• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBAGAI BAHAN PENGAWET PADA PRODUK BAKSO

TINJAUAN PUSTAKA

Lactobacillus plantarum

Bakteri Lactobacillus plantarum adalah bakteri asam laktat dari famili Lactobacilliceae dan genus Lactobacillus. Bakteri ini bersifat Gram positif, non motil, dan berukuran 0,6-0,8 μm x 1,2-6,0 μm. Bakteri ini memiliki sifat antagonis terhadap mikroorganisme penyebab kerusakan makanan seperti Staphylococcus aureus, Salmonella, dan Gram negatif (Buckle et al., 1987). Lactobacillus plantarum bersifat toleran terhadap garam, memproduksi asam dengan cepat dan memiliki pH ultimat 5,3 hingga 5,6 (Buckle et al., 1987).

Pengolahan pangan dan pakan menggunakan BAL adalah teknologi yang telah ada sejak dulu yang dapat meningkatkan kandungan obat dan anti penyakit serta mencegah kebusukan dan perjangkitan penyakit yang disebabkan oleh bakteri patogen (Elegado et al., 2004). Bakteri L. plantarum umumnya lebih tahan terhadap keadaan asam dan oleh karenanya menjadi lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari fermentasi tipe asam laktat. Bakteri ini sering digunakan dalam fermentasi susu, sayuran, dan daging (sosis). Fermentasi dari L. plantarum bersifat homofermentatif sehingga tidak menghasilkan gas (Buckle et al., 1987). Bakteri Lactobacillus plantarum terutama berguna untuk pembentukan asam laktat, penghasil hidrogen peroksida tertinggi dibandingkan bakteri asam laktat lainnya dan juga menghasilkan bakteriosin yang merupakan senyawa protein yang bersifat bakterisidal (James et al., 1992). Lactobacillus plantarum dapat memproduksi bakteriosin yang merupakan bakterisidal bagi sel sensitif dan dapat menyebabkan kematian sel dengan cepat walaupun pada konsentrasi rendah. Bakteriosin yang berasal dari L. plantarum dapat menghambat Staphylococcus aureus dan bakteri Gram negatif (Branen dan Davidson, 1993). L. plantarum mempunyai kemampuan untuk menghasilkan bakteriosin yang berfungsi sebagai zat antibiotik (Jenie dan Rini, 1995).

Lactobacillus plantarum 2C12 merupakan isolat indigenus yang diisolasi dari daging sapi lokal Indonesia. Arief et al. (2008) melaporkan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan

4 Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba yang diproduksi oleh Lactobacillus sp. 2C12 mengandung bakteriosin.

Bakteriosin

Bakteriosin merupakan senyawa protein (umumnya berupa peptida) yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme (bakteri) yang ditinjau dari segi filogeniknya (genetiknya) berdekatan dengan mikroorganisme penghasil bakteriosin tersebut. Bakteriosin menurut Klaenhammer (1998) adalah protein atau peptida yang disintesa melalui ribosom yang dapat menghambat atau membunuh bakteri lain. Saat ini penggunaan bakteri asam laktat sebagai penghasil bakteriosin di bidang peternakan semakin bertambah luas, diantaranya sebagai biopreservatif. Produksi bakteriosin juga dapat menghambat perkembangan patogen yang mempunyai kekerabatan dekat dengan bakteri penghasil bakteriosin (Wiryawan dan Tjakradidjaja, 2001).

Beberapa bakteriosin dari bakteri asam laktat antara lain plantaricin A dari Lactobacillus plantarum (Nissen-Meyer et al., 1993), gassericin A dari Lactobacillus LA39 gasseri (Muriana dan Klaenhammer, 1991) dan plantaricin-149 dari Lactobacillus plantarum KTP 149 (Kato et al., 1994) yang telah terdeteksi, dimurnikan dan dikarakterisasi. Matsuaki et al. (1996) menyatakan produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tingkat sumber karbon, nitrogen, dan phosfat yag terdapat dalam media. Sumber karbohidrat yang berbeda menghasilkan bakteriosin yang berbeda pula. Arief et al. (2008) menyatakan bahwa suatu senyawa antimikroba diproduksi oleh bakteri asam laktat Lactobacillus sp. 2C12 yang diisolasi dari daging sapi lokal. Senyawa antimikroba tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Escherichia coli, Salmonella typhimurium dan Staphylococcus aureus. Senyawa antimikroba yang diproduksi oleh Lactobacillus sp. 2C12 mengandung bakteriosin. Berdasarkan hasil identifikasi, bakteriosin yang diproduksinya disebut plantaricin. Menurut Widiasih (2008), Lactobacillus plantarum 2C12 berbentuk bulat, susunan tunggal maupun rantai pendek. Bakteriosin yang diproduksi oleh Lactobacillus plantarum dikenal dengan nama plantaricin (Omar et al., 2008).

Karakteristik dari bakteriosin adalah : a) mempunyai spectrum aktivitas yang relatif sempit, terpusat di sekitar spesies penghasil bakteriosin (filogenik atau genetiknya cukup dekat), b) senyawa aktifnya terutama terdiri atas protein yang

5 disintesis di ribosom, c) mempunyai reseptor pada sel sasarannya, d) gen penyandi penentu terdapat pada plasmid, yang berperan dalam produksi maupun imunitasnya (Tagg et al., 1976). Karakter lainnya dari bakteriosin adalah bersifat bakterisidal dan tahan panas (Jack et al., 1995).

Bakteriosin yang diproduksi oleh bakteri asam laktat (BAL) digunakan sebagai pengawet makanan dan berpotensi sebagai pengganti antibiotik (Reenen et al., 2006). Bakteriosin asal bakteri asam laktat dibagi ke dalam empat kelas yang berbeda yaitu kelas I adalah antibiotik, kelas II adalah peptide berukuran kecil sifatnya relatif stabil terhadap panas dan tidak mengandung lanthionin pada peptidanya, kelas III adalah peptide berukuran besar yang labil terhadap panas, dan kelas IV merupakan bakteriosin kompleks mengandung lipida atau separuh karbohidrat. Kelas I dan II merupakan kelas-kelas utama dari bakteriosin mempunyai potensi untuk digunakan di dalam aplikasi komersial.

Penggunaan bakteriosin lebih sering digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Penggunaan bakteriosin sebagai biopreservatif memiliki beberapa keuntungan, yaitu (1) bakteriosin bukan bahan toksik dan mudah mengalami biodegradasi oleh enzim proteolitik karena merupakan senyawa protein, (2) tidak membahayakan mikroflora usus karena mudah dicerna oleh enzim-enzim saluran pencernaan, (3) aman bagi lingkungan dan dapat mengurangi penggunaan bahan kimia yang selama ini digunakan sebagai bahan pengawet makanan, dan (4) dapat digunakan dalam kultur bakteri unggul yang mampu menghasilkan senyawa antimikroba terhadap bakteri patogen atau dapat digunakan dalam bentuk senyawa antimikrobial yang telah dimurnikan (Nurliana, 1997).

Bakteriosin asal bakteri asam laktat merupakan peptida yang disintesis di ribosom yang memperlihatkan aktivitas antimikrob, pada banyak kasus mampu me- lawan bakteri yang biasanya berkerabat dekat dengan mikroorganisme penghasilnya. Beberapa bakteriosin yang berasal dari bakteri Gram positif memperlihatkan akti- vitas bakterisidal dengan spektra penghambat yang tidak luas dan sangat berguna sebagai agen antibakterial untuk berbagai aplikasi praktik. Bakteriosin dari bakteri asam laktat telah menjadi perhatian penting karena potensinya untuk digunakan sebagai bahan tambahan makanan yang aman sebagai preservatif alami dan non- toxic, serta mencegah terjadinya kebusukan pangan oleh bakteri patogen gram positif

6 (Hata et al., 2010). Bakteriosin berakumulasi di dalam media kultur selama fase pertumbuhan eksponensial hingga fase pertumbuhan stasioner (Vuyst dan Vandamme, 1994). Produksi bakteriosin dipengaruhi oleh tipe dan level karbon, sumber nitrogen dan fosfat, surfaktan kation dan penghambat (Savadogo et al., 2006).

Mekanisme Aktivitas Bakteriosin

Kemampuan suatu senyawa antimikrob dalam menghambat pertumbuhan mikrob merupakan salah satu kriteria yang penting dalam pemilihan suatu senyawa antimikrob yang berfungsi sebagai bahan pengawet. Antimikrob menurut Gan dan Setiabudi (1987), adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikrob dan digunakan untuk pengobatan infeksi mikrob pada hewan dan manusia. Antimikrob harus mempunyai toksisitas setinggi mungkin terhadap bakteri target, tetapi relatif tidak toksik terhadap induk semangnya.

Gonzales et al. (1996) menyatakan bahwa berdasarkan sifat toksisitas selektifnya antimikrob dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: (i) antimikrob yang bersifat bakteriostatik yaitu antimikrob yang menghalangi pertumbuhan mikroorganisme, tetapi tidak mematikan organisme itu, dan (ii) antimikrob yang bersifat bakterisidal yaitu antimikrob yang menyebabkan kematian dan lisisnya mikroorganisme. Sifat bakteriostatik akan menghambat pertumbuhan dan replikasi mikroorganisme, namun tidak menyebabkan kematian. Sifat bakterisidal berhubung- an dengan kemampuan senyawa untuk menyebabkan lisis sel mikroorganisme. Beberapa mikroba yang bersifat bakteriostatik dapat berubah menjadi bakteriosidal bila digunakan digunakan dalam dosis tinggi (Gan dan Setiabudi, 1987). Dwidjoseputro (1990) membedakan antimikrob berdasarkan efektivitas kerjanya terhadap berbagai mikroorganisme, yaitu: (i) antimikrob yang berspektrum luas, yaitu antimikrob yang efektif terhadap berbagai jenis mikroorganisme, dan (ii) antimikrob yang berspektrum sempit, yaitu antimikrob yang efektif terhadap mikroorganisme tertentu.

Mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba oleh bakteriosin adalah : (1) perusakan dinding sel sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pertumbuhan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh; (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien di dalam dinding sel; (3)

7 denaturasi protein sel; (4) perusakan sistem metobolisme dalam sel dengan cara menghambat kerja enzim intraseluler (Pelczar dan Chan, 1986). Secara umum mekanisme aktivitas suatu senyawa antimikrob dapat dilakukan oleh senyawa bioaktif melalui mekanisme yang berbeda, yaitu: (i) mengganggu atau merusak komponen penyusun dinding sel, (ii) bereaksi dengan membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan komponen penyusun seluler, (iii) inaktivasi enzim-enzim esensial, dan (iv) destruksi atau inaktivasi fungsi dari material genetik (Branen dan Davidson, 1993).

Penggunaan Bakteriosin

Bakteriosin yang dihasilkan oleh BAL menyediakan beberapa senyawa yang dapat digunakan dalam pengawetan makanan, karena beberapa alasan .(i) Diakui sebagai zat yang aman. (ii) Tidak aktif dan tidak beracun pada sel eukariotik, (iii) dapat dilemahkan oleh protease pencernaan sehingga memiliki pengaruh yang kecil pada mikrobiota usus, (iv) toleran terhadap pH dan panas, (v) memiliki antimikroba dengan spektrum relatif luas, terhadap bakteri patogen dan pembusuk makanan, dan (vi) aktivitas bersifat bakterisidal, bekerja pada membran sitoplasma bakteri: tidak ada resistensi silang dengan antibiotik (Galvez et al., 2007).

Lactobacillus plantarum memiliki efek penurunan pada hypercholestero- lemia dan efeknya akan meningkat bila dicampur dengan jenis BAL lain (Hanaa et al., 2009). Bakteriosin dapat ditambahkan ke dalam makanan dalam bentuk kultur terkonsentrasi sebagai bahan pengawet makanan. Penambahan starter kultur bakteriosinogenik dapat dilakukan secara in situ sebagai pelindung tambahan. Bakteriosin immobil juga dapat digunakan untuk pengembangan kemasan makanan bioaktif (Galvez et al., 2007). Bakteri berkumpul dan menggabungkan diri untuk membentuk nisin film selulosa yang layak dikembangkan menjadi bahan kemasan aktif. Nisin film yang dikandung bakteri selulosa menunjukkan efektivitas dalam pengendalian L. monocytogenes dan mengurangi total mikroba pada permukaan sosis. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan aktif film bakteri selulosa akan men- jadi metode yang menjanjikan untuk meningkatkan keamanan dan memperpanjang umur simpan dari daging olahan (Nguyen et al., 2008).

8

Bakteri Patogen

Bakteri yang tumbuh dalam bahan pangan terbagi menjadi bakteri pembusuk yang dapat menyebabkan kerusakan makanan dan bakteri patogen penyebab penyakit pada manusia. Jumlah bakteri pembusuk umumnya lebih dominan dibandingkan dengan bakteri patogen (Fardiaz, 1992). Penyakit yang ditularkan melalui makanan hanya berhubungan dengan sejumlah kecil bakteri patogenik tertentu. Makanan atau bahan pangan tersebut digunakan sebagai substrat pertumbuhan bakteri patogen.

Bakteri patogen menyebabkan penyakit pada manusia melalui dua cara yaitu infeksi dalam kasus ini bakteri patogen berkembang biak dalam alat pencernaan manusia dan menghasilkan racun sedangkan intoksikasi adalah bakteri patogen menghasilkan racun dalam bahan pangan dan bahan pangan tersebut dikonsumsi oleh konsumen (Buckle et al.,1987). Mikroba yang dapat menyebabkan keracunan dan infeksi saat ikut terkonsumsi disebut mikroba patogen. Beberapa bakteri yang merupakan bakteri patogen diantaranya adalah famili Enterobacteriaceae yaitu Salmonella, Escherichia. Bakteri patogen lainnya adalah Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, dan Pseudomonas yang merupakan jenis bakteri penyebab kebusuk- an pada makanan atau bakteri pembusuk (Fardiaz, 1989).

Salmonella spp merupakan bakteri yang menjadi indikator keamanan pangan (food safety) karena keberadaannya dalam bahan pangan dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Bakteri dari jenis Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi. Jika tertelan oleh manusia dan masuk ke dalam tubuh dapat menimbulkan gejala salmonelosis, demam enterik, demam tifoid, dan demam paratifoid, serta infeksi lokal (Fardiaz, 1992). Menurut Dell-Potillo (2000), bakteri ini merupakan salah satu bakteri yang paling umum menyebabkan penyakit keracunan makanan di negara maju dan negara berkembang. Salmonella suatu bakteri gram negatif berbentuk batang melekat dan menyerang sel usus. Salmonella mempunyai tipe metabolisme yang bersifat fakultatif anaerob. Infeksi usus oleh Salmonella berakibat demam tifus enteric. Bakteri ini masuk ke dalam aliran darah melalui usus dan dialirkan ke seluruh tubuh. Salmonella merupakan kelompok bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk pangan (Fardiaz, 1992). Berdasarkan tingkat bahayanya, Salmonella berada pada kelompok bahaya sedang,dengan penyebaran yang cepat. Pemanasan merupakan cara yang paling banyak dilakukan untuk

9 membunuh Salmonella. Alternatif lainnya adalah dengan mengatur pH, menambahkan bahan-bahan kimia, penyimpanan pada suhu rendah dan radiasi. Pemanasan yang direkomendasikan untuk membunuh Salmonella spp. Umumnya pemanasan dilakukan selama 12 menit pada suhu 66 °C atau selama 78-83 menit pada suhu 60 °C (Fardiaz, 1992).

Escherichia coli merupakan flora normal yang hidup dalam saluran pencernaan manusia dan hewan. Bakteri patogen lain adalah Staphylococcus aureus. Ada enam macam enteroksin yang diproduksi Staphylococcus aureus di dalam makanan dan merupakan penyebab keracunan stafilokokus (intoksikasi) yaitu enteroksin A, B, C1, C2, D dan enteroksin E (Fardiaz, 1989). Bentuk batang bakteri E. coli dapat dilihat pada Gambar 1.

Bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan Gram negatif berdasarkan susunan dinding selnya yang mengakibatkan perbedaan dalam sifat-sifat pewarnaannya (Fardiaz, 1989). Dinding sel bakteri Gram positif 90% dari dinding selnya terdiri atas lapisan peptidoglikan, sedangkan lapisan tipis lainnya adalah asam teikoat. Dinding sel bakteri Gram negatif, hanya 5%-20% terdiri atas lapisan peptidoglikan, sedangkan lapisan lainnya terdiri atas protein, lipopolisakarida dan lipoprotein (Fardiaz, 1989). Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus merupakan contoh bakteri Gram positif sedangkan Salmonella, Escherichia coli merupakan contoh bakteri Gram negatif (Buckle et al., 1987).

Daging

Daging menurut SNI 01-0366-2000 adalah urat daging yang melekat pada kerangka kecuali urat daging dari bagian bibir, hidung dan telinga yang berasal dari hewan sehat pada saat dipotong (Badan Standardisasi Nasional, 2000). Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa daging merupakan bahan pangan yang mudah rusak oleh

10 mikroorganisme karena ketersediaan gizi di dalamnya yang sangat mendukung untuk pertumbuhan mikroorganisme, terutama mikroba perusak. Komposisi daging terdiri atas protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan non-protein nitrogen seperti keratin, karnosin dan beberapa hormon. Komponen nutrisi daging segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komponen Zat Nutrien Daging Sapi

Kandungan nutrisi (%) Air 65-80 Protein 16-22 Lemak 1,3-13 Karbohidrat 0,5-1,3 Mineral 1,0 Sumber : Winarno (1997)

Daging terdiri atas tiga komponen utama yakni otot, jaringan ikat, jaringan lemak yang terdapat pada daging dibedakan menurut lokasinya yaitu lapisan lemak bawah kulit (subkutan), lemak antar otot (intermuskular), lemak dalam otot (intramuskular) atau marbling dan lemak dalam sel (intraseluler) (Callow, 1948). Protein daging sendiri dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kelarutannya, yaitu protein sarkoplasma, protein miofibril dan protein stroma (Ockerman, 1983).

Menurut Elviera (1988), daging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side), dan lemusir (cube roll). Penggunaan daging gandik menyebabkan bakso mempunyai kadar protein, daya iris (shear WB), kecerahan dan kemerahan tertinggi, serta kadar lemak terendah (Indarmono, 1987).

Mikrobiologi Daging

Bakteri merupakan sekelompok organisme yang sangat tergantung kepada kebutuhan nutrisinya, yaitu aw, kesediaan oksigen, pH dan temperatur yang sesuai untuk tumbuh (Buckle et al.,1987). Menurut Frazier dan Westhoff (1988), beberapa genus bakteri yang umumnya dapat ditemukan pada daging adalah Pseudomonas, Achromobacter, Streptococcus, Sarcina, Leuconostoc, Lactobacillus, Flavobac- terium, Proteus, Bacillus, Clostridi -um, Escherichia, dan Salmonella. Menurut

11 BSN-01-6366-2000 batas cemaran Angka Lempeng Total Bakteri (ALTB) untuk daging segar adalah 1x106 cfu/gr.

Menurut Lawrie (1995), mikroorganisme pada daging yang berasal dari kontaminasi pekerja diantaranya adalah Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus proteus, Staphylococcus albus, dan Staphylococcus aureus. Kapang dan khamir juga terdapat dalam daging. Berbeda dengan bakteri, kapang dan khamir hanya terdapat pada permukaan daging karena sifatnya aerobik. Mikroorganisme yang merusak produk olahan daging dapat tumbuh pada suhu rendah meskipun suhu optimumnya pada temperatur ruang. Pseudomonas dapat tumbuh pada permukaan daging yang telah mengalami pendinginan (chilling). Kelompok bakteri ini dapat tumbuh baik pada suhu 0 ºC padahal suhu minimum untuk pertumbuhannya ditentukan oleh reduksi aw dan jumlah air yang terdapat dalam daging. Bakteri yang dapat hidup pada suhu rendah dinamakan bakteri psikrofilik (Buckle et al., 1987).

Emulsi Daging

Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi dua cairan atau senyawa yang tidak tercampur, yang satu terdispersi dengan yang lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil yang disebut fase dispersi atau fase diskontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi dengan membungkus atau menyelimuti suatu permukaan partikel yang terdispersi (Soeparno, 2005).

Hasil emulsi yang baik dapat diperoleh dengan cara mencacah atau melumatkan daging pre-rigor bersama-sama dengan es, garam dan bahan curing. Campuran kemudian disimpan beberapa jam untuk memberi kesempatan ekstraksi protein yang lebih efisien. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, jumlah dan tipe protein yang larut, serta viskositas emulsi. Suhu dan waktu pengolahan yang berlebihan dapat merugikan dengan terjadinya denaturasi protein terlarut, penurunan viskositas emulsi dan melelehnya partikel lemak (Soeparno, 2005). Bakso dan sosis merupakan contoh suatu sistem emulsi minyak dalam air. Emulsi ini membantu terjadinya disperse (Winarno, 1997).

12

Bakso

Bakso daging menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan atau yang lain yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50 persen) dan pati atau serealia dengan atau tanpa BTP (bahan tambahan pangan) yang diizinkan. Selain itu, bakso dapat didefinisikan sebagai daging giling yang dicampur dengan sebanyak-banyaknya 12% campuran tepung kedelai, konsentrat protein kedelai, susu bubuk tanpa lemak, susu skim bubuk dan bahan-bahan sejenis (Ockerman, 1983). Menurut Elviera (1988), bakso dapat dibedakan berdasarkan jenis dagingnya yaitu bakso ayam, bakso sapi dan bakso babi.

Menurut Purnomo (1990), pengolahan bakso meliputi aspek penyediaan bahan baku yaitu: daging, tepung pati dan cara pengolahannya. Bahan baku yang digunakan untuk membuat bakso umumnya terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama yaitu daging, sedangkan bahan tambahan yaitu: bahan pengisi, garam, es atau air es, bumbu-bumbu, seperti lada, serta bahan penyedap. Daging sapi yang biasa digunakan untuk membuat bakso adalah daging penutup (top side), gandik (silver side), dan lemusir (cube roll). Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri atas empat tahap yaitu (1) penghancuran daging, (2) pembuatan adonan, (3) pencetakan dan (4) pemasakan. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan mencacah atau menggiling daging hingga daging menjadi lumat atau halus (Wilson, 1981). Syarat mutu bakso daging dari segi mikrobiologi diatur pada SNI 01-3818- 1995 dapat dilihat padaTabel 2.

Tabel 2. Syarat Mutu Bakso Daging dari Segi Mikrobiologi Berdasarkan SNI 01- 3818-1995

Jenis cemaran mikroba Batas maksimum cemaran mikroba

Angka lempeng total 1x105 koloni/g Escherichia coli 1x102

Staphylococcus aureus 1x102 Salmonella negatif Sumber : Dewan Standardisasi Nasional(1995).

13

Komposisi Bakso

Bakso ditemukan pertama kali di daerah Cina pada 3000 SM. Bahan- bahan bakso terdiri atas bahan utama dan bahan tambahan. Bahan utama dari produk bakso ini adalah daging, sedangkan bahan tambahan yang digunakan adalah bahan pengisi, garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada serta bahan penyedap (Sunarlim, 1992).

Bahan Pengisi

Bahan pengisi dan bahan pengikat diperlukan dalam pembuatan bakso. Perbedaan antara bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada fraksi utama dan kemampuannya mengemulsikan lemak. Bahan pengisi mempunyai kandungan karbohidrat yang lebih tinggi, sedangkan bahan pengikat mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi.

Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung dari pati, seperti tepung tapioka dan tepung sagu. Tepung dari pati dapat meningkatkan daya mengikat air karena memiliki kemampuan menahan air selama proses pengolahan dan pemanasan (Tarwotjo et al., 1971). Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bahan pengisi bakso dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, mem- perbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. SNI 01-3818-1995 menetapkan penggunaan bahan pengisi dalam pembuatan bakso maksimum 50% dari berat daging yang digunakan (Dewan Standardisasi Nasional, 1995).

Sodium Tripolifosfat (STPP)

Ockermann (1983), menyatakan bahwa STPP memiliki fungsi untuk meningkatkan pH daging, kestabilan emulsi dan kemampuan emulsi. Jika nilai pH semakin mendekati titik isoelektrik protein, maka daya mengikat air akan semakin rendah. Penambahan STPP dapat meningkatkan pH sehingga diperoleh daya mengikat air yang semakin tinggi. Penambahan STPP dapat mencegah terjadinya rekahan serta terbentuknya permukaan kasar pada daging layu, dapat meningkatkan rendemen, kekerasan, kekenyalan dan kekompakan bakso

14

Garam Dapur (NaCl)

Sunarlim (1992) menyatakan bahwa hasil olahan daging biasanya mengandung 2%-3% garam. Aberle et al. (2001) menambahkan bahwa garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi. Protein ini memiliki peranan penting sebagai pengemulsi. Fungsi garam adalah menambah atau meningkatkan rasa dan memperpanjang umur simpan produk.

Es atau Air Es

Peningkatan suhu selama proses pelumatan daging akan mencairkan es, sehingga suhu daging atau adonan dapat dipertahankan (Aberle et al., 2001). Selain itu, penambahan es atau air juga penting untuk menjaga kelembaban produk akhir agar tidak kering, meningkatkan sari minyak (juiceness) dan keempukan daging. Jumlah es yang ditambahkan ke dalam adonan akan mempengaruhi kadar air, daya mengikat air, kekenyalan dan kekompakan bakso (Indarmono, 1987). Oleh sebab itu, penggunaan es atau air es harus dibatasi.

Salah satu tujuan penambahan air dan es pada produk emulsi daging adalah menurunkan panas produk yang dihasilkan akibat gesekan selama penggilingan, melarutkan dan mendistribusikan garam ke seluruh bagian massa daging secara merata, mempermudah ekstraksi protein otot, membantu proses pembentukan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan agar tetap rendah. Jika panas ini berlebih maka emulsi akan pecah, karena panas yang terlalu tinggi mengakibatkan terjadinya denaturasi protein. Akibatnya produk tidak akan bersatu selama pemasakan (Aberle et al., 2001).

Bumbu

Menurut Aberle et al. (2001), penambahan bumbu dalam pembuatan produk daging dimaksudkan untuk mengembangkan rasa dan aroma serta memperpanjang umur simpan produk. Merica dan bawang putih sering digunakan dalam beberapa resep produk daging olahan seperti sosis, bakso dan lain sebagainya. Tujuan utama penambahan bumbu adalah untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan dan sebagai bahan pengawet alami (Schmidt, 1988). Selain itu, bumbu juga mempunyai pengaruh pengawetan terhadap produk daging olahan karena pada umumnya bumbu mengandung zat yang bersifat bakteristatik dan antioksidan (Soeparno, 2005).

15 Merica adalah buah dari tanaman Piper nigrum L. dan memiliki rasa yang sangat pedas (Pungent) dan berbau harum (aromatik). Rasa pedas dihasilkan oleh zat piperin dan aroma sedap dihasilkan oleh terpen. Merica mengandung minyak essensial 1%-2,7%. Bawang putih adalah umbi dari tanaman Allium sativum L. dan memiliki rasa pedas (pungent). Bawang putih dapat digunakan sebagai pengawet

Dokumen terkait