• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG BERBEDA

TINJAUAN PUSTAKA

Coturnix-coturnix japonica

Coturnix-coturnix japonica termasuk ke dalam ordo Galliformes, famili Phasianidae, genus Coturnix-coturnix dan spesies japonica. Secara ilmiah dikenal dengan nama Coturnix-coturnix japonica. C. japonica pada awalnya disebut burung Jepang liar yang ditemukan pada abad ke-delapan di Jepang. C. japonica didomestikasi dan dijadikan sebagai burung kicau peliharaan sekitar abad ke-sebelas (Vali, 2008).

Gambar 1. Coturnix-coturnix japonica Betina (kiri) dan Jantan (kanan)

Warna bulu puyuh dapat digunakan untuk menetukan jenis kelamin. Puyuh betina dewasa memiliki bulu berwarna pucat dengan bintik-bintik gelap, sedangkan puyuh jantan dewasa memiliki bulu berwarna gelap dan seragam pada bagian dada (Vali, 2008). Puyuh jantan mengeluarkan suara sejak berumur 6 minggu. Puyuh betina dewasa kelamin pada umur 42 hari sedangkan puyuh jantan dewasa kelamin pada umur 36 hari (Woodard et al., 1973).

C. japonica mempunyai beberapa manfaat yaitu (1) dari segi ekonomi puyuh dijadikan sebagai penghasil telur dan daging dengan cita rasa yang unik. Di Jepang dan Asia Tenggara C. japonica digunakan sebagai penghasil telur, sedangkan di Eropa digunakan sebagai penghasil daging, (2) biaya pemeliharaan rendah sesuai dengan ukuran tubuh yang kecil (3) memiliki selang generasi yang pendek (3-4 generasi per tahun), (4) resisten terhadap penyakit, (5) memiliki produksi telur yang tinggi, (5) dapat digunakan sebagai hewan percobaan, dan (6) C. japonica

3 merupakan unggas dengan ukuran terkecil yang diternakkan untuk menghasilkan telur dan daging (Vali, 2008). C. japonica merupakan jenis unggas penghasil protein yang juga sangat penting dalam bidang penelitian dan ilmu pengetahuan. Puyuh sangat prolifik dan mudah beradaptasi dengan iklim di lingkungan tropis (Tuleun dan Dashe, 2010).

Pertumbuhan dan Perkembangan Ternak

Pertumbuhan adalah perubahan ukuran yang meliputi perubahan berat hidup, bentuk, dimensi linear, dan komponen tubuh. Komponen tubuh tersebut meliputi otot, lemak, tulang, dan organ serta komponen-kompponen kimia terutama air, lemak, protein, dan abu karkas. Pertumbuhan ternak melalui tiga proses yaitu proses dasar pertumbuhan seluler; diferensiasi sel-sel induk di dalam embrio menjadi ektoderm, mesoderm dan endoderm; kontrol pertumbuhan dan diferensiasi yang melibatkan banyak proses. Pertumbuhan seluler meliputi produksi sel-sel baru (hiperplasia), pembesaran sel (hipertrofi), dan pertumbuhan material nonproto- plasmik (akresi) misalnya deposisi lemak, glikogen, plasma darah, dan kartilago. Jaringan tubuh mencapai pertumbuhan maksimal dengan urutan jaringan saraf, tulang, otot, dan lemak (Soeparno, 2005).

Perkembangan adalah kemajuan gradual kompleksitas yang lebih rendah menjadi kompleksitas yang lebih tinggi dan ekspansi ukuran. Periode pertumbuhan dan perkembangan dibagi menjadi dua periode yaitu periode prenatal dan periode postnatal. Kurva pertumbuhan postnatal untuk semua spesies ternak adalah serupa yaitu mengikuti pola pertumbuhan sigmoid. Kurva pertumbuhan sigmoid terbentuk karena umur tidak menyebabkan peningkatan berat tubuh, tetapi memberikan kesempatan bagi ternak untuk mencapai kedewasaan dan berinteraksi dengan lingkungan. Laju pertumbuhaan seekor ternak mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat, selanjutnya mulai melambat dan berhenti setelah mencapai kedewasaan (Soeparno, 2005).

Laju pertumbuhan cepat pada puyuh berlangsung umur 28 hari, kemudian pertumbuhan menjadi semakin lambat (Seker et al., 2009). Bobot badan puyuh betina terus meningkat setelah memasuki masa bertelur dan kebanyakan stabil pada bobot 120-130 atau 140-150 g (Arora dan Samples, 2011).

4

Performa Produksi Puyuh Konsumsi Pakan

Konsumsi pakan dipengaruhi bangsa unggas, suhu lingkungan, bobot tubuh, jenis kelamin, umur, tingkat produksi telur, besar telur, aktivitas, kualitas pakan, dan tingkat stres. Suhu lingkungan di atas suhu ideal pemeliharaan unggas dapat merangsang sistem saraf dan sistem hormonal pada pusat selera makan. Kelenjar tiroid akan mensekresikan hormon tiroksin yang menyebabkan penurunan nafsu makan sehingga konsumsi pakan menurun (Mulyatini, 2010). Manajemen pemeliharaan kandang seperti ketersediaan pakan dan air di dalam kandang, kepadatan kandang, sanitasi lingkungan, dan kontrol terhadap penyakit dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Pengontrolan sumber stres merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi pakan (Ferket dan Gernat, 2006).

Puyuh umur 36-42 hari mengkonsumsi pakan 19,1-21,6 g/ekor/hari. Konsumsi pakan puyuh menurun pada kepadatan kandang yang tinggi (Azeem dan Azeem, 2010). Konsumsi pakan puyuh pada periode bertelur 22,94 g/ekor/hari (Tuleun dan Dashe, 2010). Unggas petelur hanya membutuhkan sejumlah zat makanan yang dapat menopang potensi genetiknya. Konsumsi pakan berlebih akan menurunkan produksi telur. Pakan yang berlebih akan diubah menjadi lemak tubuh. Organ reproduksi banyak diselimuti lemak dan menjadi kurang elastis (Amrullah, 2004). Pakan yang diberikan pada unggas untuk produksi komersial diformulasikan sesuai kebutuhan minimum ternak (Moran, 2006). Shoukry et al. (2008) menyatakan energi metabolis yang diperoleh dari pakan digunakan untuk maintenance (metabolisme basal, aktivitas, membentuk bulu, menjaga suhu tubuh, membentuk komponen tubuh) dan produksi (telur dan pertambahan bobot badan).

Konversi Pakan

Konversi pakan adalah jumlah pakan yang dihabiskan untuk tiap satuan produksi (pertambahan bobot badan atau telur). Angka konversi kecil menunjukkan penggunaan pakan yang efisien sedangkan angka konversi besar menunjukkan penggunaan pakan yang tidak efisien. Tingkat konversi pakan dipengaruhi beberapa faktor, seperti mutu pakan, tata cara pemberian pakan, dan kesehatan ternak yang berkaitan dengan tingkat konsumsi (Ensminger, 1992).

5

Mortalitas

Mortalitas puyuh menurun pada kepadatan kandang yang semakin rendah. Puyuh mengalami stres pada kepadatan kandang yang tinggi. Mortalitas puyuh yang dipelihara hingga umur 42 hari pada kepadatan kandang 70 cm2/ekor sebesar 9,55% sedangkan pada kepadatan kandang 130 cm2/ekor sebesar 3,89%. (Azeem dan Azeem, 2010). Suhu lingkungan yang terlalu tinggi merupakan salah satu faktor penyebab kematian pada unggas (Mulyatini, 2010).

Komponen Karkas

Karkas unggas adalah bagian tubuh unggas tanpa darah, bulu, kepala, kaki, dan organ dalam. Karkas unggas terdiri atas beberapa komponen yaitu otot, tulang, lemak, dan kulit. Komponen karkas unggas selain tulang dan sebagian jaringan ikat merupakan komponen yang dapat dimakan (Muchtadi et al., 2010). Kandar laju pertumbuhan, nutrisi, umur, dan bobot tubuh adalah faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi tubuh atau karkas. Persentase hasil pemotongan pada unggas kecil seperti puyuh relatif konstan selama pertumbuhan (Soeparno, 2005). Genchev et al. (2008) menyatakan puyuh yang disembelih umur 35 hari menghasilkan karkas 64-65 % bobot hidup. Karkas yang berasal dari unggas tua berwarna lebih gelap dan memiliki tekstur yang lebih keras bila dibandingkan dengan karkas unggas muda Nilai suatu karkas dapat dilihat dari berat karkas dan kualitas karkas secara fisik, kimia maupun mikrobiologi (Soeparno, 2005).

Unggas memiliki sistem pertulangan yang berbeda dengan sistem pertulangan pada mamalia. Tulang unggas lebih ringan namun kuat dan kompak karena mengandung garam kalsium yang sangat padat. Tulang berfungsi sebagai kerangka tubuh, tempat pertautan daging, melindungi organ tubuh, dan sumsum tulang (Muchtadi et al., 2010). Sayap terdiri dari humerus, ulna, radius, dan mertakarpal. Kaki terdiri dari femur, tibia, fibula, dan patella (Mulyatini, 2011).

Otot bagi tubuh unggas mempunyai fungsi utama untuk menggerakkan tubuh, menutupi tulang, dan membentuk tubuh (Muchtadi et al., 2010). Sistem otot berhubungan erat dengan struktur kerangka karena otot merupakan sumber kekuatan dan gerakan (Mulyatini, 2011). Komponen tubuh secara kumulatif mengalami pertambahan berat selama periode pertumbuhan. Perkembangan otot tidak

6 berlangsung secara terus menerus karena pertambahan ukuran serabut otot pada umur tertentu terbatas. Pertumbuhan otot tidak terjadi secara proporsional dengan pertambahan umur. Pertumbuhan otot terjadi hingga titik infleksi (Moran, 2006). Otot dada pada puyuh berwarna gelap. Perbandingan otot gelap dan otot terang pada daging dada puyuh yaitu 95,1%-96,7% : 3,7%-4,9% (Genchev et al., 2008). Unggas yang memiliki otot dada berwarna gelap lebih kuat bila dibandingkan dengan unggas yang memiliki otot dada berwarna putih. Otot berwarna merah karena memiliki banyak darah kapiler dan pigmen (Mulyatini, 2011). Daging puyuh memiliki karakteristik pH yang tinggi yaitu 6,2-6,3. (Genchev et al., 2008). Kandungan protein pada daging puyuh yang berasal dari puyuh muda lebih tinggi dibanding puyuh yang sudah tua. Kandungan protein daging puyuh yang disembelih umur 8 minggu 18,99 % sedangkan kandungan protein daging puyuh yang disembelih umur 8 bulan 17, 48 % (Boni et al., 2010).

Lemak pada unggas dibagi menjadi tiga tipe yaitu lemak yang terletak di bawah kulit (subkutan), lemak perut bagian bawah (abdominal), dan lemak dalam otot (intramuskular). Kandungan lemak subkutan dipengaruhi umur (Muchtadi et al., 2010). Daging puyuh banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (Genchev et al., 2008).

Kulit pada unggas berfungsi melindungi bagian dalam kulit secara mekanik dari benda asing (Muchtadi et al., 2010). Kulit pada puyuh tidak elastis sehingga sangat mudah terkelupas saat proses pencabutan bulu (Genchev dan Mihaylova, 2008). Kulit puyuh mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga karkas puyuh mudah mengalami oksidasi selama proses penyimpanan. Karkas puyuh lebih sering disimpan tanpa kulit untuk meningkatkan daya simpan (Genchev et al., 2008).

Kepadatan Kandang

Puyuh biasa dikandangkan secara berkelompok di dalam unit kandang. Kepadatan kandang merupakan salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan dalam pemeliharaan puyuh. Kepadatan kandang adalah banyak ternak puyuh yang dimasukkan dalam kandang per satuan luas lantai (floor space). Kandang harus diisi sesuai kapasitas. Kandang berukuran sedang dengan panjang 100 cm, lebar 45 cm, dan tinggi 27 cm dapat menampung 20-25 ekor puyuh dewasa (Peraturan Menteri Pertanian, 2008). Besaran kepadatan kandang dipengaruhi ukuran tubuh ternak,

7 sistem kandang yang dipakai, suhu lingkungan, dan ventilasi yang diberikan Kepadatan kandang yang terlalu tinggi dapat menyebabkan ternak stres dan sakit sehingga menurunkan pertumbuhan dan sebagian karakteristik karkas. Kepadatan kandang yang kurang optimal mengakibatan kerugian secara ekonomi (Esen et al., 2006). Kebutuhan luasan lantai untuk puyuh dapat dilihat pada Tebel 1.

Tabel 1. Kebutuhan Luasan Lantai untuk Puyuh

Umur (minggu) Luasan Lantai (cm2/ekor)

0 – 1 160 – 180

1 – 4 180 – 200

4 – 7 180 – 200

7 – 12 180 – 200

Sumber: Peraturan Menteri Pertanian (2008)

Kepadatan kandang yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan parameter fisiologi puyuh. Kepadatan kandang yang tinggi meningkatkan detak jantung, laju pernafasan, suhu tubuh, dan suhu kulit puyuh. Detak jantung, laju pernafasan, suhu rektal, dan suhu kulit puyuh pada kepadatan kandang yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. C. Japonica memiliki suhu tubuh 42,2 oC dan suhu kulit 39 oC pada suhu lingkungan 21 oC (Azeem dan Azeem, 2010).

Tabel 2. Detak Jantung, Laju Pernafasan, Suhu Rektal, dan Suhu Kulit Puyuh pada Kepadatan Kandang yang Berbeda

Parameter Kepadatan Kandang

70 cm2/ekor 100 cm2/ekor 130 cm2/ekor Detak Jantung (per menit) 330,00a 319,00b 309,00c Laju Pernafasan (per menit) 48,00a 35,00b 32,00c Suhu Rektal (21 oC ambient) 42,40a 42,00b 41,30c Suhu Kulit (21 oC ambient) 40,80a 40,30b 39,90c

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05) (Azeem dan Azeem, 2010)

Kepadatan kandang yang tinggi menyebabkan penurunan pergerakan udara dan akumulasi panas di dalam kandang sehingga proses pengeluaran panas pada tubuh puyuh terhambat. Tingkat kepadatan kandang berpengaruh terhadap kualitas

8 karkas C. japonica. Peningkatan kepadatan kandang pada pemeliharaan puyuh dapat menyebabkan penurunan berat dan panjang saluran pencernaan (Azeem dan Azeem, 2010). Puyuh yang dipelihara pada suhu lingkungan yang tinggi akan mengalami stres panas. Stres panas akan mengakibatkan puyuh kehilangan banyak air melalui evaporasi dengan jalan meningkatkan frekuensi pernafasan (Ozbey et al., 2004).

Mekanisme Mempertahankan Suhu Tubuh

Puyuh mempunyai suhu tubuh yang tinggi yaitu 42,2 oC. Puyuh adalah binatang berdarah panas (homeothermic), mempunyai kemampuan untuk mempertahankan suhu tubuh internal (Azeem dan Azeem, 2010). Proses mempertahankan keseimbangan panas dinamakan termoregulasi. Termoregulasi hanya efektif pada batas suhu tertentu sehingga pada suhu ekstrim unggas tidak dapat beradaptasi dengan baik. Sebanyak 75 % panas pada unggas dilepaskan melalui radiasi, konduksi, dan konveksi (Mulyatini, 2010). Proses pengeluaran panas tubuh melalui sensible heat loss (radiasi, konduksi, dan konveksi) terjadi pada kondisi nyaman (Hillman et al., 2000). Suhu optimal kandang pemeliharaan puyuh yaitu 21- 26,5 oC dengan kelembaban maksimum 70%-80% (Peraturan Menteri Pertanian, 2008).

Anatomi dan fisiologi unggas lebih mendukung untuk penyimpanan panas daripada untuk pelepasan panas. Tubuh puyuh dilindungi bulu dan kulit. Bulu berfungsi sebagai pelindung kulit dan sebagai insulator dari suhu yang ekstrim. Unggas tidak memiliki kelenjar keringat. Sistem pernafasan pada unggas sangat berperan dalam mekanisme pengaturan suhu tubuh. Unggas memiliki sistem pernafasan yang berbeda dengan mamalia. Unggas membutuhkan oksigen dalam jumlah yang sangat banyak. Sistem pernafasan pada unggas terdiri dari rongga hidung, larynx, trachea, syrinx, bronkus, paru-paru, dan kantong udara. Sistem pernafasan pada unggas dimulai dari rongga hidung yang terletak dibagian paruh sebelah atas. Larynx tertutup ketika makanan masuk ke kerongkongan. Paru-paru unggas relatif kecil dan menempel secara kuat pada dinding toraks. Unggas tidak memiliki diafragma. Pernafasan pada unggas merupakan suatu proses hasil kerja otot, rangka dan sistem pernafasan. Unggas meningkatkan laju pernafasan (panting) untuk mendinginkan tubuh. Penguapan air terjadi pada membran mukosa sepanjang sistem pernafasan. Suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan energi banyak digunakan

9 untuk mendinginkan tubuh (Mulyatini, 2011). Ventilasi terjadi akibat perbedaan tekanan udara pada kantong udara, kontraksi otot pada dinding rongga dada menyebabkan sternum didorong keluar. Ekspirasi pada unggas tidak pasif tetapi membutuhkan kontraksi otot untuk meningkatkan tekanan dan mendorong udara keluar sistem pernafasan. Suhu lingkungan yang lebih tinggi dari suhu optimal pemeliharaan menghambat mekanisme pengeluara panas melalui sensible heat loss sehingga proses pengeluaran panas dilakukan melalui evaporasi (Hillman et al., 2000).

10

MATERI DAN METODE

Dokumen terkait