• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi DNA dan Seleksi Primer Ekstraksi DNA

Hasil dari kegiatan ekstraksi DNA menentukan langkah selanjutnya untuk tahapan PCR. Pada tahapan ekstraksi dilakukan uji kualitas dan kuantitas DNA untuk dapat menentukan perbandingan pengenceran DNA yang akan dipakai sebagai salah satu bahan pada tahap selanjutnya, yaitu tahapan PCR.

Pola pita yang didapatkan dari kegiatan ekstraksi kayu jenis Shorea laevis

memperlihatkan pola pita yang cukup murni tidak terdapat bahan-bahan kontaminan (Gambar 11). Hal ini diduga oleh karena pita DNA genomik yang didapatkan dari kegiatan ekstraksi dari kayu adalah pita-pita dengan rantai yang pendek yang sudah terpotong-potong yang disebabkan oleh umur sel yang sudah tua, berbeda dengan hasil ekstraksi dari daun yang biasanya masih terdapat kotoran atau kontaminan. Menurut Qiagen (2001), hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung phenol yang tinggi, chloroform, dan alkohol. Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein, polisakarida, dan RNA.

Gambar 11 Pola pita DNA yang sangat tipis hasil dari ekstraksi kayu S. laevis

Untuk dapat melakukan analisis PCR diperlukan DNA dengan tingkat kemurnian dan berat molekul yang tinggi, akan tetapi ekstraksi DNA dari jaringan tanaman dengan tingkat kemurnian yang tinggi seringkali sulit diperoleh. Metode

80x

40x

20x

10x pemurnian yang tepat seringkali dibutuhkan terutama menyangkut kualitas DNA yang tinggi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan DNA hasil ekstraksi yang cukup murni adalah dengan melakukan proses pengenceran DNA (Kholik 2008; Tohirin 2009; Qalbi 2009).

Secara visual, pita DNA yang tebal (kotor) memerlukan perbandingan pengenceran yang lebih besar yaitu 100x (99 µl aquabidest: 1 µ l DNA). Pengenceran selanjutnya mengikuti tingkatan ketebalan pita DNA. Pita DNA yang paling tipis menggunakan perbandingan pengenceran 10x (9 µl aquabidest: 1 µ l DNA), karena kualitas DNA-nya termasuk bagus (tidak terlalu kotor) (Gambar 12).

Gambar 12 Contoh besarnya pengenceran hasil ekstraksi DNA (Siregar et al. 2008)

Setiap sampel DNA mempunyai perlakuan pengenceran yang berbeda- beda, tergantung dari kualitas DNA-nya. Pengenceran ini dimaksudkan agar pada tahap PCR primer dapat menempel pada pita DNA sehingga dapat teramplifikasi.

Seleksi Primer MikrosatelitMelalui Cross Species Amplification

Primer yang digunakan untuk kegiatan teknik mikrosatelit pada penelitian ini menggunakan primer dari hasil seleksi 10 primer spesifik untuk nuklear, yaitu lima primer yang diujicobakan pada jenis Shorea leprosula dan lima primer yang diujicobakan pada jenis Shorea curtisii. Untuk analisis nuklear pada kayu, dari 10 primer spesifik terdapat tiga primer yang memperlihatkan pola pita polimorfik, yaitu Sle E01, SleE07, dan Shc04 (Tabel 6). Perbedaan pola pita hasil amplifikasi pada suatu jenis dengan primer yang sama disebabkan oleh ukuran fragmen yang

berbeda-beda pada setiap jenis. Proses cross species amplification untuk kedua jenis primer tersebut juga sudah pernah berhasil dilakukan pada jenis Shorea robusta (Pandey and Geburek 2009). Contoh DNA electropherogram hasil mikrosatelit untuk ketiga primer disajikan pada Gambar 13. Hasil skoring pola pita ketiga primer pada semua sampel kayu disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 6 Hasil cross species amplification pada jenis S. laevis

Primer Hasil Amplifikasi Awal (bp) Hasil Amplifikasi pada S. laevis (bp) Keterangan Shc01 152 140-170 Monomorfik Shc02 149 160-190 Monomorfik Shc03 124 160-190 Monomorfik Shc04 96 60-80 Polimorfik Shc07 169 180-210 Monomorfik SleE01 179-188 150-200 Polimorfik SleE02 142-160 150-200 Monomorfik SleE05 175-191 150-200 Monomorfik SleE07 175-190 190-210 Polimorfik SleE08 177-197 200-220 Monomorfik

Gambar 13 DNA electropherogram hasil analisis mikrosatelit a). primer SleE01, b). SleE07, dan c). Shc04

Pendugaan Kayu dengan Asal-usul Tidak Jelas

Penelitian ini menggunakan bahan berupa kayu dengan asal-usul yang tidak jelas. Berdasarkan dendrogram (Gambar 14) dapat dikatakan bahwa kayu tersebut berasal dari IUPHHK PT. “X” atau setidaknya berasal dari propinsi

a c b 200 bp 100 bp 150 bp 50 bp

Kalimantan Tengah. Kayu dengan asal-usul tidak jelas tersebut memiliki struktur genetik yang sama dengan IUPHHK PT. “X” (90% struktur genetik mirip). Struktur genetik suatu populasi dipengaruhi oleh faktor evolusi, khususnya penyebaran benih dan aliran gen (Degen et al. 2001; Hardy et al. 2006). Selain itu, salah satu daerah di Kalimantan yang masih banyak terdapat kayu adalah dari propinsi Kalimantan Tengah.

Dendrogram asal usul kayu tidak jelas tersebut dibuat melalui perbandingan dengan database DNA nuklear jenis S. laevis dari daun hasil penelitian terdahulu (Siregar et al. 2009). Berdasarkan penelitian tersebut secara umum nilai parameter genetik jenis Shorea laevis (He = 0,4443) lebih kecil bila dibandingkan dengan jenis-jenis Shorea lainnya yang juga dianalisis dengan menggunakan metode mikrosatelit (S. cordifolia, He= 0,723, Stacy et al. 2001; S. curtisii, He= 0,622 Ujino et al. 1998; S. leprosula, He= 0,686 Lee et al. 2004).

Hutan tropis adalah hutan yang memiliki keragaman yang tinggi, akan tetapi jumlah setiap jenisnya rendah (Finkeldey 2005). Jenis yang dijumpai dalam kerapatan yang rendah di hutan tropis kurang bervariasi dibandingkan dengan jenis-jenis yang dijumpai dalam populasi dengan kerapatan yang tinggi. Keragaman genetik merupakan landasan bagi pemulia untuk memulai suatu kegiatan perbaikan tanaman. Besarnya keragaman genetik dapat menjadi dasar untuk menduga keberhasilan perbaikan genetik didalam program pemuliaan.

Uji Kesamaan (Similiarity) Sampel Kayu dari Kedua IUPHHK

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis kayu tebangan, TPK, dan kayu industri pada kedua IUPHHK, yaitu IUPHHK PT. “Y” dan IUPHHK PT. “X”. Berdasarkan dendrogram (Gambar 15) dapat dikatakan bahwa penggunaan teknologi molekuler dengan menggunakan analisis mikrosatelit dapat digunakan untuk menguji kesamaan (similiarity) sampel kayu. Hal ini dapat dilihat pada dendrogram dimana sampel kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK baik PT. “Y” maupun PT. “X” berada dalam satu kelompok yang sama.

Berdasarkan uji chi square (a=0,05; X2 Tabel= 3,841), secara umum kayu tebangan, kayu TPK, dan kayu industri di IUPHHK PT. “X” adalah sama. Akan tetapi, ada beberapa genotipe dan alel yang berbeda baik kayu TPK maupun kayu industri dengan genotipe atau alel kayu di tebangan (Tabel 7). Hal ini mungkin akibat peristiwa Wahlund-Effect yang disebabkan oleh kegiatan swapping kayu,

switching kayu, mixturing kayu, dan ukuran populasi sampel yang tidak mewakili seluruh populasi IUPHHK PT. “X” (Caver et al. 2005; Certisource 2009).

Gambar 15 Dendrogram uji kesamaan (Similiarity) Populasi PT. “X”

Tabel 7 Hasil uji chi square kayu di IUPHHK di PT. “X”

Lokus Genotipe

Jumlah Genotipe X2 (a=0,05) Tebangan- TPK X2 (a=0,05) Tebangan-Industri Tebangan TPK Industri 1 11 12 17 17 2,08ns 2,08ns 12 4 1 1 2,25ns 2,25ns 13 1 2 2 1,00ns 1,00ns 22 2 0 0 2,00ns 2,00ns 23 1 0 0 1,00ns 1,00ns 2 11 9 2 0 5,44** 9,00*** 13 4 12 2 16,00*** 1,00ns 22 7 3 1 2,29ns 5,14** 3 11 1 4 7 9,00*** 36,00*** 13 19 15 9 0,84ns 5,26**

Keterangan: ns= non significant; **= significant pada selang kepercayaan 95%; ***= sangat significant pada a= 0,05

Uji Lapang Lacak Balak “Apple to Apple Test” di IUPHHK PT. “Y”

Berdasarkan uji lapang lacak balak pada kayu tunggak dan kayu TPK yang diambil berdasarkan nomor pohon yang sama, dapat dikatakan bahwa secara umum sistem pelabelan kayu pada IUPHHK PT. “Y” berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari persentase kecocokan genotipe antara kayu tunggak dengan kayu TPK adalah 70% (Tabel 8). Dari 20 sampel yang diujicobakan, terdapat 14 sampel yang menunjukkan kecocokan DNA kayu tunggak dengan kayu TPK. Nilai perbedaan genotipe sebesar 30% kemungkinan disebabkan oleh kesalahan dalam pelabelan (miss-labeling). Minimum 60% persentase kesesuaian antara pita/genotipe di tunggak dengan di TPK yang mengindikasikan bahwa kayu di tunggak sama dengan kayu di TPK (Certisource 2009).

Berdasarkan grafik frekuensi alel, secara umum struktur alelik di tunggak sama dengan struktur alelik di TPK (Gambar 16). Pada gambar grafik dapat dikatakan bahwa lokus dua dapat digunakan sebagai marker untuk mengetahui kecocokan DNA kayu tunggak dengan kayu di TPK, khususnya untuk jenis S. laevis. Hal ini dapat terlihat dari nilai frekuensi yang sama untuk semua alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK. Sebaliknya, lokus tiga dapat dijadikan

marker untuk mengetahui ketidakcocokan DNA kayu tunggak dengan kayu di TPK jenis S. laevis. Hal ini dapat terlihat dari nilai frekuensi yang berbeda untuk semua alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK.

Tabel 8 Kesesuaian genotipe kayu tunggak dengan kayu TPK

No. Sampel

Genotipe Tunggak Genotipe TPK

Kesesuaian Genotipe Lokus 1 Lokus 2 Lokus 3 Lokus 1 Lokus 2 Lokus 3 1 12 13 13 12 13 11 No 2 12 13 13 12 13 13 Yes 3 11 13 13 12 13 13 No 4 12 13 13 12 13 13 Yes 5 12 13 13 12 13 13 Yes 6 12 13 13 12 13 13 Yes 7 12 13 11 12 13 13 No 8 13 13 12 12 13 13 No 9 11 13 13 13 13 13 No 10 11 13 13 11 13 13 Yes 11 12 13 13 12 13 13 Yes 12 11 13 13 11 13 13 Yes 13 12 13 13 12 13 13 Yes 14 12 13 23 12 13 13 No 15 12 13 13 12 13 13 Yes 16 12 13 13 12 13 13 Yes 17 12 13 13 12 13 13 Yes 18 12 13 13 12 13 13 Yes 19 12 13 13 12 13 13 Yes 20 12 13 13 12 13 13 Yes

Gambar 16 Frekuensi alel kayu tunggak dan kayu TPK Alel 1 Alel 2 Alel 3 Alel 1 Alel 2 Alel 3 Alel 1 Alel 2 Alel 3

Selain itu, berdasarkan uji chi square (a=0,05; X2 Tabel= 3,841) jumlah genotipe baik di tunggak maupun di TPK, secara umum kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. “Y” yang dilakukan pengujian “apple to apple“ adalah sama. Hasil uji chi square genotipe kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. “Y” disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Chi square test kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. “Y”

Lokus Genotipe Jumlah Genotipe X2 (a=0,05) Tebangan-TPK Tebangan TPK 1 11 4 2 1,0000ns 12 15 17 0,2667ns 13 1 1 0,0000ns 2 13 20 20 0,0000ns 3 11 1 1 0,0000ns 12 1 0 1,0000ns 13 17 19 0,2353ns 23 1 0 1,0000ns

Keterangan: ns= non significant

Aplikasi Teknologi DNA untuk Lacak Balak pada Kayu

Secara biologis selain daun, benih dan kambium, kayu juga menyimpan materi genetik berupa DNA. Informasi genetik pada tanaman kehutanan tersebar pada tiga genom yaitu inti sel (nuklear), mitokondria dan kloroplas. DNA kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetik pada beberapa tanaman, seperti pada Dipterocarpaceae (Kamiya et al. 2005), serta studi ekologi dan sejarah evolusi tanaman (Heuertz et al. 2004). Baru-baru ini DNA kloroplas juga telah digunakan sebagai alat identifikasi dan forensik kayu (asal daerah kayu) untuk mendukung kegiatan sertifikasi kayu (Deguilloux et al. 2004). Penanda mikrosatelit juga telah digunakan untuk lacak balak pada jenis kayu ramin (Smulders et al. 2008).

Berdasarkan hasil penelitian, DNA kayu Shorea laevis dapat diekstraksi dan diamplifikasi dengan penanda mikrosatelit. Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu sebelumnya sudah berhasil dilakukan (Deguilloux et al. 2002), selain dari kayu, kegiatan esktraksi DNA pada kulit biji yang keras juga sudah berhasil dilakukan (Godoy and Jordano 2001). Jika DNA kayu berhasil diekstraksi, maka dengan metode PCR bagian-bagian tertentu DNA dapat selanjutnya diamplifikasi hingga

cukup untuk keperluan analisis variasi genetik. Banyak penelitian yang menggunakan DNA kayu untuk lacak balak kayu (Degen and Fladung 2007; Finkeldey et al. 2007; Lowe 2007).

Hasil proses amplifikasi dengan menggunakan primer nuklear mikrosatelit pada kayu Shorea laevis tidak semua menunjukkan pola pita yang polimorfik, hanya tiga primer yang menghasilkan pola pita polimorfik. Penanda genetik yang baik adalah memiliki sifat polimorfik, multialel, bersifat ko-dominan, non- epistatik, netral, dan tidak sensitif terhadap pengaruh lingkungan (de Vienne 2003). Penanda molekuler merupakan suatu metode yang relatif baru dan potensial digunakan untuk menganalisa keragaman genetik suatu organisme (Suryanto 2003).

Menurut Siregar (2000), keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam populasi dan antar populasi dan masing-masing mempunyai beberapa ukuran. Pada umumnya sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam populasi dan perbedaan antara populasi hanya sedikit (Hamrick dan Godt 1996). Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat atau hibrid, dimana metode anatomi kayu sangat sulit untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya. Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu jati sebelumnya telah berhasil dilakukan untuk memverifikasi aliran kayu jati pada Perhutani (Siregar et al. 2008). Selain itu, penelusuran asal-usul kayu juga dapat dilakukan dengan menggunakan analisis kimia kayu, isotop, dan anatomi kayu (Abe and Fujii 2007; Boner et al.

Dokumen terkait