• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisis statistika terhadap variabel yang diamati menunjukkan bahwa perlakuan aktivator dan bahan organik (eceng gondok) menunjukkan interaksi yang berbeda tidak nyata pada temperatur dan pH kompos, sedangkan C/N ratio kompos memberikan pengaruh interaksi yang berbeda nyata. Pengaruh faktor tunggal aktivator dan bahan organik (eceng gondok) sangat nyata terhadap variabel pH dan C/N Ratio kompos, dan berbeda tidak nyata terhadap temperatur. Signifikansi perlakuan aktivator dan bahan organik serta interaksinya terhadap parameter yang diamati disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Signifikansi pengomposan eceng gondok (A), Aktivator (B), dan Interaksinya (AxB) terhadap Parameter yang Diamati.

No Variabel pengamatan

Perlakuan

Eceng gondok (A) Aktivator (B) AxB

1. Temperatur ns ns Ns

2. pH ** ** Ns

3. C/N Ratio ** ** **

Keterangan :

ns : berpengaruh tidak nyata (P > 0,05) * : berpengaruh nyata (P < 0,05) ** : berpengaruh sangat nyata (P < 0,05)

Temperatur Kompos

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa pengomposan eceng gondok dengan pemberian beberapa jenis aktivator berpengaruh tidak nyata terhadap temperatur, sehingga pengujian dengan DMRT (Duncan’s Multiple

Temperatur kompos berdasarkan pemberian beberapa jenis aktivator dari dua variasi diperlihatkan pada masing-masing variasi selama + 60 hari dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 a. Perubahan temperatur selama proses pengomposan pada beberapa jenis aktivator terhadap eceng gondok halus

Gambar 3 b. Perubahan temperatur selama proses pengomposan pada beberapa jenis aktivator terhadap eceng gondok kasar

Pengamatan suhu dilakukan untuk mengetahui perubahan aktivitas mikoorganisme karena suhu merupakan salah satu indikator dalam menguraikan bahan organik. Berdasarkan Gambar 3, bahwa pengomposan dengan eceng gondok halus pada beberapa jenis aktivator adalah temperatur tertinggi

25 30 35 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 T em pe ra tu r oC Hari ke

Mol buah sayur Tape, tempe + yakult EM4 Kontrol 25 30 35 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 52 55 58 61 T em pe ra tur oC Hari ke

Mol buah + sayur Tape,tempe +yakult EM4

sampai didapat suhu terendah yaitu 280C, sedangkan pada perlakuan tape,tempe dengan yakult temperatur tertinggi yang didapat yaitu 310C dan menurun sampai suhu terendah yaitu 280C, kemudian pada perlakuan EM-4 temperatur tertinggi yang didapat yaitu 310C dan menurun sampai suhu terendah yang didapat yaitu 280C. Dan pada perlakuan kontrol temperatur tertinggi yaitu pada suhu 320C dan temperatur terendah yaitu pada suhu 280C. Untuk pengomposan eceng gondok kasar temperatur tertinggi juga terdapat pada perlakuan Mol buah sayur yaitu 330C kemudian menurun terus sampai didapat suhu terendah yaitu 280C. sedangkan temperatur yang kedua tertinggi diperlihatkan pada perlakuan EM-4 yaitu 320C dan menurun sampai suhu terendah yaitu 290C. Kemudian temperatur ketiga tertinggi pada perlakuan tape,tempe dengan yakult yaitu 320C dan temperatur terendah yaitu 280C, dan untuk perlakuan kontrol temperatur tertinggi yaitu 310C dan menurun suhu terendah yaitu 290C.

Tinggi rendahnya temperatur yang didapat pada semua perlakuan dipengaruhi oleh adanya aktivitas mikroorganisme dalam tumpukan kompos. Suhu yang dihasilkan berkisar antara 28 – 34 0C. Menurut Wahyono dan Sahwan, (2008) menyatakan bahwa peningkatan dan penurunan suhu menandakan aktivitas mikroorganisme meningkat dan menurun dalam menguraikan bahan organik. Suhu yang meningkat disebabkan adanya panas hasil metabolisme mikroba. Panas yang dihasilkan oleh mikroba merupakan hasil dari respirasi, semakin tinggi temperatur maka semakin banyak pula konsumsi oksigen dan semakin cepat pula proses dekomposisi dan menurunnya suhu dikarenakan berkurangnya nutrisi yang terkandung dalam media dan mengindikasikan bahwa pengomposan sudah selesai.

Temperatur yang paling tinggi dari kedua perlakuan baik pada pengomposan eceng gondok halus dan kasar terdapat pada perlakuan pertama yaitu Mol buah sayur. Sedangkan pada perlakuan lainnya suhu yang dihasilkan baik pada MOL dan EM-4 relatif sama, dan tidak ada perbedaan yang sangat tinggi. Hal ini diduga bahwa mikrooganisme dalam ketiga aktivator yang dicoba mempunyai keragaman yang hampir sama, sehingga peranannya dalam proses perombakan bahan organik tidak jauh berbeda. Perlakuan B1 (Mol buah sayur) mengandung Azotobacter sp, Azosprilium sp, Rhizobium sp, Aspergillus sp,

Aeromonas sp, Metarhizium sp, Trichoderma sp, Beauveria sp, Gliocladium sp, Trichoderma sp, Pseudomonas sp, Azosprilium sp, (Yuwono (2008), B2 (Tape, tempe dengan yakult) beberapa jenis mikroorganisme yaitu Saccharomyces sp,

Rhizopus sp, Lactobacilus sp, ragi (Ginting, 2009), B3 (EM-4) mengandung bakteri asam laktat (Lactobacillus sp), bakteri fotosintesis (Rhodopseudomonas

sp) Azotobacter, Streptomyces sp., ragi (Saccharomices sp), aspargillus sp. dan Actinomycetes sp. (Djuarnani dkk, 2005).

Temperatur merupakan faktor penting yang menentukan baik buruknya tingkat keberhasilan dari pembuatan kompos, disamping itu juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan. Pada gambar tersebut tampak bahwa setiap perlakuan rata-rata suhu tidak mencapai suhu thermofilik (50°C) namun hanya mencapai suhu mesofilik (30°C). Kemungkinan disebabkan tinggi tumpukkan yang rendah mengakibatkan panas yang terbentuk tidak dapat tertahan lama di dalam tumpukan dan langsung keluar sehingga panas yang terakumulasi rendah. Rendahnya suhu juga diakibatkan karena pada saat penelitian

(2007), dalam hasil penelitiannya yang menyatakan pada system natural aeration, udara yang masuk kedalam alat bergantung pada kondisi udara sekitar dan cuaca, sehingga aerasi yang diperoleh tidak teratur bahkan mungkin jumlahnya bisa terlalu sedikit.

Temperatur kompos yang dihasilkan dari kedua perlakuan berada pada kisaran 30oC-35oC, temperatur kompos yang cenderung sama ini diduga karena tumpukan bahan kompos yang terlalu rendah sehingga temperatur tidak mencapai tahap termofilik (40-60oC). Hal ini sesuai dengan pernyataan Musnamar (2003) bahwa tinggi tumpukan merupakan salah satu faktor yang menentukan temperatur pengomposan, tumpukan bahan yang terlalu rendah akan mengakibatkan cepatnya kehilangan panas karena tidak cukupnya material untuk menahan panas yang dilepaskan, sehingga mikroorganisme tidak dapat berkembang secara optimal. Sebaliknya jika tumpukan terlalu tinggi, akan terjadi kepadatan bahan yang diakibatkan oleh berat bahan sehingga suhu menjadi sangat tinggi dan tidak ada udara di dalam tumpukan.

Selama proses pengomposan berlangsung, pengukuran temperatur harian diukur dengan menggunakan termometer yang dimasukkan ke dalam tumpukan kompos. Pada gambar tersebut tampak bahwa keseluruhan bahan temperaturnya berkisar antara 30oC sampai 35oC dan kemudian menurun terus sampai didapat suhu terendah berkisar antara 27oC-29oC. Pada kisaran temperatur ini sudah termasuk dalam suhu optimum pengomposan dan diduga kisaran temperatur ini komposisi populasi mikroba berubah ke tahap mesofilik (20oC-40oC) dan temperatur kompos yang telah mengalami penurunan berkisar antara 27oC sampai 29oC hal ini diduga karena kompos telah berada pada tahapan psikofil yang

ditandai dengan menurunnya suhu mendekati suhu ruang. Pada penelitian ini kompos yang berasal dari eceng gondok halus dan kasar memiliki temperatur yang mendekati suhu ruang (27oC) yang menandakan kompos tersebut telah matang.

Kondisi pH Kompos (Derajat Keasaman)

Nilai pH kompos berdasarkan pemberian beberapa jenis aktivator dari dua variasi diperlihatkan pada masing-masing variasi dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh pengomposan eceng gondok (A), aktivator (B) dan interaksinya

(AxB) pada pH kompos

Jenis aktivator Eceng gondok

Rataan Halus (A1) Kasar (A2)

B0 (Kontrol)

B1 (Mol buah sayur)

B2 (Mol tape,tempe,dan yakult)

B3(EM-4) 7,6 7,2 7,1 7,0 7,7 7,4 7,2 7,2 7,7 d 7,3 c 7,2 b 7,1 a Rataan 7,2 a 7,4 b

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pH (Lampiran 9) menunjukkan bahwa pengomposan eceng gondok pada beberapa jenis aktivator memberikan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan. Sedangkan interaksi antara pengomposan eceng gondok pada beberapa jenis aktivator menunjukkan pengaruh yang berbeda tidak nyata antar perlakuan. Pada pengomposan eceng gondok halus atau kasar memberikan pengaruh yang berbeda nyata masing- masing sebesar 7,2 dan 7,4, sedangkan pada pemberian beberapa jenis aktivator memberikan pengaruh yang berbeda nyata antar perlakuan yaitu pada perlakuan B0 (kontrol) sebesar 7,7, B1 (mol buah sayur) sebesar 7,3, B2 (mol tape,tempe dan

pada sebahagian kompos sudah merata dan terkait juga dengan ukuran partikel dan struktur bahan dasar kompos yang mempengaruhinya. Pada penelitian ini semakil kecil ukuran bahan baku maka semakin cepat proses pengomposan karena permukaan bahan baku akan bertambah dan mempermudah mikroorganisme dalam melakukan penguraian atau dekomposisi. Sebaliknya, jika semakin besar ukuran bahan baku maka semakin besar volume pori udara dalam campuran bahan yang didekomposisi sehingga pembalikan timbunan bahan selama proses dekomposisi berlangsung sangat dibutuhkan dan berguna mengatur pasokan oksigen bagi aktivitas mikroba.

Menurut Dalzell dkk. (1991) bahwa nilai pH yang mencapai netral sampai agak alkalis disebabkan karena terjadinya penguraian protein menjadi amonia (NH

3) yang berpengaruh terhadap peningkatan pH kompos, dimana proses pola perubahan pH kompos berawal dari pH agak asam karena terbentukknya asam- asam organik sederhana, kemudian pH meningkat akibat terurainya protein dan terjadinya pelepasan amonia. Dan diperkuat oleh pernyataan Firdaus, (2011) bahwa adanya aktivitas penguraian bahan organik oleh mikroorganisme dalam pengomposan bertujuan untuk mendegradasi asam-asam organik yang terdapat pada bahan kompos. Namun menurut Sutedjo (2002), yang mengatakan bahwa kisaran pH kompos yang baik adalah 6,5 – 7,5 (netral) karena akan mempengaruhi aktifitas mikroorganisme.

Dari Tabel 8 diatas dapat diketahui bahwa pengaruh aktivator pada pengomposan eceng gondok menunjukkan tren yang hampir sama terhadap pH kompos yaitu memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Nilai pH kompos rata- rata 7,0 – 7,7. Nilai pH tertinggi terdapat pada perlakuan B0 (kontrol) dengan pH

7,7. Nilai pH tertinggi terdapat pada perlakuan B0 (Kontrol) ini disebabkan perlakuan kompos tanpa dekomposer tidak ada penambahan bioaktivator untuk mempercepat pengomposan sehingga mengakibatkan pengomposan berlangsung secara alami serta mikroorganisme yang berperan lebih sedikit dibandingkan dengan yang diberikan perlakuan berupa dekomposer. Tingginya pH pada perlakuan ini menyebabkan mikroorganisme yang ada tidak dapat berkembang untuk mencapai pH tanah yang netral. Menurut Hanafiah (2005) menyatakan bahwa umumnya mikroba penghancur berperan dalam proses penguraian bahan organik berkembang dan aktif pada pH netral-alkalis (6,5-8,5), bakteri adalah 6- 7,5 untuk jamur 5-8. sedangkan proses mineralisasi dan nitrifikasi optimum pada pH sekitar 7,0. Namun pH dari keempat perlakuan sudah memenuhi persyaratan teknis minimal pupuk organik padat sekitar 4 – 8, berarti pH kompos pada penelitian ini sudah memenuhi standar.

Menurut SNI (2004), pH selama pengomposan berkisar antara 6,8 - 7,49. Derajat keasaman (pH) yang tidak memenuhi kriteria menurut SNI pada penelitian ini diduga disebabkan oleh bahan yang masih basah dan mikrobia yang berada di dalamnya belum bekerja dengan optimal sehingga penguraian polimer menjadi asam-asam organik tidak berjalan optimal. Pada perlakuan kontrol (B0) tidak memenuhi kriteria pH menurut SNI. Hal ini diduga tidak adanya penambahan mikrobia sehingga penguraian berlangsung secara alami. Sebaliknya, pada perlakuan B1 (Mol buah sayur), B2 (Mol tape,tempe dan yakult) dan B3 (EM4) memenuhi kriteria pH menurut SNI dan memberikan pengaruh yang baik terhadap nilai pH kompos. Berdasarkan pernyataan Agrotech dan Prihandarini

(2005), menambahkan bahwa penambahan aktivator dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang menguntungkan seperti jasad mikro penambat nitrogen. Analisis C/N Ratio Kompos

Rasio C/N menandakan telah terjadinya proses dekomposisi dalam pengomposan dan kematangan kompos, hubungan antara penambahan bioaktivator selama proses pengomposan terhadap rasio C/N dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini.

Tabel 9. Pengaruh pengomposan eceng gondok (A), Aktivator (B) dan interaksinya (AxB) pada C/N Ratio kompos

Jenis aktivator Eceng gondok Rataan

Halus (A1) Kasar (A2)

B0 (Kontrol)

B1 (Mol buah sayur)

B2 (Mol tape,tempe dan yakult)

B3 (EM-4) 21,17 g 6,95 a 10,71 b 16,67 de 23,28 g 11,88 bc 15,75 d 17,58 ef 22,23 d 9,42 a 13,23 b 17,13 c Rataan 13,88 a 17,12 b

Keterangan : Notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5%

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam C/N ratio (Lampiran 10) dapat dilihat bahwa kompos eceng gondok yang ditambahkan beberapa sumber aktivator organik menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata. Sedangkan pengaruh aktivator pada pengomposan eceng gondok menunjukkan interaksi yang berbeda nyata antar perlakuan.

Pada tabel 9 diatas menunjukkan bahwa pemberian beberapa jenis aktivator yang berbeda menghasilkan nilai perbandingan C/N kompos yang berbeda pula. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa C/N dari setiap perlakuan menunjukkan interaksi yang nyata (P>0.05). Dari tabel dapat diketahui bahwa kompos yang memiliki C/N > 20 terdapat pada interaksi

dekomposer dengan bahan organik berupa eceng gondok kasar yaitu pada penambahan dekomposer B1 (mol buah sayur), B2 (mol tape,tempe dan yakult) dan B3 (EM-4), dimana nilai terendahnya terdapat pada dekomposer B1 (mol buah sayur) yaitu 11,88. Sedangkan pada interaksi kompos eceng gondok halus dengan beberapa dekomposer seperti perlakuan B1 (mol buah sayur), B2 (mol tape,tempe dan yakult) dan B3 (EM-4), ratio C/N terendah terdapat pada perlakuan B1 (mol buah sayur) dengan nilai 6,95. Hal ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi yang terjadi antara interaksi bahan organik dan dekomposer dengan baik dan pada perlakuan ini juga disebabkan oleh tingginya aktivitas mikroorganisme selama proses dekomposisi berlangsung. Berdasarkan pernyataan Sutanto (2002), bahwa pada umumnya limbah organik mempunyai nisbah C/N berkisar antara 15 dan 30:1. Selama proses dekomposisi berlangsung nisbah C/N turun sampai mendekati 12 pada kompos yang sudah matang.

C/N ratio adalah hasil perbandingan antara karbon dan nitrogen . Pada Tabel terlihat bahwa pemberian jenis aktivator pada pengomposan eceng gondok memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap C/N ratio kompos. Hal ini diduga pada MOL dan EM4 mampu menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi aktivitas mikrobia dekomposer dalam merombak bahan organik. Menurut Suwastika (2001), menyatakan bahwa selama proses dekomposisi berlangsung, bahan organik akan dirombak menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana sampai akhirnya senyawa tersebut tidak dapat didekomposisikan lagi, seperti tanin, asam humat dan fulfat. Hasil akhir pelapukan menyebabkan kandungan C- organik dan rasio C/N menurun sedangkan kandungan N dan unsur hara lainnya

menurunkan C/N ratio bahan organik menjadi sama dengan C/N ratio tanah (<20). Nilai C/N ratio tanah sekitar 10-12. Bahan organik yang mempunyai C/N ratio sama dengan tanah memungkinkan bahan tersebut bisa diserap oleh tanaman.

Perbedaan perlakuan nisbah C/N memberikan pengaruh yang nyata terhadap bahan komposan, disebabkan pada proses pengomposan sangat dipengaruhi oleh kadar unsur C dan N yang tersedia dalam bahan kompos. Proses pengomposan akan terjadi pelepasan karbondioksida, semakin tinggi aktivitas mikroorganisme maka dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik sehingga C-organik akan berkurang (akibat pelepasan karbondioksida dan dekomposisi bahan organik) sementara kadar N-total mengalami peningkatan sehingga rasio C/N akan berkurang. Berdasarkan pernyataan musnamar (2007), bahwa didalam proses pengomposan akan terjadi perubahan struktur bahan organik yang dilakukan oleh mikroorganisme yaitu berupa penguraian selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin, serta yang lainnya menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Hanafiah (2005) bahwa rasio C/N lebih kecil<20 menunjukkan terjadinya proses mineralisasi N, sedangkan diantara 20-30 terjadinya proses mineralisasi dan imobilisasi yang seimbang.

Perbandingan Analisis Kompos dari Eceng Gondok dengan SNI

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka didapatkan data hasil kompos yang telah matang. Perbandingan nilai akhir kompos dengan persyaratan teknis minimal pupuk organik padat menurut SNI: 19-7030-2004 dalam Badan Standarisasi Nasional (2011) dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini.

Tabel 10. Perbandingan analisis kompos dari eceng gondok dengan SNI

Parameter Perlakuan SNI

A1 B0 A1 B1 A1 B2 A1 B3 A2 B0 A2 B1 A2 B2 A2B3 Min Maks

Temperatur oC 29 29,33 29 29 29 29 29,33 29 - 30oC

pH 7,6* 7,2 7,1 7,0 7,7* 7,4 7,2 7,2 6,80 7,49

C/N Ratio 21,17* 6,95* 10,71 16,67 23,28* 11,88 15,75 17,58 10 20

Keterangan:*Tidak memenuhi standar SNI

Dari hasil data diatas dapat dilihat bahwa eceng gondok yang dimanfaatkan menjadi kompos dengan kombinasi beberapa perlakuan secara umum sudah memenuhi

SNI: 19-7030-2004 dalam Badan Standarisasi Nasional (2011). Pada pengamatan temperatur nilai temperatur yang dihasilkan berkisar 29oC dan nilai yang dihasilkan semua perlakuan masuk pada standar SNI.

Sedangkan pada pengujian pH, nilai pH berkisar 7,0 sampai 7,7, tetapi dari hasil tersebut beberapa jenis perlakuan yang masuk pada kriteria standar SNI yaitu A1B1, A1B2, A1B3,A2B1,A2B2,A2B3. Kemudian dari hasil analisis laboratorium nilai C/N kompos yang dihasilkan berkisar 6,95 sampai 23,28 beberapa perlakuan yang masuk pada kriteria SNI yaitu pada perlakuan A1B2, A1B3, A2B1, A2B2, A2B3. Dari hasil tersebut secara keseluruhan rata-rata perlakuan sudah memenuhi SNI: 19-7030-2004 dalam Badan Standarisasi Nasional (2011).

Dokumen terkait