• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau. Dengan demikian konsep ketahanan pangan tidak sama dengan swasembada (produksi) pangan (terutama beras). Fokus ketahanan pangan adalah setiap manusia setiap saat mampu mengkonsumsi pangan dan gizi secara seimbang (yang diperoleh dari karagaman pangan) untuk memperoleh status gizi yang baik. Sedangkan swasembada pangan adalah produksi (komoditi) pangan cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik (tidak diperlukan impor). Swasembada pangan merupakan salah satu strategi untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 Tahun 1996 menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus berkembang dari waktu ke waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan, mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana produksi pangan serta mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif.

Pada era desentralisasi, ketahanan pangan telah menjadi salah satu urusan wajib pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten Kota. Oleh karena itu, urusan ketahanan pangan diselenggarakan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Standar Pelayanan Minimum adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Standar Pelayanan Minimum dirancang untuk diterapkan di semua kabupaten/kota; untuk menjamin bahwa semua masyarakat memiliki akses ke pelayanan dasar yang menjadi hak mereka serta agar pelayanan dasar masyarakat di semua tingkatan sistem dapat dipertanggungjawabkan (Baliwatiet al2011).

Menurut Suryana (2001) menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga sub sistem yang saling

berinteraksi, yaitu sub sistem ketersediaan, sub sistem distribusi dan sub sistem konsumsi. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi dari ketiga sub sistem tersebut.

Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari sisi jumlah, kualitas, keragaman maupun kemanan (Suryana 2001). Menurut Suhardjo (1989) ketersediaan pangan di suatu daerah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi penduduk. Pola konsumsi pangan penduduk suatu daerah yang meliputi jumlah serta jenis pangan biasanya berkembang dari pangan yang tersedia setempat atau telah ditanam di daerah tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suryana 2001).

Subsistem distribusi pangan yang efektif dan efisien sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumahtangga dapat memperoleh pangan dan jumlah dan kualitas yang baik sepanjang waktu. Subsistem ini mencakup aspek aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun sosial atas pangan secara merata sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup, melalui berbagai sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan, pembelian/barter, pemberian, piinjaman dan bantuan pangan (Suryana 2001).

Akses pangan secara fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan dan dipengaruhi oleh ciri dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi menyangkut keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga, sumber mata pencaharian dan pendapatan. Sumber mata pencaharian meliputi kemampuan, aset dan aktivitas yang dapat menjadi sumber pendapatan. Seringkali, sumber mata pencaharian sangat dipengaruhi oleh kondisi maupun pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Akses pangan secara sosial antara lain dicerminkan oleh tingkat pendidikan, bantuan sosial, kebiasaan makan, konflik sosial/keamanan (Suryana 2001).

Aksesibilitas merupakan komponen penting dalam ketahanan pangan rumahtangga. Akses menunjukkan jaminan bahwa setiap rumahtangga dan individu mempunyai sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sesuai dengan norma gizi. Pemeliharaan lingkungan hidup dimaksudkan

6

untuk jaminan pangan di masa datang. Pemeliharaan lingkungan berhubungan dengan akses terhadap sumberdaya yaitu dalam hal kepemilikan sumberdaya untuk memproduksi atau membeli pangan yang dibutuhkan. Oleh karena itu masyarakat mempunyai kepentingan untuk melaksanakan konservasi sumberdaya alam dalam rangka ketahanan pangannya (Suryana 2001).

Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi, keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal; pemeliharaan sanitasi dan higiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumahtangga (Suryana 2001).

Pola Konsumsi Pangan

Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Sejumlah zat gizi yang harus dipenuhi dari konsumsi makanan disebut kebutuhan gizi. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan, terutama dalam jangka waktu yang berkesinambungan dapat membahayakan kesehatan, bahkan pada tahap lanjut dapat mengakibatkan kematian (Hardinsyah & Martianto 1989).

Pola konsumsi pangan adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Madanijah 2004). Konsumsi pangan berkaitan dengan masalah gizi dan kesehatan, masalah pengupahan, ukuran kemiskinan, serta perencanaan dan produksi daerah. Konsumsi masyarakat terhadap pangan dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat dalam mengkonsumsi jenis pangan tertentu. Secara umum di tingkat wilayah faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah faktor ekonomi (pendapatan dan harga), faktor sosio budaya dan religi. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor dan pemilihan jenis maupun banyaknya pangan yang dimakan, dapat berlainan dari masyarakat ke masyarakat dan dari negara ke negara. Akan tetapi faktor-faktor yang tampaknya mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis dan banyaknya pangan yang diproduksi dan tersedia, tingkat pendapatan, dan pengetahuan gizi.

Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal maupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan

pemenuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu (Hardinsyah et al2001). Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlah maupun jenis makanan yang dikonsumsi.

Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi. Menurut Hardinsyah (1988), faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang di antaranya adalah aksesibilitas, kebiasaan makan, pola makan, pembagian makanan dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan. Martianto dan Ariani (2004) juga mengemukakan bahwa konsumsi atau pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya ekonomi tetapi juga faktor budaya, ketersediaan, pendidikan, gaya hidup dan sebagainya, namun kadang-kadang unsur prestise menjadi sangat menonjol.

Pengembangan Pola Konsumsi Pangan dalam hal ini ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lain yang dikonsumsi masyarakat, termasuk lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan makanan kudapan, berbasis pada kondisi dan potensi daerah/wilayah. Setiap daerah mempunyai pola konsumsi dengan menu yang spesifik dan sudah membudaya serta tercermin didalam tatanan menu sehari- hari. Akan tetapi menu yang tersedia biasanya kurang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan, sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan tidak merubah karakteristiknya, agar tetap dapat diterima oleh masyarakat setempat . Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan melalui dua sisi (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Adapun kedua sisi tersebut adalah:

Kuantitas konsumsi pangan

Kuantitas konsumsi pangan ditinjau dari volume pangan yang dikonsumsi dan konsumsi zat gizi yang dikandung bahan pangan. Kedua hal tersebut digunakan untuk melihat apakah konsumsi pangan sudah dapat memenuhi kebutuhan yang layak untuk hidup sehat dan dikenal sebagai Angka Kecukupan

8

Gizi/AKG yang direkomendasikan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. Dalam menilai kuantitas konsumsi pangan masyarakat digunakan Parameter Tingkat Konsumsi Energi/TKE dan Tingkat Konsumsi Protein/TKP.

Kecukupan gizi merupakan suatu taraf asupan (intake) yang dianggap dapat memenuhi kecukupan gizi semua orang yang sehat menurut berbagai kelompoknya sehingga kebutuhan pangan hanya diperlukan secukupnya. Kecukupan pangan dapat diukur secara kualitatif dan kuantatif. Ukuran kualitatif meliputi nilai sosal beragam jenis pangan dan nilai cita rasa sedangkan nilai kuantitatif yang umum digunakan adalah kandungan zat gizi (Khumaidi 1994).

Kecukupan gizi dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, kecukupan pangan umumnya dilihat dari kandungan energi pangan, sedangkan secara kualitatif dapat diperkirakan dari besarnya sumbangan protein terhadap nilai energi yang disebut sebagai Rasio Protein-Enegi (R-PE). Jadi dengan demikian, jika kecukupan akan energi dan protein terpenuhi, maka kecukupan zat-zat gizi lainnya pada umumnya sudah terpenuhi atau sekurang- kurangnya tidak terlalu sukar untuk memenuhinya (Khumaidi 1989).

Aspek kecukupan pangan menjadi basis kriteria untuk menentukan status ketahanan pangan. Hal ini karena pangan adalah kebutuhan pokok bagi manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pada mulanya kecukupan pangan hanya dinilai menurut fisik kuantitas sesuai kebutuhan untuk beraktifitas dalam kehidupan sehari-hari secara sehat. Namun demikian, seiring dengan perkembangan analisis, kriteria kecukupan kemudian juga mencakup kualitas pangan sesuai kebutuhan tubuh manusia (Saliemet al. 2005).

Kuantitas ketersediaan dan konsumsi pangan dapat diketahui dari tingkat ketersediaan/konsumsi energi (TKE) dan tingkat ketersediaan/konsumsi protein (TKP). Nilai TKE adalah proporsi ketersediaan/konsumsi energi aktual terhadap Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan ketersediaan energi penduduk Indonesia adalah 2200 kkal/kap/hari sedangkan konsumsi energi adalah 2000 kkal/kap/hari. Nilai TKP adalah proporsi ketersediaan/ konsumsi protein aktual terhadap Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dianjurkan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 menganjurkan ketersediaan protein penduduk Indonesia adalah 57 gram/kap/hari sedangkan konsumsi protein adalah 52 gram/kap/hari. Jumlah ketersediaan maupun konsumsi tersebut harus dipenuhi agar setiap orang dapat untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

Energi

Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan, pengaturan suhu dan kegiatan fisik. Kelebihan energi di simpan sebagai cadangan energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah dan Tambunan 2004).

Pangan sumber energi adalah pangan sumber lemak, karbohidrat dan protein. Pangan sumber energi yang kaya lemak antara lain gajih/lemak dan minyak, buah berlemak (alpukat), biji berminyak (biji wijen, bunga matahari dan kemiri), santan, coklat, kacang-kacangan dengan kadar air rendah (kacang tanah dan kacang kedelai) dan serelia lainnya, umbi-umbian, tepung, gula, madu, buah dengan kadar ai rendah (pisang, kurma dan lain-lain) dan aneka produk turunannya. Pangan sumber energi yang kaya proein antara lain daging, ikan, telur, susu dan aneka produk turunannya.

Protein

Menurut Almatsier (2002) protein berfungsi mengatur keseimbangan air didalam tubuh, memelihara netralitas tubuh, membantu antibodi dan mengangkut zat-zat gizi. Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan, dan melalui membran sel ke dalam sel-sel.

Protein yang berperan sebagai pengangkut zat besi di dalam tubuh adalah transferin. Kekurangan protein dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi transportasi zat-zat gizi termasuk zat besi (Fe). Sumber protein berasal dari pangan hewani seperti susu, telur, daging unggas, ikan, dan kerang, serta pangan nabati seperti kedelai dan produk olahannya seperti tempe, tahu, kacang-kacangan lainnya. Pangan hewani mempunyai faktor yang membantu penyerapan besi (Almatsier 2002).

Kualitas konsumsi pangan

Kualitas konsumsi pangan ditujukan pada keanekaragaman pangan, semakin beragam dan seimbang komposisi pangan yang dikonsumsi akan semakin baik kualitas gizinya. Untuk menilai keanekaragaman pangan digunakan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH) (Bimas Ketahanan Pangan RI 2002). Semakin beragam pangan yang dikonsumsi maka akan semakin beragam pula zat gizi yang diperoleh dan semakin meningkat mutu gizinya (Suhardjo 1989).

10

Menurut Khumaidi (1994) dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beraneka ragam, kekurangan zat gizi dari jenis makanan lain dapat diperoleh sehingga masukan zat-zat gizi menjadi seimbang. Jadi, untuk mencapai masukan zat-zat gizi yang seimbang tidak mungkin dipenuhi hanya satu jenis bahan makanan, melainkan harus terdiri dari aneka ragam bahan makanan.

Kurang beragamnya pangan yang dipilih dan tidak cukupnya jumlah yang dikonsumsi merupakan masalah konsumsi pangan dan gizi yang sering terjadi. Masalah konsumsi pangan dan gizi ini bukanlah masalah yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari suatu sistem yang ditentukan oleh berbagai faktor yang saling terkait. Masalah yang berkaitan dengan konsumsi pangan dan gizi yaitu seperti tingkat pendapatan, ketersediaan pangan setempat, teknologi, tingkat pengetahuan, kesadaran masyarakat mengenai gizi, kesehatan, dan faktor-faktor sosio budaya seperti kebiasaan makan, sikap, dan pandangan masyarakat terhadap bahan makanan tertentu dan adat istiadat (Sanjur 1982).

Ukuran keseimbangan dan keragaman pangan dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan merupakan jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi. Kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan dikatakan terpenuhi apabila sesuai PPH. Secara implisit kebutuhan zat gizi akan terpenuhi kecuali untuk zat gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan. Semakin tinggi skor PPH, ketersediaan dan konsumsi pangan semakin beragam dan seimbang. Jika skor PPH mencapai 100, maka wilayah tersebut dikatakan tahan pangan. Selain itu, acuan yang digunakan adalah standar pelayanan minimum (SPM) dengan skor PPH 90 pada tahun 2015.

Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama (baik secara absolut maupun relatif) dari suatu pola ketersediaan dan atau konsumsi pangan. FAO-RAPA (1989) mendefinisikan PPH sebagai berikut: “Pola pangan harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan (dietary score). Semakin tinggi skor mutu pangan, menunjukkan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya.

Tim FAO-RAPA (1990) menyadari bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi sesuai kondisi/ pola pangan masing-masing Negara dan sstem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divaliditasi. Kritik terhadap PPH juga muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi (terutama dari pangan hewani, dan lemak) antara PPH dan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Hardinsyah (1996) dengan menggunakan data Susenas 1990 telah melakukan validasi dan adaptasi PPH dan scoring systemPPH bagi Indonesia yang sejalan dengan konsep Pedoman Umum Gizi Seimbang.

Tahun 2000 Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan telah melakukan diskusi pakar, lintas subsektor, dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi PPH dan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut menjadi PPH 2020. Penyempurnaan PPH dan skor PPH terdapat pada Tabel 1 dengan mempertibangkan 1) AKG energi berdasarkan Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (1998) sebesar 2200 kkal/kap/hari; 2) Persentase energi (pola konsumsi energi) untuk PPH dihitung terhadap AKG energi (2200 kkal sebagai penyebut); 3) Rating/bobot disempurnakan sesuai teori rating; 4) Skor maksimum PPH adalah 100 bukan 93; 5) Peran pangan hewani, gula serta sayur dan buah disesuaikan dengan PUGS; 6) Peran umbi-umbian ditingkatkan sejalan dengan kebijakan diversifikasi pangan pokok dan pengembangan pangan lokal; 7) Peran makanan lainnya terutama bumbu dan minuman lainnya.

Tabel 1 Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg Pangan 1994, dan DEPTAN 2001

No Kelompok Pangan

FAO-RAPA

(1989) Meneg Pangan (1994) Deptan (2001) % Min-Max % Bobot Skor % Bobot Skor

1 Padi-padian 40.0 40.0- 60.0 50.0 0.5 25.0 50.0 0.5 25.0 2 Umbi-umbian 5.0 0.0 – 8.0 5.0 0.5 2.5 6.0 0.5 2.5 3 Pangan hewani 20.0 5.0 – 20.0 15.3 2.0 30.6 12.0 2.0 24.0 4 Minyak/lemak 10.0 5.0 – 15.0 10.0 1.0 10.0 10.0 0.5 5.0 5 Buah/biji berminyak 3.0 0.0 – 3.0 3.0 0.5 1.5 3.0 0.5 1.0 6 Kacang-kacangan 6.0 2.0 – 10.0 5.0 2.0 10.0 5.0 2.0 10.0 7 Gula 8.0 2.0 – 15.0 6.7 0.5 3.4 5.0 0.5 2.5 8 Sayur dan buah 5.0 3.0 – 8.0 5.0 2.0 10.0 6.0 5.0 30.0 9 Lain-lain 3.0 0.0 – 5.0 0.0 0.0 0.0 3.0 0.0 0.0

Total 100 100 93.0 100 100

Sumber : DKP, 2006

Perencanaan Kebutuhan Konsumsi Pangan Wilayah

Kebutuhan konsumsi pangan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat merupakan isu sentral yang dihadapi dunia, terlebih di negara

12

berkembang termasuk Indonesia. Konsekuensi dari hal tersebut adalah peningkatan ketersediaan pangan untuk mengimbangi pertambahan penduduk.

Perencanaan pembangunan suatu wilayah seharusnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi penduduknya. Kebutuhan dasar tersebut meliputi pangan, sandang, dan tempat tinggal. Tingkat kebutuhan gizi bagi konsumsi penduduk dapat digunak sebagai salah satu standar untuk mengukur kebutuhan dasar penduduk, khususnya dalam hal pangan. Segala sumber daya yang berhubungan dengan produksi dan penyediaan pangan harus dialokasikan sesuai kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan minimal tersebut (Absari 2007).

Perencanaan kebutuhan pangan dengan PPH, selain untuk menyediakan pangan yang beranekaragam sesuai dengan kecukupan gizi setempat, juga member keleluasaan menentukan pilihan jenis pangan yang diinginkan karena PPH disajikan dalam kelompok pangan. Pemilihan jenis pangan yang diinginkan diantara kelompoknya disesuaikan dengan kondisi sosial budaya (aspek pola konsumsi atau preferensi jenis pangan penduduk) dan potensi wilayah setempat (Hardinsyahet al2001).

Pola pikir perencanaan dengan pendekatan PPH merupakan konsep pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan jangka panjang dan jangka pendek, dengan tujuan utama pendekatan PPH yakni untuk membuat rasionalisasi pola konsumsi yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi sekaligus juga mempertimbangkan keseimbangan gizi (nutrional balance) yang didukung oleh cita rasa (palatability), daya cerna (digestibility) serta dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya local (Hardinsyahet al2002).

Kebijakan Ketahanan Pangan

Kebijakan pangan merupakan penegasan dari kebijakan yang telah dikeluarkan sebelumnya, yaitu UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan (Kantor Meneg Pangan 1997). Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak bertentangan dengan kenyakinan masyarakat. Kebijakan pangan adalah suatu pernyataan tentang kerangka pikir dan arahan yang digunakan untuk menyusun program pangan guna mencapai situasi pangan dan gizi yang lebih baik (Hardinsyah dan Ariani 2000).

Berdasarkan Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) tahun 2010- 2014, tujuan pembangunan ketahanan pangan adalah untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan baik di tingkat makro (nasional) maupun di tingkat mikro (rumah tangga/ individu). Arah kebijakan umum ketahanan pangan nasional 2010-2014 adalah untuk meningkatkan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan, meningkatkan sistem distribusi dan stabilisasi harga pangan dan meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan keamanan pangan. KUKP diharapkan menjadi panduan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga, wilayah dan nasional. Oleh karena itu, idealnya KUKP dirumuskan dalam bentuk Peraturan Presiden. Di tingkat provinsi/kabupaten/kota dirumuskan Program Aksi Operasional KUKP dalam bentuk Peraturan Gubenur/Bupati/Walikota.

KUKP Tahun 2010-2014 menyebutkan 15 elemen penting pembangunan ketahanan pangan. Elemen tersebut adalah menjamin ketersediaan pangan, Menata pertanahan dan tata ruang dan wilayah, melakukan antisipasi, aadaptasi dan mitigasi perubahan iklim, menjamin cadangan pangan pemerintah dan masyarakat, mengembangkan sitem distribusi pangan yang adil dan efisien, meningkatkan aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan, menjaga stabilitas harga pangan, mencegah dan menangani keadaan rawan pangan dan gizi, melakukan diversifikasi pangan, meningkatan mutu dan keamanan pangan, memfasilitasi penelitian dan pengembangan, melaksanakan kerjasama internasional, mengembangkan peran serta masyarakat, mengembangkan sumberdaya manusia pangan-pertanian, dan melaksanakan kebijakan makro dan pedagangan yang kondusif.

Pasal 11 ayat (3) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, menyebutkan bahwa ketahanan pangan merupakan salah satu urusan wajib pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, karena ketahanan pangan berkaitan dengan pelayanan dasar. Pelayanan Dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan. Dengan demikian, upaya mewujudkan ketahanan pangan penduduk melibatkan banyak pelaku pembangunan, bersifat bidang/sektor pembangunan.

Bentuk kebijakan pembangunan ketahanan pangan sangat penting sebagai acuan untuk merumuskan perencanaan pembangunan provinsi atau kabupaten atau kota dalam kerangka sistem perencanaan nasional. Standar

14

Pelayanan Minimum (SPM) adalah sebuah kebijakan publik yang mengatur mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimum.

Provinsi Papua memiliki keragaman yang tinggi dalam kondisi biofisik seperti iklim, topografi, dan vegetasi (Kepas 1990). Keragaman ini juga dijumpai dalam kondisi budaya, adat, kepercayaan, dan bahasa. Mengingat adanya keragaman biofisik dan sosial budaya, sehingga menimbulkan variasi agroekosistem, maka hal ini akan mempengaruhi penyebaran jenis dan produktifitas tanaman pangan di berbagai daerah yang pada akhirnya menimbulkan keragaman pola konsumsi pangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya di Provinsi Papua (Kepas 1990).

Dokumen terkait