• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Antimikroba Bakteriosin Kasar terhadap Bakteri Patogen

Aktivitas antimikrob bakteriosin terhadap bakteri patogen diketahui melalui penelitian pendahuluan yaitu dengan melakukan uji difusi sumur. Zona bening menunjukkan bahwa bakteri uji tidak dapat tumbuh. Semakin luas zona bening maka semakin kuat daya hambat suatu antimikroba. Zona bening dari aktivitas antrimikroba dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Diameter Zona Hambat Ekstrak Bakteriosin Kasar L. plantarum 2C12 terhadap Bakteri Indikator

Bakteri Indikator Diameter Zona Bening (mm)

Escherichia coli 9,02 ± 0,55 b

Pseudomonas aerogenosa 9,96 ± 0,67 ab

Staphylococcus aureus 11,27 ± 0,22 a

Salmonella enterica ser. Thypimurium 9,34 ± 1,33 ab

Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Berdasarkan Tabel 4 membuktikan bahwa bakteriosin kasar dapat mengham- bat aktivitas bakteri patogen. Bakteriosin kasar L. plantarum 2C12 menunjukkan aktivitas antimikrob terhadap keempat bakteri indikator. Hasil uji statistik menunjukan bahwa jenis bakteri indkator yang berbeda berpengaruh nyata terhadap zona bening yang dihasilkan oleh bakteriosin kasar 2C12 (P< 0,05). Zona bening yang dhasilkan bakteriosin kasar terhadap E. coli dan S. aureus berbeda. Zona bening terbesar dihasilkan pada uji antagonistik bakteriosin dengan bakteri Staphylococcus aureus, hal ini sesuai dengan pernyataan (Wiryawan dan Tjakradidjaja, 2001), yang menyatakan bahwa bakteriosin dapat menghambat perkembangan bakteri patogen yang mempunyai kekerabatan dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin. Menurut Klaenhammer (1998) bakteriosin dari Gram positif efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif tetapi secara bakterisidal tidak efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif. Umumnya bakteri Gram negatif memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap senyawa antimikroba dibanding Gram positif (Usmiati et al., 2009). Bakteri Lactobacillus plantarum menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992).

30 Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah. Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh bakteriosin adalah : (1) perusakan dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pertumbuhan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh; (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam dinding sel; (3) denaturasi protein sel; (4) perusakan sistem metobolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar dan Chan, 1986).

Nilai pH, Aktivitas Air, dan Kualitas Mikrobiologi Daging Sapi yang Digunakan

Hasil analisis pada daging segar dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil pengukuran pH daging adalah 6,26, ini diatas pH normal daging sehingga daging bersifat daging dark firm dry (DFD). Daging seperti ini sangat cocok untuk pembuatan bakso. Daging Dark Firm Dry (DFD) yaitu daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, memiliki nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi (Aberle et al., 2000). Daging ini dihasilkan akibat ternak kelelahan setelah mengalami transportasi yang jauh, sehingga terjadi perubahan dalam sifat fisik, kimia maupun sensori (Wulf et al., 2002).

Tabel 5. Hasil Analisis Kualitas pada Daging Segar

Soeparno (2005), menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kualiatas daging adalah warna, daya mengikat air oleh protein daging yang mempengaruhi daya serap air pada produk, pH dan kekenyalan. Selain itu dikatakan juga, kualitas daging sangat dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Daging yang digunakan untuk penelitian ini adalah daging silverside (gandik). Penggunaan

Peubah Nilai SNI (2000)

pH daging 6,26 5,3 – 5,8

aw daging 0,91 0,95

TPC (cfu/g) 1,87 x 106 1 x 106

E.coli (cfu/g) 2,5 x101 1 x 102

31 daging gandik menyebabkan bakso mempunyai kadar protein, daya iris (shear WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak terendah (Indarmono, 1987). Penggunaan daging gandik juga dimaksudkan untuk menghasilkan produk bakso yang lebih kenyal dan berwarna putih. Nilai pH daging normal menurut SNI-01- 3947-1995 yaitu antara 5,3-5,8. Nilai pH juga berhubungan dengan pertumbuhan bakteri. Hampir semua bakteri dapat tumbuh secara optimal pada pH sekitar 7 dan tidak akan tumbuh pada pH di bawah 4 dan di atas 9.

Data analisis mikrobiologi pada daging sapi segar menunjukkan total mikroba pada penelitian ini melebihi batas maksimal menurut SNI 01-0366-2000 yaitu 1x106 cfu/g, sedangkan untuk jumlah Escherichia coli dan keberadaan Salmonella telah sesuai dengan persyaratan maksimum cemaran bakteri yang direkomendasikan SNI yaitu 1x102 untuk Escherichia coli dan negatif untuk Salmonella. Banyaknya cemaran mikroba pada hasil penelitian in disebabkan tempat pemotongan yang kurang higienis, kontaminasi dari air, lantai, pekerja, udara, isi saluran pencernaan, dan alat-alat yang digunakan.

Tempat pembelian daging juga menjadi salah satu faktor banyaknya cemaran mikroba. Daging segar dibeli di Pasar Anyar Bogor, yang berasal dari RPH kota Bogor. Besarnya populasi E.coli menunjukkan bahwa pada saat pemotongan, pekerja di rumah potong hewan (RPH) kota Bogor tidak menerapkan sanitasi yang baik dan memadai karena E. coli merupakan bakteri indikator sanitasi. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan air yang tidak mengalir pada saat melakukan pembersihan daging yang sudah dipotong sehingga terkontaminasi dari bakteri yang berasal dari jeroan maupun dari air yang telah terkontaminasi sebelumnya dengan bakteri koliform. Pada penelitian ini tidak ditemukan Salmonella sp, membuktikan bahwa karkas tidak terkontaminasi oleh kotoran ternak yang terinfeksi. Salmonella sp. termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini berbentuk batang pendek, Gram negatif, anaerobik fakultatif dan memiliki flagella peretrikat. Salmonella merupakan bakteri Gram berbentuk batang pendek dan tidak membentuk spora (Jay, 2000). Genus ini banyak tersebar di alam, manusia dan hewan sebagai habitatutamanya. Bakteri genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi dantersebar dalam pangan akibat kontaminasi dari kotoran yang terinfeksi (Fardiaz, 1989).

32

Kualitas Bakso dengan Aplikasi Bakteriosin L. plantarum 2C12

Kualitas bakso yang diuji dalam penelitian ini meliputi nilai gizi, kualitas fisik, mikrobiologi dan oraganoleptik. Nilai gizi meliputi kandungan kadar air, kadar abu, protein kasar, lemak kasar dan karbohidrat. Kualitas fisik yang diuji meliputi nilai pH, aw dan daya serap air. Kualitas mikrobiologi yang diuji meliputi nilai total mikroba, analisis kuantitatif E. coli dan analisis kualitatif Salmonella spp. Penilaian kualitas organoleptik yang di uji adalah uji hedonik.

Nilai Gizi Bakso

Daging sapi produk olahannya mudah rusak dan merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya kandungan air dan nutrisi seperti lemak dan protein. Hasil nilai gizi bakso dengan penambahan bahan pengawet yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai Gizi Bakso dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda

Sampel KA BK Abu PK (%) LK (%) Karbohidrat

Kontrol 67,51 32,49 3,97 36,20 0,71 59,12

Nitrit 0,3% 68,92 31,08 5,41 45,46 0,42 48,71

Bakteriosin 0,3% 68,49 31,51 5,26 39,16 1,65 53,93

Bakso SNI, 1995 ≤ 70,0 - ≤ 3,0 ≥ 9,0 ≥ 2,0 -

Keterangan: Persentase kandungan Abu, PK, dan LK bakso dihitung berdasarkan BK 100%.

Tabel 6 menunjukkan hasil nilai gizi dari semua sampel bakso. Secara deskriptif, hasil bakso dengan penambahan bakteriosin kasar (0,3%) dapat meningkatkan nilai gizi, yaitu kandungan air, abu, protein kasar, lemak kasar, isi bakso, namun pada karbohidrat terjadi penurunan dibandingkan bakso kontrol. Bakteriosin yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum berupa peptida atau peptida kompleks, sehingga penambahan bakteriosin di bakso mampu meningkatkan kandungan protein kasar dari bakso dibandingkan dengan kontrol. Meskipun menurut definisi semua bakteriosin yang terbuat dari protein, beberapa telah dilaporkan terdiri atas kombinasi protein yang berbeda atau komposit protein bersama-sama dengan gugus lipida atau karbohidrat. Kenaikan dari kadar air disebabkan oleh bentuk bakteriosin adalah cair. Standar Nasional Indonesia untuk bakso adalah kadar air 70%, kadar abu maksimal 3%, kadar protein minimal 9%, dan

33 minimum 2% kandungan lemak. Kadar air merupakan persentase kandungan air dari suatu bahan. Peranan air dalam bahan pangan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi aktivitas metabolisme, seperti aktivitas kimiawi dan aktivitas mikroba yang dapat mempengaruhi kualitas nilai gizi dan organoleptik produk tersebut. Kadar air produk pangan dipengaruhi oleh bahan baku, bahan baku tambahan,

Nilai kadar air yang diperoleh pada penelitian ini berkisar 67,51 hingga 68,92. Nilai kadar air bakso dengan penambahan bahan pengawet lebih tinggi dari kontrol. Hal ini telah sesuai dengan (Dewan Standardisasi Nasional, 1995), yang menyatakan bahwa kadar air bakso tidak boleh lebih dari 70%. Menurut Indramono (1987), kadar air dipengaruhi oleh jumlah es yang ditambahkan. Semakin banyak jumlah es yang ditambahkan maka akan meningkatkan kandungan air bakso sehingga menyebabkan penurunan kekerasan dan kekenyalan objektif bakso. Kandungan abu terendah diperoleh dari bakso kontrol yaitu 3,97%, sedangkan kandungan abu tertinggi diperoleh bakso dengan penambahan nitrit. Hasil yang diperoleh melebihi batas yang ditentukan oleh SNI, yang menyatakan bahwa kadar abu bakso maksimal 3%.

Kadar protein yang diperoleh berkisar 36,20% hingga 45,46%. Kadar protein tertinggi terdapat pada bakso dengan penambahan nitrit. Kadar lemak kasar yang diperoleh berkisar 0,42% hingga 1,65%. Kadar lemak kasar tertinggi terdapat pada bakso dengan penambahan bakteriosin dan yang terendah terdapat pada bakso dengan penambahan nitrit. Hasil kadar lemak yang diperoleh lebih kecil dari yang telah ditentukan oleh SNI yaitu tidak kurang dari 2%. Hal ini disebabkan daging yang digunakan dalam penelitian ini tanpa mengikutsertakan lemak. Kadar karbohidrat ditentukan berdasarkan bahan kering tanpa lemak, dimana kandungan karbohidrat yang diperoleh dari hasil analisis bakso diduga sebagian besar berasal dari tepung tapioka yang ditambahkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar karbohidrat berkisar 48,71% hingga 59,12%. Kandungan karbohidrat terendah dihasilkan oleh bakso dengan penambahan nitrit sedangkan kandungan karbohidrat tertinggi dihasilkan oleh bakso kontrol.

Kualitas Fisik Bakso

Nilai pH. Pengukuran pH bertujuan mengetahui tingkat keasaman yang disebabkan oleh adanya ion hidrogen. Pengukuran pH ini sangat penting, karena

34 dapat menentukan kerusakan makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Bakso yang tidak diberi bakteriosin cenderung memiliki pH yang tidak berbeda dibandingkan bakso yang diberi bakteriosin maupun nitrit. Nilai pH bakso dipengaruhi oleh nilai pH daging, nilai pH daging yang diperoleh adalah 6,26. Semakin rendah pH bakso maka daya simpan akan meningkat, sebab pH yang rendah akan menghambat beberapa mikroba. Makanan yang mempunyai pH rendah relatif lebih tahan selama penyimpanan dibandingkan dengan makanan yang mempunyai pH netral atau mendekati netral (Fardiaz, 1992). Pengaruh penambahan bahan pengawet yang berbeda pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap nilai pH dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai pHBakso dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda

Perlakuan

Lama Penyimpanan (Hari) Rataan

0 3 6

Kontrol 6,11±0,03 6,10±0,03 6,25±0,03 6,15 ± 0,08

Nitrit 0,3% 6,10± 0,07 6,13±0,09 6,28±0,06 6,17±0,10

Bakteriosin 0,3% 6,10±0,05 6,09±0,07 6,24±0,04 6,14±0,08

Rataan 6,10±0,04b 6,11±0,06b 6,26±0,04 a

Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Hasil uji nonparametrik dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis menunjuk- kan bahwa penggunaan pengawet yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap nilai pH bakso, namun bakso dengan lama penyimpanan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai pH bakso (P<0,05). Lama penyimpanan dapat menaikkan pH yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri yang semakin bertambah. Nilai pH sangat berpengaruh terhadap daya simpan produk olahan daging. Perubahan nilai pH berhubungan erat dengan warna dan teksur daging serta produk olahannya. Nilai pH juga dapat mempengaruhi kualitas daging, karena berkaitan dengan warna, keempukan, cita rasa, daya mengikat air, dan masa simpan (Lukman et al., 2007).

Nilai Aktivitas Air (aw). Nilai rataan aw yang diperoleh berkisar 0,88 hingga 0,91. Rataan nilai aw bakso kontrol dan bakso dengan penambahan bahan pengawet tidak

35 berbeda nyata secara statistik, namun bakso dengan lama penyimpanan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap nilai aw bakso. Nilai rataan aw bakso dengan lama penyimpanan pada hari ke-0 lebih tinggi dibandingkan pada hari ke-3. Menurut Fardiaz (1992), bakteri umumnya membutuhkan aw minimal 0,91. Pengaruh pemberian bahan pengawet dan lama penyimpanan terhadap aw dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai aw Bakso dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda

Perlakuan Lama Penyimpanan (Hari) Rata-rata

0 3 6

Kontrol 0,90±0,03 0,88±0,01 0,90±0,01 0,90±0,02

Nitrit 0,3% 0,91±0,01 0,88±0,01 0,89±0,01 0,89±0,01

Bakteriosin 0,3% 0,91±0,01 0,88±0,01 0,89±0,01 0,89±0,01

Rataan 0,91±0,02a 0,88±0,01b 0,89±0,01ab

Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Aktivitas air (aw) adalah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk pertumbuhannya, seperti yang dijelaskan oleh Fardiaz (1992) bahwa aktivitas air memiliki peranan penting dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat hubungannya dengan jumlah kandungan air. Kebutuhan mikroba akan air biasanya dinyatakan dalam aktivitas air (aw). Produk bakso memiliki aw yang tinggi sehingga cocok untuk media pertumbuhan mikroorganisme. Aktivitas air berkaitan dengan air yang ada dalam makanan dalam bentuk bebas, untuk fungsi biologi dan diperlukan untuk pertumbuhan mikroba. Aktivitas air bakso ditunjukkan pada Tabel 8. Bakso disimpan pada suhu 4 ºC dan selalu dijaga agar suhu tetap stabil. Hal ini menyebabkan bakso dengan penambahan bahan pengawet yang berbeda memiliki nilai aktivitas air yang tidak berbeda.

Nilai Daya Serap Air Bakso. Daya serap air adalah kemampuan suatu produk untuk menyerap air di sekitarnya. Faktor perlakuan perbedaan bahan pengawet dan lama simpan bakso berpengaruh nyata terhadap daya serap air pada bakso sapi. Pengaruh

36 penambahan bahan pengawet dan lama penyimpanan terhadap daya serap air dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Daya Serap AirBakso dengan Penambahan Bahan Pengawet dan Lama Penyimpanan yang Berbeda

Perlakuan Lama Penyimpanan (Hari)

0 3 6

Kontrol 1,33 ± 0,12ab 0,93 ± 0,12 bc 1,63 ± 0,40a

Nitrit 0,3% 1,31 ± 0,08ab 0,97 ± 0,15 bc 0,60 ± 0,10 c

Bakteriosin 0,3% 1,17 ± 0,06ab 0,83 ± 0,21 bc 0,83 ± 0,21bc Rataan 1,27 ± 0,11 0,91 ± 0,15 1,02 ± 0 ,52 Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05).

Nilai daya serap air pada daging merupakan satu dari sekian banyak faktor yang paling penting dalam menentukan kualitas suatu produk makanan. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa ada interaksi antara penambahan bahan pengawet dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap daya serap air bakso. Bakso tanpa pengawet, daya serap airnya pada hari keenam nyata lebih tinggi dibandingkan bakso dengan bahan pengawet nitrit atau bakteriosin. Fardiaz (1992) menyatakan bahwa protein merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap daya serap air suatu bahan meskipun komponen-komponen yang lain juga berpengaruh. Beberapa sifat fisik bakso seperti warna, tekstur dan kekerasan serta sari minyak (juiceness) dan keempukan dipengaruhi oleh daya serap air (Aberle et al., 2001). Nilai Daya serap air dapat mempengaruhi mutu organoleptik bakso yaitu tekstur menjadi lebih baik. Daya serap air dapat dipengaruhi oleh pH. Nilai pH lebih tinggi atau lebih rendah dari titik isoelektrik protein daging, daya serap air akan meningkat dan menurun pada titik pH isoelektrik, pada kisaran pH isoelektrik ini protein daging tidak bermuatan dan solubilitasnya minimal. Nilai pH yang lebih tinggi dari pH isoelektrik protein daging yaitu 5-5,1, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen dan memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Demikian juga pada

37 kondisi pH rendah (Soeparno, 2005). Hal ini dapat terlihat pada lama simpan hari ke 3 dan ke 6, yaitu pada nilai pH bakso 6,11 dan 6,26, daya serap air bakso 0,91 dan 1,02. Daya serap air juga dipengaruhi oleh kemampuan garam yang berkaitan dengan kemampuan untuk memperluas ruangan antar filamen dalam protein miofibril sehingga terjadi pengembangan miofibril (Soeparno, 2005).

Kualitas Mikrobiologi Bakso

Nilai Total Mikroba. Total jumlah mikroba perlu diketahui untuk memastikan suatu bahan pangan apakah layak atau tidak untuk dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan erat hubungannya dengan jumlah kandungan air. Kebutuhan mikroba akan air biasanya dinyatakan dalam aktivitas air (aw). Produk bakso memiliki aw yang tinggi sehingga cocok sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Secara fisik, bakso sudah berlendir, muncul bau menyengat dan terjadi perubahan warna. Sesuai dengan hal tersebut, bakso terkontaminasi dengan jamur. Pengaruh penambahan bahan pengawet yang berbeda pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap nilai total mikroba dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai Total Mikroba Bakso dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda

Perlakuan Lama Penyimpanan (Hari)

0 3 6

--- (log cfu/g) ---

Kontrol 3,20±2,80 5,00±0,49 5,15±0,99

Nitrit 0,3% 4,65±0,44 5,01±1,06 4,73±0,58

Bakteriosin 0,3% 3,65±3,25 4,40±0,01 4,39±0,01

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa bahan pengawet dan lama penyim- panan terhadap jumlah total bakteri bakso tidak berpengaruh nyata, artinya bakteriosin dapat meningkatkan umur simpan atau menghambat pertumbuhan mikroba sampai dengan kari ke-6, tetapi penambahannya perlu ditingkatkan untuk melihat tingkat nyatanya jika dibandingkan kontrol dan nitrit. Menurut SNI 01-0366- 2000, batas maksimal batas total mikroba produk bakso adalah 1x105 cfu/g. Berdasarkan Tabel 10, dapat dilhat jumlah total mikroba pada bakso dengan penambahan bakteriosin pada hari ke- 0, 3, dan 6 hari masih sesuai dengan SNI,

38 tetapi pada bakso dengan penambahan nitrit pada hari ketiga, jumlah total mikroba bakso melebihi batas yang ditentukan SNI. Hasil total mikroba bakso tanpa bahan pengawet (kontrol) untuk hari ke-0 masih sesuai dengan SNI, namun pada hari ketiga dan keenam, bakso mengalami peningkatan jumlah total bakteri yang melebihi batas yang ditentukan SNI. Oleh karena itu bakteriosin dapat digunakan sebagai bahan pengawet yang baik pada produk bakso.

Menurut SNI 01-0366-2000, dinyatakan bahwa mikroba yang melebihi batasan normal dapat disebabkan oleh daging yang digunakan memiliki jumlah mikroba di ambang batasan normal dan terjadi kontaminasi dari alat-alat yang digunakan (Badan Sandardisasi Nasional, 2000). Fardiaz (1992), mengatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mem-pengaruhi pertumbuhan mikroba, diantaranya ketersediaan nutrisi, pH, aktivitas air, ketersediaan oksigen, dan potensi oksidasi reduksi. Total mikroba dipengaruhi juga oleh lamanya penyimpanan. Dalam jumlah yang besar bakteriosin yang diisolasi dari bakteri asam laktat berpotensi membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Savadogo et al., 2006).

Analisis Kuantitatif Escherichia coli pada Bakso. E. coli merupakan bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi. Terdapatnya E. coli merupakan salah satu indikator penerapan sanitasi yang buruk. Pengaruh penambahan bahan pengawet yang berbeda pada lama penyimpanan yang berbeda terhadap populasi E. coli dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Jumlah Populasi E. coli Bakso dengan Penambahan Bahan Pengawetyang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda

Perlakuan Lama Penyimpanan (Hari)

0 3 6

--- (log cfu/g) ---

Kontrol 0,47±0,81 0,59±1,02 0,59±1,02

Nitrit 0,3% 0,47±0,81 0,00±0,00 0,00±0,00

Bakteriosin 0,3% 0,47±0,81 0,00±0,00 0,00±0,00

E. coli merupakan bakteri Gram negatif, tumbuh optimal pada suhu 37 oC, tetapi dapat tumbuh pada kisaran suhu 15-45 oC (Supardi dan Sukamto, 1999). Berdasarkan Tabel 7 Nitrit dan bakteriosin mampu menghambat pertumbuhan

39 Escherichia coli pada bakso dibandingkan kontrol. Hal ini sesuai dengan Arief et al. (2008) yang menyatakan bahwa bakteriosin yang diproduksi dari L. plantarum menunjukkan aktivitas antimikrob yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif, karena bakteriosin tersebut bersifat bakteriostatik pada bakteri Gram negatif. Menurut SNI 01-0366-2000, batas maksimal batas total populasi E. coli produk bakso adalah 1x102 cfu/g (Badan Standardisasi Nasional, 2000). Hasil rataan populasi E. coli menujukkan bahwa bakso kontrol, nitrit dan bakteriosin masih sesuai dengan yang ditentukan SNI. Secara deskriptif bakso dengan penambahan nitrit dan bakteriosin, E. coli tidak ditemukan pada hari ketiga dan keenam, sedangkan pada bakso kontrol masih ditemukan. Hal ini menunjukan bahwa nitrit dan bakteriosin mampu menghambat pertumbuhan E. coli selama penyimpanan.

Analisis Kualitatif Salmonella spp. pada Bakso. Hasil yang didapatkan untuk pengujian Salmonella spp. secara kualitatif dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Uji Kualitatif Salmonella Bakso dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan yang Berbeda

Salmonella spp. merupakan bakteri Gram negatif yang dapat menyebabkan gastroenteritis, demam enterik, septikimia, dan diare (McKane dan Kandel,1985). Berdasarkan Tabel 12. diketahui bahwa uji kualitatif Salmonella menunjukan hasil yang negatif pada semua perlakuan bakso pada lama penyimpanan yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa sejak awal tidak ada kontaminasi Salmonella spp. dan tidak adanya kontaminasi selama penyimpanan berlangsung. Populasi Salmonella spp. yang terdapat pada bakso sesuai dengan syarat mutu pada SNI 01-0366-2000 bahwa tidak boleh terdapat cemaran Salmonella spp. (Badan Standardisasi Nasional, 2000).

Perlakuan Lama Penyimpanan (Hari)

0 3 6

Kontrol Negatif Negatif Negatif

Nitrit 0,3% Negatif Negatif Negatif

40

Kualitas Organoleptik

Kulitas Bakso secara Hedonik. Uji hedonik dilakukan terhadap produk bakso daging sapi secara keseluruhan. Penilaian hedonik dilakukan untuk melihat kesukaan panelis tanpa membandingkan satu sama lain yang dapat dinilai secara subjektif dengan sekala 1 (sangat suka) hingga 5 (sangat tidak suka). Karakteristik yang diamati adalah warna, kekenyalan, tekstur, dan aroma. Hasil uji hedonik bakso dengan penambahan bahan pengawet yang berbeda pada pada hari ke-0 dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Uji Hedonik Bakso dengan Penambahan Bahan Pengawet yang Berbeda pada Lama Penyimpanan Hari ke-0

Karakteristik Sampel Bakso

Kontrol Nitrit 0,3% Bakteriosin 0,3%

Warna 2,5±0,9 2,7±0,84 2,3±0,78

Kekenyalan 2,6±0,89 2,6±0,93 2,6±0,77

Tekstur 2,8±0,96 a 2,6±0,86 ab 2,5±0,69 b

Aroma 2,1±0,71 2,4±0,81 2,3±0,70

Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). 1= sangat suka; 2= suka; 3= agak suka; 4= tidak suka; dan 5= sangat tidak suka.

Hasil uji statistik kualitas hedonik bakso dengan penambahan bahan pengawet yang berbeda terhadap karakteristik warna kekenyalan dan aroma bakso menunjukkan tidak berbeda nyata, sedangkan penambahan bahan pengawet terhadap tekstur bakso berpengaruh nyata (P<0,05). Tekstur bakso dengan penambahan bakteriosin lebih disukai panelis dari pada bakso kontrol, hal ini disebabkan oleh bakteriosin yang ditambahkan dalam adonan berbentuk cair, sehingga tekstur yang dihasilkan lebih halus, selain itu dikarenakan bakteriosin merupakan senyawa protein, sehingga bakso dengan penambahan bakteriosin menjadi lebih kompak dan halus. Bakso dengan penambahan nitrit menunjukan hasil yang tidak berbeda dengan kontrol dan bakteriosin. Panelis menilai suka pada warna semua sampel bakso, dengan nilai skor terbaik diperoleh bakso dengan penambahan bakteriosin. Panelis menilai suka pada aroma semua sampel bakso, dengan nilai skor terbaik diperoleh bakso kontrol.

41 Hasil uji hedonik bakso dengan penambahan bahan pengawet yang berbeda pada pada hari ke-3 dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil uji statistik kualitas hedonik

Dokumen terkait