduk Papua berdasarkan kelompok umur ternyata didominasi oleh kelompok usia muda (0-14 tahun). Kecilnya proporsi penduduk usia tua (kelompok usia 55 tahun ke atas) menunjukkan bahwa tingkat kematian penduduk usia lanjut sangat tinggi. Ini berarti bahwa angka harapan hidup di Papua masih rendah (pada tahun 2009, angka harapan hidup di Papua 68,35 tahun). Selain itu, komposisi penduduk seperti diatas menyebabkan rasio ketergantungan (dependency ratio) di Papua cukup tinggi, yaitu 56.37 persen (BPS 2011).

Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Petocz dan Tucker 1987 diacu dalam Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan

25

antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990).

Sumber pangan spesifik lokal Papua seperti ubi jalar, talas, gembili, sagu, dan jawawut telah dibudidayakan oleh masyarakat asli Papua secara turun temurun. Komoditas tersebut telah menjadi sumber bahan makanan utama bagi masyarakat Papua. Husain (2004) menyatakan, pangan lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (suatu wilayah/ daerah tertentu) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Dengan demikian, pangan lokal Papua adalah pangan yang diproduksi di Papua dengan tujuan ekonomi atau produksi.

Kondisi agroekosistem Papua sangat mendukung pengembangan komoditas pertanian, terutama komoditas pangan spesifik lokal. Namun, pengembangan komoditas tersebut tidak merata di dataran Papua, kecuali ubi jalar yang dapat dijumpai di berbagai wilayah, baik pada dataran rendah maupun dataran tinggi, terutama pada wilayah pegunungan tengah. Selain ubi jalar, sagu juga merupakan bahan makanan pokok bagi masyarakat Papua, terutama yang berdomisili di dataran rendah atau di pesisir pantai atau danau. Sagu tumbuh baik pada daerah rawa, meskipun dapat pula tumbuh di daerah kering. Papua merupakan salah satu wilayah yang memiliki hutan sagu terluas di Indonesia. Widjono et al.(2000) menemukan 61 aksesi sagu melalui survei yang dilakukan di daerah Jayapura, Manokwari, Sorong, dan Merauke. Jumlah aksesi tersebut masih memungkinkan bertambah karena survei baru dilakukan di sebagian wilayah potensial sagu di Papua.

Sumber pangan alternatif yang beragam di Papua, mulai dari umbi- umbian, serealia, buah-buahan, dan bahkan tanaman obat dapat menyediakan pangan yang cukup bagi masyarakat setempat sehingga terhindar dari kekurangan gizi (malnutrition) atau kelaparan. Namun, sosialisasi pemanfaatan sumber pangan alternatif tersebut belum dilakukan secara bijak dan berkelanjutan. Selain itu, masyarakat mulai bergantung pada sumber pangan beras karena selain enak juga mudah diperoleh. Hal tersebut merupakan salah satu dampak kebijakan pemerintah yang hanya terfokus pada terjaminnya ketersediaan beras. Kebijakan tersebut tanpa disadari telah mengubah menu karbohidrat masyarakat dari nonberas ke beras, terutama pada daerah yang secara tradisional mengonsumsi pangan bukan beras, seperti kawasan timur Indonesia (Budi 2003).

Situasi Konsumsi Pangan Provinsi Papua

Pembangunan di Provinsi Papua yang merupakan bagian dari pembangunan nasional dilakukan melalui kegiatan pembangunan di berbagai sektor bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Untuk mewujudkan keadaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor penting dan mendasar adalah faktor pangan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Provinsi Papua merupakan salah satu daerah yang memiliki keragaman sumber daya hayati yang cukup tinggi, termasuk tanaman sumber pangan lokal. Sumber pangan lokal Papua yang memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat adalah ubi jalar, talas, dan sagu. Pangan lokal tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Papua. Masyarakat yang berdomisili di daerah pegunungan umumnya mengonsumsi ubi jalar dan talas sedangkan yang tinggal di pantai memanfaatkan sagu sebagai pangan pokok. Beberapa jenis ubi jalar, talas, dan sagu telah beradaptasi dengan baik dan dikonsumsi masyarakat Papua secara turun temurun.

Menurut Apomfires (2002) yang dilakukan di salah satu kabupaten di Provinsi Papua yaitu Kabupaten Merauke, sagu (bie) merupakan makanan pokok yang dikonsumsi masyarakat, biasanya diselingi dengan makanan lain seperti pisang, talas, dan nasi yang merupakan makanan yang telah dikenal dan biasa dikonsumsi. Walaupun ada makanan selingan, tetapi sagu tetap diutamakan, karena beberapa orang menyatakan bahwa mengkonsumsi sagu membuat kenyang lebih lama dibandingkan mengonsumsi pisang, nasi, dan talas.

Menurut Hardinsyah et al (2001) menyatakan bahwa analisis konsumsi pangan dapat dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis konsumsi pangan secara kuantitatif ditunjukkan oleh tingkat kecukupan gizi. Namun, analisis konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah tidak hanya cukup ditunjukkan oleh peningkatan kuantitas konsumsi saja, tetapi perlu analisis lebih lanjut terhadap aspek kualitas konsumsi. Kualitas konsumsi dapat dinilai dari aspek komposisi atau keragaman dan mutu gizi pangan dikonsumsi. Analisis kualitas konsumsi pangan atau skor mutu konsumsi dapat dilakukan menggunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Semakin tinggi skor PPH maka semakin beragam dan berimbang pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu analisis situasi konsumsi pangan Provinsi Papua dilakukan dengan mengamati analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.

27

Kuantitas Konsumsi Pangan

Analisis kuantitatif dilakukan terhadap konsumsi pangan. Kuantitas konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat konsumsi energi (TKE) dan tingkat konsumsi protein (TKP).

Konsumsi Energi

Pangan merupakan kebutuhan pokok yang paling mendasar bagi manusia, karenanya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan bagian dari hak azasi individu. Untuk hidup sehat seseorang membutuhkan sejumlah zat gizi yang bersumber dari berbagai macam sumber pangan, baik pangan nabati maupun hewani. Zat gizi yang harus dipenuhi terutama adalah energi dan protein. Menurut Martianto (2004) kekurangan dua zat gizi tersebut dan berlangsung lama akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusianya, diantaranya menurunkan produktifitas kerja, kecerdasan, dan imunitas.

Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi. Sesuai dengan rekomendasi WNPG 2004 menetapkan konsumsi kalori per kapita per hari adalah 2000 kkal. Konsumsi energi menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan.

Tabel 5 Tingkat kecukupan energi perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE

1 Padi-padian 1060 53.0 1000 50.0 1006 50.3 2 Umbi-umbian 92 4.6 80 4.0 89 4.5 3 Pangan hewani 222 11.1 205 10.3 245 12.3 4 Minyak/lemak 241 12.1 238 11.9 234 11.7 5 Buah/biji berminyak 29 1.5 28 1.4 23 1.2 6 Kacang-kacangan 52 2.6 60 3.0 61 3.1 7 Gula 106 5.3 97 4.9 105 5.2

8 Sayur dan buah 81 4.1 76 3.8 91 4.5 9 Lain-lain 26 1.3 22 1.1 24 1.2

Total 1910 95.5 1807 90.4 1879 94.0

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 5 menunjukkan bahwa konsumsi energi pada tahun 2008 menurut kelompok pangan padi-padian adalah 1060 kkal/kap/hr (53.0 %AKE), umbi- umbian adalah 92 kkal/kap/hr (4.6 %AKE), pangan hewani adalah 222 kkal/kap/hr (11.1 %AKE), minyak/lemak adalah 241 kkal/kap/hr (12.1 %AKE), buah/ biji berminyak adalah 29 kkal/kap/hr (1.5 %AKE), kacang-kacangan adalah 52 kkal/kap/hr (2.6 %AKE), gula adalah 106 kkal/kap/hr (5.3 %AKE), sayur dan buah adalah 81 kkal/kap/hr (4.1 %AKE), dan pangan lainnya adalah 26 kkal/kap/hr (1.3 %AKE). Pada tahun 2009 konsumsi energi mengalami penurunan menurut kelompok pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan

hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Kemudian konsumsi energi menurut kelompok pangan meningkat kembali pada tahun 2010.

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa kelompok pangan padi- padian lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pangan umbi-umbian di wilayah perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh preferensi pangan masyarakat terutama di wilayah perkotaan yang masih memilih padi-padian sebagai makanan pokok sumber energi dalam hal ini adalah beras. Dimana masyarakat perkotaan di Provinsi Papua lebih di dominasi oleh pendatang dari luar Papua yang terdiri dari berbagai suku seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan lainnya (BPS 2011).

Tabel 6 Tingkat kecukupan energi pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE kkal/kap/hr %AKE

1 Padi-padian 596 29.8 612 30.6 586 29.3 2 Umbi-umbian 655 32.7 665 33.3 748 37.4 3 Pangan hewani 180 9.0 175 8.7 163 8.2 4 Minyak/lemak 184 9.2 208 10.4 217 10.9 5 Buah/biji berminyak 26 1.3 26 1.3 20 1.0 6 Kacang-kacangan 76 3.8 105 5.3 83 4.2 7 Gula 67 3.3 79 4.0 75 3.7

8 Sayur dan buah 106 5.3 109 5.5 118 5.9 9 Lain-lain 14 0.7 13 0.6 15 0.8

Total 1905 95.2 1993 99.6 2026 101.3

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, gula, dan pangan lainnya mengalami penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Kelompok pangan umbi-umbian masih mendominasi dibandingkan dengan kelompok pangan lainnya dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Hal ini disebabkan masyarakat di pedesaan Papua yang dominan adalah penduduk asli Papua yang masih mengutamakan konsumsi umbi-umbian sebagai makanan pokok seperti sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan keladi.

Tabel 7 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi energi pada tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Kelompok pangan umbi-umbian, minyak/ lemak, sayur dan buah, pangan lainnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 sedangkan kelompok pangan padi-padian, pangan hewani, buah/ biji berminyak, dan gula mengalami

29

penurunan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010. Hal ini diduga karena adanya keterbatasan untuk membeli bahan pangan, faktor sosial budaya, dan preferensi masyarakat terhadap pangan (Wahidah 2005).

Tabel 7 Tingkat kecukupan protein perkotaan + pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP kkal/kap/hr %AKP

1 Padi-padian 702 35.1 701 35.0 682 34.1 2 Umbi-umbian 526 26.3 532 26.6 598 29.9 3 Pangan hewani 190 9.5 182 9.1 182 9.1 4 Minyak/lemak 197 9.9 214 10.7 221 11.1 5 Buah/biji berminyak 27 1.3 26 1.3 21 1.0 6 Kacang-kacangan 71 3.5 95 4.7 78 3.9 7 Gula 76 3.8 83 4.2 82 4.1

8 Sayur dan buah 101 5.0 102 5.1 112 5.6 9 Lain-lain 17 0.9 15 0.7 17 0.9

Total 1906 95.3 1950 97.5 1992 99.6

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Tabel 8 menunjukkan bahwa tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan Papua mengalami flutuatif dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1910 kkal/kap/hr, 1807 kkal/kap/hr, dan 1879 kkal/kap/hr. Pertumbuhan konsumsi energi di wilayah perkotaan mengalami penurunan 15.5 kkal/kap/hr (0.68%). Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan konsumsi energi di Provinsi Papua maupun nasional pada tahun 2009 (DKP 2012).

Tabel 8 Tingkat kecukupan energi di Provinsi Papua tahun 2008, 2009, dan 2010 Wilayah

Konsumsi Tingkat Kecukupan

Pertumbuhan 2008 2009 2010 2008 2009 2010

kkal/kap/hr %AKE* kkal/kap/hr %AKE %

Perkotaan 1910 1807 1879 95.5 90.4 94.0 -15.5 -0.75 -0.68

Pedesaan 1905 1993 2026 95.2 99.6 101.3 60.5 3.05 3.16

Perkotaan+Pedesaan 1906 1950 1993 95.3 97.5 99.6 43.5 2.15 2.23

*Angka Kecukupan Energi (AKE): 2000 kkal/kapita/hari

Secara kuantitas tingkat kecukupan energi di perkotaan dari tahun 2008 sampai tahun 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.5 %AKE, 90.4 %AKE, dan 94.0 %AKE. Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan Papua dan perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan Papua. Hal ini dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah perkotaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 1976 kkal/kap/hr (98.8 %AKE), 1891 kkal/kap/hr (94.6 %AKE), dan 1884 kkal/kap/hr (94.2 %AKE) (DKP 2012).

Konsumsi energi di pedesaan dari tahun 2008 sampai 2010 mengalami peningkatan dengan pertumbuhan 60.5 kkal/kap/hr (3.16%). Peningkatan konsumsi energi dari tahun 2008 sampai 2010 masing-masing adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. Konsumsi energi di wilayah

pedesaaan tahun 2010 melebihi rekomendasi WNPG 2004. Hal ini diduga karena aktivitas penduduk di pedesaan umumnya membutuhkan energi yang lebih besar sehingga seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa ataupunprestise. Di wilayah pedesaan tingkat kecukupan energi dari tahun 2008 sampai 2010 tergolong baik masing-masing adalah 95.2 %AKE, 99.6 %AKE, dan 101.3 %AKE.

Apabila dibedakan berdasarkan wilayah pedesaan Papua dan pedesaan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di pedesaan Indonesia cenderung menurun dibandingkan dengan pedesaan Papua. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kecukupan energi di wilayah pedesaan mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1905 kkal/kap/hr, 1993 kkal/kap/hr, dan 2026 kkal/kap/hr. sedangkan tingkat kecukupan energi Indonesia di wilayah pedesaan mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2095 kkal/kap/hr (104.8 %AKE), 1961 kkal/kap/hr (98.1 %AKE), dan 1966 kkal/kap/hr (98.3 %AKE) (DKP 2012).

Tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Papua mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2010 adalah 1906 kkal/kap/hr, 1950 kkal/kap/hr, dan 1993 kkal/kap/hr. Namun tidak demikian dengan tingkat kecukupan energi di wilayah perkotaan+ pedesaan Indonesia yang mengalami penurunan dari tahun 2008 sampai 2010 yaitu 2038 kkal/kap/hr (101.9 %AKE), 1927 kkal/kap/hr (96.4 %AKE), dan 1926 kkal/kap/hr (96.3 %AKE) (DKP 2012). Apabila dibedakan berdasarkan wilayah perkotaan+ pedesaan Papua dan Indonesia dari tahun 2008 sampai 2010, konsumsi energi di perkotaan+ pedesaan Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan+ pedesaan Papua.

Menurut Regmi dan Dyck (2001) terdapatnya perbedaan kebutuhan energi antara pedesaan dan perkotan adalah perbedaan gaya hidup, ketersediaan pangan dan kemampuan untuk membeli pangan. Masyarakat perkotaan cenderung bergaya hidup sedentary sehingga memerlukan energi yang lebih sedikit sedangkan aktivitas penduduk di pedesaan umumya membutuhkan energi yang lebih besar. Pada umumnya beragam jenis pangan lebih banyak tersedia di perkotaan serta daya beli masyarakatnya lebih tinggi. Menurut Martianto, Ariani, dan Hardinsyah (2003), pada tingkat pendapatan yang terbatas, seseorang akan lebih mengutamakan faktor kenyang daripada rasa

31

ataupun prestise, sehingga alokasi pangan lebih pada pangan yang murah dan memberi rasa kenyang.

Konsumsi Protein

Protein adalah salah satu zat gizi yang penting untuk pertumbuhan. Sebagai zat pembangun atau pertumbuhan karena merupakan bahan pembentuk jaringan baru dalam tubuh terutama bagi bayi, anak-anak, ibu hamil, ibu menyusui dan orang baru sembuh dari sakit (Hardinsyah & Matianto 1992). Protein yang dimakan sehari-hari terdiri dari berbagai macam asam amino, setelah dicerna dan diserap oleh tubuh digunakan untuk sintesis protein sel, protein fungsional seperti hormon dan enzim, dan protein pengangkut seperti transferin.

Jumlah protein yang diberikan dikatakan adekuat apabila mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup, mudah dicerna dan diserap oleh tubuh. Protein yang memenuhi syarat tersebut adalah protein yang berkualitas tinggi seperti protein hewani (Pudjiadi 2001). Fungsi protein lainnya menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air di dalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengangkut zat-zat gizi dan sebagai sumber energi. Kecukupan protein menurut WNPG 2004 adalah 52 gram/kapita/hari. Konsumsi protein menurut kelompok pangan dari tahun 2008 sampai 2010 dapat dilihat pada wilayah perkotaan, pedesaan, dan perkotaan+pedesaan.

Tabel 9 Tingkat konsumsi protein perkotaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan g/kap/hr2008%AKP g/kap/hr2009 %AKP g/kap/hr2010 %AKP

1 Padi-padian 24.5 47.0 23.1 44.4 23.3 44.9 2 Umbi-umbian 0.6 1.1 0.6 1.1 0.6 1.1 3 Pangan hewani 20.2 38.8 19.4 37.4 22.7 43.7 4 Minyak/lemak 0.2 0.3 0.1 0.2 0.1 0.1 5 Buah/biji berminyak 0.4 0.8 0.4 0.7 0.4 0.7 6 Kacang-kacangan 5.0 9.6 5.9 11.3 5.6 10.8 7 Gula 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

8 Sayur dan buah 3.6 6.9 3.3 6.3 3.6 7.0 9 Lain-lain 1.6 3.1 1.2 2.3 1.2 2.4

Total 56.0 107.6 53.9 103.7 57.6 110.7

*Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari

Tabel 9 menunjukkan bahwa konsumsi protein penduduk di wilayah perkotaan dari tahun 2008 sampai 2010 berada di atas standar nasional sebesar 52 gramkapita/hari yaitu pada tahun 2008 adalah 56.0 gram/kapita/hari (107.6%), 53.9 gram/kapita/hari (103.7%) pada tahun 2009, dan 57.6 gram/kapita/hari (110.7%) pada tahun 2010. Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsumsi protein di wilayah perkotaan masih didominasi oleh padi-padian dan pangan hewani dari

tahun 2008 sampai tahun 2010. Walaupun konsumsi protein telah melebihi dari kecukupan, tetapi perlu ditinjau kembali komposisi sumber pangan.

Menurut Pudjiadi (2001), protein hewani lebih baik kualitasnya dibandingkan dengan protein nabati. Konsumsi pangan hewani akan memberikan asupan zat gizi esensial seperti protein dengan bioavailabilitas yang baik, vitamin, dan mineral mikro (B6, B12, zat besi, iodium, dan seng). Kekurangan zat gizi mikro akan berakibat resiko tinggi terhadap pertumbuhan (janin, bayi, dan anak-anak), penyakit infeksi dan penurunan produktivitas (Martianto dan Ariani 2005).

Tabel 10 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 13.9 g/kap/hr (26.7 %AKP), umbi-umbian adalah 4.9 g/kap/hr (9.5 %AKP), pangan hewani adalah 14.4 g/kap/hr (27.7 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.1 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.6 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.3 g/kap/hr (10.2 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.4 g/kap/hr (8.5 %AKP), dan pangan lainnya adalah 0.9 g/kap/hr (1.7 %AKP).

Tabel 10 Tingkat konsumsi protein pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010 No Kelompok Pangan g/kap/hr2008 %AKP g/kap/hr2009 %AKP g/kap/hr2010 %AKP

1 Padi-padian 13.9 26.7 14.2 27.4 13.7 26.3 2 Umbi-umbian 4.9 9.5 5.3 10.2 5.9 11.3 3 Pangan hewani 14.4 27.7 15.2 29.3 13.6 26.1 4 Minyak/lemak 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 5 Buah/biji berminyak 0.3 0.6 0.3 0.6 0.2 0.5 6 Kacang-kacangan 5.3 10.2 7.3 14.0 5.5 10.6 7 Gula 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

8 Sayur dan buah 4.4 8.5 5.3 10.1 5.3 10.2 9 Lain-lain 0.9 1.7 0.9 1.6 0.9 1.8

Total 44.2 85.0 48.5 93.3 45.3 87.0

*Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari

Tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan yaitu pangan padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan. Rendahnya konsumsi protein hewani di pedesaan diduga karena pangan hewani relatif lebih mahal daripada pangan nabati. Oleh karena pendapatan terbatas, masyarakat di wilayah pedesaan Papua lebih mengutamakan jenis pangan lain yang lebih murah harganya daripada untuk membeli pangan hewani. Disamping itu masyarakat telah merasa cukup atau

33

kebutuhan pangan hewani sudah terpenuhi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh preferensi pangan dan pendapatan masyarakat terutama di wilayah pedesaan (Wahidah 2005).

Tabel 11 Tingkat konsumsi protein perkotaan+ pedesaan tahun 2008, 2009, dan 2010

No Kelompok Pangan 2008 2009 2010

g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP g/kap/hr %AKP

1 Padi-padian 16.3 31.3 16.3 31.3 15.9 30.5 2 Umbi-umbian 3.9 7.6 4.2 8.1 4.7 9.0 3 Pangan hewani 15.7 30.3 16.2 31.1 15.6 30.0 4 Minyak/lemak 0.1 0.2 0.1 0.1 0.1 0.1 5 Buah/biji berminyak 0.3 0.7 0.3 0.6 0.3 0.5 6 Kacang-kacangan 5.2 10.1 6.9 13.4 5.5 10.7 7 Gula 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

8 Sayur dan buah 4.2 8.1 4.8 9.2 4.9 9.5 9 Lain-lain 1.0 2.0 0.9 1.8 1.0 2.0

Total 46.9 90.2 49.7 95.7 48.0 92.3

*Angka Kecukupan Protein (AKP): 52 gram/kapita/hari

Tabel 11 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi konsumsi protein dari tahun 2008 sampai 2010 menurut kelompok pangan di wilayah perkotaan+pedesaan. Pada tahun 2008 konsumsi protein padi-padian adalah 16.3 g/kap/hr (31.3 %AKP), umbi-umbian adalah 3.9 g/kap/hr (7.6 %AKP), pangan hewani adalah 15.7 g/kap/hr (30.3 %AKP), minyak/lemak adalah 0.1 g/kap/hr (0.2 %AKP), buah/ biji berminyak adalah 0.3 g/kap/hr (0.7 %AKP), kacang-kacangan adalah 5.2 g/kap/hr (10.1 %AKP), gula adalah 0.0 g/kap/hr (0.0%AKP), sayur dan buah adalah 4.2 g/kap/hr (8.1 %AKP), dan pangan lainnya adalah 1.0 g/kap/hr (2.0 %AKP). Kemudian tahun 2009 konsumsi energi mengalami peningkatan menurut kelompok pangan pangan padi-padian, umbi- umbian, pangan hewani, minyak/ lemak, buah/ biji bermnyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, pangan lainnya. Namun pada tahun 2010 konsumsi protein mengalami penurunan menurut kelompok pangan.

Apabila dibedakan berdasarkan wilayah, pada umumnya konsumsi protein di perkotaan lebih tinggi daripada di pedesaan (Tabel 12). Selanjutnya jika dikaitkan dengan tingkat pendapatan, di perkotaan lebih tinggi daripada pedesaan. Pendapatan yang lebih tinggi akan semakin tinggi pula daya beli. Dengan demkian penduduk akan mampu membeli makanan dalam jumlah yang

Dokumen terkait