UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU
(Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT
TEDI YUNANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2010
Tedi Yunanto
ABSTRACT
TEDI YUNANTO. Field Test Of Meranti Balau Timber Tracking (Shorea laevis Ridl.) With Microsatellite Marker. Under the direction of ISKANDAR Z. SIREGAR, and ULFAH J. SIREGAR.
Forestry activities which start from planting stock procurement to logging cannot be freed from criminal activities to gain big profit in very short time. A very clear example occur in the territory of West Kalimantan and Central Kalimantan province where illegal logging practice are rampant and illegal trading is easily practiced by people. In these regions, meranti wood (Shorea laevis) for example flows easily to neighboring countries without being accompanied by valid documents. Plant materials used in this study were sampled in the form of wood discs and pieces (n=160 samples) collected in logging site, log yard (TPK), industry belong to forest concession (IUPHHK), and wood with unclear identity which are taken from Sunda Kelapa port, Jakarta. Experiments to track meranti timber were therefore carried out with objectives: i) to test cross species amplification of S. leprosula and S. curtisii
primer to S. laevis, ii) to infer the origin of timber including its flow in forest concession and industry, and iii) to determine the DNA matching between logging area and log yard. This study was performed using cross-species amplification of other Shorea microsatellites identified from previous experiment. Based on nuclear genetic database of previous study from bangkirai leaves, result showed unclear bangkirai timber from Jakarta was clustered with “X” forest concession (IUPHHK) in Central Borneo Province. In Indonesia, particularly in Borneo Island, Central Borneo has the largest forest area among the other provinces. Results of timber tracking test based on three polymorphic loci for matching wood in a logged area and a log yard of a concession holder showed high level of allelic structure conformity (70%). Based on the results of this study, the molecular tool may be used in the near future to strengthen the exisiting system of Chain of Custody (CoC).
RINGKASAN
TEDI YUNANTO. Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR dan ULFAH J. SIREGAR.
Kejahatan kehutanan (forestry crimes) merupakan salah satu isu panas (burning issue) yang terjadi di banyak negara berkembang dan dapat bersifat trans-nasional. Kegiatan kehutanan mulai dari pengadaan benih hingga penebangan tidak terlepas dari tindakan kriminal demi mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Contoh yang sangat jelas terjadi di w ilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dimana praktek penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan liar (illegal trading) terjadi dengan mudahnya, dimana kayu meranti (Shorea spp.) mengalir dengan mudahnya ke negara tetangga yang dalam prosesnya bahkan dilengkapi dengan surat-surat keterangan yang sah.
Selama ini metode pembuktian yang akurat dan tidak dapat dimanipulasi dengan menggunakan sumber informasi Deoxiribosa Nucleid Acid (DNA) kayu telah dikembangkan oleh Tim Peneliti di Fakultas Kehutanan IPB dalam kerangka kerjasama internasional sejak tahun 2003-2005. Akan tetapi teknologi ini belum pernah diujicobakan untuk mendeteksi kayu-kayu dengan asal-usul tidak jelas tersebut, khususnya jenis kayu meranti yang merupakan kayu dominan dari hutan alam di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak semua primer hasil cross species amplification menunjukkan pola pita yang polimorfik pada DNA kayu jenis Shorea laevis, hanya ada tiga primer yaitu primer SleE01 dan SleE07 dari jenis Shorea leprosula, serta primer Shc04 dari jenis Shorea curtisii. Primer Shc04 dapat digunakan sebagai marker untuk mengetahui kecocokan kayu tunggak dengan kayu TPK pada jenis S. laevis, karena primer tersebut memperlihatkan kesamaan nilai frekuensi alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK.
Hasil pendugaan asal-usul kayu yang tidak jelas berdasarkan database
nuklear daun menunjukkan bahwa kayu tersebut setidaknya berasal dari PT. “X” yang berlokasi di Provinsi Kalim antan Tengah, dimana daerah tersebut merupakan kawasan yang masih memiliki hutan yang cukup luas. Selain itu berdasarkan uji kesamaan (similiarity) terhadap kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK menunjukkan bahwa kedua IUPHHK tersebut menebang dan menggunakan kayu dari areal konsesinya sendiri, hal ini terlihat dari dendrogram yang mengelompok untuk masing-masing IUPHHK.
Berdasarkan uji kesesuaian genotipe (conformity) dan uji chi square,
hasil uji lapang lacak balak kayu tunggak dan TPK dengan nomor pohon yang sama di IUPHHK PT. “Y” menunjukkan bahwa secara umum struktur genotipik kayu tunggak dengan struktur genotipik kayu di TPK adalah sama.
©Hak cipta milik IPB tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU
(Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT
TEDI YUNANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit Nama Mahasiswa : Tedi Yunanto
Nomor Pokok : E451070031 Program Studi : Silvikultur Tropika
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc Ketua
Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Silvikultur Tropika
Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya terutama kepada Pembimbing, yaitu Dr. Iskandar Z. Siregar,
M.For.Sc dan Dr. Ulfah J. Siregar, M.Agr yang telah banyak memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi S2. Terima kasih juga
penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS selaku Penguji Luar
Komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan
tesis.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan
Pascasarjana (BPPS), ASEAN-Korea Environmental Cooperation Project
(AKECOP), dan Hibah Penelitian Unggulan IPB (PUI) dengan Nomor Kontrak:
45/I3.24.4/SPK/BG-PSN/2009 kepada Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc.
Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada rekan-rekan di Ruang
Analisis Genetika, Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur yang telah
mendukung dalam hal diskusi pada kegiatan laboratorium untuk menyelesaikan
studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, dan
seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak
terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini
bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Januari 2010
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karawang tanggal 28 Mei 1983 dari ayah bernama
Tarmuja Tarwat dan ibu bernama Anoh. Penulis merupakan anak ketiga dari
empat bersaudara.
Pada tahun 1989 penulis masuk di Sekolah Dasar Negeri Majasari,
Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Tahun 1995 penulis menyelesaikan
pendidikan Sekolah Dasar dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Cibogo, Subang sampai tahun 1998. Setelah
itu penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri
1 Subang pada tahun 1998 sampai tahun 2001. Tahun 2001 penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI).
Sejak tahun 2006 penulis menjadi asisten peneliti di Bagian Silvikultur,
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis
pada tahun 2006 pernah mengikuti Training and Workshop on Forest Biodiversity Conservation and Management of Forest Genetics Resources di Kualalumpur, Malaysia, serta Student Exchange ke Universitas Kasetsart, Bangkok, Thailand pada tahun 2009. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan
beasiswa (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui
Institut Pertanian Bogor untuk melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Program Studi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA Shorea laevis Ridl. ... 4
Penanda Diagnostik untuk Jenis Shorea spp... 6
Teknik Ekstraksi DNA dari Kayu ... 7
Sertifikasi Lacak Balak pada Kayu ... 9
Illegal Logging sebagai suatu Bentuk Kejahatan Hutan... 11
Tata Usaha Kayu di IUPHHK ... 17
Mikrosatelit ... 20
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian... 22
Bahan dan Alat Penelitian ... 23
Metode Penelitian ... 25
Analisis Mikrosatelit ... 27
Analisis Data ... 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi DNA dan Seleksi Primer ... 32
Pendugaan Kayu dengan Asal-usul Tidak Jelas ... 34
Uji Similiarity Sampel Kayu dari Kedua IUPHHK ... 36
Uji Lapang Lacak Balak Apple to Apple di IUPHHK PT. ”Y” ... 37
Aplikasi Teknologi DNA untuk Lacak Balak pada Kayu... 39
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan... 41
Saran ... 41
DAFTAR PUSTAKA ... 42
LAMPIRAN ... 48
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis ...22
2 Koordinat lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis ...22
3 Bahan dan alat teknik mikrosatelit ...23
4 Primer spesifik pada jenis Shorea leprosula...28
5 Primer spesifik pada jenis Shorea curtisii......28
6 Hasil cross species amplification pada jenis S. laevis ...34
7 Hasil uji chi square kayu di IUPHHK di PT. “X” ...37
8 Kesesuaian genotipe kayu tunggak dengan kayu TPK...38
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 a dan b foto pohon Shorea laevis ... 5
2 Penanda diagnostik S.parvifolia dari Berau dengan teknik AFLP ... 6
3 Penanda diagnostik S. parvifolia dari SBK dengan teknik AFLP ... 7
4 Hasil ekstraksi DNA dari kayu Shorea ... 8
5 Hasil amplifikasi cpDNA dengan primer ccmp ... 9
6 Bagan alir Penatausahaan Hasil Hutan di IUPHHK ...19
7 Peta pengambilan sampel kayu S. laevis ...23
8 a=penebangan;b=TPK;c=industri;dan d=kayu asal-usul tidak jelas ...24
9 Bagan prosedur teknik mikrosatelit ...25
10 Cara skoring DNA mikrosatelit ...31
11 Pola pita DNA hasil ekstraksi dan isolasi dari kayu S. laevis ...32
12 Contoh besarnya pengenceran hasil ekstraksi DNA ...33
13 DNA electropherogram hasil analisis mikrosatelit a). Primer Sle01; b). Primer Sle07; dan c). Primer Shc04 ...34
14 Dendrogram asal-usul kayu tidak jelas ...35
15 Dendrogram uji similiarity ...36
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Foto alat-alat penelitian ...48
2 Hasil skoring analisis mikrosatelit beserta profil
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kejahatan kehutanan merupakan salah satu isu panas yang terjadi di
banyak negara berkembang. Kegiatan kehutanan mulai dari pengadaan benih
hingga penebangan tidak terlepas dari tindakan kriminal demi mendapatkan
keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Penggunaan bibit yang tidak
bermutu, akan tetapi diklaim bermutu karena ada “surat keterangan” bahwa benih
tersebut diperoleh dari sumber benih tersertifikasi dapat saja terjadi. Benih dari
sumber benih tersebut mungkin saja dicampur selama perjalanan dengan benih
yang tidak bermutu untuk meningkatkan volume penjualan. Hal ini sangat
dimungkinkan pada program Gerakan Rehabilitasi Hutan (GERHAN), dimana
jutaan bibit diadakan oleh pihak ketiga, tetapi kegiatan pengawasan kurang
dilengkapi dengan metode pembuktian yang akurat. Contoh lain yang sangat
nyata juga terjadi pada praktek penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan liar (illegal trading) atau penyelundupan kayu (timber smuggling), dimana kayu yang sebenarnya berasal dari daerah “X” diakui oleh pemiliknya berasal dari
daerah “Y”, dimana Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) dikeluarkan
oleh petugas berwenang di daerah “Y” tersebut. Masalah penebangan liar dan
perdagangan ilegal kini telah diketahui secara luas, dan telah mencapai tingkat
yang sangat mengkhawatirkan (Hidayati et al. 2006).
Pasar kayu dunia saat ini semakin ketat menerapkan kebijakan produk
kayu yang berasal dari hutan yang dikelola dengan baik atau lestari dan sumber
yang legal. Hal ini membuat produk kehutanan Indonesia mau tidak mau harus
dipersiapkan ke arah sertifikasi. Setelah proses sertifikasi hutan dilakukan,
perusahaan pengguna hasil hutan juga perlu mendapat penjaminan bahwa produk
yang diproses adalah produk yang menggunakan materi dasar kayu yang diambil
dari hutan yang telah mendapat sertifikat. Untuk mendapat jaminan tersebut maka
ada proses sertifikasi chain of custody/CoC (lacak balak). Proses sertifikasi lacak balak merupakan salah satu kegiatan utama sertifikasi ekolabel untuk memantau
(stiker), anatomi, hingga teknologi terbaru, yaitu menggunakan barcode (Dykstra
et al. 2002).
Secara biologis bagian tanaman (daun, kayu, dan benih) merupakan
tempat menyimpan informasi berupa materi genetik (Deoxiribosa Nucleid Acid; DNA). Secara teori, pola DNA jenis Shorea (Meranti) di pulau Sumatera akan
berbeda dengan DNA di Pulau Kalimantan. Di dalam Pulau Kalimantan juga
mungkin saja terjadi perbedaan pola DNA (haplotype) terutama DNA yang tersimpan di kloroplas maupun DNA keseluruhan. Secara khusus, DNA kloroplas
(cpDNA) diketahui bersifat konservatif, sehingga pada suatu lokasi akan sulit
ditemui perbedaan-perbedaannya. Ide penggunaan DNA kloroplas serta DNA
lainnya yang ada di inti sel sebagai penanda atau penjejak asal-usul bahan
tanaman atau kayu baru-baru ini dilontarkan oleh berbagai ahli genetika dalam
rangka penyelidikan asal-usul bahan tanaman atau kayu. Penggunaan teknologi
genetik merupakan metode baru yang dapat dikembangkan dan diterapkan untuk
kegiatan sertifikasi lacak balak dan pembuktian kasus kejahatan hutan seperti
penebangan ilegal. Penanda genetik bersifat internal dan melekat di dasar kayu
sehingga sulit untuk dimanipulasi. Menurut Eckert (1997), diacu dalam Kholik
(2008), teknologi genetik melalui analisis molekuler DNA terbukti akurat
mengungkap berbagai kasus kejahatan, meskipun relatif mahal dan memerlukan
waktu yang cukup lama.
Shorea laevis atau bangkirai merupakan salah satu jenis kayu komersial yang ada di Indonesia. Kayu bangkirai di daerah Kalimantan dipakai sebagai kayu
pertukangan pengganti kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), karena kayu ulin sudah semakin jarang ditemukan di hutan alam. Jenis S. laevis secara umum masih jarang diteliti baik dari segi populasi genetika maupun sumberdaya genetiknya.
Salah satu metode penanda genetik yang dapat diaplikasikan untuk analisis
DNA adalah mikrosatelit. Mikrosatelit telah diidentifikasi pada DNA plastid (DNA
kloroplas dan DNA mitokondria) dan juga pada DNA inti tanaman. Mikrosatelit inti
bersifat ko-dominan dengan polimorfisme yang tinggi yang dapat digunakan untuk
studi aliran gen dan sistem perkawinan. Banyak penelitian yang telah dilakukan
meliputi Eucalyptus spp, Shorea spp, dan jenis-jenis Dipterocarpaceae lainnya (Finkeldey 2005). Penggunaan metode mikrosatelit untuk analisis variasi genetik dapat
digunakan sebagai dasar untuk menduga nilai diferensiasi genetik dimana nilai ini
merupakan dasar untuk dapat membedakan populasi yang satu dengan populasi
lainnya (lacak balak).
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui aplikasi
penanda molekuler untuk lacak balak pada kayu, sedangkan secara khusus tujuan
dari penelitian ini adalah untuk:
a. Menseleksi primer yang digunakan pada jenis Shorea leprosula dan
Shorea curtisii pada jenis Shorea laevis dengan cara cross species amplification.
b. Menduga asal-usul kayu yang tidak jelas serta menguji kesamaan DNA
antara kayu tebangan, TPK, dan kayu industri masing-masing IUPHHK.
c. Menguji kecocokan antara DNA kayu tunggak dengan DNA kayu di TPK
(apple to apple test).
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah justifikasi
ilmiah penggunaan metode penanda molekuler untuk lacak balak kayu dengan
asal-usul tidak jelas di lapangan dan penunjang kegiatan sertifikasi produk hutan
lestari kayu-kayu komersial di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
Shorea laevis Ridl.
Shorea laevis Riddl. merupakan salah satu jenis yang termasuk kedalam famili Dipterocarpaceae. Jenis S. laevis banyak memiliki nama daerah diantaranya adalah: kumus (Brunei dan Sarawak), selangan batu kumus (Sabah), penyau
(Kalimantan Barat), bangkirai lampong, bangkirai tanduk, gelam, merenting,
tenggelam, menpelam (Kalimantan Timur), benuas, dan bangkirai layang
(Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah). Ciri-ciri diagnostik utama jenis ini
adalah: tajuk berwarna hijau agak kelabu, daun berbentuk bundar telur sampai
bentuk sabit dengan pangkal agak tidak simetris, bila mengering berwarna coklat
agak kelabu di bagian atas dan keputih-putihan di bagian bawah dengan bulu-bulu
sangat kecil pada pohon dewasa, selain itu jenis ini memiliki pertulangan
sekunder hampir tidak terangkat.
Pohon memiliki tinggi sekitar 20-60 m, batang bebas cabang 10-35 m,
diameter batang 130 cm, dan banir mencapai tinggi lima m (Gambar 1). Batang
berwarna kuning kemerah-merahan dan mengeluarkan damar berwarna kuning
kalau sudah kering. Bunga berbentuk kecil dan kuncup bulat. Buah bertangkai
pendek dan kecil dengan panjang buah kira-kira satu cm. Daun berukuran 12 x 6
cm, tipis, dan permukaan bawah daun tidak berbulu.
Material kayu dari Semenanjung Malaysia memiliki kurai yang jelas tetapi
sifat ini tampaknya jarang dijumpai di Pulau Kalimantan. Kayu mempunyai berat
jenis 0,99, kelas awet I, dan dipergunakan untuk tiang-tiang bangunan, papan
serta perahu (Prawira et al. 1973).
S. laevis secara umum menyebar di Semenanjung Myanmar dan Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Aceh, dan Pulau Kalimantan. Jenis ini juga
tersebar luas dan sering dijumpai dan bahkan berkelompok pada tanah-tanah tipis
di punggung bukit di hutan Dipterocarpaceae perbukitan, khususnya pada
ketinggian 200-1000 m, tetapi kadang lebih rendah antara 5-375 meter diatas
(a)
(b)
Penanda Diagnostik untuk Jenis Shorea spp.
Sejak tahun 2005, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
melakukan kegiatan penelitian bersama dengan Universitas Goettingen, Jerman
melalui riset “Shorea Project” untuk menduga variasi genetik berbagai jenis
Shorea spp. di Indonesia, khususnya yang ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Hasil penelitian mampu mengidentifikasi beberapa pola DNA spesifik melalui
penanda genetik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fraghment Length Polymorphism (PCR-RFLP) DNA kloroplas maupun Amplified Fraghment Length Polymorphism (AFLP) DNA total. Contoh penanda diagnostik yang telah diidentifikasi adalah untuk jenis S. parvifolia dari Berau dan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma (Gambar 2 dan 3).
Gambar 2 Penanda diagnostik S. parvifolia dari Berau dengan teknik AFLP (Cao
et al. 2006)
S. parvifolia (SB
)
S. parvifolia (NS)
S. parvifolia (BB)
S. parvifolia (BB)
S. parvifolia (AS)
S. parvifolia (PS)
Gambar 3 Penanda diagnostik S. parvifolia dari IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma dengan teknik AFLP (Cao et al. 2006)
Teknik Ekstraksi DNA dari Kayu
Secara umum keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam
populasi dan antar populasi serta masing-masing parameter tersebut mempunyai
beberapa ukuran (Siregar 2000; Finkeldey 2005). Menurut Hamrick dan Godt
(1996), pada umumnya sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam
populasi dan perbedaan variasi genetik yang terjadi antara populas i hanya sedikit.
Hal ini benar jika yang dianalisis adalah uni-parental DNA. Khusus pada maternal
DNA seperti DNA inti, ditemukan variasi yang besar antar populasi, region dan
provenan. Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan
penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat
atau hibrid, dimana dengan menggunakan metode anatomi kayu masih sangat sulit
untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah
diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya. Akan
tetapi, hal ini memerlukan “pra-kondisi” yaitu metode yang tepat untuk
mengekstrak DNA dari kayu atau produk olahannya. S. parvifolia (NS)
S. parvifolia (SB)
S. parvifolia (SB)
S. parvifolia (AS)
S. parvifolia (BB)
S. parvifolia (PS)
Ekstraksi DNA dari kayu sudah berhasil dilakukan, dan sudah secara rutin
digunakan (Deguilloux et al. 2002), termasuk esktraksi DNA dari jaringan berkayu lainnya seperti kulit biji yang keras (Godoy dan Jordano 2001). Jika
DNA kayu berhasil diekstrak, maka dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) bagian-bagian tertentu dari DNA dapat selanjutnya diamplifikasi atau diperbanyak hingga cukup untuk keperluan analisis variasi genetik, khususnya
untuk mengetahui diferensiasi genetik antar populasi. Diferensiasi genetik ini
akan dijadikan dasar untuk menganalisis asal-usul kayu atau produk kayu.
Selain itu, melalui berbagai modifikasi beberapa teknik ekstraksi DNA
dari kayu, Tim peneliti gabungan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
dan Univeristas Goettingen, Jerman telah berhasil mengisolasi dan
mengamplifikasi DNA dari contoh kayu baik untuk jenis jati maupun jenis Shorea
spp. Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada
kayu jati sebelumnya telah berhasil untuk memverifikasi aliran kayu jati pada
Perhutani (Siregar et al. 2008). Contoh hasil isolasi dan amplifikasi DNA disajikan pada Gambar 4 dan 5.
Gambar 5 Hasil amplifikasi cpDNA dengan menggunakan primer ccmp (Rachmayanti et al. 2006)
Sertifikasi Lacak Balak pada Kayu
Proses sertifikasi lacak balak merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk mengeluarkan suatu pernyataan bahwa suatu hasil hutan,
dalam hal ini kayu, telah diproduksi dari hutan yang dikelola secara lestari.
Kegiatan lacak balak merupakan salah satu komponen sistem sertifikasi yang
kritis karena menjadi penghubung antara unit manajemen hutan atau unit usaha
kehutanan sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen hasil hutan (LEI
2003a). Proses sertifikasi lacak balak merupakan salah satu kegiatan utama
sertifikasi ekolabel untuk memantau aliran kayu dari hutan ke pabrik (Voght et al.
2000, diacu dalam Kholik 2008).
Menurut LEI (2003b), ekolabel berasal dari kata eco yang berarti
lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang
membedakannya dari produk lain. Pada lingkup kegiatan kehutanan, kegiatan
ecolabelling merupakan suatu cara untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan dalam bentuk sertifikat atau
ekolabel yang menunjukkan bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari
suatu hutan yang dikelola secara lestari (Sarijanto 1995). Dalam penerapannya,
kegiatan ekolabel memerlukan adanya kesiapan perangkat yang meliputi standar
dan pedoman pelaksanaan (manual), institusi (kelembagaan) dan mekanisme kerja, serta penilai (assesor).
Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan melalui proses sertifikasi oleh
pihak ketiga yang independent untuk menilai bahwa suatu produk tersebut diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup.
Dalam penerapan ekolabel, setidaknya ada lima jaminan yang perlu digunakan
sebagai landasan pelabelan produk kayu (Abidin 1995), yaitu:
1. Kepastian ditaatinya jatah tebang hutan lestari.
2. Kepastian pulihnya tegakan secara alami atau dengan bantuan permudaan
alam atau buatan.
3. Kepastian terpeliharanya keanekaragaman hayati.
4. Kepastian terpeliharanya kualitas air, tanah, dan udara.
5. Kepastian terpeliharanya peri kehidupan dan budaya masyarakat setempat.
Manfaat sertifikasi yang secara langsung dapat dirasakan adalah
kemudahan dalam melakukan promosi dan bertambahnya apresiasi para importir
dan pembeli terhadap perusahaan. Sertifikasi ekolabel juga memberi manfaat
positif bagi manajemen internal perusahaan berupa meningkatnya efisiensi
manajemen akibat dari penataan sistem produksi yang lebih baik, sesuai dengan
kriteria dan indikator sertifikasi ekolabel (LEI 2003c). Bagi konsumen yang
peduli terhadap lingkungan hidup, kegiatan ekolabel merupakan sebuah garansi
yang menunjukkan bahwa produk yang mendapatkan label sudah memenuhi
kriteria peduli lingkungan (Ahmad et al. 1993, diacu dalam Sarijanto 1995). Berdasarkan hasil penelitian di Amerika pada tahun 1993 terhadap 12.000
konsumen dengan pendapatan lebih besar dari US$ 50,000 per tahun
menunjukkan apabila ada ekolabel, 68% diantaranya bersedia membayar lebih
besar dari harga furniture yang biasa ditawarkan dan sisanya tidak bersedia. Dari 68% konsumen tersebut, 26% bersedia membayar 1-5% lebih tinggi, 33%
bersedia membayar 6–10% lebih tinggi, dan sisanya 8% bersedia membayar 11–
15% lebih tinggi. Sementara itu, penelitian di Inggris pada tahun 1991 tidak
disebutkan jumlah respondennya, 33% konsumen bersedia membayar 13% lebih
Sebagai suatu komponen utama dari sertifikasi ekolabel, sertifikasi lacak
balak pada prinsipnya dilakukan terhadap dua hal (LEI 2003a), yaitu:
a. Kejelasan sistem pergerakan hasil hutan.
b. Kinerja sistem pergerakan hasil hutan.
Dalam perjalanannya (aliran kayu), hasil hutan baik secara sendiri-sendiri
maupun dalam susunan sortimen mengalami mutasi (perubahan bentuk, ukuran,
jumlah, kualitas, tanda dan penampilan). Lokasi mutasi disebut sebagai simpul
pergerakan dan dapat terbagi ke dalam tiga rute (LEI 2003a), yaitu: i) rute I, yaitu
simpul-simpul yang berada pada rentang jarak dari hutan ke pembeli pertama atau
industri pengolah hasil hutan hulu, ii) rute II, yaitu simpul-simpul yang berada di
dalam industri, dan iii) rute III, yaitu simpul-simpul yang berada pada rentang
jarak antara industri ke pembeli akhir atau ke kapal.
Faktor kunci yang diperlukan dalam sistem lacak balak adalah cara-cara
praktis untuk memeriksa legalitas kayu. Adapun prinsip yang dipakai dalam
penilaian lacak balak adalah penilaian satu langkah ke belakang (one step backward), yaitu hanya menilai sumber hasil hutan pada satu simpul sebelumnya sudah tersertifikasi atau belum. Jika satu simpul sebelumnya belum tersertifikasi,
lacak balak perlu dilanjutkan pada simpul sebelumnya lagi dan seterusnya sampai
diperoleh rantai tak terputus yang menerangkan bahwa asal hasil hutan adalah dari
pengelolaan hutan produksi lestari. Dengan kata lain, sertifikat Chain of Custody
(CoC) hanya dapat diberikan pada industri atau pedagang yang mendapatkan
sumber kayunya dari pengelola hutan yang telah mempunyai sertifikat ekolabel
atau dari sumber yang legal dan traceable (dapat dilacak asalnya) (LEI 2003a).
Ilegal Logging sebagai Suatu Bentuk Kejahatan Hutan
Permasalahan illegal logging sesungguhnya merupakan suatu hal yang sangat kompleks, karena tidak hanya terkait dengan aspek penegakan hukum atau
yuridis, akan tetapi juga terkait aspek ekonomis, sosiologis dan kultur atau
budaya. Ketergantungan beberapa masyarakat lokal di sekitar hutan telah
dimanfaatkan oleh para cukong atau pemodal untuk melakukan kegiatan atau
dilakukan oleh orang atau badan usaha yang memiliki ijin ataupun mereka yang
tidak memiliki ijin pemanfaatan hasil hutan kayu atau persekongkolan jahat yang
dilakukan oleh orang yang memiliki ijin dan pelaku illegal logging.
Illegal logging didefinisikan sebagai suatu tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan yang berlaku. Tindakan ini adalah sebuah
kejahatan yang mencakup kegiatan menebang kayu di areal yang dilindungi, area
konservasi dan taman nasional serta menebang kayu tanpa ijin yang tepat di
hutan-hutan produksi. Permintaan yang besar dari industri kayu lokal maupun luar
negeri, khususnya Negara Malaysia dan Negara Singapura, telah mendorong
aktifitas kriminal tersebut (Rukmana 2004, diacu dalam Setiono & Husain 2005).
Semakin banyaknya sumber kayu ilegal dari Indonesia untuk mendukung
permintaan perdagangan kayu dunia menjadi ancaman terbesar terhadap hutan
Indonesia (CIFOR 2008).
Menurut Departemen Kehutanan, jumlah kayu ilegal yang diselundupkan
keluar dari Indonesia pada kurun waktu tahun 2001-2003 adalah sekitar 9 juta m3
dan kemudian diproses menjadi produk-produk kayu dan dikonsumsi oleh
negara-negara maju. Perkiraan nilai dari perdagangan kayu ilegal tersebut adalah US 2.16
miliar dollar. Sekitar 90% dari keuntungan pembalakan liar di Indonesia berakhir
direkening bank di tempat lain, terutama di Singapura, Malaysia, dan Hongkong
(Setiono & Husain 2005). Berdasarkan data Perum Perhutani Unit III Jawa
Barat-Banten, pencurian dan penjarahan hutan dari tahun 1977-1999 dan hingga saat ini
mengalami peningkatan. Intensitas pencurian dan penjarahan hutan pada tahun
1977 mencapai 180% yang kemudian meningkat menjadi 600% pada tahun 1998
(Kodra & Rais 2004).
Faktor yang Mendorong Terjadinya Illegal Logging
Kegiatan illegal logging didorong oleh faktor-faktor sebagai berikut (Anonim 2009):
1.Krisis Ekonomi
Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Indonesia secara
langsung atau tidak langsung memicu masyarakat golongan ekonomi lemah yang
pencahariannya, antara lain beralih profesi menjadi buruh tebang liar. Hal ini
semakin intensif terjadi manakala para cukong atau pemodal mempekerjakan
masyarakat pendatang sebagai buruh tebang liar.
2. Kondisi Geografis
Secara geografis Negara Indonesia terdiri dari kumpulan daratan berupa
kepulauan dan masing masing pulau dihubungkan dengan perairan laut atau
sungai yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan lautan Samudra sebagai
lautan bebas pelayaran internasional dari dan ke satu Negara ke Negara lain.
Kondisi tersebut memberikan peluang kepada pelaku illegal logging untuk melakukan penebangan liar dan hasil dari penebangan liar tersebut diselundupkan
ke Negara Malaysia, Vietnam, China, Taiwan, dan beberapa Negara Eropa
lainnya baik melalui jalur darat maupun melalui jalur air (sungai dan laut).
3. Kebijakan Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah)
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam menentukan Rancangan Tata Ruang
Wilayah Propinsi (RTRWP) yang belum sesuai dengan penetapan kawasan hutan
oleh Pemerintah Pusat, sebagai contoh yaitu mengenai izin usaha pembukaan
lahan perkebunan yang tidak memperhatikan peraturan tentang penatausahaan
hasil hutan. Pembukaan lahan yang di arealnya terdapat potensi hasil hutan kayu
yang tidak dimanfaatkan secara benar yaitu dengan cara menebang habis kayunya,
akan tetapi tidak dimanfaatkan melalui penatausahaan hasil hutan yang benar,
mengakibatkan kayu tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk dijual
kepada pihak lain (penadah). Selain kebijakan di atas, hal lain yang juga menjadi
sangat penting adalah mengenai kebijakan Pemerintah Daerah tentang pemberian
ijin industri terhadap pengolahan hasil hutan kayu (sawmill) yang semestinya ijin tersebut adalah ijin usaha industri primer hasil hutan kayu dari Dinas Kehutanan
Propinsi, sehingga akan lebih mudah dalam pengawasan kegiatan operasionalnya
berdasarkan kepada penatausahaan hasil hutan yang benar.
4. Harga Kayu Hasil Tebangan Liar Lebih Murah
Daya Hutan (PSDH) sehingga harga jualnya menjadi lebih murah. Akibatnya para
pengusaha kayu legal sering kalah bersaing dengan para pengusaha kayu illegal, sehingga banyak pengusaha kayu legal yang berubah haluan menjadi pengusaha
kayu illegal.
5. Lemahnya Pengawasan
Masalah-masalah yang berkaitan dengan illegal logging yaitu masih lemahnya pengawasan atas pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang
telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan dengan berbagai kebijakan
sebagai pelaksanaan undang-undang yang bersifat teknis menyangkut
penatausahaan, proses dan prosedur tata kelola, serta industrialisasi dibidang
kehutanan atau perkayuan di Indonesia. Hal tersebut mendorong terjadinya
kegiatan illegal logging.
6. Belum Sinerginya Sesama Penegak Hukum
Belum sinerginya sesama penegak hukum antara penegak hukum dengan
Departemen Kehutanan dalam rangka upaya penertiban proses dan prosedur tata
pengelolaan, penatausahaan, dan upaya meningkatkan industrialiassi dibidang
kehutanan yang berpedoman pada demokratisasi serta berpegang pada konsep
kelestarian alam dan lingkungan hidup menyebabkan maraknya praktek illegal logging.
7. Belum Tersedianya Sumber Daya Manusia yang Ahli Secara Proporsional dari Tingkat Pusat Dan Daerah
Belum tersedianya Sumber Daya Manusia yang ahli secara proporsional
dari tingkat pusat dan daerah, serta belum tersedianya data sentral sebagai dasar
bukti permulaan yang cukup atas penerbitan ijin-ijin yang diberikan kepada
perorangan maupun korporasi tentang penatausahaan dan industrialisasi
kehutanan serta data-data teknis lainnya yang diperlukan sebagai dasar dalam
Modus Operandi Illegal Logging
Praktek illegal logging memiliki berbagai macam modus operandi, diantaranya adalah (Anonim 2009):
1. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pihak yang Memiliki Ijin
Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin adalah:
a. Melakukan penebangan di luar areal dari ijin yang diberikan.
b. Melakukan penebangan di radius yang dilarang (di pinggir sungai, danau
dan waduk).
c. Melakukan penebangan kayu dari arealnya namun untuk menghindari
pembayaran PSDH/DR terhadap kayu-kayu tersebut dilengkapi dengan
dokumen SKSKB di cap rakyat, sehingga seolah-olah kayu tersebut berasal
dari hutan hak.
d. Melakukan manipulasi laporan hasil produksi (LHP) kayu bulat menjadi
kayu bulat kecil, sehingga terjadi selisih pembayaran DR/PSDH-nya.
e. Menyalahgunakan dokumen legalitas kayu, dimana hasil hutan kayu alam
(meranti, bangkirai, dan keruing) dilengkapi dengan dokumen (Faktur Kayu
Bulat, FA-KB) dari hutan tanaman industri (sengon dan sungkai).
2. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pihak yang Tidak Memiliki Ijin
Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki ijin adalah:
a. Melakukan penebangan tanpa memiliki ijin (penebangan liar) dengan
memanfaatkan masyarakat setempat dan menggunakan alat berat tanpa ijin.
b. Kayu hasil tebangan masyarakat dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan
Sah Kayu Bulat (SKSKB) dicap rakyat.
c. Memanfaatkan risalah lelang.
3. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pelaku
Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pelaku adalah: a. Cukong, pemilik modal, dan penguasa atau pejabat.
b. Masyarakat setempat dan pendatang.
c. Pemilik pabrik moulding atau sawmil.
d. Pemegang izin IUPHHK yang bertindak sebagai pencuri atau penadah.
e. Oknum aparat pemerintah.
f. Pengusaha asing.
Hambatan dalam Penanganan Kasus Illegal Logging
Hambatan yang dihadapi pada saat penanganan kasus illegal logging
adalah (Anonim 2009):
1. Komponen Criminal Justice System masih terjadi perbedaan interpretasi terhadap pasal-pasal di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
sehingga sering terjadi dan penuntasan kasusnya menjadi bertele-tele dan tidak
jelas , sehingga hal ini menjadikan proses penyidikan yang kurang efektif.
2. Luasnya wilayah di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah petugas,
sehingga tidak seluruh hutan dapat dilakukan pengawasan secara maksimal.
3. Banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang mata pencahariannya
hanya bergantung pada kegiatan penebangan kayu di hutan, baik secara legal
maupun illegal.
4. Penyidikan kasus illegal logging membutuhkan dana yang relatif besar, misalnya biaya untuk pengamanan barang bukti, biaya sewa tempat untuk
penyimpanan barang bukti, biaya buruh bongkar dan biaya transportasi atau
akomodasi ke Tempat Kejadian Perkara (TKP).
5. Dalam pengangkutan kayu bulat atau kayu olahan biasanya dilengkapi dengan
dokumen SKSHH (FAKB/FAKO) yang lengkap secara administrasi, sehingga
untuk membuktikan kayu tersebut bukan berasal dari hasil penebangan yang
sah perlu dilakukan lacak balak. Hal ini pelaksanaannya sangat rumit dan
Tata Usaha Kayu di IUPHHK
Tata Usaha Kayu atau Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) adalah
kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan
atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan dan
penimbunan, serta pengolahan dan pelaporan. PUHH dimaksudkan untuk
memberikan kepastian hukum dan pedoman kepada semua pihak yang melakukan
usaha atau kegiatan dibidang kehutanan, sehingga PUHH berjalan dengan tertib
dan lancar, serta kelestarian hutan, pendapatan negara, dan pemanfaatan hasil
hutan secara optimal dapat tercapai. Pemegang IUPHHK yang akan melakukan
penebangan atau pemanenan wajib melaksanakan timber cruising yang akan menghasilkan Laporan Hasil Cruising (LHC) dan rekapitulasinya, yang kemudian harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Dinas
Kabupaten atau Kota.
Berdasarkan LHC Hutan Alam tersebut, pemegang IUPHHK menyusun
dan mengusulkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) kepada Kepala Dinas Provinsi
untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan, sehingga perusahaan dapat
melakukan pemanenan atas hasil hutan kayu. Setelah melakukan pemanenan dan
pembagian batang di Tempat Penimbunan Kayu (TPn), perusahaan wajib
memberikan nomor pada setiap batang serta melakukan pengukuran atau
pengujian sesuai prosedur yang berlaku, sesuai dengan nomor pohon dalam LHC.
Pengukuran atau pengujian diatas bertujuan untuk mengetahui jenis, ukuran atau
dimensi setiap batang kayu meliputi ukuran diameter ujung dan pangkal, panjang
dan volumenya.
Penandaan pada batang berupa pemberian nomor batang, nomor petak
tebangan, diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu yang dilakukan dengan
menerakan pahatan atau tanda yang tidak mudah hilang pada kedua bontos. Setiap
pohon yang sudah ditebang, tunggaknya wajib diberi tanda yang tidak mudah
hilang atau dengan cara menoreh dengan alat pahat berupa nomor pohon sesuai
hasil cruising, jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak kerja tebangan atau blok kerja tebangan tahunan dan RKT. Apabila satu pohon dipotong menjadi beberapa
bagian, maka penomoran bagian batang sesuai nomor pohon ditambah dengan
potongan tersebut dipotong kembali, maka penomorannya ditambahkan huruf a
dibelakang huruf A (misal 100Aa, 100 Ab, dst.). Data hasil pengukuran
selanjutnya dicatat setiap hari ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat (BUKB) oleh
petugas perusahaan. Kayu bulat yang telah dicatat kemudian ditimbun pada
tempat yang terpisah dengan kayu bulat yang telah disahkan.
Berdasarkan buku ukur tersebut dibuat Laporan Hasil Penebangan Kayu
Bulat (LHP-KB) dan rekapitulasinya oleh petugas pembuat LHP setiap satu
periode (15 hari) sehingga sekurang-kurangnya 2 kali dalam satu bulan
(pertengahan dan akhir bulan) dan dilakukan di TPn Hutan. LHP-KB dibuat
menurut masing-masing blok kerja tebangan, sehingga apabila dalam satu tahun
terdapat lebih dari satu blok kerja tebangan, maka LHP-KB dibuat untuk
masing-masing blok kerja tebangan yang dibuat secara terpisah.
Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah dokumen angkutan
yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, dipergunakan dalam
pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang
diangkut secara langsung dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara dan telah
melalui proses verifikasi legalitas, termasuk telah dilunasi Provisi Sumber Daya
Hutan (PSDH) dan atau Dana Reboisasi (DR). Pejabat Pemeriksa Penerimaan
Kayu Bulat (P3KB) adalah Pegawai Kehutanan yang memiliki kualifikasi
Pengawas Penguji Hasil Hutan dan diangkat serta diberi wewenang untuk
melakukan pemeriksaan atas kayu bulat yang diterima industri primer hasil hutan,
TPK antara, atau pelabuhan umum.
Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah dokumen angkutan yang
diterbitkan oleh penerbit FA-KB yang merupakan petugas perusahaan,
dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu bulat
kecil (diameter <30 cm) yang berasal dari perizinan yang sah pada hutan alam
negara atau hutan tanaman dikawasan hutan produksi, dan untuk pengangkutan
lanjutan kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari kawasan hutan negara
yang berada di luar kawasan. Berikut bagan kerja dan arus dokumen PUHH pada
Gambar 6 Bagan alir Penatausahaan Hasil Hutan di IUPHHK (Hidayat 2009) LHC Buku Ukur SKSKB Pelaporan FA-KB LHP Angkutan tahap I Laporan Bulanan Angkutan tahap II -Surat pengantar -Laporan mutasi KB
-Laporan penggunaan blanko LHP -Daftar realisasi panjang jalan angkutan
-Daftar realisasi produksi -Daftar realisasi luas tebangan -Laporan grade KB
-Laporan penerimaan, penggunaan dan persediaan blanko SKSKB -Laporan penerimaan, penggunaan dan persediaan blanko FAKB -Rekapitulasi LHP Neraca KB SKSKB asal Kayu Bulat -Laporan penebangan yang sudah
disyahkan
-Bukti stor PSDH/ DR kayu yang akan diangkut
-Daftar KB
-Permohonan penerbitan SKSKB -LKMB harian
-Buku Ukur
-Laporan hasil penebangan -Rekapitulasi LHP -Peta kerja
-Berita acara pemeriksaan -Daftar pemeriksan KB -Rekapitulasi hasil pemeriksaan -Permohonan pengesahan LHP -Bukti stor PSDH/ DR
-ULHP untuk penerbitan SPP PSDH/ DR/dana hibah
-Bukti stor PSDH/ DR/dana hibah -Surat pengantar LHP -KB -Laporan pengembangan eksploitasi -Rekapitulasi LHP -KB
Mikrosatelit
DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai
enam pasang basa yang berulang secara berurutan. Mikrosatelit biasa digunakan
sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus
pengendali sifat kuantitatif, dan forensik (Ottewell et al. 2005; Novelli et al. 2006; Craft et al. 2007). DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan sepasang primer mikrosatelit. Hasil PCR dideteksi menggunakan teknik
elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan
perak nitrat.
Mikrosatelit mempunyai karakteristik sebagai berikut: i) tingkat
polimorfisme yang tinggi, ii) bersifat ko-dominan, dan iii) diwariskan mengikuti
hukum Mendel. Bila satu primer yang spesifik telah didesain, maka lokus Simple Sequence Repeat (SSR) dapat diamplifikasi dari sedikit contoh DNA dengan PCR (Ujino et al. 1998, diacu dalam Zulfahmi 2007). Mikrosatelit telah diaplikasikan untuk beberapa penelitian, diantaranya adalah: i) identifikasi forensik, ii)
diagnosis dan identifikasi penyakit, iii) studi populasi genetik dan efek leher botol
(bottlenecks effect,), dan iv) konservasi biologi untuk mengamati perubahan dalam populasi, pengaruh fragmentasi dan interaksi populasi yang berbeda, serta
untuk identifikasi populasi yang baru terbentuk.
Ada beberapa permasalahan dalam penggunaan penanda mikrosatelit.
Permasalahan ini dapat dikelompokkan kedalam teknis praktis dan data.
Permasalahan teknis praktis meliputi: i) pemilihan primer untuk mikrosatelit,
banyak jenis primer yang telah didesain untuk analisis mikrosatelit pada tanaman,
akan tetapi primer-primer itu perlu discreening dan dioptimasi sebelum diaplikasikan pada jenis tanaman tertentu, karena setiap tanaman mempunyai
karakteristik spesifik yang berbeda satu sama lain, ii) slippage selama proses amplifikasi, termopolimerase dapat mengakibatkan slip sehingga menghasilkan produk yang berbeda dalam ukurannya, dan iii) ukuran produk amplifikasi
berbeda dari ukuran produk sebenarnya. Ketidakakuratan dalam identifikasi alel
Homoplasi merupakan salah satu permasalahan pada data. Homoplasi
didefinisikan sebagai dua alel dalam keadaan sama, tetapi tidak sama secara
keturunan. Homoplasi mungkin menyebabkan masalah dalam analisis studi
genetika populasi, dimana dapat mempengaruhi pengukuran keragaman genetika,
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan selama 8 bulan, yaitu dari bulan Juni 2009 – Januari
2010. Pengambilan contoh kayu dilakukan pada kayu tunggak, kayu di Tempat
Pengumpulan Kayu (TPK), kayu dengan asal-usul tidak jelas, serta kayu dari
industri jenis Shorea laevis dari dua IUPHHK, yaitu IUPHHK PT. “X” (nama sebenarnya tidak disebutkan dalam tesis ini untuk menghindari “conflict of interest”)), Kabupaten Kotawaringin Timur, propinsi Kalimantan Tengah dan IUPHHK PT. “Y” (nama sebenarnya tidak disebutkan dalam tesis ini), Kabupaten
Ketapang, propinsi Kalimantan Barat, serta untuk pengambilan kayu dengan
asal-usul tidak jelas dilakukan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta (Tabel 1). Posisi
geografis tempat pengambilan kayu disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 7.
Analisis DNA Mikrosatelit dilakukan di Ruang Analisis Genetik, Bagian
Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Tabel 1 Lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis
No. Lokasi
Jumlah contoh Jumlah Total Kayu Tunggak Kayu di TPK Kayu di Industri Kayu dengan asal-usul tidak jelas*
1 IUPHHK PT. “X” 20 20 20
40 160
2 IUPHHK PT. “Y” 20 20 20
[image:37.596.130.493.384.470.2]* Keterangan: diambil di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta
Tabel 2 Koordinat lokasi pengambilan sampel kayu S. laevis
No Lokasi Propinsi Perkiraan Lokasi Ketinggian
Tempat (m dpl)
Longitude Latitude
1 TPK PT. “X” Kalimantan
Tengah 112'03'13,7" E 01'40'58,3"S 135
2 Penebangan PT. “X” Kalimantan
Tengah 112'03'13,7" E 01'40'58,3"S 135 3 Industri PT. “X” Jawa Tengah 110'18'20,1" E 06'55'53,3"S 18
4 TPK PT. “Y” Kalimantan Barat 110'49'54,2" E 01'31'07,2"S 432
5 Penebangan PT. “Y” Kalimantan Barat 110'49'12,8" E 01'30'49,3"S 305
6 Industri PT. “Y” Kalimantan Barat 109'57'56,2" E 01'47'55,7"S 13
7 Kayu asal-usul tidak
jelas Jakarta 106°50' E 6°11' S 8
Gambar 7 Peta pengambilan sampel kayu S. laevis (google 2010)
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kayu
dari tebangan, TPK, industri, dan kayu dengan asal-usul tidak jelas (Gambar 8).
Sedangkan bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada
[image:38.596.119.494.477.674.2]Tabel 3, sedangkan foto alat-alat penelitian disajikan pada Lampiran 1.
Tabel 3 Bahan dan alat teknik mikrosatelit
Analisis
Tahapan Pekerjaan
Ekstraksi PCR Visualisasi DNA Analisis
Data
Mikrosatelit
Alat: sarung tangan karet, gunting, tube
1.5 ml, spidol permanen, mortar, pestel, mikropipet,
tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi,
waterbath, freezer, desikator.
Bahan:buffer
ekstrak, PVP 2%,
chloroform IAA, isopropanol dingin, NaCl, etanol 95%,
buffer TE.
Alat:tube 0,2 ml, spidol permanen, alat tulis, mikro pipet, tips, mesin sentrifugasi, mesin PCR PTC-100.
Bahan: DNA,
aquabidest, H2O, sepasang primer mikrosatelit, Taq polymerase.
Alat: mikropipet,
tips, mesin sentrifugasi, bak elektroforesis, cetakan agar,
erlenmeyer, sarung tangan,
UVtransilluminator, alat foto DNA.
Bahan:agarose, poliakrilamid, buffer TAE 1x, TBE 1x, blue juice
10x, DNA marker, EtBr, perak nitrat
Alat: komputer, softwere POPGENE versi 1.31, NTSYS versi 2.0., dan Microsoft excel
IUPHHK PT. “Y”
IUPHHK PT. “X”
Sunda Kelapa, Jakarta
(a) (Foto: Yunanto 2009)
(b) (Foto: Yunanto 2009)
(c) (Foto: Yunanto 2009)
[image:39.596.203.409.72.653.2](d) (Foto: Yunanto 2009)
Metode Penelitian Prosedur Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode mikrosatelit.
Secara umum diagram alur penelitian dengan menggunakan metode mikrosatelit
dapat dilihat pada Gambar 9.
[image:40.596.106.469.163.669.2]
Gambar 9 Bagan prosedur teknik mikrosatelit NTSys
Popgene Chi Square
Interpretasi dan analisis data PCR primer terbaik
Elektroforesis poliakrilamid Tidak
Pemotretan hasil amplifikasi Pewarnaan perak nitrat (staining)
Elektroforesis poliakrilamid PCR seleksi primer
Pewarnaan perak nitrat (staining) Pewarnaan EtBr (staining)
Elektroforesis agar 1% Tidak
Contoh uji kayu
Ruang Lingkup Penelitian
Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah penanda
mikrosatelit (Weising and Gardner 1999). Secara umum dalam penelitian ini
dipecah menjadi tiga sub-penelitian, yaitu:
Sub- penelitian 1: Cross species amplification(Seleksi primer)
Penelitian ini mengujicobakan primer untuk jenis Shorea leprosula dan jenis Shorea curtisii pada DNA jenis Shorea laevis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan primer yang menghasilkan pola pita polimorfik dari kedua jenis
primer tersebut.
Sub- penelitian 2: Menduga asal-usul kayu yang tidak jelas serta menguji kesamaan DNA antara kayu tebangan, TPK, dan kayu industri masing- masing IUPHHK
Penelitian ini dilakukan untuk mengujicoba pendugaan asal-usul kayu
yang tidak jelas dengan menggunakan database genetik hasil analisis mikrosatelit pada nuklear daun hasil penelitian sebelumnya (Siregar et al. 2009). Jumlah sampel yang diujicobakan adalah ± 40 sampel. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui asal-usul kayu tersebut.
Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis mikrosatelit sampel
kayu dari tebangan, TPK, dan kayu industri yang digunakan oleh kedua IUPHHK.
Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah: i) kayu tebangan = 20
sampel, ii) kayu TPK = 20 sampel, dan iii) kayu indsutri = 20 sampel untuk
masing-masing IUPHHK. Jumlah total sampel yang digunakan adalah 120
sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesamaan DNA kayu baik
kayu tebangan, kayu TPK, dan kayu industri yang digunakan oleh masing-masing
IUPHHK.
Sub- penelitian 3: “Uji apple to apple” kayu tunggak dengan kayu TPK
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sampel kayu tunggak dari
pohon yang ada di area tebangan dengan sampel kayu yang ada di TPK, dimana
kedua pohon tersebut memiliki nomor pohon yang sama. Jumlah sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah: i) kayu tebangan = 20 sampel dan ii) kayu
TPK = 20 sampel yang hanya akan diambil dari salah satu IUPHHK sehingga
untuk mengetahui kecocokan DNA kayu antara pohon yang ada di area
penebangan dengan pohon yang ada di TPK.
Analisis Mikrosatelit
Analisis DNA pada kayu Shorea laevis dilakukan dengan menggunakan metode mikrosatelit. Secara umum metode mikrosatelit terdiri dari dua tahapan,
yaitu Ekstraksi DNA dan analisis mikrosatelit.
Ekstraksi DNA
Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu jenis Shorea laevis dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) hasil penelitian Siregar et al. (2008) yang telah dimodifikasi. Sampel kayu (± 2 gr) digerus dengan menggunakan nitrogen cair atau buffer ekstrak di dalam pestel
yang bersih. Hasil gerusan selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 1,5 mL, lalu
ditambahkan 500-700 µl larutan buffer ekstrak (campuran Tris-HCl, EDTA,
NaCl, CTAB, dan Air) dan 100 µ l PVP 2%. Selanjutnya dilakukan proses
inkubasi di dalam waterbath selama 45-60 menit pada suhu 65oC. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µ l dan fenol 10 µ l, selanjutnya campuran
tersebut dikocok agar menjadi homogen. Selanjutnya ditambahkan isopropanol
dingin 500 µ l dan NaCl 300 µ l, lalu disimpan dalam freezer selama 45-60 menit untuk mendapatkan pelet DNA. Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian
DNA dengan menambahkan etanol 100% sebanyak 300 µ l, lalu disentrifugasi
pada kecepatan 13.000 rpm selama dua menit. Pelet DNA disimpan di dalam
desikator selama ± 15 menit dan setelah itu ditambahkan larutan buffer TE 20
mikroliter, lalu divortek, dan selanjutnya disentrifugasi kembali.
Mikrosatelit
Prinsip proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30-60 detik)
dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat. Reaksi PCR mikrosatelit
dilakukan dengan menggunakan 15 µ l volume larutan yang terdiri dari H20 2,5 µ l,
dengan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Proses mikrosatelit dilakukan dengan
menggunakan lima primer spesifik yang telah digunakan untuk jenis Shorea leprosula (Tabel 4) dan lima primer spesifik yang telah digunakan pada jenis
Shorea curtisii (Tabel 5). Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk reaksi mikrosatelit adalah: i) pra-denaturasi pada suhu 950C selama 2 menit, ii)
denaturasi pada suhu 950C selama 1 menit, iii) annealing pada suhu 45-560C selama 2 menit, dan iv) ekstensi pada suhu 720C selama 2 menit. Proses ini
dilakukan atau diulang sebanyak 35 siklus.
Tabel 4 Primer spesifik pada jenis Shorea leprosula (Ng 2008)
No. Locus Repeat PCR Primer (5’ to 3’) PCR
Product Length
Annealing Temp (0
C)
1. SleE01 (AT)12 F:TCGTACTGATAATCGG
R:GTTTATAGGCTGATAATATGATTTA
179-188 45
2. SleE02 (AGC)9 F:GGAGGAGAGAAACGAAG
R:GTTTGAGGTAGTGAATAACGAGC
142-160 45
3. SleE05 (TA)9 F:ACTAATAATGCTTGTGGTAAT
R:GTTTGTAACTAACCTCTAATGCCT
175-191 45
4. SleE07 (GAA)7 F:AGAAGAATATGGGTACGACTG
R:GTTTGAATCAACTGGCACCTCTAT
175-190 45
5. SleE08 (AT)12 F:GGCTTCCTTTATATCCAATTT
R:GTTTGAGTTGGCTGCATATGA
177-197 45
Tabel 5 Primer spesifik pada jenis Shorea curtisii (Ujino et al. 1998)
No. Locus Repeat PCR Primer (5’ to 3’) PCR
Product Length
Annealing Temp (0C)
1. Shc01 (CT)8CT (CA),CTCA F:GCTAT TGGCA AGGAT GTTCA R:CTTAT GAGAT CAATT TGACAG
152 56
2. Shc02 (CT)2CA(CT)5 F:CACGC TTTCC CAATC TG
R:TCAAGA GCAGA ATCCA G
149 54
3. Shc03 (CT)8 F:TTGAA GGGAA GGCTA TG
R:CTTCT CAACT ACCTT ACC
124 54
4. Shc04 (CT)16 F:ATGAG TAACA AGTGA TGAG
R:TATTG ACGTG GAATC TG
96 52
5. Shc07 (CT)8CA(CT)5CACCC(CTCA)3C T (CA)16
F:ATGTC CATGT TTGAG TG R:CATGG ACATA AGTGG AG
169 54
Uji Kualitas dan Kuantitas DNA
Untuk menguji kualitas DNA hasil ekstraksi dari kayu dilakukan
elektroforesis dengan menggunakan gel agarose konsentrasi 1% (w/v) dengan
menggunakan buffer TAE 1x. Campuran agar 1% tersebut dipanaskan di dalam
Setelah agar padat, 3 µ l Blue Juice 10x dan 4 µ l DNA dicampurkan dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang cetakan agar. Elektroforesis dilakukan
dengan menggunakan aliran listrik dengan tegangan 100 volt sekitar 30 menit.
Untuk melihat hasil elektroforesis dilakukan pewarnaan dengan larutan Ethidium Bromida (EtBr) dengan konsentrasi 1% (v/v), dan selanjutnya pita DNA hasil isolasi dilihat dengan menggunakan alat UV transilluminator.
Untuk menguji kualitas DNA hasil PCR mikrosatelit, dilakukan
elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamid hasil campuran dari larutan
akrilamid, TEMED dan Ammonium persulfat (APS). Campuran gel poliakrilamid dipanaskan, dan untuk selanjutnya gel diinjeksikan ke dalam cetakan berupa 2
kaca yang direkatkan dengan bahan perekat yang berisi sisir untuk membuat
lubang elektroforesis. Buffer yang digunakan untuk kegiatan elektroforesis adalah
buffer TBE 1x. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan aliran listrik
sebesar 120 W selama 1-3 jam. Untuk melihat hasil elektroforesis dilakukan
pewarnaan menggunakan larutan perak nitrat dengan menggunakan shaker selama 30 menit. Selanjutnya pita DNA hasil PCR mikrosatelit dilihat dan
didokumentasikan dengan menggunakan alat kamera digital.
Pembuatan Gel Poliakrilamid
Pembuatan gel poliakrilamid terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
1. Pencucian Piringan Kaca
Pir ingan kaca kecil dicuci dengan 5 ml etanol menggunakan paper towel/tissue. Kemudian kaca dikeringkan selama dua menit dan diulang kembali. Kaca tersebut kemudian diberi perlakuan dengan menggunakan 15 µl ? -methacryloxy-propyltrimethoxyselane (Bind Silane, M-6514, Sigma) dalam 4 ml etanol dan 1,25 ml asam asetat. Kemudian sisanya dibersihkan dengan tissue yang dilembabkan dengan etanol. Pir ingan kaca besar dicuci dengan 5 ml etanol
menggunakan tissue kemudian dikeringkan selama dua menit, dan diulangi kembali.
2. Pembuatan Larutan Akrilamid
Pembuatan gel akrilamid dibuat dengan mencampur TBE 10X dengan 500
diletakkan pada lempengan gel (ketebalan 1,5 mm), selanjutnya gel didiamkan
untuk berpolimerisasi selama 30 menit.
3. Loading Sample
Hasil amplifikasi kemudian didenaturasi selama 2 menit pada suhu
92-95oC di dalam thermocycler dan disimpan di lemari es sebelum diaplikasikan ke gel. Kegiatan elektroforesis dilakukan pada 350 V, 40 mA, 80 W selama 75 menit
setelah pre-run gel selama 30-60 menit Buffer yang digunakan untuk running atau elektroforesis adalah buffer TBE 1x yang mengandung 18 mM Triz-HCl, 8,9 mM
asam borat dan 2 mM Na2EDTA.
4. Metode Pewarnaan
Metode pewarnaan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada
hasil penelitian Benbouza et al. 2006 yang dimodifikasi. Metode ini meliputi beberapa langkah atau tahapan. Setelah dilakukan elektroforesis, gel dicuci dalam
1000 ml air larutan (900 ml aquades, 100 ml etanol 95%, dan 50 µ Asam asetat)
dingin selama lima menit. Tahap selanjutnya adalah mencuci gel dengan
melakukan perendaman selama enam sampai tujuh menit pada suhu ruangan
(22-24 oC) dalam 1000 ml larutan. Impregnasi dengan perak nitrat (1000 ml aquades,
1,5 g perak nitrat, dan 1,5 ml formaldehid 37%) dilakukan pada ruangan dengan
kondisi cahaya penuh.
Tahap selanjutnya adalah gel development yaitu dengan menggunakan larutan campuran dari 1000 ml aquades, 1,5% NaOH, dan 3 ml formaldehid 37%
sampai pita nampak pada intensitas rendah (tiga sampai lima menit). Jika
intensitas yang diharapkan telah nampak pada intensitas rendah (tiga sampai lima
menit), maka selanjutnya gel diimpregnasi dalam larutan akhir 1000 ml aquades,
10% etanol, dan 0,5% asam asetat selama dua menit. Semua tahapan tersebut
dilakukan dalam kontainer plastik. Kemudian lembaran gel selanjutnya
digerakkan dalam shaker selama proses pewarnaan. Semua larutan disiapkan dengan menggunakan air ultra pure atau aquades. Gel selanjutnya dikeringkan pada suhu ruangan dan pita DNA akan secara langsung terlihat dengan bantuan
Analisis Data
Hasil dari kegiatan mikrosatelit pada kayu difoto dan dianalisis dengan
melakukan skoring pola pita yang muncul (Gambar 10). Hasil interpretasi foto
kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE 32 Versi 1.31 dan NTSYS Ver 2.0 (Rohlf 1998). Pengujian “apple to apple” (lacak balak) pada pohon yang sama antara kayu tunggak dengan kayu TPK dilakukan dengan
membandingkan struktur genotipik kayu tunggak dengan kayu di TPK dengan uji
chi kuadrat (chi square) dan uji kesesuaian genotipe. Chi-kuadrat adalah uji nyata (goodness of fit) apakah data yang diperoleh benar menyimpang dari nisbah yang diharapkan dan tidak secara kebetulan (Crowder 1986).
Perhitungan chi-kuadrat dilakukan dengan rumus (Crowder 1986):
?² = (o - e)2 e
dimana : ?² = Nilai chi-kuadrat.
o = Jumlah genotipeyang diamati (observed). e = Jumlah genotipeyang diharapkan (expected).
Perhitungan chi kuadrat dilakukan dengan Microsoft excel sehingga diperoleh ?²hitung yang kemudian dicocokkan dengan ?²tabel pada selang
kepercayaan 95 %. Adapun hipotesis yang diuji adalah:
H0: Struktur genotipik contoh uji kayu di tunggak sama dengan contoh uji
kayu di TPK.
H1: Struktur genotipik contoh uji kayu di tunggak tidak sama dengan contoh uji
kayu di TPK.
Lokus Individu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
L-1
Lokus Individu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 L-1 12 12 12 22 12 11 12 11 22 11 12
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi DNA dan Seleksi Primer Ekstraksi DNA
Hasil dari kegiatan ekstraksi DNA menentukan langkah selanjutnya untuk
tahapan PCR. Pada tahapan ekstraksi dilakukan uji kualitas dan kuantitas DNA
untuk dapat menentukan perbandingan pengenceran DNA yang akan dipakai
sebagai salah satu bahan pada tahap selanjutnya, yaitu tahapan PCR.
Pola pita yang didapatkan dari kegiatan ekstraksi kayu jenis Shorea laevis
memperlihatkan pola pita yang cukup murni tidak terdapat bahan-bahan
kontaminan (Gambar 11). Hal ini diduga oleh karena pita DNA genomik yang
didapatkan dari kegiatan ekstraksi dari kayu adalah pita-pita dengan rantai yang
pendek yang sudah terpotong-potong yang disebabkan oleh umur sel yang sudah
tua, berbeda dengan hasil ekstraksi dari daun yang biasanya masih terdapat
kotoran atau kontaminan. Menurut Qiagen (2001), hasil ekstraksi yang kotor ini
masih mengandung phenol yang tinggi, chloroform, dan alkohol. Selain itu, hasil
yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein, polisakarida, dan
[image:47.596.231.383.409.592.2]RNA.
Gambar 11 Pola pita DNA yang sangat tipis hasil dari ekstraksi kayu S. laevis
Untuk dapat melakukan analisis PCR diperlukan DNA dengan tingkat
kemurnian dan berat molekul yang tinggi, akan tetapi ekstraksi DNA dari jaringan
80x
40x
20x
10x pemurnian yang tepat seringkali dibutuhkan terutama menyangkut kualitas DNA
yang tinggi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan DNA hasil
ekstraksi yang cukup murni adalah dengan melakukan proses pengenceran DNA
(Kholik 2008; Tohirin 2009; Qalbi 2009).
Secara visual, pita DNA yang tebal (kotor) memerlukan perbandingan
pengenceran yang lebih besar yaitu 100x (99 µl aquabidest: 1 µ l DNA). Pengenceran selanjutnya mengikuti tingkatan ketebalan pita DNA. Pita DNA
yang paling tipis menggunakan perbandingan pengenceran 10x (9 µl aquabidest: 1 µ l DNA), karena kualitas DNA-nya termasuk bagus (tidak terlalu kotor)
[image:48.596.134.475.248.447.2](Gambar 12).
Gambar 12 Contoh besarnya pengenceran hasil ekstraksi DNA (Siregar et al. 2008)
Setiap sampel DNA mempunyai perlakuan pengenceran yang
berbeda-beda, tergantung dari kualitas DNA-nya. Pengenceran ini dimaksudkan agar pada
tahap PCR primer dapat menempel pada pita DNA sehingga dapat teramplifikasi.
Seleksi Primer MikrosatelitMelalui Cross Species Amplification
Primer yang digunakan untuk kegiatan teknik mikrosatelit pada penelitian
ini menggunakan primer dari hasil seleksi 10 primer spesifik untuk nuklear, yaitu
lima primer yang diujicobakan pada jenis Shorea leprosula dan lima primer yang diujicobakan pada jenis Shorea curtisii. Untuk analisis nuklear pada kayu, dari 10 primer spesifik terdapat tiga primer yang memperlihatkan pola pita polimorfik,
yaitu Sle E01, SleE07, dan Shc04 (Tabel 6). Perbedaan pola pita hasil amplifikasi pada suatu jenis dengan primer yang sama disebabkan oleh ukuran fragmen yang
berbeda-beda pada setiap jenis. Proses cross species amplification untuk kedua jenis primer tersebut juga sudah pernah berhasil dilakukan pada jenis Shorea robusta (Pandey and Geburek 2009). Contoh DNA electropherogram hasil mikrosatelit untuk ketiga primer disajikan pada Gambar 13. Hasil skoring pola
[image:49.596.125.495.200.577.2]pita ketiga primer pada semua sampel kayu disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 6 Hasil cross species amplification pada jenis S. laevis
Primer Hasil Amplifikasi Awal (bp)
Hasil Amplifikasi pada S. laevis (bp)
Keterangan
Shc01 152 140-170 Monomorfik
Shc02 149 160-190 Monomorfik
Shc03 124 160-190 Monomorfik
Shc04 96 60-80 Polimorfik
Shc07 169 180-210 Monomorfik
SleE01 179-188 150-200 Polimorfik
SleE02 142-160 150-200 Monomorfik
SleE05 175-191 150-200 Monomorfik
SleE07 175-190 190-210 P