• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Film Bionanokomposit Morfologi Permukaan

Hasil uji morfologi permukaan film menggunakan SEM disajikan pada Gambar 5. Film karagenan (N0B0) menunjukkan struktur yang homogen, kompak dan halus, sedangkan penambahan beeswax menghasilkan film dengan warna permukaan yang berkabut dan tidak seragam (N0B1). Muscat et al. (2013) juga melaporkan bahwa penambahan beeswax kedalam film pati tinggi amilosa mempengaruhi kekasaran permukaan film. Hal ini disebabkan terjadi koalesensi butiran lemak selama proses pengeringan film. Kekasaran film juga akan semakin meningkat jika dispersi larutan pembentuk film tidak stabil (Monedero et al.

2009). Inkorporasi NP-ZnO (film N1B0 dan N1B1) menghasilkan struktur film yang kasar dengan distribusi nanopartikel yang tidak merata. Pengamatan dibawah SEM juga menunjukkan adanya beberapa agregasi NP-ZnO pada permukaan film. Menurut Li et al. (2009b) agregasi nanopartikel metal oksida diketahui dapat menurunkan sifat mekanis film. Kemampuan fotokatalitik film nanokomposit dalam memicu terbentuknya ROS (reactive oxygen species) juga akan menurun (Jassby et al. 2012). Fenomena ini diduga akan berpengaruh pada kemampuan film nanokomposit sebagai pengemas antimikroba. Penelitian lain yang menambahkan NP-ZnO ke dalam biopolimer seperti metil selulosa (Espitia

et al. 2013), agar dan CMC (Kanmani dan Rhim 2014) menghasilkan film dengan morfologi permukaan yang serupa.

Keterangan: a (N0B0), b (N0B1), c (N1B0), d (N1B1). Perbesaaran 1000x dan 5000x Gambar 5 Mikrograf SEM film karagenan dan bionanokompositnya. Analisis FT-IR

Interaksi yang terjadi antara polimer karagenan, beeswax dan NP-ZnO dipelajari menggunakan teknik spektroskopi menggunakan instrumen FT-IR. Gambar 6 menyajikan masing-masing spektra FT-IR dari film karagenan dan

a b

bionanokompositnya. Pita serapan yang luas pada bilangan gelombang 3050-3650 cm-1 berkorelasi dengan stretching O-H pada polimer karagenan sedangkan puncak serapan yang muncul pada 2833-2956 cm-1 merupakan frekuensi dari

stretching –CH2 pada karagenan (Rhim dan Wang 2013) dan beeswax (Lim et al.

2015). Puncak serapan gugus amida tipe 1 pada bilangan gelombang 1649 cm-1 muncul pada spektra FT-IR semua film. Hasil olah spektra juga menunjukkan keberadaan serapan yang kuat pada wilayah 1222-1265 cm-1 akibat gugus sulfat ester dan 922-945 cm-1 akibat adanya 3,6-D-galaktosa anhidrat. Puncak khas galaktosa-4-sulfat pada polimer karagenan terlihat pada 848 cm-1 (Distantina et al.

2013). Spektra film yang mengandung komponen beeswax menunjukkan puncak serapan masing-masing pada ~1738 cm-1 dan ~1468 cm-1 yang berasosiasi dengan C=O stretching pada gugus karboksilat dan C-H3 bending pada gugus alkana (Muscat et al. 2013, Lim et al. 2015).

Gambar 6 Spektra FT-IR film karagenan dan bionanokompositnya.

Sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6, inkorporasi NP-ZnO menghasilkan model spektra dengan puncak serapan yang serupa sehingga dapat disimpulkan keberadaan nanopartikel tidak mengubah struktur polimer karagenan. Akan tetapi, beberapa puncak serapan mengalami pergeseran ke bilangan gelombang yang lebih tinggi atau rendah dengan penambahan NP-ZnO yang menunjukkan adanya interaksi antara nanopartikel dan matriks polimer karagenan. Sebagai contoh pada pada film karagenan (N0B0) puncak serapan pada 1232 cm-1 bergeser menjadi 1222 cm-1 dengan penambahan 1% NP-ZnO (N1B0) dan 1247 cm-1 pada konsentrasi 0.5% NP-ZnO (N0,5B1). Penambahan beeswax pada polimer karagenan juga menggeser bilangan gelombang puncak serapan dan intensitasnya yang disebabkan oleh adanya interaksi van der Walls. Satu puncak serapan tambahan pada bilangan gelombang 1538 cm-1 muncul pada spektra film yang dihasilkan dari kombinasi antara karagenan, beeswax dan NP-ZNO (N1B1

Bilangan gelombang (cm-1) T ra snm it an (%)

dan N0,5B1). Menurut Badre et al. (2007) dan Otero et al. (2014) puncak ini merupakan serapan stretching asimetris gugus seng-karboksilat (Zn-COO) hasil interaksi antara beeswax dan NP-ZnO.

Warna Film

Warna film pengemas akan mempengaruhi penampakan secara umum dan penerimaan konsumen. Tabel 5 menunjukkan bahwa warna permukaan film dipengaruhi oleh NP-ZnO dan beeswax. Inkorporasi NP-ZnO menurunkan nilai L secara signifikan seiring bertambahnya konsentrasi nanopartikel. Selain itu, nilai a juga menurun sedangkan nilai b meningkat secara signifikan. Hal ini mengindikasikan kecerahan film menurun sedangkan tingkat kehijauan dan kekuningan film meningkat dengan penambahan NP-ZnO. Serbuk NP-ZnO yang berwarna putih diduga bertanggung jawab dalam menurunkan transparansi dari film karagenan. Hasil yang sama juga dilaporkan pada film berbasis agar dan CMC (Kanmani dan Rhim 2014) serta pati sagu (Nafchi et al. 2012). Sementara itu, keberadaan beeswax di dalam film tidak mempengaruhi kecerahan film namun memberikan efek signifikan pada nilai a dan b film. Muscat et al. (2013) juga melaporkan bahwa penambahan beeswax ke dalam pati tinggi amilosa tidak berefek pada tingkat kecerahan film namun menurunkan nilai a dan meningkatkan nilai b. Total perbedaan warna film meningkat secara nyata seiring meningkatnya konsentrasi NP-ZnO yang ditambahkan. Penambahan beeswax juga memberikan total perbedaan warna yang berbeda nyata dibanding tanpa beeswax. Monedero et al. (2009) melaporkan bahwa penambahan komponen lemak mampu meningkatkan kekeruhan film.

Tabel 5. Komponen warna (L, a dan b) serta total perbedaan warna (ΔE) film Formulasi L a b ΔE Beeswax (%) NP-ZnO (%) 0 0 99,41±0,18pc -0,13±0,01pc 0,40±0,03pa 0,72±0,16pa 0,5 99,09±0,07pb -0,36±0,03pb 0,76±0,04pb 1,22±0,54pb 1 98,40±0,09pa -0,38±0,00pa 1,04±0,06pc 1,83±0,25pc 3 0 99,54±0,16pc -0,34±0,01qc 0,69±0,05qa 0,88±0,12qa 0,5 99,03±0,12pb -0,70±0,03qa 1,16±0,09qc 1,65±0,13qb 1 98,78±0,19pa -0,61±0,04qb 1,13±0,07qb 1,77±0,16qc Keterangan: Hasil merupakan rata-rata tiga ulangan ± SD. Perbedaan huruf (a-c: NP-ZnO, p-q:

beeswax) menunjukkan beda nyata pada uji lanjut Tukey dengan α = 5%.

Keterangan: a (N0B0), b (N0,5B0), c (N1B0), d (N0B1), e (N0,5B1), f (N1B1).

Laju Transmisi Uap Air

Kemampuan film untuk melewatkan uap air dapat ditentukan dengan mengukur laju transmisi uap air (water vapor transmission rate/WVTR) film. Gambar 8 menunjukkan inkorporasi NP-ZnO menurunkan nilai WVTR secara signifikan. Hasil ini serupa dengan penelitian sebelumnya dimana penambahan NP-ZnO ke dalam polimer karagenan mampu menurunkan permeabilitas uap air dari film dari 1.89 menjadi 1.71x10-9 g/m Pa s (Kanmani dan Rhim 2014). Nanopartikel dilaporkan mampu membentuk jalur berliku bagi molekul air untuk melewati matriks film (Yu et al. 2009). Studi lain juga menyatakan bahwa permeabilitas uap air dari nanokomposit film pati terplastisasi gliserol/ZnO (Ma et al. 2009) dan pati sagu/ZnO (Nafchi et al. 2012) menurun seiring meningkatnya konsentrasi NP-ZnO. Pada penelitian ini, nilai WVTR film karagenan menurun 6.89% dengan penambahan 0.5% ZnO dan 9.00% dengan inkorporasi 1% NP-ZnO. Semakin besar konsentrasi nanopartikel yang ditambahkan diduga meningkatkan jumlah jalur berliku bagi molekul uap air pada matriks film sehingga permeabilitas uap air film menurun. Gambar 8 juga memperlihatkan bahwa nilai WVTR film karagenan menurun secara signifikan oleh keberadaan komponen hidrofobik (beeswax) dalam matriks film. Hasil yang sama juga didapatkan dengan penambahan beeswax ke dalam film berbasis pati tinggi amilosa (Muscat et al. 2013) dan poli asam laktat (Lim et al. 2015). Beeswax

tersusun atas ester alkohol dan alkana rantai panjang yang sangat efektif dalam membatasi difusi air (Kristo et al. 2007). Pada penelitian ini, inkorporasi 1% NP-ZnO yang dikombinasikan dengan beeswax menciptakan efek sinergis terbaik dalam menurunkan WVTR film (formulasi N1B1).

Sifat Mekanis

Sifat mekanis film yang diuji dalam penelitian ini adalah parameter kuat tarik dan elongasi. Gambar 9 dan 10 menunjukkan bahwa inkorporasi NP-ZnO ke dalam polimer karagenan meningkatkan kuat tarik film secara signifikan tetapi tidak berpengaruh pada nilai elongasi (p>0.05). Tidak ada perbedaan signifikan antara penambahan 0.5% dan 1% NP-ZnO (p>0.05). Serupa dengan hasil penelitian ini, Ma et al. (2009) melaporkan bahwa inkorporasi NP-ZnO ke dalam polimer pati terplastisasi gliserol meningkatkan kuat tarik film dari 3.94 menjadi 10.80 MPa sedangkan elongasi menurun dari 42.2% menjadi 20.4%. Peningkatan area kontak antara matriks polimer dengan nanopartikel diduga menjadi sebab tingginya kuat tarik film nanokomposit (Rhim dan Wang 2013). Nanopartikel ZnO mampu mengisi celah diantara rantai polimer sehingga membatasi pergerakan matriks dan berujung pada meningkatnya kuat tarik film (Li et al.

2009b). Sementara itu, Yu et al. (2009) mencoba menjelaskan fenomena ini menggunakan model persamaan Nicholais dan Narkis dimana kuat tarik film komposit berhubungan dengan gaya adhesi yang dihasilkan antara matriks polimer dan material pengisi. Jika interaksi interfasial (gaya adhesi) yang terjadi antara polimer dan nanopartikel ZnO sempurna, maka beban yang diberikan kepada film disalurkan ke material pengisi sehingga tidak ada pengurangan area kontak pada film. Pengurangan area kontak pada film diasumsikan sebagai penurunan kuat tarik.

Keberadaan beeswax juga berpengaruh signifikan terhadap sifat mekanis yang dibuktikan dengan menurunnya kuat tarik dan meningkatnya elongasi film.

Hasil ini serupa dengan dengan penelitian Muscat et al. (2013) yang menyatakan bahwa penambahan 5% beeswax ke dalam pati tinggi amilosa dapat menurunkan kuat tarik dari 31.6 menjadi 25.8 MPa sedangkan elongasi meningkat dari 4.3 menjadi 9.2%. Menurut Monedero et al. (2009) komponen beeswax mampu meningkatkan derajat diskontinuitas matriks polimer sehingga perubahan bentuk film dapat diminimalkan. Semakin rendah kuat tarik film, fleksibilitas film semakin meningkat. Beeswax mengandung hidrokarbon tak jenuh yang bertanggung jawab pada fleksibilitas film (Kristo et al. 2007). Selain itu, keberadaan komponen pengemulsi seperti Span 60 dan Tween 60 dalam emulsi

beeswax mampu memberikan efek sebagai pemlastis sehingga mampu meningkatkan elongasi film.

Gambar 8 Laju transmisi uap air film karagenan dan bionanokompositnya. Perbedaan huruf (a-c: NP-ZnO, p-q: beeswax) menunjukkan beda nyata pada uji lanjut Tukey dengan α = 5%.

Tanpa beeswax Dengan beeswax 0 10 20 30 40 50 60 70 0 0.5 1 65.9qb 61.3qa 59.9qa 37.2pb 33.3pa 31.3pa L aj u tra ns m is i ua p i ar (g /m 2 jam) NP-ZnO (%)

Gambar 9 Kuat tarik film karagenan dan bionanokompositnya. Perbedaan huruf (a-c: NP-ZnO, p-q: beeswax) menunjukkan beda nyata pada uji lanjut Tukey dengan α = 5%.

Gambar 10 Elongasi film karagenan dan bionanokompositnya. Perbedaan huruf

(a-c: NP-ZnO, p-q: beeswax) menunjukkan beda nyata pada uji lanjut Tukey dengan α = 5%. Tanpa beeswax Dengan beeswax 0 50 100 150 0 0.5 1 84.8qb 121.5qc 113.1qc 31.1pa 31.3pa 28.9pa K ua t ta ri k (M P a) NP-ZnO (%) Tanpa beeswax Dengan beeswax 0 20 40 60 80 100 0 0.5 1 60.9pa 65.9pa 65.5pa 83.5qa 72.9qa 71.5qa E long as i (%) NP-ZnO (%)

Aktivitas Antimikroba

Aktivitas antimikroba film diuji menggunakan metode kontak dimana sebelumnya dilakukan verifikasi awal terhadap kemampuan NP-ZnO dalam menghambat mikroba menggunakan metode sumur. Hasil verifikasi (Gambar 11) secara kualitatif menunjukkan bahwa NP-ZnO efektif menghambat pertumbuhan bakteri E.coli (Gram negatif) yang ditandai dengan adanya zona hambat pada media. Pengujian menggunakan bakteri S.aureus (Gram positif) tidak terlihat adanya zona hambat yang terbentuk. Perbedaan aktivitas antimikroba ini disebabkan oleh perbedaan struktur dinding sel dari mikroba. Bakteri Gram positif memiliki lapisan peptidoglikan tebal dan tersusun atas rantai linier polisakarida yang bertaut silang dengan peptida pendek. Struktur dinding sel yang kompleks ini diketahui menghambat nanopartikel untuk berpenetrasi ke dalam sel (Rhim dan Wang 2014). Paisoonsin et al. (2013) menambahkan bahwa kandungan pigmen karotenoid dalam sel S.aureus dilaporkan mampu bertindak sebagai enzim antioksidan (katalase) yang dapat mengubah H2O2 menjadi senyawa yang aman bagi mikroba, yaitu air dan oksigen. H2O2 merupakan oksiradikal yang sangat toksik bagi mikroba. Sementara itu, selain memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis, bakteri Gram negatif memiliki lapisan membran luar yang bermuatan negatif sehingga memudahkan nanopartikel untuk masuk ke dalam sel (Rhim dan Wang 2014). Hasil ini didukung oleh penelitian Li et al. (2009b) yang melaporkan bahwa NP-ZnO yang diinkorporasikan ke dalam film poliuretan memiliki afinitas terhadap sel E.coli yang kuat dibanding dengan jenis bakteri Gram positif. Oleh karena itu, pada penelitian ini uji film dilanjutkan dengan hanya menggunakan bakteri E.coli.

Hasil uji kualitatif (Gambar 11) menunjukkan bahwa hanya film dengan penambahan 1% NP-ZnO (N1B0) yang menunjukkan adanya penghambatan bakteri E.coli. Sementara itu, film dengan penambahan 0.5% NP-ZnO (N0,5B0) belum menunjukkan adanya aktivitas antimikroba. Nafchi et al. (2012) menyatakan bahwa aktivitas antimikroba NP-ZnO film nanokomposit meningkat seiring dengan bertambahnya konsentrasi nanopartikel. Pada penelitian ini, penambahan beeswax diketahui melemahkan aktivitas antimikroba NP-ZnO yang ditunjukkan dengan zona hambat yang terbentuk oleh N1B1 lebih kecil dibanding N1B0. Pembentukan kompleks senyawa baru antara NP-ZnO dan beeswax (seng karboksilat) diduga bertanggung jawab pada berkurangnya ion Zn2+ yang berpenetrasi ke dalam sel serta pembentukan ROS sehingga mengakibatkan efektivitas antimikroba menurun. NP-ZnO dilaporkan mampu menginisiasi terbentuknya ROS seperti radikal hidroksil dan superoksida, yang merusak protein, lipid dan DNA, serta hidrogen peroksida yang mampu berpenetrasi melalui dinding sel yang selanjutnya membunuh mikroba (Li et al. 2009b, Tankhiwale dan Bajpai 2012, Paisoonsin et al. 2013).

Keterangan: a (NP-ZnO 20 nm; E.coli), b (NP-ZnO 20 nm; S.aureus), c (N0B0), d (N0B1), e (N0,5B0), f (N0,5B1), g (N1B0), dan h (N1B1). Panah hitam menunjukkan zona penghambatan.

Gambar 11 Hasil uji antimikroba film karagenan dan bionanokompositnya.

Analisis Kualitas Mangga Susut Bobot

Susut bobot mangga meningkat signifikan seiring dengan lamanya penyimpanan (p<0.05) ditunjukkan pada Gambar 12. Susut bobot mangga sangat dipengaruhi oleh kehilangan air akibat proses transpirasi serta respirasi. Ngamchuachit (2006) menyatakan bahwa kehilangan air juga menyebabkan perubahan tekanan turgor seluler yang berperan dalam menjaga kekerasan jaringan buah. Menurut Pantastico (1973) laju kehilangan air juga ditentukan oleh bentuk dan struktur lapisan lilin pada permukaan buah. Pada proses pematangan buah, susunan lilin mengalami degradasi dan perubahan komposisi. Hasil pengamatan untuk parameter lain menunjukkan bahwa kenaikan susut bobot sejalan dengan menurunnya kekerasan buah (Gambar 13). Analisis korelasi Pearson mendukung hasil ini dimana susut bobot berkorelasi sangat kuat (R= -0.911, p<0.01) terhadap kekerasan buah (Lampiran 19). Korelasi yang didapatkan bernilai negatif yang berarti semakin bertambah susut bobot, kekerasan buah menurun.

Mangga kontrol tercatat mengalami susut bobot terbesar yaitu 19.84% sedangkan mangga dengan perlakuan kombinasi nanopartikel ZnO dan beeswax

menunjukkan perubahan susut bobot terkecil yaitu 13.05% (N0,5B1) dan 13,62% (N1B1) (hari ke-16 penyimpanan). Tingginya susut bobot mangga kontrol diduga akibat proses kehilangan air yang tidak dihambat. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa penambahan beeswax dalam komposisi pelapis (N0B1) mampu menurunkan bobot mangga lebih rendah (14.35%) dibanding mangga kontrol dan dengan pelapis karagenan murni (N0B0) (p<0.05). Kittur et al. (2001) melaporkan bahwa pelapisan mangga yang hanya menggunakan polisakarida tunggal tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap susut bobot buah karena cenderung bersifat hidrofilik. Penambahan komponen lemak seperti beeswax

diketahui dapat mengatur keseimbangan komponen hidrofilik-hidrofobik pelapis sehingga meningkatkan efektifitasnya dalam menekan kehilangan air. Penelitian serupa melaporkan bahwa pelapisan mangga menggunakan kombinasi

a b c d e f g h

polisakarida (pektin) dan lemak (beeswax) mampu menurunkan susut bobot mangga lebih kecil (4.4%) dibanding kontrol (6.3%) setelah 6 hari penyimpanan (Moalemiyan et al. 2011). Gambar 12 juga menunjukkan bahwa penambahan NP-ZnO pada pelapis (formula N1B0) mampu menurunkan susut bobot lebih kecil dibanding kontrol dan dengan perlakukan N0B0 (p<0.05). Keberadaan NP-ZnO dalam material pelapis dilaporkan mampu membatasi pertukaran gas pada permukaan buah serta menurunkan kehilangan air (Meng et al. 2014, ZhaO et al.

2009, Sabarisman et al. 2015). Akan tetapi, pada penambahan 0,5% NP-ZnO (formulasi N0,5B0) diketahui belum dapat menekan susut bobot pada mangga. Sesuai dengan hasil yang didapat dari pengukuran laju transmisi uap air (WVTR), semakin tinggi konsentrasi NP-ZnO dalam komposisi pelapis, maka sifat barier kelembapan akan semakin tinggi.

Gambar 12 Susut bobot mangga selama penyimpanan. Perbedaan huruf menunjukkan beda nyata pada uji lanjut Tukey dengan α = 5%. Kekerasan

Pelunakan tekstur buah disebabkan oleh perubahan tekanan turgor serta degradasi pati dan polisakarida pada dinding sel. Pektin merupakan jenis polisakarida utama pada dinding sel yang mengalami perubahan selama pematangan, selain selulosa dan hemiselulosa (Tharanathan et al. 2006). Pantastico (1973) menyatakan bahwa senyawa pektin mengalami depolimerasi atau pemendekan rantai dan deesterifikasi atau penghilangan gugus metil dari polimernya selama pematangan buah. Perubahan struktur pektin ini menyebabkan ketegaran buah menjadi berkurang. Gambar 13 memperlihatkan tingkat kekerasan buah mangga mengalami penurunan yang signifikan seiring lamanya penyimpanan (p<0.05). Pada hari ke-18 penyimpanan, mangga kontrol memiliki kekerasan sebesar 5.28 N sementara dengan pelapisan kekerasan mangga berkisar 4.79 – 5.74 N dimana hanya perlakuan N1B1 berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05). Baldwin et al. (1999) menyatakan bahwa baik pelapis berbasis polisakarida maupun lemak (lilin karnauba) menghasilkan kekerasan buah mangga yang lebih tinggi (masing-masing 5.3 dan 7 N) dibanding kontrol (2.8 N).

ab a d bc c e de 0 5 10 15 20 25 1 4 7 10 13 16 S us ut bobot (%)

Lama penyimpanan (hari)

KONTROL N0B0 N0B1 N0,5B0 N1B0 N0,5B1 N1B1

Penelitian lain melaporkan bahwa kombinasi antara polisakarida dan lemak lebih efektif dalam mempertahankan kekerasan buah mangga (Moalemiyan et al. 2011). Pelapisan diketahui mampu mempertahankan kekerasan dan menunda pelunakan daging buah mangga melalui dua cara yaitu penurunan laju transmisi uap air sehingga mampu menekan kehilangan air serta menunda degradasi komponen yang bertanggung jawab pada kekerasan buah, utamanya pektin tak larut air dan protopektin (Moalemiyan et al. 2011). Menurut Maftoonazad et al. (2008) selama pematangan, aktivitas enzim pektinesterase dan poligalakturonase meningkat sehingga menyebabkan solubilisasi pektin. Rendahnya konsentrasi O2 dan tingginya kadar CO2 dalam atmosfer internal buah yang diberi pelapisan mampu menghambat aktivitas enzim tersebut sehingga tekstur buah dapat dipertahankan. Teori ini didukung dengan hasil pengukuran produksi CO2 (Gambar 14) dimana perlakuan pelapisan pada mangga menghasilkan CO2 lebih rendah dibanding mangga tanpa pelapisan. Pelapisan menyebabkan CO2 tertahan dalam jaringan buah sehingga tidak terekspos keluar. Pada hari ke-6 penyimpanan, saat puncak produksi CO2 akan tercapai, mangga kontrol mengalami penurunan kekerasan tertinggi (44.64%) dibanding semua perlakuan pelapisan (20.37 - 44.23%). Hasil ini didukung analisis korelasi Pearson (Lampiran 19) yang menunjukkan bahwa kekerasan buah secara nyata (p<0.01) berkorelasi negatif (R= -0.682) dengan produksi CO2 dimana semakin rendah produksi CO2, semakin tinggi nilai kekerasan buah atau sebaliknya. Sementara itu, korelasi positif (R=0.782) ditunjukkan oleh hubungan antara kekerasan dan total asam. Secara nyata (p<0.01) semakin tinggi kekerasan buah, semakin tinggi nilai total asam. Akan tetapi pada proses pematangan, kekerasan buah akan menurun akibat pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana sehingga keasaman buah juga menurun.

Gambar 13 Kekerasan mangga selama penyimpanan. Perbedaan huruf menunjukkan beda nyata pada uji lanjut Tukey dengan α = 5%.

a a ab ab ab ab b 0 5 10 15 20 25 30 1 6 12 18 K eke ra sa n (N )

Lama penyimpanan (hari)

KONTROL N0B0 N0B1 N0,5B0 N1B0 N0,5B1 N1B1

Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa pelapis dan pengemas berbasis NP-ZnO mampu menunda penurunan kekerasan buah seperti jujube (Li

et al. 2009a) dan kiwi (Hu et al. 2011; Meng et al. 2014). Akan tetapi, pada penelitian ini uji sidik ragam menunjukkan bahwa keberadaan NP-ZnO dalam material pelapis (perlakuan N0,5B0 dan N1B0) tidak memberikan efek yang signifikan dalam mempertahankan kekerasan buah mangga (p>0.05). Konsentrasi nanopartikel dalam matriks film pelapis serta pembentukan agregasi diduga sangat berpengaruh pada kemampuan NP-ZnO dalam memperbaiki performa dan sifat barier dari material pelapis.

Produksi CO2

Respirasi pada buah dibedakan menjadi tiga tingkat yaitu pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana, oksidasi gula menjadi asam piruvat dan transformasi piruvat dan asam-asam organik lainya secara aerobik menjadi CO2, air dan energi (Pantastico 1973). Respirasi mangga dapat diamati melalui pengukuran CO2 yang dihasilkan. Mangga dikategorikan buah klimakterik karena selama proses pematangan akan mengalami kenaikan produksi CO2 mendadak sampai suatu puncak (klimaks). Pada penelitian ini, puncak produksi CO2 mangga terjadi pada hari ke-7 penyimpanan dimana mangga kontrol menghasilkan CO2 tertinggi yaitu 2415 ppm sedangkan perlakuan pelapisan berkisar antara 1794 – 1946 mg CO2 / kg udara (Gambar 14). Hasil ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Mattoo (1969) dimana produksi CO2 buah mangga meningkat antara hari 3 dan 4 setelah pemanenan dan kenaikan ini mencapai puncaknya pada hari ke-7 sebelum mengalami penurunan. Pada fase ini, enzim yang bertanggung jawab terhadap degradasi komponen dinding sel seperti pektinesterase, pektinase serta selulase dilaporkan mengalami kenaikan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan kekerasan buah menurun (Gambar 13) seiring lamanya penyimpanan yang diduga akibat aktivitas enzim tersebut. Selain pelunakan tekstur buah, Subramanyam et al. (1975) menyatakan bahwa puncak respirasi yang terjadi antara hari ke-6 dan ke-10 pasca pemanenan juga ditandai dengan perubahan warna dan pembentukan flavor buah mangga. Gambar 20 menunjukkan perubahan warna buah mangga dimulai dari hijau menjadi hijau kekuningan dimana perubahan warna mangga secara nyata telah dialami mangga kontrol pada hari ke-7 penyimpanan. Fenomena ini didukung nilai ΔE (Gambar 19) semua perlakuan mulai meningkat secara signifikan setelah hari ke-7 penyimpanan (p<0.05). Analisis korelasi Pearson juga mendukung hasil ini dimana produksi CO2 sangat berhubungan (p<0.05) dengan nilai ΔE dimana korelasi bernilai positif (R= -0.594) (Lampiran 19). Hal ini menunjukkan semakin tinggi produksi CO2 buah, maka perubahan warna buah semakin juga besar. Puncak produksi CO2 pada hari ke-7 juga diduga akibat perombakan asam-asam organik pada buah. Gambar 15 yang memperlihatkan bahwa pada hari ke-7 penyimpanan, total keasaman mangga mengalami penurunan terbesar yaitu 84.83% (mangga kontrol) dibanding hari penyimpanan lainnya. Menurut Tharanathan et al. (2006) asam-asam organik merupakan substrat utama respirasi. Pantastico (1973) menambahkan bahwa asam pada mangga, utamanya asam malat, mengalami dekarboksilasi yang menghasilkan CO2 sebagai produk samping.

Pelapisan mampu menurunkan respirasi buah mangga ditunjukkan melalui produksi CO2 yang rendah selama penyimpanan dibanding mangga kontrol

(p<0.05) (Gambar 14). Pelapisan dengan material semi permeabel dilaporkan dapat menunda pematangan buah dengan memodifikasi tingkat CO2, O2 serta etilen dalam buah. Pelapisan mampu menurunkan jumlah O2 untuk aktivitas respirasi serta membatasi difusi CO2 keluar jaringan. Konsentrasi CO2 internal dalam buah yang tinggi juga dapat menghambat respon terbentuknya etilen sehingga pematangan buah dapat tertunda (Moalemiyan et al. 2011). Uji sidik ragam menunjukkan semua formulasi pelapis berbeda nyata dengan kontrol (p>0.05). Pada formulasi dengan penambahan beeswax, komponen hidrofobik tersebut diketahui mampu meningkatkan barier gas dari pelapis polisakarida sehingga menurunkan laju respirasi buah secara signifikan (Velickova et al. 2013). Pelapis berbasis NP-ZnO juga diketahui memiliki permeabilitas gas yang selektif yang menurunkan pertukaran O2 dan CO2 dalam buah. Pada penelitian ini juga ditemukan fenomena bahwa mangga dengan pelapis 0,5% NP-ZnO (formulasi N0,5B0) serta kombinasi 0,5% NP-ZnO dan penambahan beeswax (formulasi N0,5B1) memiliki puncak produksi CO2 masing-masing pada hari ke-8 dan ke-9 penyimpanan. Menurut Moalemiyan et al. (2011) pelapisan tidak hanya mampu menurunkan kadar CO2 saat tercapai puncak respirasi tetapi juga mengubah pola respirasi. Hasil serupa juga dilaporkan oleh Zhu et al. (2008) yang melaporkan bahwa pelapisan mangga menggunakan kitosan menghasilkan puncak respirasi pada hari ke-13 penyimpanan sedangkan mangga kontrol mengalami puncak respirasi lebih cepat (hari ke-9 penyimpanan).

Gambar 14 Produksi CO2 mangga selama penyimpanan. Total Asam

Tingkat keasaman merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan

Dokumen terkait