• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG BERBEDA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Pakan , Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot badan, dan mortalitas puyuh dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Konsumsi Pakan, Rataan Bobot Badan,dan Mortalitas Puyuh

Peubah Kepadatan Kandang (ekor/kandang)

12 15 18

Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) 19,26±0,20 19,25±0,54 19,41±0,34 Bobot Badan Awal (g) 148,96±1,67 147,09±8,45 144,07± 2,00 Bobot Badan Akhir (g) 136,67±4,29 138,10±2,39 135,77±1,54

Mortalitas (ekor) 1 2 1

Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan pada kepadatan kandang yang berbeda adalah sama. Hal ini disebabkan pemberian pakan pada penelitian ini dibatasi sebanyak 20 g/ekor/hari. Setiap ekor puyuh pada kepadatan kandang yang berbeda memiliki akses pakan yang sama pada tempat pakan yang disediakan. Pakan dalam penelitian ini tidak disediakan ad libitum agar konsumsi pakan puyuh layer tidak berlebih. Selain itu, puyuh yang digunakan pada penelitian ini berasal dari spesies, jenis kelamin dan umur yang sama serta bobot badan puyuh seragam. Konsumsi pakan dipengaruhi bangsa unggas, suhu lingkungan, bobot tubuh, jenis kelamin, umur, tingkat produksi telur, besar telur, aktivitas, kualitas pakan dan tingkat stres (Mulyatini, 2010).

Bobot Badan

Puyuh yang digunakan pada penelitian ini berupa puyuh periode bertelur. Setelah memasuki periode bertelur bobot badan puyuh tidak akan bertambah dengan pesat seperti pada periode pertumbuhan (grower). Pertumbuhaan seekor ternak mula- mula terjadi dengan laju yang sangat lambat, kemudian cepat, selanjutnya mulai melambat dan berhenti setelah mencapai kedewasaan (Soeparno, 2005). Seker et al. (2009) menyatakan laju pertumbuhan cepat pada puyuh berlangsung hingga puyuh berumur 28 hari, kemudian pertumbuhan menjadi semakin lambat. Puyuh yang

16 digunakan pada penelitian ini mempunyai bobot badan awal yang seragam (Tabel 4). Rataan bobot badan awal puyuh yang digunakan pada penelitian ini adalah 148,96±1,67 g (kepadatan kandang 12), 147,09±8,45 g (kepadatan kandang 15), 144,07± 2,00 g (kepadatan kandang 18). Arora dan Samples (2011) menyatakan bobot badan puyuh betina terus meningkat setelah memasuki masa bertelur dan kebanyakan stabil pada bobot 120-130 atau 140-150 g.

Hasil penelitian menunjukkan bobot badan puyuh mengalami penurunan setelah pemeliharaan. Penurunan bobot badan tersebut terjadi pada puyuh yang dipelihara pada kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor. Arora dan Samples (2011) menyatakan peningkatan dan penurunan bobot badan pada layer dipengaruhi faktor genetik, pakan, laju metabolisme, lingkungan pemeliharaan, dan hormon. Konsumsi pakan dan jenis puyuh pada setiap kepadatan kandang dalam penelitian sama. Penurunan bobot badan puyuh pada penelitian ini diduga disebabkan suhu lingkungan pemeliharan selama penelitian tidak sesuai dengan suhu lingkungan nyaman yang dibutuhkan puyuh.

Suhu lingkungan di sekitar kandang selama penelitian pada pagi hari 25 oC dan pada siang atau sore hari 29-30 oC. Suhu tersebut lebih tinggi dari suhu lingkungan optimal pemeliharaan puyuh yaitu 21-26,5 oC (Peraturan Menteri Pertanian, 2008). Proses pengeluaran panas tubuh pada puyuh yang dipelihara pada suhu lingkungan yang optimal dilakukan melalui sensible heat loss (konveksi, konduksi dan radiasi). Suhu lingkungan yang tinggi tersebut mengakibatkan proses pengeluaran panas melalui sensible heat loss terhambat sehingga proses pengeluaran panas dilakukan melalui mekanisme biologis.

Anatomi dan fisiologi puyuh lebih mendukung untuk penyimpanan panas karena puyuh tidak memiliki kelenjar keringat. Suhu di atas suhu normal pemeliharaan menyebabkan puyuh melakukan mekanisme termoregulasi melalui mekanisme panting. Suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan energi banyak digunakan untuk mendinginkan tubuh (Mulyatini, 2010). Proses pernafasan pada unggas merupakan suatu proses hasil kerja otot, rangka dan sistem pernafasan (Mulyatini, 2011). Proses panting membutuhkan banyak energi karena melibatkan kerja otot.

17

Mortalitas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor tidak berpengaruh terhadap mortalitas puyuh. Mortalitas puyuh pada penelitian ini disebabkan oleh konstruksi kandang yang kurang baik. Kandang yang digunakan dalam penelitian memiliki lubang saluran telur di bagian belakang kandang dengan ukuran panjang 62 cm dan tinggi 2,5 cm. Melalui lubang saluran telur tersebut puyuh berusaha keluar dari kandang namun puyuh tersebut terjepit karena ukuran tubuhnya yang lebih besar dari lubang saluran telur. Kawat-kawat yang runcing terdapat di sekitar tempat pakan dan pintu kandang. Paruh puyuh tersangkut pada kawat ketika tempat pakan diambil untuk mengisi pakan

Karakteristik Karkas

Komposisi karkas dipengaruhi kadar laju pertumbuhan, nutrisi, umur, dan bobot tubuh (Soeparno, 2005). Rataan bobot badan akhir, bobot potong, dan karakteristik karkas puyuh umur 15 minggu pada kepadatan kandang yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

Bobot Potong

Bobot potong diperoleh dari bobot puyuh setelah dipuasakan selama 3,5-4 jam. Pemuasaan mengakibatkan bobot badan puyuh mengalami penurunan sebesar 3,87-4,8 g. Penurunan bobot badan tersebut disebabkan pengosongan pakan di dalam saluran pencernaan. Air minum tetap disediakan ad libitum selama proses pemuasaan untuk mencegah dehidrasi pada puyuh. Pemuasaan dilakukan untuk mempermudah proses pengeluaran jeroan. Rataan bobot potong yang diperoleh berkisar antara 129,44-132,59 g. Kepadatan kandang tidak berpengaruh terhadap bobot potong puyuh. Puyuh pada kepadatan kankandang 12, 15, dan 18 ekor memiliki bobot badan akhir yang tidak berbeda sehingga diperoleh bobot potong yang tidak berbeda.

Karkas

Karkas puyuh yang diperoleh pada penelitian ini berupa karkas puyuh tanpa kulit. Kulit puyuh tidak elastis sehingga sangat mudah terkelupas saat proses pencabutan bulu (Genchev dan Mihaylova , 2008). Potongan sayap, paha, dada, dan punggung karkas puyuh dapat dilihat pada Gambar 3.

18 Gambar 2. Potongan Sayap (a), Potongan Paha (b), Potongan Dada (c),

Potongan Punggung (d)

Hasil analisis ragam menunjukkan kepadatan kandang tidak berpengaruh terhadap bobot dan persentase karkas puyuh yang dihasilkan, hal ini disebabkan puyuh pada kepadatan kandang 12, 15, dan 18 ekor memiliki bobot potong yang tidak berbeda. Rataan persentase karkas puyuh yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 54,23-55,65 % bobot potong. Rataan persentase karkas yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah dari hasil penelitian Genchev et al. (2008) yaitu berkisar antara 64-65 % bobot hidup. Komposisi karkas dipengaruhi kadar laju pertumbuhan, nutrisi, umur, dan bobot tubuh (Soeparno, 2005). Persentase karkas puyuh yang rendah disebabkan puyuh mengalami penurunan bobot badan setelah pemeliharaan.

19 Tabel 5. Rataan Bobot Badan Akhir, Bobot Potong, dan Karakteristik Karkas Puyuh

Umur 15 Minggu pada Kepadatan Kandang yang Berbeda

Peubah Kepadatan Kandang (ekor/kandang)

12 15 18

Bobot Badan Akhir (g) 134,07±2,92 136,46±2,26 136,53±2,70 Bobot Potong (g) 129,44±3,44 132,59±1,93 131,73±1,33 Karkas (g) 70,16±1,76 72,26±2,90 73,33±1,47 Sayap 5,21±0,27 5,38±0,17 5,27±0,28 Punggung 14,87±0,66 14,70±0,97 15,41±0,43 Paha 18,29±0,58 18,83±0,82 19,26±0,54 Dada 31,34±1,34 32,85±1,50 33,24±0,45 Daging Paha 14,94±0,32 15,22±0,85 15,57±0,32 Daging Dada 26,64±1,07 26,77±1,76 26,45±0,67 Tulang Paha 3,35±0,34 3,61±0,06 3,70±0,26 Tulang Dada 4,70±0,83a 6,09±0,72ab 6,79±0,72b Karkas (% bobot potong) 54,23±0,69 54,48±1,61 55,65±0,57

Sayap 7,42±0,24 7,44±0,09 7,19±0,26 Punggung 21,19±1,29 20,38±0,52 21,06±0,25 Paha 26,08±0,18 26,06±0,40 26,11±0,13 Dada 44,67±1,00 45,40±0,69 45,27±0,68 Daging Paha 21,30±0,33 21,07±0,55 21,26±0,29 Daging Dada 37,96±0,68 36,98±1,66 36,00±1,44 Tulang Paha 4,31±1,17 5,03±0,24 5,04±0,25 Tulang Dada 6,00±1,76 8,42±0,97 9,27±0,80

Rasio Daging dan Tulang Paha 4,53±0,39 4,24±0,29 4,25±0,24 Rasio Daging dan Tulang Dada 6,18±1,06a

4,47±0,75ab 4,00±0,51b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Hasil analisis ragam menunjukkan kepadatan kandang tidak berpengaruh terhadap persentase sayap, persentase punggung, persentase paha, persentase dada, persentase daging dada, persentase daging paha, persentase tulang paha serta rasio daging dan tulang paha yang dihasilkan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kepadatan kandang berpengaruh terhadap rasio daging dan tulang dada. Kepadatan

20 kandang yang semakin tinggi menghasilkan rasio daging dan tulang dada yang semakin rendah. Puyuh yang dipelihara pada kepadatan kandang 18 ekor memiliki rasio daging dan tulang dada paling rendah, hal ini diduga diduga berhubungan dengan akumulasi panas paling tinggi terjadi di dalam kandang tersebut. Suhu lingkungan di sekitar kandang selama penelitian pada pagi hari 25 oC dan pada siang atau sore hari 29-30 oC. Suhu tersebut lebih tinggi dari suhu lingkungan optimal pemeliharaan puyuh yaitu 21-26,5 oC (Peraturan Menteri Pertanian, 2008). Puyuh dikandangkan di dalam kandang battery koloni sehingga panas tubuh terperangkap di dalam kandang. Setiap ekor puyuh menghasilkan panas tubuh sehingga akumulasi panas paling tinggi terjadi di dalam kandang yang diisi 18 ekor puyuh.

Suhu di dalam kandang yang tinggi mengakibatkan proses pengeluaran panas melalui sensible heat loss terhambat sehingga proses pengeluaran panas dilakukan melalui mekanisme biologis. Suhu diatas suhu normal pemeliharaan puyuh menyebabkan puyuh panting. Suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan energi banyak digunakan untuk mendinginkan tubuh (Mulyatini, 2010). Proses pernafasan pada unggas merupakan suatu proses hasil kerja otot, rangka dan sistem pernafasan. Unggas tidak mempunyai diafragma. (Mulyatini, 2011). Ekspirasi pada unggas tidak pasif tetapi membutuhkan kontraksi otot untuk meningkatkan tekanan dan mendorong udara keluar sistem pernafasan (Hillman et al., 2000). Proses panting membutuhkan banyak energi karena melibatkan kerja otot yaitu otot pada bagian dada. Puyuh yang dipelihara pada kepadatan kandang 18 ekor membutuhkan energi paling banyak untuk mengeluarkan panas tubuh melalui panting. Oleh karena itu daging dada menjadi relative lebih kecil. Pada keadaan bagian dada yang sama antara semua perlakuan, dengan lebih rendahnya daging dada maka bagian tulang dada puyuh dengan tingkat kepadatan 18 ekor nyata lebih besar, sehingga rasio daging dan tulang dada puyuh tersebut menjadi nyata lebih kecil dari pada perlakuan lainnya.

Potongan dada adalah bagian karkas yang paling banyak mengandung daging Tulang merupakan komponen karkas yang tidak dapat dimakan. Pemeliharaan puyuh untuk mendapatkan karkas lebih diutamakan puyuh memiliki rasio daging dan tulang yang tinggi karena daging merupakaan komponen karkas yang dapat dimakan. Oleh karena itu, berdasarkan penelitian ini yang paling adalah kepadatan 12 ekor.

21

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Kepadatan kandang berpengaruh terhadap rasio daging dan tulang dada puyuh. Puyuh yang dipelihara pada kepadatan kandang 12 ekor menghasilkan rasio daging dan tulang dada paling tinggi. Kepadatan kandang 12 ekor merupakan kepadatan kandang yang paling optimal dalam menghasilkan karkas puyuh yang baik.

Saran

Petak kandang dengan kepadatan 12, 15, dan 18 ekor pada penelitian ini ditempatkan pada satu kandang battery koloni sehingga mempengaruhi suhu antar kepadatan kandang yang berbeda. Sebaiknya pemeliharaan puyuh dengan kepadatan yang berbeda dilakukan pada kandang yang terpisah. Penelitian mengenai fisiologis puyuh juga diperlukan untuk mengetahui tingkat stres pada puyuh yang dipelihara pada kepadatan kandang yang berbeda.

22

Dokumen terkait