• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN Bioekologi

Kesehatan Mangrove

Hasil pengamatan di lapangan diperoleh sembilan jenis mangrove yaitu

Bruguiera gymnoriza, Avicennia marina, Avicennia alba, Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, Aegiceras corniculatum, Nypa fruticans

dan Acanthus ilicifolius yang berasal dari sekitar Sungai Ngrewing (stasiun 1), Sungai Daon (stasiun 2), Sungai Cikantil (stasiun 3), Sungai Ngroyom (stasiun 4) dan Sungai Ciremang (stasiun 5). Hal ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman di kawasan wisata hutan payau rata-rata tergolong sedang (sehat), karena menurut Wilhm dan Dorris (1986) nilai indeks keanekaragam (H’) antara satu sampai tiga tergolong sedang. Penentuan stasiun di atas didasarkan karena lokasi tersebut berpotensi untuk kegiatan yang bersifat wisata ekosistem mangrove, seperti tracking, berperahu, memancing serta memotret, dengan jumlah stasiun dianggap sudah mewakili jenis dan kerapatan ekosistem mangrove. Sebaran mangrove di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1 Sebaran mangrove dilokasi penelitian

Spesies Mangrove Stasiun

1 2 3 4 5 Bruguiera gymnoriza V 0 0 0 0 Avicennia marina V V V V V Avicennia alba 0 V 0 0 V Rhizopora apiculata V V V V V Rhizopora mucronata V 0 0 0 0 Sonneratia alba 0 0 0 V 0 Aegiceras corniculatum 0 0 0 V 0 Nypa fruticans 0 V V V V Acanthus ilicifolius 0 V 0 V V

Keterangan: V : ada , 0 : Tidak ada (survei 2013)

Berdasarkan Tabel 5.1 di atas jenis mangrove A. marina merupakan jenis yang dominan ditemukan disemua stasiun. Hal ini menunjukkan keterwakilan (dominansi) jenis mangrove tersebut tergolong baik dalam menjaga keberlangsungan pertumbuhan. Menurut Supriharyono (2007) dalam Romadhon (2008), baiknya pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik, dan menurut Mann (2000) tingkat kandungan bahan organik yang tersedia bagi biota maupun tanaman (fitoplankton, zooplankton dan algae) menunjukkan tingginya kandungan serasah yang jatuh ke perairan. Tingkat keanekaragaman mangrove sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan di kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon dapat dimanfaatkan untuk mengukur kekayaan komunitas suatu kawasan. Menurut Soegianto (1994) dalam Mangindaan dkk.

(2012) kekayaan tingkat keanekaragaman jenis mangrove yang tersedia dapat digunakan untuk mengukur kemampuan suatu komunitas dalam menjaga dirinya terhadap gangguan. Semakain banyak jumlah spesies maka semakin tinggi keanekaragaman, dan menurut Fromard (1998) dampak keanekaragaaman spesies mangrove dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut.

Berdasarkan hasil analisis, stasiun satu terdiri dari empat jenis mangrove, yaitu B. gymnoriza, A. marina, R. apiculata, dan R. mucronata. Total nilai kerapatan sebesar3.133 ind/ha (pohon), 6.600 ind/ha (anakan), dan 85.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. mucronata sebesar 109%. Stasiun dua terdiri dari A. alba, A. marina dan R. apiculata,N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.100 ind/ha (pohon), 1.400 ind/ha (anakan), dan 20.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi A. marina sebesar 254%. Stasiun tiga terdiri dari A. marina, R. apiculata dan N. fruticans. Total nilai kerapatan sebesar 1.633 ind/ha (pohon), 1.000 ind/ha (anakan), dan 10.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi A. marina sebesar 194%. Stasiun empat terdiri dari A. marina, R. apiculata, S. alba, N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.767 ind/ha (pohon), 3.600 ind/ha (anakan), dan 150.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. apiculata sebesar 140%. Stasiun lima terdiri dari A. marina, A. alba, R. apiculata, Ae. corniculatum, N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.533 ind/ha (pohon), dan 160.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. apiculata sebesar 149%. Hasil analisis kerapatan dan indek nilai penting (INP) mangrove disajikan pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2 Kerapatan mangrove dan INP

Lokasi Species Kerapatan (ind/ha) INP (%)

Pohon Anakan Semai

Stasiun 1 B. gymnoriza 533 - - 107 A. marina 600 3.200 - 52 R. apiculata 400 1.600 20.000 31 R. mucronata 1.600 1.800 65.000 109 Total 3.133 6.600 85.000 Stasiun 2 A. alba 200 - - 46 A. marina 900 1.400 - 254 R. apiculata - - 20.000 - Total 1.100 1.400 20.000 Stasiun 3 A. marina 433 - - 194 R. apiculata 1.200 1.000 10.000 106 Total 1.633 1.000 10.000 Stasiun 4 A. marina 367 - 150.000 91 R. apiculata 1.200 3.600 - 140 S. alba 200 - - 68 Total 1.767 3.600 150.000 Stasiun 5 A. marina 450 - 160.000 66 A. alba 400 - - 26 R. apiculata 333 - - 149 Ae. corniculatum 350 - - 59 Total 1.533 - 160.000

Sumber: Hasil analisis tahun 2013

Berdasarkan Tabel 5.2 di atas menunjukkan nilai kerapatan untuk kategori pohon di lima stasiun dikategorikan masih tergolong baik, kecuali pada stasiun dua, untuk stasiun satu (3.133 ind/ha), stasiun dua (1.100 ind/ha), stasiun tiga (1.633 ind/ha), stasiun empat (1.767 ind/ha) dan stasiun lima (1.533 ind/ha). Hal

ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi hutan mangrove di kawasan wisata

hutan payau dalam keadaan baik ≥1.500 pohon/ha, yang sesuai dengan

KepMenLH No. 201 tahun 2004 (Wiharyanto dkk. 2010). Walupun stasiun dua nilai kerapatannya paling kecil, namun memiliki INP sebesar 254% untuk jenis A. marina, hal ini menurut Bengen (2002) mangrove tersebut memiliki peran yang penting dalam lingkungan karena memiliki INP mendekati nilai 300%. Masih baiknya kondisi mangrove tersebut, disebabkan daerah kawasan wisata hutan payau ini merupakan daerah yang terlindungi dari deburan ombak yang ganas.

Kategori anakan menunjukkan A. marina mampu tumbuh di stasiun satu dan dua, hal ini terjadi karena kategori anakan A. marina memberikan respon yang lebih baik di lokasi tersebut. Menurut Hutahaean dkk. (1999) anakan A. marina dalam adaptasi konsentrasi garam yang tinggi (akumulasi) akan mengeluarkannya melalui kelenjar dengan memproduksi daun dalam jumlah yang besar.

Kategori semai yang mempunyai nilai kerapatan relatif tinggi adalah jenis

A. marina terdapat di stasiun empat dan lima. Hal ini menunjukkan perbedaan beberapa spesies yang mampu tumbuh dengan baik, diduga ada pemangsaan oleh sejenis kepiting dan dampak dari kategori pohon yang ada. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Pradana dkk. (2013) yang menyatakan bahwa pemangsaan oleh gastropoda dan krustasea menjadi penghambat dalam proses regenerasi tumbuhan mangrove itu sendiri baik pada propagul yang baru jatuh maupun yang sudah dibibitkan. Selain itu, menurut Soerianegara (1968) bahwa kematian pohon-pohon tancang (Bruguiera sp.) di Cilacap karena kandungan NaCl yang sangat sedikit. Oleh karena itu pihak perhutani melakukan penanaman percontohan jenis tersebut di stasiun satu (petak 57), yang menghasilkan tingkat keberhasilan beradaptasi baik. Tingkat kerapatan pohon, anakan dan semai disajikan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1a Kerapatan mangrove kategori pohon

Gambar 5.1b Kerapatan mangrove kategori anakan

Gambar 5.1c Kerapatan mangrove kategori semai

Relatif baiknya tingkat kerapatan mangrove dimungkinkan terjadi pertukaran genetik dalam populasi secara luas dengan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga kelestarian mangrove masih tergolong baik, dan menurut Onrizal (2005) baiknya suatu vegetasi mangrove karena resisten terhadap garam (salt-resistant plants), mampu memelihara pertumbuhannya dalam kondisi osmotik, dibantu keberadaan lubang-lubang tanah yang dibuat oleh kepiting sehingga proses respirasi dapat berjalan dengan baik. Namun perlu kewaspadaan adanya peralihan mata pencaharian masyarakat menjadi petani yang akan mengancam kelestarian mangrove (konversi lahan pertanian), dan menurut Patang (2012) kerusakan mangrove disebabkan adanya keinginan memiliki lahan yang luas, kurangnya pengetahuan, tekanan ekonomi, pemanfaatan kayu bakar tak terkendali, perburuan fauna, hambatan pengamanan dan penegakan hukum.

Produktivitas Ekosistem Mangrove

Berdasarkan perhitungan estimasi biomassa kayu mangrove dilima stasiun dihasilkan nilai biomassa sebesar 22,98 ton/ha. Jenis mangrove A. marina

mempunyai nilai biomassa tertinggi sebesar 6 ton/ha, terendah R. apiculata

sebesar 1.81 ton/ha, diatas rata-rata B. gymnoriza dan R. mucronata sebesar 4,46 ton/ha dan 5,08 ton/ha. Rincian hasil analisis estimasi biomassa kayu mangrove per spesies disajikan pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3Estimasi biomassa kayu mangrove

Jenis mangrove Biomassa (ton/ha)

B. gymnoriza 4,46 R. mucronata 5,08 R. apiculata 1,81 A. marina 6,00 A. alba 3,54 S. alba 2,09

Sumber: Hasil analisis tahun 2013

Tingginya nilai biomassa A. marina, hal ini disebabkan secara umum memiliki diameter pohon yang relatif besar di semua stasiun. Jenis lain tidak selalu ditemukan, hal ini diduga karena tingkat adaptasi mangrove yang berbeda-beda terhadap perubahan salinitas dan suhu, dan Amira (2008) menambahkan bahwa pola pertumbuhan biomassa memiliki perberbedaan antar bagian-bagian pohon, sedangkan jika dilihat dari nilai kadar air pohon cenderung menurun seiring dengan pertambahan umur pohon, sementara nilai berat jenis kayu cenderung meningkat seiring dengan pertambahan umur pohon. Hal ini disebabkan pada umur pohon yang lebih muda memiliki rongga sel yang lebih besar sehingga akan lebih banyak terisi oleh air (Pambudi, 2011). Menurut Sutaryo (2009) biomassa batang, daun dan akar akibat proses fotosintesis menyerap CO2 dan mengubahnya menjadi karbohidrat yang menghasilkan perbedaan biomassa dari setiap jenis mangrove, hal ini diduga akibat dari salinitas yang mempengaruhi tingkat adaptasi mangrove, dan menurut Lugo et al. (1981)

in Sherman et al. (2003) perbedaan biomassa setiap jenis mangrove, diduga dampak dari tingginya salinitas yang membatasi pertumbuhan. Hasil analisis estimasi biomassa kayu mangrove disajikan pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Biomassa kayu mangrove kategori pohon

Berdasarkan analisis estimasi biomassa kerang diperoleh nilai sebesar 426,23 kg/ha, untuk kerang totok didapatkan nilai sebesar 334,89 kg/ha dengan tingkat kepadatan 34.667 ind/ha, dan untuk kerang tanggal sebesar 91,34 kg/ha dengan tingkat kepadatan 15.711 ind/ha. Rincian kepadatan dan biomassa kerang disajikan pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4Estimasi biomassa kerang

Jenis Kepadatan Populasi (ind/ha)

Rata-rata (cm) Biomassa (kg/ha) Panjang Lebar Tebal

Kerang Totok 34.667 4,6 4,3 2,2 334,89

Kerang Tanggal 15.711 6,2 1,5 0,9 91,34

Total 50,378 426,23

Sumber: Hasil analisis tahun 2013

Berdasarkan Tabel 5.4 di atas menunjukkan perbedaan biomassa antar spesies yang signifikan dengan tingkat kepadatan dan biomassa kerang totok lebih tinggi dibandingkan dengan kerang tanggal. Hal ini diduga karena kerang totok lebih respon tumbuh, terlebih lagi kerang totok merupakan spesies endemik yang ada di Kabupaten Cilacap. Kerang totok relatif lebih mampu menyerap bahan organik yang subur dibandingkan dengan kerang tanggal. Hal ini terbukti bahwa kerang totok pertumbuhannya lebih baik, dan menurut Einsele (1992) in Nasution (2009) sebagian besar bahan organik berasal dari daratan yang mengendap di dasar pantai atau muara sungai, sehingga dengan adanya pergerakan massa air maka sedimen yang kaya bahan organik tersebut dapat diangkat ke kolom air. Kondisi ini memudahkan kerang dalam mengambil makanan. Perbedaan biomassa dan kepadatan kerang disajikan pada Gambar 5.3.

Gambar 5.3 Biomassa dan kepadatan kerang

Berdasarkan hasil analisis jumlah biomassa ikan, estimasi total adalah 12,53 kg/ha dengan nilai tertinggi adalah ikan belanak sebesar 5,50 kg/ha, kating 4,58 kg/ha, kiper 1,78 kg/ha dan ikan tenggeleng yang paling rendah sebesar 0,68 kg/ha. Estimasi biomassa ikan disajikan pada Tabel 5.5.

Tabel 5.5 Estimasi biomassa ikan

Bahasa Latin Bahasa Lokal Biomassa ikan (kg/ha) Periophthalmus argentilonatus Ikan Belanak 5,50

Ketengus typus Ikan Kating 4,58

Acentrogobius cauerensis Ikan Tenggeleng 0,68

Scatophagus argus Ikan Kiper 1,78

Sumber: Hasil analisis tahun 2013

Keberadaan ikan di kawasan wisata hutan payau salah satunya sangat dipengaruhi oleh aktivitas lalu lintas perahu sehingga apabila lalu lintas perahunya tinggi maka ikan yang terdeteksi jumlahnya jauh lebih sedikit. Secara umum perbedaan jumlah ikan menurut Nugraha (2007) untuk setiap kedalaman tidak begitu besar. Hal ini disebabkan pada perairan ini masih tergolong perairan yang homogen, dan keberadaan ikan di perairan kawasan wisata hutan payau merupakan salah satu target nelayan selain ikan laut. Namun jika dilihat dari segi biomassa dan ukuran, ikan belanak memang lebih besar dibanding dengan ikan lainnya.

Gambar 5.4 Biomassa ikan

Kualitas Habitat

Kualitas air di ekosistem mangrove kawasan wisata merupakan salah satu faktor fisik yang penting karena dapat membawa bermacam-macam zat, sehingga dengan mengetahui kualitas air secara menyeluruh akan dapat diketahui pula keadaaan lingkungan secara umum di daerah tersebut (Hardjosuwarno et al. 1978

dalam Dewi 1993). Berdasarkan KepMenLH No.115 Tahun 2003, pencemaran perairan di kawasan wisata hutan payau sejauh ini masih dapat ditolerir dengan indeks pencemaran 0,91 dikategorikan masih tergolong baik dan memenuhi baku mutu (0 ≤ Pij ≤ 1,0). Walaupun tergolong baik, namun perlu adanya kewaspadaan terhadap zat cemar yang mungkin masuk terutama dari limbah pertamina yang dibuang ke Sungai Donan yang tidak jauh dengan kawasan. Suhu di perairan kawasan wisata hutan payau masih tergolong baik dengan rata-rata 28,74⁰C, hal ini menurut Kastoro (1988) dalam Herawati (2008) menyatakan bahwa kisaran suhu normal (baik) jenis kerang-kerangan dapat hidup di daerah tropis pada suhu 20oC-35oC dengan fluktuasi tidak lebih dari 5oC. Kategori salinitas mengindikasikan bahwa masih dalam kisaran toleransi hidup dan tumbuh sebesar 29,8‰, hal ini didasarkan pada Aksornkoae (1993) dalam Susilo dkk. (2010), yang menyatakan bahwa salinitas suatu perairan pertumbuhan yang baik umumnya hidup pada kisaran salinitas 10-30 ‰.

Nilai pH di lokasi kawasan wisata hutan payau cenderung netral yaitu 7,5. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah ini masih mendukung kehidupan mangrove atau masih pada batas nilai toleransi karena derajat keasaman (pH) mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan tumbuhan dan hewan perairan (Odum, 1996). Nilai DO sebesar 6,84 mg/l menunjukkan kondisi perairan masih tergolong baik karena lebih tinggi dari nilai baku mutu (>4 mg/l). Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi perairan kawasan wisata hutan payau masih dapat memberikan dampak positif bagi keberlangsungan suatu organisme dan mangrove dan menurut KepMenLH 110 tahun 2003 dalam Agustiningsih (2012), menunjukkan bahwa perairan tersebut mampu melakukan kemampuan memulihkan dirinya sendiri (self purification) dengan proses penambahan kandungan oksigen dari udara ke air (difusi) akibat turbulensi.

Sosial Ekonomi

Penerimaan Daerah

Berdasarkan hasil pengamatan saat ini dilapangan diketahui bahwa obyek wisata buka pada jam 07.30-15.00 WIB atau sekitar 7,5 jam setiap hari. Penerimaan pendapatan hasil penjualan karcis wisata hutan payau tidak hanya dari masyarakat lokal saja, namun terkadang terdapat kunjungan rombongan dari luar kota yang sifatnya temporal dari perguruan tinggi atau sekolah-sekolah yang ingin mengetahui tentang pengetahuan ekosistem mangrove. Hasil pendapatan tersebut dikelola oleh Perhutani dan Pemda Kab. Cilacap dengan harga Rp 4.000,00/org dengan kondisi infrastruktur di kawasan wisata hutan payau dalam proses perbaikan dengan jumlah pengunjung diperkirakan 150 org/minggu. Menurut Gurung (2010) dalam Siswantoro (2012) pertumbuhan jumlah pengunjung di kawasan konservasi dapat mempengaruhi integritas ekologi, hal ini diharapkan dapat menjadi umpan balik bagi masyarakat dalam memberikan manfaat optimal berwisata sehingga akan terjalin keterpaduan antara kelestarian dengan pendapatan.

Tenaga Kerja dan Pendidikan

Suatu wisata alam yang dijadikan sebagai obyek wisata tentunya tidak terlepas dari jumlah tenaga kerja dan kualitas pendidikan pemandu wisata. Saat ini jumlah tenaga kerja yang terlibat di lapangan untuk pemandu wisata sekaligus penjaga loket dan pengawas sebanyak 3 orang dengan tingkat pendidikan belum ada yang sampai strata 1. Sedangkan tenaga pendukung sekitar 12 orang untuk penyedia transportasi (ojek, becak, mobil kereta), 2 orang untuk penyedia perahu, 3 orang untuk pedagang di sekitar pintu masuk kawasan wisata dan penyedia kesenian sebanyak 20 orang. Masih terbatasnya tenaga kerja yang tersedia dengan tingkat pendidikan yang memadai dan belum diimbangi dengan adanya kebijakan pengembangan kawasan maka perlu kiranya memanfaatkan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat desa menjadi suatu pilihan sehingga pengembangan wisata dapat lebih beragam. Hal ini berdasarkan Putra (2006) yang menyatakan bahwa daerah pengembangan pariwisata atau setidaknya berada dalam rute paket perjalanan wisata, diutamakan yaitu telah tersedia tenaga pengelola, pelatih dan pelaku–pelaku pariwisata, seni dan budaya, adanya aksesibilitas dan infrastruktur serta terjaminnya keamanan, ketertiban dan kebersihan.

Keuntungan Sektor Informal

Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner menunjukkan moda transportasi perahu dikenakan tarif sebesar Rp 10.000,00-50.000,00 per trip atau lebih jika dimanfaatkan untuk penelitian, sedangkan moda transportasi yang melalui darat didominasi jenis sepeda motor sebesar 84%, diikuti sepeda sebesar 12% dan sisanya mobil pribadi dan pejalan kaki. Masyarakat yang memanfaatkan angkutan umum relatif kecil sekali. Hal ini dimungkinkan karena angkutan umum yang mencapai lokasi wisata sangat jarang disebabkan sebagian besar pengunjung sudah memakai kendaraan pribadi dan hanya sebagian kecil yang menyewa mobil, sedangkan mobil kereta masyarakat dimanfaatkan oleh anak-anak untuk melintasi sekitar jalan di dekat kawasan wisata hutan payau hingga kearah kota.

Pemanfaatan penginapan (homestay) saat ini hanya dilakukan oleh pengunjung yang melakukan penelitian seperti mahasiswa dari Unsoed, IPB, Undip, UGM dan UMP. Apabila penduduk memungut tarif menginap permalam dikenakan biaya sekitar Rp 20.000,00/org, sedangkan tarif hotel atau losmen di Kabupaten Cilacap sangat bervariasi mulai Rp 100.000,00-1.500.00,00 per malam. Menurut Zanaria (2012) tawaran penginapan dibagi dalam dua pilihan, yaitu berupa bangunan yang dirancang secara sederhana, dan penginapan di rumah masyarakat lokal dengan tujuan wisatawan dapat secara langsung berinteraksi dan lebih mengenali kehidupan keseharian masyarakat lokal.

Kepuasan Masyarakat dan Pengunjung

Masyarakat yang diwawancarai adalah yang bermukim di sekitar kawasan wisata hutan payau, dengan usia berkisar 14-60 tahun. Persepsi masyarakat dari pengembangan kawasan wisata hutan payau adalah jalan menjadi baik, membuka lapangan kerja, dan dapat berinteraksi dengan pengunjung. Hal ini sangat direspon oleh masyarakat karena dapat berdagang dan dapat menjadi pemandu memancing, mencari kerang dan penelitian. Dukungan masyarakat yang merasa senang dengan adanya wisata hutan payau sebesar 80%, hal ini dimungkinkan karena masyarakat ingin menjadi pemandu, menyewakan rumahnya untuk penginapan ekowisatawan dan ada juga menjadi relawan.

Potensi Kunjungan

Pengunjung wisata hutan payau didominasi oleh status pribadi belum menikah dengan persentase 64%, dengan umur pengunjung paling banyak berusia 15-25 tahun sebanyak 72,%, usia diatas 46 tahun sebesar 8%. Waktu dan lama berkunjung pada hari libur adalah waktu yang paling diminati (96%), dimungkinkan karena pada hari lain digunakan untuk sekolah dan kerja. Data ini menunjukkan bahwa kawasan wisata ini menarik dan memberikan kesan khusus terhadap pengunjung dalam menikmati ekosistem mangrove dengan intensitas pengunjung lebih dari 3 kali (sering) sebanyak 88%. Oleh karena itu pihak pengelola perlu melakukan sosialisasi yang tepat sasaran tentang manfaat ekosistem mangrove secara berkala melalui berbagai kegiatan pendidikan atau lomba-lomba yang merangsang pengunjung untuk berkreasi dan mencintai alam sekitar guna keberlanjutan sumberdaya mangrove. Hal tersebut diyakini berhasil dan sejalan dengan hasil kuesioner pengunjung yang mendominasi adalah pelajar dengan prosentase sebanyak 64%, diikuti mahasiswa dan karyawan sebanyak 16%, swasta sebanyak 12%, pedagang 8% dan petani nelayan 4%.

Sarana dan Prasarana

Prasarana dan sarana saat ini sudah dilengkapi dengan loket penjualan tiket, area parkir, jalan aspal, penunjuk arah area wisata dan gerbang pintu masuk atas kerjasama Perum Perhutani, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan dan Pemerintah daerah. Keadaan kondisi tracking dilapangan dalam proses perbaikan, tujuannya memudahkan wisatawan untuk mencapai obyek yang disukai. Oleh karena itu, dalam rangka tercipta rasa keamanan, kenyamanan sampai ke lokasi yang dituju, wisatawan agar berhati-hati dalam melakukan tracking khususnya anak-anak. Bentuk atraksi berperahu, perlu dimanfaatkan kembali untuk perlombaan perahu dayung dan semisalnya.

Harapan

Harapan Pengunjung, pembenahan pembangunan fasilitas mushola, adanya gardu peristirahatan, menara pemandangan dan tempat bermain, MCK dan pemandu, air bersih, kantin dan tempat sampah, untuk keamanan dan pengawasan seperti papan penunjuk arah, pagar keamanan, pemandu wisata yang terdidik, P3K. Selain itu di dalam areal wisata itu sendiri diharapkan perlu difasilitasi keramahan pemandu wisata, kerapian berpakaian dan mempunyai kemampuan bahasa asing karena dimungkinkan akan ada wisatawan dari mancanegara.

Kelembagaan Lembaga Pengelola

Berdasarkan identifikasi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap, maka peran lembaga pengelola saat ini terdiri dari: (1) instansi perhutani, memiliki kepentingan khusus di wisata hutan payau berupa aspek pelestarian dan perlindungan alam, dengan tujuan untuk memperoleh pendapatan daerah melalui kunjungan wisata dan hasil kayu, (2) instansi pemerintah daerah, memiliki kepentingan pada aspek manajemen pariwisata dan sumberdaya pesisir dan laut, kelestarian objek wisata, intregasi, pendapatan asli daerah (PAD), keamanan dan keberlanjutan, (3) partisipasi masyarakat, memiliki kepentingan pada aspek pengelolaan desa, namun belum menyentuh secara khusus perannya di kawasan wisata hutan payau.

Kunci keberhasilan lembaga pengelolaan lingkungan pesisir menurut Wibowo (2002) adalah pada sistem mekanisme prosedural dalam mengkoordinasikan kebijakan anggaran dan pengelolaan, hal ini akan menentukan jenis koordinasi dalam pembuatan keputusan, yang terdiri dari: (1) koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta serta stakeholders lain seperti masyarakat, LSM, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan lain-lain, (2) koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah seperti kabupaten/kota, provinsi dan pusat, (3) koordinasi horisontal antara berbagai sektor pada tiap tingkatan pemerintahan. Perlunya koordinasi dan kerjasama antar lembaga tersebut dilakukan mulai dari tahap perencanaan (planning), pengaturan (organizing), pelaksanaan (actuating) hingga pengawasan dan evaluasi program (controling) baik vertikal maupun horisontal, melalui kerjasama fasilitasi promosi kawasan wisata hutan payau berupa peningkatan penyediaan informasi kepentingan publik, misalnya dalam bentuk leaflet, profil pariwisata, booklet, poster, pameran, travel mart,

website, film dokumenter, radio, televisi dan berbagai lomba agar pengembangan kawasan wisata hutan payau dapat mensejahterakan semua pihak, lestari dan berkelanjutan.

Kebijakan Perlindungan

Implementasi Perda No. 17 tahun 2001 tentang pengelolaan hutan mangrove di kawasan segara anakan, Perda No. 24 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kab. Cilacap dan Perda No. 9 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kab. Cilacap yang memasukan kawasan wisata hutan payau sebagai kawasan pariwisata alam, serta Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/1996 tentang pembinaan dan pengawasan pengusahaan pariwisata alam merupakan peluang bagi pemerintah dan masyarakat lokal untuk mengambil peran aktif dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan, oleh karena itu dibutuhkan komitmen bersama antara stakeholder.

Kegiatan pengelolaan kawasan wisata hutan payau bidang pengawasan, dirasakan belum berjalan secara intensif seperti pelibatan masyarakat yang bersifat kemitraan untuk menjaga keamanan dan kelestarian hutan payau. Penegakan hukum masyarakat yang merusak infrastruktur atau ekosistem mangrove masih sebatas memberi peringatan, hal ini ditempuh karena masyarakat yang memanfaatkan kayu mangrove tanpa ijin masih mempunyai karakter sifat yang kurang baik. Menurut Poerwaka (2002), solusinya dengan menerapkan dua kegiatan atau lebih dipadukan apabila memenuhi asas kompatibilitas yang terdiri dari: complete compatibility, partial compatibility dan incompatibility. Complete compatibility terjadi apabila dua atau kegiatan atau lebih dapat berlangsung bersamaan dalam ruang dan waktu yang sama; partial compatibility, terjadi apabila dua kegiatan atau lebih dapat dilakukan secara berurutan dalam ruang yang sama, namun dalam waktu yang berbeda, dan incompatibility terjadi apabila dua kegiatan tidak dapat dilakukan secara bersamaan atau berurutan. Oleh karena itu perlu sinergi kegiatan dalam mengelolaa kawasan wisata hutan payau diantara lembaga yang ada.

Partisipasi Masyarakat

Partispasi masyarakat dalam bentuk kelembagaan di sekitar kawasan wisata

Dokumen terkait