STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA HUTAN
PAYAU DI TRITIH KULON, KABUPATEN CILACAP,
PROVINSI JAWA TENGAH
ANDI RAHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payaudi Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Andi Rahman
RINGKASAN
ANDI RAHMAN. Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan YONVITNER.
Ekosistem mangrove di Kabupaten Cilacap merupakan salah satu sumber daya alam yang penting di pantai selatan Pulau Jawa. Letaknya yang strategis dan memiliki potensi obyek wisata, menyebabkan daerah ini dijadikan sebagai sentra pariwisata. Salah satu obyek wisata mangrove yang memiliki potensi cukup baik dijadikan sebagai pusat pendidikan adalah kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon. Wisata tersebut merupakan daerah penyangga (buffer) Kawasan Segara Anakan yang dilindungi. Namun masih terdapat beberapa permasalahan yang terjadi, yaitu (1) pertambahan penduduk, (2) penebangan/kerusakan mangrove, (3) menurunnya minat pengunjung, (4) minimnya koordinasi stakeholder, (5) minimnya pemeliharaan fasilitas wisata, dan (6) minimnya pendidikan masyarakat lokal. Tujuan dari penelitian ini ialah menyusun strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon berbasis daya dukung dan kesesuaian sumberdaya wilayah pesisir. Analisis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah analisis trade-off, analisis kesesuaian dan daya dukung kawasan serta strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau.
Hasil analisis trade-off menunjukkan bahwa skenario ekowisata merupakan pilihan alternatif pertama (93,93), alternatif kedua skenario wanawisata (33,26) dan alternatif ketiga wisata pantai (1,37). Hal ini karena skenario ekowisata menerapkan keseimbangan tiga prinsip dasar yaitu
economically profitable, socially acceptable dan environmentally sustainable. Analisis indeks kesesuaian menunjukkan stasiun satu dan stasiun tiga termasuk dalam kategori sangat sesuai (S1) dengan IKW 77%, kategori sesuai (S2) dengan IKW 64% dan 56% terdapat di stasiun empat dan stasiun lima, serta kategori sesuai bersyarat (S3) terdapat di stasiun dua dengan IKW 49%, dengan analisis daya dukung pengunjung menunjukkan terdapat satu usulan track perairan sebanyak 131 orang/hari, dan track daratan yang beraktivitas berjumlah 232 orang/hari. Strategi pengembangan ekowisata di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon berdasarkan skala prioritas lima besar adalah: 1) mengintregasikan peran kelembagaan (stakeholder) dalam membangun komitmen bersama menuju kawasan ekowisata unggulan yang berdaya saing, 2) menegakan hukum melalui kerjasama pengawas dan masyarakat lokal guna terciptanya kawasan wisata hutan payau yang lestari dan berkelanjutan, 3) memperbaiki dan meningkatkan sarana dan prasarana kawasan wisata hutan payau agar tercipta suasana yang nyaman, aman dan memuaskan pengunjung, 4) membuat museum biota dan laboratorium Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCi) sebagai pusat pendidikan ekowisata mangrove, dan 5) memanfaatkan areal pertambakan yang masih produktif untuk budidaya biota mangrove khusus dengan pendekatan silvofishery
sebagai ekowisata unggulan.
SUMMARY
ANDI RAHMAN. Development Strategy of Brackish Forest Tourism Area in Tritih Kulon, Cilacap, Central Java Province. Supervised by ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan YONVITNER.
Cilacap mangrove ecosystem is one of the important natural resource on the south coast of Java . The strategic location and potential tourist attraction, causing this area serve as a center for tourism. One of the attractions of mangrove that has good potential as a center of education is Brackish Forest Tourism Area in Tritih Kulon, Tourism is a buffer zone Segara Anakan Area of protected. However there are some problems that occur, (1) population growth, (2) cutting / destruction of mangroves, (3) declining interest of visitors, (4) lack of coordination of stakeholders, (5) the lack of maintenance of tourist facilities, and (6) lack of local public education. The purpose of this study is to formulate development strategies in tourist areas of brackish forest Tritih Kulon based resource carrying capacity and suitability of coastal areas. Analysis of the data used in this research is a trade-off analysis, analysis of the suitability and carrying capacity of the region and Development Strategy of Brackish Forest Tourism Area in Tritih Kulon.
The results of the analysis of the trade-off suggests that ecotourism is an alternative scenario first (93,93), second alternative scenario wanawisata (33,26) and third alternate shore excursions (1,37). This is due to ecotourism scenarios apply three basic principles, namely the balance of economically profitable, socially acceptable and environmentally sustainable. Suitability index analysis showed one station and three stations are included in the category of very suitable (S1) with IKW 77%, the corresponding category (S2) with IKW 64% and 56% contained at four stations and five stations, as well as the corresponding conditional category (S3) contained the two stations with IKW 49%, with visitor carrying capacity analysis indicates there is a track proposals waters 131 people/day, and track land activity totaled 232 people/day. Ecotourism development strategies in Brackish Forest Tourism Area in Tritih Kulon by five major priorities are: 1) integrating the role of institutions (stakeholders) in building a shared commitment towards ecotourism competitive seed, 2) enforce the law through supervisory cooperation and local communities in order to create a tourist area brackish forest conservation and sustainable development, 3) improve and enhance infrastructure swamp forest tourism area in order to create an atmosphere that is comfortable, safe and satisfying visitors, 4) create a museum and laboratory biota Mangrove Arboretum Center Cilacap (MACCI) as mangrove ecotourism education center, and 5) utilizing the farms that are still productive areas for the cultivation of mangrove biota specifically with silvofishery approach as a leading ecotourism.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA HUTAN PAYAU DI TRITIH KULON, KABUPATEN CILACAP,
PROVINSI JAWA TENGAH
ANDI RAHMAN
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji luar komisi pada ujian tesis: Dr Ir Etty Riani, MS
Judul Tesis : Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah
Nama : Andi Rahman
NIM : C252100154
Disetujui Komisi Pembimbing,
Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc Ketua
Dr Yonvitner, SPi, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Dr Ir Luky Adrianto, MSc
Dekan,
Sekolah Pascasarjana IPB
Dr Ir Dahrul Syah, MSc
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian yang berjudul ”Strategi Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau di Tritih Kulon, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah” dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu tesis ini, khususnya kepada: 1. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan
Dr Yonvitner, SPi, MSi selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan dan motivasinya hingga terselesaikannya tesis ini.
2. Dr Ir Etty Riani, MS dan Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku penguji luar komisi ujian tesis atas arahan dan saran perbaikan.
3. Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian.
4. Dr Ir Luky Adrianto, MSc selaku Ketua Program Studi SPL dan seluruh staf pengajar dan bagian administrasi SPL, Mas Dindin dkk.
5. Prof Dr Ir Nahrowi, MSc yang telah merekomendasikan pelaksanaan ujian 6. Rudi Alek Wahyudin, MSi dan Ishartini, MSi serta Nilanto Perbowo, MSc di
Biro Perencanaan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mendukung dan mengijinkan untuk melanjutkan studi magister di SPL IPB.
7. Ir Erwin, MM selaku Kepala Perum Kehutanan Negara (Perhutani) KPH Banyumas Barat Purwokerto, Asper/KBKPH Rawa Timur beserta jajaranya. 8. Instansi Pemerintah Kab. Cilacap (Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan,
Dinas Pendidikan Kebudayaan dan Pariwisata, Badan Pusat Statistik, Kesbanglinmas, Kecamatan Cilacap Utara dan Kelurahan Tritih Kulon). 9. Sahabat seperjuangan di SPL IPB Baranangsiang Angkatan 2011 (Tim KKP). 10. Mangrover KeSEMaT, Kemangi dan Undip (Dr. Rudi Pribadi, Aris Priyono,
Arief Matsu, Kamto, Gilang, Amrullah, Ganis dkk), serta sahabat Unsoed. 11. Masyarakat sekitar kawasan wisata hutan payau (Pak Sarjono, Bu Ning, Bang
Surya Pieh beserta pasukannya dan Om Hartono).
12. Kedua orangtua tercinta (Almarhum), Bapak dan Ibu mertua, pendampingku Dian Ika Ratnawati, ST, SPd dan jagoanku Dafi Aidannur Rahman yang telah memberikan dukungan penuh dan merasakan suka dukanya, serta seluruh keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya.
Bogor, Maret 2014
DAFTAR ISI
COVER i
DAFTAR ISI xvii
DAFTAR TABEL xviii
DAFTAR GAMBAR xix
DAFTAR LAMPIRAN xix
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Kegunaan Hasil Penelitian 2
Kerangka Pemikiran 3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi: Pesisir, Ekosistem, Mangrove, Wanawisata, Ekowisata dan Wisata Pantai
5
Pesisir 5
Ekosistem 5
Mangrove 5
Wanawisata 5
Ekowisata 6
Wisata Pantai 6
Analisis Trade-off 6
Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung 7
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian 9
Kerangka Penelitian 10
Alat dan Bahan 10
Metode Pengumpulan Data 11
Metode Penentuan Stasiun 11
Metode Sampling 12
Analisis Data 14
Analisis Trade-off 14
Analisis Kesesuaian 20
Analisis Daya Dukung 21
Analisis Strategi Pengembangan 22
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kawasan Wisata Hutan Payau 25
Kondisi Umum 25
Geografis dan Administrasi 25
Kependudukan 25
Tingkat Pendidikan 25
Kondisi Lingkungan 25
Iklim 25
Topografi 26
Pasang Surut 26
Kondisi Bioekologi 26
Mangrove 26
Moluska dan Krustasea 27
Ikan 27
Reptil dan Mamalia 27
Burung 27
Kondisi Sosial Ekonomi 28
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Bioekologi 31
Kesehatan Mangrove 31
Produktivitas Ekosistem Mangrove 34
Kualitas Habitat 36
Sosial Ekonomi 37
Penerimaan Daerah 37
Tenaga Kerja dan Pendidikan 37
Keuntungan Sektor Informal 38
Kepuasan Masyarakat dan Pengunjung 38
Potensi Kunjungan 38
Sarana dan Prasarana 39
Harapan 39
Kelembagaan 39
Lembaga Pengelolaa 39
Kebijakan Perlindungan 40
Partisipasi Masyarakat 40
Analisis Trade-off 41
Analisis Kesesuaian Kawasan 48
Analisis Daya Dukung Kawasan 50
Analisis Strategi Pengembangan Ekowisata 51
Kesimpulan 63
DAFTAR TABEL
3.1 Alat dan bahan yang digunakan dalam pengumpulan data 11
3.2 Matrik dampak skenario 16
3.3 Kriteria penilaian indeks pencemaran 18
3.4 Perhitungan biomassa 19
3.5 Matriks kesesuaian lahan kategori wisata mangrove 21 3.6 Potensi ekologis pengunjung dan luas area 22
3.7 Faktor strategi internal 23
3.8 Faktor strategi eksternal 23
3.9 Matriks SWOT 23
4.1 Data pengunjung 28
4.2 Data kunjungan obyek wisata 28
4.3 Kisaran jarak lokasi wisata dengan beberapa kota terdekat 29
5.1 Peran mangrove di lokasi penelitian 31
5.3 Estimasi biomassa kayu mangrove 34
5.4 Estimasi biomassa kerang 35
5.5 Estimasi bobot ikan 36
5.6 Identifikasi stakeholder pengembangan kawasan wisata hutan payau
41 5.7 Dampak skenario terhadap aspek bioekologi, sosial
ekonomi dan Kelembagaan
43 5.8 Matriks dampak untuk masing-masing skenario 44
5.9 Pembobotan kriteria pengembangan 45
5.10 Nilai skenario menggunakan bobot 46
5.11 Indeks kesesuaian wisata mangrove 48
5.12 Nilai daya dukung kawasan 50
5.13 Matriks faktor strategi internal (IFAS) 55 5.14 Matriks faktor strategi eksternal (EFAS) 55 5.15 Formulasi Strategi Pengembangan Ekowisata 57 5.16 Formulasi Rangking Pengembangan Ekowisata 58
DAFTAR GAMBAR
1.1 Kerangka pemikiran 2
2.1 Langkah-langkah dalam analisis trade-off 6
3.1 Lokasi penelitian 9
3.2 Kerangka penelitian 10
3.3 Skema pengambilan contoh acak sistematik 12
3.4 Denah plot pada masing-masing stasiun 12
3.5 Pengukuran diameter pohon setinggi dada dan prosedur pengukuran diameter pohon
13
3.6 Teknik pengukuran kerang 13
3.7 Kriteria penentuan kebijakan 15
5.1 Kerapatan mangrove kategori pohon, anakan dan semai 33
5.2 Biomassa kayu mangrove kategori pohon 35
5.3 Biomassa dan kepadatan kerang 35
5.4 Bobot ikan 36
5.5 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder 42
5.6 Pembobotan kriteria 46
5.7 Rangking kriteria 47
5.8 Kesesuaian ekowisata 49
5.9 Usulan tracking 51
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove sebagai salah satu sumber daya alam yang mempunyai peranan yang cukup penting, secara ekologis berfungsi sebagai tempat asuhan (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis hewan akuatik yang mempunyai nilai ekonomis penting, seperti ikan, udang dan kerang-kerangan (Nontji 2005). Namun menurut World Bank (2001) dalam
Sulistiyowati (2009), setiap tahunnya hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan luas dengan laju penurunanan sebesar 43% per tahunnya.
Ekosistem mangrove di Kabupaten Cilacap merupakan salah satu sumber daya alam yang penting di pantai selatan Pulau Jawa sebagai sumberdaya ekonomi. Letaknya yang strategis dan memiliki potensi obyek wisata, menyebabkan daerah ini dijadikan sebagai sentra pariwisata, baik wisata alam, wisata budaya atau peninggalan sejarah. Obyek wisatanya antara lain Wisata Hutan Payau Tritih Kulon, Pantai Teluk Penyu, Rawa Bendungan, Gunung Selok, Benteng Pendem, Segara Anakan dan Nusakambangan. Obyek wisata temporernya Pantai Widara Payung, Pantai Pangandaran, Pantai Buton, Pantai Jetis, Pantai Karang Pakis, Pantai Srandil, Pantai Ketapang dan Pantai Karangkandri. Fasilitas pendukung berupa Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI), Pusat Perbelanjaan, Terminal Angkutan Antar Kota, Stasiun Kereta Api dan Bandara Tunggul Wulung. Potensi tersebut membuat wisata yang ada, dapat terintregasi secara simultan, berangkai dan bervariasi satu sama lainnya.
Salah satu obyek wisata mangrove yang memiliki potensi cukup baik dijadikan sebagai pusat pendidikan mangrove adalah kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon. Wisata tersebut merupakan daerah penyangga (buffer) Kawasan Segara Anakan yang dilindungi. Lokasinya dapat ditempuh melalui jalan darat, sungai maupun jalan laut. Keunikan kawasan wisata hutan payau memiliki beberapa anak sungai terpisah yang bermuara ke Teluk Penyu dan Kampung Laut. Awalnya kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon adalah bekas lahan tambak yang terlantar seluas tiga hektar kemudian pada tahun 1975 ditanami mangrove, tahun 1984 dijadikan sebagai kawasan wisata dengan luas 10 ha yang terletak di petak 57. Saat ini kawasan wisatanya dikembangkan seluas 172 ha. Pengelolaannya oleh Perum Perhutani Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Tritih, BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat Unit I Jawa Tengah.
Perumusan Masalah
Kebijakan perhutani dan pemerintah daerah Kabupaten Cilacap dalam rangka pengelolaan pembangunan kawasan wisata hutan payau belum berjalan secara optimal. Hal ini diindikasikan terdapat beberapa permasalahan yang krusial, yaitu 1) pertambahan penduduk yang terus meningkat di Kecamatan Cilacap Utara mencapai 51.098 jiwa (tahun 1991) menjadi 68.861 jiwa (tahun 2011) dengan jumlah penduduk tertinggi sebesar 17.231 jiwa (tahun 2011) di Kelurahan Tritih Kulon, 2) penebangan/kerusakan mangrove terus terjadi seiring dengan pertambahan penduduk, desakan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat dan manfaat kawasan wisata hutan payau dirasakan masih relatif kecil terhadap kesejahteraan masyarakat lokal, 3) menurunya minat pengunjung yang terus meningkat disebabkan menurunnya kualitas ekosistem dan rusaknya sarana prasarana wisata, 4) minimnya koordinasi stakeholder
disebabkan pembagian kewenangan terhadap pemanfaatan kawasan wisata hutan payau belum ada titik temu diantara pemangku kepentingan, 5) minimnya pemeliharaan fasilitas wisata hutan payau karena masih terbatasnya dukungan anggaran dan belum dijadikan sebagai prioritas wisata unggulan di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat, 6) minimnya pendidikan masyarakat lokal menjadikan pengetahuan tentang pemanfaatan mangrove di kawasan wisata hutan payau berbasis keberlanjutan belum berjalan dengan baik, hal ini disebabkan program dan kegiatan sosialisasi pemanfaatan ekosistem mangrove belum dilakukan secara simultan oleh perhutani, pemerintah daerah maupun masyarakat lokal itu sendiri sehingga wadah kelembagaan masyarakat (mangrover lokal) yang berjiwa konservasi belum terbentuk.
Berbagai masalah yang ada dan belum optimalnya pemanfaatan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap tersebut maka harus dilakukan rencana aksi menyusun formula strategi pengembangan yang tepat dengan menerapkan prinsip-prinsip ekologis, sosial ekonomi dan lembaga yang berbasiskan alam, mendukung konservasi, bersifat edukasi, berkelanjutan serta memberikan kepuasan kepada pengunjung dan keuntungan bagi masyarakat lokal sehingga keberadaan kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon menjadi kawasan wisata unggulan segera terwujud.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini ialah menyusun strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon berbasis daya dukung dan kesesuaian sumberdaya wilayah pesisir.
Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1. Memberikan masukan strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau kepada Perhutani, Pemerintah Daerah (Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kelautan dan Perikanan) Kabupaten Cilacap selaku pengambil kebijakan.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini memberikan gambaran strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon yang mengalami kerusakan ekosistem mangrove dan infrastruktur. Secara sistematis kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Definisi:
Pesisir, Ekosistem, Mangrove, Wanawisata, Ekowisata dan Wisata Pantai
Pesisir
Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna (UU RI No. 1, 2014).
Ekosistem
Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas (UU RI No. 1, 2014).
Mangrove
Kata mangrove sendiri menurut Hogart (1999) bahwa vegetasi mangrove yaitu tumbuhan berkayu maupun semak-belukar yang menempati habitat antara daratan dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang. Mastaller (1997) in
Noor dkk (1999) menyatakan mangrove berasal dari bahasa melayu kuno mangi-mangi.
Wana Wisata
Wana wisata adalah objek-objek alam yang dibangun dan dikembangkan oleh Perum Perhutani sebagai objek-objek wisata yang terletak dalam kawasan hutan produksi atau hutan lindung secara terbatas dengan tidak mengubah fungsi pokok (Perhutani, 1989).
Direktorat Jenderal PHPA (1979), menyatakan bahwa tujuan pengelolaan hutan yang memanfaatkan wilayah kerja Perum Perhutani bagi kegiatan wisata alam adalah:
1. Membantu pemerintah dalam penyediaan tempat rekreasi yang sehat di dalam hutan.
2. Menampung dan mengembangkan minat masyarakat terhadap rekreasi hutan alam.
3. Memanfaatkan segala potensi hutan yang ada, termasuk keindahan, keunikan, dan kenyamanan guna kepentingan rekreasi dan kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang pengembangan pariwisata.
4. Membina rasa cinta alam dan lingkungan pada masyarakat agar mereka dapat meningkatkan kualitas lingkungan dan kehidupan.
Ekowisata
Ekowisata merupakan salah satu usaha yang memprioritaskan berbagai produk-produk pariwisata berdasarkan sumberdaya alam, pengelolaan ekowisata untuk meminimalkan dampak terhadap lingkungan hidup, pendidikan yang berasaskan lingkungan hidup, sumbangan kepada upaya konservasi dan meningkatkan kesejahteraan untuk masyarakat lokal (World Tourism Organization 2002). Sedangkan menurut Beeton (2000) ada tiga unsur utama ekowisata yaitu:
1. Naturebased
Berkaitan dengan keberadaan flora dan fauna suatu kawasan yang dapat diasosiasikan dengan lingkungan.
2. Educative
Wisatawan dapat memahami kawasan yang dikunjungi sebagai bagian dari pertimbangan dan tanggungjawab kelestarian lingkungan dimasa datang. 3. Sustainable management.
Meliputi daya dukung kawasan terhadap jumlah dan perilaku pengunjung terhadap aturan-aturan yang harus dipatuhi selama melakukan kunjungan wisata.
Wisata Pantai
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009, wisata pantai diartikan sebagai wisata yang memanfaatkan potensi sumber daya alam pantai beserta komponen pendukungnya, baik alami maupun buatan atau gabungan keduanya itu. Perjalanan wisata dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata dalam jangka waktu sementara.
Analisis Trade-off
Analisis trade-off menurut Brown et al. (2001) merupakan sebuah proses yang melibatkan stakeholder dalam mempertimbangkan strategi-strategi pengelolaan yang menentukan prioritas. Proses ini merupakan alat yang dapat membantu mengambil kebijakan dalam upaya pengelolaan suatu kegiatan. Langkah-langkah dalam analisis tersebut disajikan seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Langkah-langkah analisis trade-off Membangun
alternatif skenario
Analisis stakeholder
Menyepakati kriteria pembangunan dengan
para stakeholder
Kuantitas skenario
Para stakeholder menyatakan
prioritas
Analisis ini dikenal sebagai sistem pendukung keputusan (decision support system)diantara indikator kunci keberlanjutan dalam alternatif skenario kebijakan. Hasil analisis trade-off memiliki kekuatan prediktif yang lebih tinggi dibanding beberapa model eksploratif dan prediktif. Masukan dari stakeholder digunakan untuk mengidentifikasi dimensi kritis dari masalah ekonomi, ekologi dan sosial, berupa kriteria-kriteria berkelanjutan dari sistem pengelolaan sumberdaya.
Brown et al. (2001) mengkategorikan stakeholder sebagai berikut:
1. Stakeholder primer, yakni mempunyai pengaruh rendah terhadap hasil kebijakan tetapi kesejahteraannya penting.
2. Stakeholder sekunder, yakni keputusan yang dibuat sebagian besar dari pengambilan kebijakan.
3. Stakeholder eksternal, yakni individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi hasil dari suatu proses pengambil keputusan, tetapi kepentingannya tidak begitu penting.
Analisis Kesesuaian dan Daya Dukung
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bulan Maret-April dan Agustus 2013 dilokasi kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Penentuan lokasi penelitian didasarkan pada luas area wisata yang sudah beroperasi sebesar 10 ha dan luas area pengembangan wisata sebesar 172 ha. Penentuan setiap stasiun penelitian sudah diwakili dari ruang lingkup area wisata, dipertajam dengan melakukan survei awal berupa pengamatan kondisi ekosistem mangrove, aksesibilitas dan posisi geografis. Setiap stasiun lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Kerangka Penelitian
Adapun kerangka penelitian ini adalah (1) meneliti dan menganalisis kondisi ekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, (2) mengidentifikasi dan memetakan bentuk pengelolaan yang terkait dengan kebijakan pengelolaan wisata hutan payau, (3) menentukan kriteria dan skenario kebijakan pengelolaan, (4) menentukan bobot kriteria, dan (5) menentukan prioritas skenario kebijakan dan (6) menyusun strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau. Kerangka penelitian disajikan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Kerangka penelitian
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer meliputi survei, observasi lapangan dan dokumentasi. Adapun alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pengumpulan data disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alat dan bahan
No. Alat dan Bahan Kegunaan
1 Tali Menentukan stasiun transek 1x1, 5x5 dan 10x10
2 Rollmeter Mengukur jarak tanaman
3 Jangka sorong Mengukur diameter batang mangrove 4 GPS Menentukan koordinat lokasi penelitian
5 Kamera Mengambil dokumentasi
6 Tongkat Menentukan kedalam substrat 7 Buku identifikasi
mangrove
Mengidentifikasi jenis spesies mangrove
8 Kuisioner Mengetahui pendapat masyarakat mengenai ekowisata mangrove
Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif eksploratif. Metode deskriptif merupakan suatu metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari hasil interview, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen resmi, ataupun data-data yang dapat dijadikan petunjuk lainnya untuk digunakan dalam mencari data dengan interpretasi yang tepat. (Moleong, 2002). Metode eksploratif, bertujuan untuk menggali secara luas hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu (Arikunto, 1993).
Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam metode pengumpulan data antara lain adalah:
Metode Penentuan Stasiun
Metode penentuan stasiun dipilih atas beberapa alasan: a. Mewakili ekosistem mangrove di setiap stasiun seperti:
Cluster mangrove dari yang baik, sedang dan rusak Kerapatan ekosistem mangrove
Biomassa kayu, ikan dan kerang
Jenis spesies yang menjadi ciri tersendiri Luas lahan ekosistem mangrove
b. Keanekaragaman biota mangrove
c. Pasang surut kawasan ekosistem mangrove d. Interaksi pengunjung terhadap wisata hutan payau e. Lokasi yang rentan terhadap tekanan lingkungan
Metode Sampling
Metode sampling menggunakan contoh acak sistematik (systematic random sampling), yaitu melakukan prosedur dengan menentukan stasiun yang diperlukan, selanjutnya membagi stasiun yang memugkinkan untuk diambil dalam program monitoring (Setyobudiandi dkk. 2009). Skema pengambilan sampel disajikan pada Gambar 3.3.
Contoh (sampel) terdistribusi secara beraturan setelah contoh sampel pertama A dipilih secara acak dan contoh berikutnya sesuai pertambahan nilai k=N/n hingga terkumpul sejumlah 10 contoh (n=10); garis tersebut merupakan gambaran populasi yang diamati.
Gambar 3.3 Skema pengambilan contoh acak sistematik 1. Bioekologi
Sampling mangrove dilakukan dengan menggunakan metode sample plot yang merupakan modifikasi dari cara yang digunakan oleh Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974). Pada masing-masing stasiun penelitian terdapat 3 plot yang berukuran 10 x 10 m, di dalam plot 10 x 10 m dibuat subplot 5x5 m dan di dalam subplot 5x5 m dibuat subplot 1x1 m disajikan pada Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Denah plot pada masing-masing stasiun Pengambilan sampel mangrove meliputi pohon, anakan dan semai: a) Pohon: diameter batang pohon ≥ 4 cm (diambil pada plot 10x10 m)
Apabila batang bercabang di bawah ketinggian sebatas dada (1,3 m)
dan tiap cabang (diameter batang pohon ≥ 4 cm) maka diukur sebagai
dua pohon yang terpisah
Apabila cabang batang berada di atas setinggi dada atau sedikit di atasnya maka diameter diukur pada ukuran setinggi dada atau di bawah cabangnya
Apabila batang mempunyai akar udara, maka diameter diukur 30 cm di atas tonjolan tertinggi
Apabila batang tidak lurus dan cabang terdapat ketidaknormalan, poin pengukuran maka diameter diambil pada 30 cm di atas atau di bawah setinggi dada.
b) Anakan: 1 cm ≤ diameter batang pohon < 4 cm, tinggi > 1 m (diambil pada subplot 5x5 m) ketinggian pohon diukur dari bagian pohon paling bawah yang menyentuh tanah hingga daun pohon bagian ujung teratas.
c) Semai: h pohon < 1 m (diambil pada subplot 1x1 m). Data yang dicatat dalam data sheet adalah berupa spesies, jumlah spesies dan persentase penutupan terhadap subplot 1x1 m.
3.5 a 3.5 b
Gambar 3.5 a Pengukuran diameter pohon setinggi dada b. Prosedur pengukuran diameter pohon (English et al. 1994)
Sampling mangrove diidentifikasi dengan buku panduan pengenalan mangrove yang mengacu pada Noor dkk (2006). Data yang diperoleh langsung dicatat kedalam kertas data Sheet dan ditulis menggunakan pensil agar apabila terkena air tidak luntur.
Sampling kerang dilakukan secara kualitatif yaitu dengan tidak memperhitungkan volume atau kedalaman substrat. Caranya dengan membentangkan kuadran transek berukuran 1 m x 1 m. Pengambilan sampel kerang dilakukan pada saat air surut sehingga memudahkan pengambilannya. Metode pengukuran kerang menurut Carpenter dan Niem (1998) diukur panjang, tebal, dan lebar cangkangnya yang disajikan pada Gambar 3.6.
Penentuan kualitas perairan pesisir didapatkan dari data sekunder meliputi suhu, pH, salinitas, DO dan pasang surut.
2. Sosial ekonomi
Adapun sampling sosial ekonomi diambil dari masyarakat sekitar kawasan wisata hutan payau, antara lain:
a) Masyarakat Lokal
Data masyarakat lokal yang diambil terdiri dari data primer melalui wawancara langsung dan kuisioner mengenai mata pencaharian, pendapatan, persepsi, aktivitas. Data sekunder meliputi jumlah penduduk, tenaga kerja, penggunaan lahan, fasilitas pendidikan, sarana dan prasarana.
b) Pengunjung
Data pengunjung dikumpulkan secara langsung melalui wawancara dengan responden menggunakan teknik observasi terencana (pedoman dengan kuesioner) meliputi:
Data karakter responden (umur, asal, lama kunjungan, jumlah rombongan wisata dan biaya wisata).
Persepsi pengunjung (motivasi, atraksi yang diminati, fasilitas dan infrastruktur, harapan)
c) Nelayan
Data nelayan berupa data primer melalui teknik observasi langsung dan wawancara. Pengambilan data secara faktual dan konkrit mengenai keadaan nelayan sebagai populasi yang dijadikan sampel.
3. Kelembagaan
Data lembaga pengelola kawasan dikumpulkan secara langsung melalui wawancara serta menggunakan teknik observasi terencana kepada pegawai Perhutani, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Dinas Kelautan dan Perikanan, kecamatan, desa dan kelompok masyarakat.
Analisis Data Analisis Trade-off
Analisis ini digunakan sebagai penentuan skenario kebijakan dengan pendekatan Multi criteria analysis (MCA), bermanfaat untuk mengidentifikasi rangking dari alternatif skenario masa depan. Brown et al. (2001) menjelaskan tahapan MCA yakni: (1) menjelaskan skenario, (2) mengklarifikasi alternatif skenario, (3) menentukan kriteria, dan (4) mengumpulkan data. Penelitian ini melibatkan stakeholder terkait dalam proses analisis dimulai dari penentuan kriteria kebijakan pengembangan, skenario masa depan, penentuan bobot masing-masing kriteria, hingga strategi implementasi kebijakan yang memiliki prioritas tertinggi melalui diskusi dan wawancara. Penentuan skor dari setiap kriteria dan sub kriteria digunakan metode kuantifikasi untuk setiap jenis data yang diperoleh dengan mengkonversi nilai-nilai yang diperoleh dengan rumus:
2. Kategori skor semakin kecil semakin baik:
Keterangan:
X : Nilai yang akan ditransformasi kedalam skor Xmaks : Nilai maksimum
Xmin : Nilai minimum
Penentuan kriteria didasarkan pada tiga indikator yakni bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Ketiga aspek tersebut dirinci berdasarkan kondisi kawasan wisata hutan payau yang disajikan pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7 Kriteria penentuan kebijakan
Formula yang digunakan untuk menghitung rata-rata setiap kriteria adalah rata-rata geometri dengan rumus: rata-rata kriteria ke-i (ai) = jumlah skor subkriteria ke-i dibagi banyaknya subkriteria ke-i. Skor rata-rata setiap kriteria (ai) kemudian dikalkulasi dengan bobot setiap kriteria, sehingga diperoleh nilai akhir berupa jumlah skor dari setiap skenario (II). Skor tertinggi menunjukan rangking prioritas kebijakan yang terpilih. Formula yang digunakan adalah :
IIj = Jumlah aij x boboti Keterangan:
IIj : Jumlah skor skenario j
aij : Skor rata-rata kriteria i untuk skenario j boboti : Skor bobot kriteria ke-i
Hasil pengukuran terhadap kondisi bioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan dikalkulasi dan dibobot kemudian dimasukan ke dalam skenario
Pengembangan Kawasan Wisata Hutan Payau
Sosial Ekonomi
Daya Dukung Biomassa Produktivitas Mangrove
Kesehatan Mangrove
Kualitas Habitat
Potensi Objek Kunjungan
Tenaga Kerja dan Pendidikan Pendapatan asli daerah
dari wisata
Benefit Sektor Informal
Kepuasan
Potensi Kunjungan
Kebijakan Perlindungan Lembaga Pengelolaa
Partisipasi Masyarakat
pengembangan wisata hutan payau yang telah disepakati. Hasil kalkulasi matriks dampak skenario terhadap masing-masing kriteria disajikan dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Matrik dampak skenario
Kriteria Sub Kriteria Skor
A B C
Bioekologi Kesehatan mangrove (ind/ha)
Daya Dukung Pembentukan Biomass
Penerimaan daerah dari wisata (Rp) Jumlah tenaga kerja terlibat (orang) Benefit sektor informal (Rp) Kepuasan (%)
Potensi Kunjungan (orang/minggu)
Rataan sosek sosek sosek Kelembagaan Lembaga pengelola (instansi)
Kebijakan perlindungan ekosistem (peraturan)
Partisipasi masyarakat (kegiatan)
Rataan Kel Kel Kel
Rataan Total IIA IIB IIC
Analisis trade-off dengan pendekatan multi kriteria dipenuhi dengan beberapa kriteria:
1. Bioekologi
Kesehatan mangrove
Analisis vegetasi mangrove menggunakan metode Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) meliputi:
a. Basal area
Basal area merupakan penutupan areal mangrove oleh batang pohon. Basal area didapatkan dari pengukuran diameter batang pohon mangrove yang diukur secara melintang (Cintron dan Novelli 1984).
2
Kerapatan adalah jumlah individu per unit area (Cintron dan Novelli 1984).
c. Kerapatan relatif
Kerapatan relatif merupakan prosentase kerapatan masing-masing spesies dalam transek (English et al. 1997).
Keterangan: KR : Kerapatan Relatif (%)
ni : Jumlah individu spesies A (ind)
N : Jumlah total individu seluruh spesies (ind) d. Indeks dominansi
Indeks dominansi merupakan derajat pada dominansi dari satu, beberapa atau banyak spesies (Odum 1993).
D = Σ (ni/N)2
Keterangan: D : Indeks dominansi
ni : Jumlah individu spesies ke-i (ind) N : Jumlah total individu (ind)
Kriteria indeks dominansi menurut Simpson (1949) in Odum (1993), 0<D<0,5: Tidak ada spesies mendominasi, 0,5<D<1 : Terdapat spesies mendominasi e. Dominansi relatif
Dominansi relatif merupakan prosentase penutupan suatu spesies terhadap suatu areal yang didapatkan dari nilai basal area (English et al. 1997).
DR = 100 % (Bai/BA) Keterangan: DR : Dominansi relatif (%)
Bai : Total basal area tiap spesies ke i (cm2) BA : Basal area dari semua spesies (cm2) e. Indeks keanekaragaman
Indeks keanekaragaman merupakan karakteristik dari suatu komunitas yang menggambarkan tingkat keanekaragaman spesies dari organisme yang terdapat dalam komunitas tersebut (Odum 1993).
H' =
Keterangan: H' : Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiever ni : Jumlah individu spesies ke-i (ind)
N : Jumlah total individu (ind)
Kriteria H’<1 artinya rendah, 1≤ H' ≤ 3 artinya sedang dan H’>3 berarti tinggi (Wilhm dan Dorris 1986).
f. Indeks keseragaman
Indeks keseragaman merupakan perbandingan antara nilai keanekaragaman dengan logaritma natural dari jumlah spesies (Odum 1993).
J' =
Keterangan: J' : Indeks Keseragaman spesies
Besarnya indeks keseragaman spesies menurut Krebs (1989) berkisar 0–1: J'≤0,4 artinya rendah, 0,4<J'<0,6 artinya sedang, J'≥0,6 artinya tinggi.
g. Indek nilai penting (INP)
Indeks nilai penting diperoleh untuk mengetahui tingkat dominasi suatu spesies pada suatu areal (Kusmana dan Istomo 1995).
INP = KR +FR+ DR
Keterangan: KR : Kerapatan Relatif (%) FR : Frekuensi Relatif (%) DR : Dominansi Relatif (%)
Kualitas habitat
Analisis indeks pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air, dan dapat dikembangkan untuk beberapa peruntukan bagi seluruh bagian badan air atau sebagian dari suatu sungai. Persamaan indeks pencemaran menurut KepMenLH 115 tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air :
Table 3.3 Kriteria penilaian indeks pencemaran
Ketentuan evaluasi Kriteria
0 ≤ PIj ≤ 1,0 → memenuhi baku mutu (kondisi baik) 1,0 ≤ PIj ≤ 5,0 → tercemar ringan
5,0 ≤ PIj ≤ 10 → tercemar sedang
≥ 10 → tercemar berat
Sumber: KepMenLH, 2003
Pengelolaan kualitas air atas dasar indeks pencemaran akan memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas badan air suatu peruntukan serta untuk memperbaiki kualitas badan air jika terjadi penurunan akibat bahan pencemar.
Produktivitas ekosistem mangrove
Penetapan persamaan allometrik yang akan dipakai merupakan tahapan penting proses pendugaan biomassa.
a. Biomassa batang mangrove
Setiap persamaan allometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain disajikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4 Perhitungan biomassa
Jenis Rumus Sumber
Bruguiera gymnoriza Rizhopora mucronata
Y = b x (DBH2H)a Suzuki E et al. 1983
Rizhopora apiculata Wtop = 0.235 x (DBH) 2.42
Ong et al. 2004 in Komiyama et al. 2008
Avecennia marina Wtop = 0.308 x (DBH) 2.11
Comley and McGuinness 2005 in Komiyama et al. 2008
Avecennia alba Ws = 0,079211 x
(DBH)2,470895
Chukwamdeel and Anunsiriwat 1997 dalam Sutaryo D 2009
Sonneratia alba Y = 0,2301 - 0,5382D2 + 0,3370D2 + 0,0474D2H
Codilan et al. 2009
b. Bobot ikan
Penentuan nilai biomassa ikan dapat dihitung menggunakan nilai indeks konstanta a dan b, dengan diketahui berdasarkan ukuran panjang ikan melalui perhitungan (Love 1993).
W = a L b
Keterangan: W : Berat (kg)
a, b : Indeks konstanta berasal dari Fishbase
L : Nilai tengah panjang ikan (cm) c. Biomassa kerang
Biomassa sering digunakan untuk mengetahui nilai kepadatan populasi berdasarkan berat (Brower et al. 1990).
Keterangan: D : Kepadatan populasi (ind/m2) X : Jumlah individu yang diukur (ind) M : Luas pengambilan contoh (m2)
Keterangan: B : Biomassa (kg)
∑w : Jumlah berat individu contoh (gr) n : Jumlah individu contoh (ind) 2. Sosial ekonomi
Analisis sosial ekonomi menggunakan (1) metode deskriptif, suatu metode yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari hasil wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi, dokumen resmi, ataupun data-data yang dapat dijadikan petunjuk lainnya untuk digunakan dalam mencari data dengan interpretasi yang tepat (Moleong 2002), (2) metode eksploratif, bertujuan untuk menggali secara luas hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu (Arikunto 1993).
3. Kelembagaan
Menggunakan analisis stakeholder, suatu sistem pengumpulan informasi mengenai kelompok atau individu yang terkait, mengkategorikan informasi dan menjelaskan kemungkinan konflik antar kelompok yang memungkinkan terjadinya trade-off (Brown et al. 2001). Berdiskusi dengan stakeholder akan dapat mengungkapkan pandangan tentang keberadaan stakeholder penting lainnya. Identifikasi setiap stakeholder akan lebih mudah jika dikategorikan menjadi empat kategori yakni: pemerintah (pengambil kebijakan), pengunjung, kelompok masyarakat lokal dan peneliti.
Pengumpulan informasi dalam kegiatan ini dilakukan dengan teknik wawancara dan kuisioner terhadap wakil dari semua stakeholder yang teridentifikasi. Indikator yang digunakan dalam menilai tingkat kepentingan adalah: (1) Bioekologi, (2) sosial ekonomi, dan (3) kelembagaan. Hasil dari penentuan kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder terhadap kegiatan akan disajikan dalam bentuk grafik hubungan antara tingkat kepentingan dengan pengaruh. Preferensi kategori stakeholder primer dan sekunder sangat penting karena merupakan stakeholder yang memiliki derajat kepentingan yang relatif tinggi. Kategori stakeholder dari hasil pemetaan tersebut akan digunakan untuk penentuan stakeholder yang terlibat dalam penentuan kriteria, skenario, dan perumusan strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon Kabupaten Cilacap.
Analisis Kesesuaian
Analisis kesesuaian lahan menurut Yulianda (2007) dilakukan untuk mengetahui kesesuaian kawasan bagi pengembangan wisata. Hal ini didasarkan pada kemampuan wilayah untuk mendukung kegiatan yang dapat dilakukan pada kawasan tersebut dengan rumus:
Keterangan :
IKW = Indeks Kesesuaian Wisata. N
i = Nilai parameter ke-i (Bobot x Skor) N
maks = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata
Tabel 3.5 Matriks kesesuaian lahan kategori wisata mangrove No. Parameter Bobot Kategori
S1 Skor
Sumber : Yulianda (2007)
Keterangan:
Nilai maksimum = 39
S1 = Sangat sesuai, dengan nilai 75%-100% S2 = Sesuai, dengan nilai 50%-<75%
S3 = Sesuai bersyarat, dengan nilai 25%-<50% N = Tidak sesuai, dengan nilai <25%
Analisis Daya Dukung
Daya Dukung Kawasan (DDK) menurut Yulianda (2007) adalah jumlah maksimum pengunjung yang secara fisik dapat ditampung di kawasan yang disediakan pada waktu tertentu tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia. Apabila gangguan tersebut dalam jumlah yang besar maka dapat terjadi kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, dalam pengembangan kegiatan wisata hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukannya. Analisis daya dukung diperlukan dalam pengembangan wisata dengan memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir, pantai, dan pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari. Perhitungan Daya Dukung Kawasan diperoleh dengan rumus:
Keterangan
DDK = Daya Dukung Kawasan
K = Potensi ekologis pengunjung per satuan unit area
Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan (m) Lt = Unit area untuk kategori tertentu (m)
Wt = Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata 1 hari (jam) Wp = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan
Tertentu (jam)
Tabel 3.6 Potensi ekologis pengunjung dan luas area kegiatan Jenis kegiatan Pengunjung
(K)
Unit Area (Lt)
Keterangan Wisata
Mangrove
1 50 m Dihitung panjang track, setiap orang 50 m
Sumber: Yulianda, 2007
Waktu kegiatan pengunjung (Wp) selama ± 2 jam dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata. Waktu pengunjung diperhitungkan dengan waktu yang disediakan untuk kawasan (Wt) selama ± 8 jam. Waktu kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari dan rata-rata waktu kerja sekitar 8 jam.
Analisis Strategi Pengembangan
Analisis yang digunakan untuk menentukan strategi pengembangan kawasan wisata hutan payau adalah dengan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan (Rangkuti 2005).
Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategi adalah matriks SWOT, dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi, dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah:
1. Penentuan faktor strategi internal dan eksternal:
a) Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan serta kelemahan.
b) Memberi bobot masing-masing faktor sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jumlah seluruh bobot harus sebesar 1,00.
c) Menghitung rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruh/ respon terhadap pengembangan kawasan wisata (nilai 4=sangat penting, 3 penting, 2=cukup penting, 1=kurang penting).
d) Mengalikan bobot dengan rating untuk memperoleh faktor pembobotan. Penentuan faktor strategi internal dan eksternal yang disajikan pada Tabel 3.7 dan Tabel 3.8.
Tabel 3.7 Faktor strategi internal
Faktor-faktor strategi Bobot Rating Skor Kekuatan
Kekuatan
Tabel 3.8 Faktor strategi eksternal
Faktor-faktor strategi Bobot Rating Skor Peluang
2. Pembuatan matriks SWOT
Menghubungkan unsur-unsur dalam matrik untuk memperoleh beberapa alternatif strategi, yang ada empat kemungkinan stategi yang disajaikan pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9 Matriks SWOT Faktor
Strategi Internal Faktor
Strategi Eksternal
STRENGTHS (S)
Tentukanfaktor-faktor kelemahan internal
WEAKNESSES (W)
Tentukan kekuataninternal OPPORTUNITIES (O)
Tentukan faktor-faktor peluang eksternal
STRATEGI SO Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
STRATEGI WO Ciptakan strategi yang meminimalkan
kelemahan untuk memanfaatkan peluang TREATHS (T)
Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal
STRATEGI ST Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi
ancaman
STRATEGI WT Ciptakan strategi yang meminimalkan
kelemahan dan
menghindari ancaman 3. Pembuatan tabel ranking alternatif strategi
Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan menentukan ranking prioritas strategi dalam pengelolaan ekosistem pesisir untuk pengembangan kawasan wisata hutan payau. Jumlah skor diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategi yang terkait. Ranking
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kawasan Wisata Hutan Payau
Wisata hutan payau Tritih Kulon pada awalnya dinamakan wana wisata. Seiring dengan waktu tahun 1991 luas kawasan wana wisata diperluas, dengan hasil pengukuran pengembangan terdiri dari lima bagian kawasan yang terpisah oleh aliran sungai dengan luas keseluruhan 172,3 ha, meliputi petak 50a seluas 1,6 ha, petak 50b seluas 12 ha, petak 55 seluas 62 ha, petak 56 seluas 38 ha, petak 57a seluas 12,7 ha dan petak 57b seluas 46 ha. Secara umum potensi obyek wisata di Tritih Kulon menurut Perhutani (1991) terbagi atas dua bagian yang potensial untuk dikembangkan, yaitu: (1) Potensi Alam (kawasan hutan payau yang sangat luas dengan pemandangan disekelilingnya berupa hamparan Sungai Jeruk Legi, (2) Potensi Buatan (infrastruktur wisata).
Kondisi Umum Geografis dan Administrasi
Kawasan wisata hutan payau terletak di Kelurahan Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah yang secara administratif dikelola oleh Perhutani, BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat yang secara geografis terletak pada koordinat 108o BT-109o BT dan 7o 30'LS-7o44'LS. Batas-batas kawasan wisata hutan payau adalah:
Sebelah Barat : berbatasan dengan tanah rakyat berupa sawah milik rakyat
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kali Tritih
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kali Beji
Sebelah Selatan : berbatasan dengan tanah rakyat
Kependudukan
Jumlah penduduk tertinggi di Kecamatan Cilacap Utara dari tahun 2011 adalah Kelurahan Tritih Kulon sebesar 17.231 jiwa. Oleh karena itu, maka kawasan wisata hutan payau dapat terancam kelestarian ekosistem mangrove akibat peningkatan jumlah penduduk yang terus bertambah.
Tingkat Pendidikan
Secara umum pendidikan masyarakat di Kelurahan Tritih Kulon yang sampai kejenjang Akademi/perguruan tinggi hingga tahun 2011 masih relatif kecil sebesar 556 jiwa (Cilacap Utara dalam angka, 2012). Jumlah lulusan SLTA/kejuruan sebagian besar mengambil berbagai kursus ataupun pelatihan, hal ini membuktikan bahwa latar belakang tersebut diduga disebabkan oleh kondisi ekonomi dan pemahaman rasa mencintai terhadap pendidikan baik.
Kondisi Lingkungan Iklim
Topografi
Tanah di kawasan wisata hutan payau menurut Soerianegara (1968) dalam
Thurniati (1991) adalah tanah alluvial hidromorf, dahulu jenis tanah ini dinamakan tanah liat laut. Mengingat bahwa tanah ini berlainan sifat-sifatnya dari tanah-tanah alluvial lainnya maka disebutkan tanah alluvial hidromorf Payau (mangrove). Umumnya tanah payau di Kabupaten Cilacap relatif berlumpur, terdiri atas bahan-bahan yang diendapkan oleh sungai-sungai didaerah tersebut. Hasil analisis Perum Perhutani KRPH Tritih (1990) menunjukkan bahwa PH tanah berkisar antara 6,5-7. Topografi relatif seragam yang merupakan dataran rendah yang datar yang berada pada ketinggian 0,5 m dari permukaan laut.
Pasang Surut
Pasang surut air di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon dipengaruhi oleh aliran Sungai Tritih, Sungai Jeruk Legi dari arah daratan, Sungai Donan yang dipengaruhi oleh gaya pasang surut dari Samudra Hindia yang masuk melalui Muara Segara Anakan dan Perairan Teluk Penyu. Tipe pasang surut di daerah ini adalah diurnal, artinya terjadi satu kali pasang pada saat malam dan satu kali surut pada saat siang selama 24 jam. Menurut Susanti (2002) kisaran fluktuasi pasang surut rata-rata adalah antara 1,73 meter dengan fase pasang pada kawasan wisata hutan payau sekitar 1,55 jam. Menurut Saragih (2010) kisaran fluktuasi pasang surut pada kawasan segara anakan antara 0,4-1,9 meter dengan fase pasang sekitar 1-2 jam.
Suhu
Kisaran parameter suhu air dan udara pada daerah wisata hutan payau rata-rata sebesar 270C dan 280C. Rata-rata pH air sebesar 7,5 dan pH tanah 6,9 serta rata-rata salinitas air sebesar 30 ppt dan salinitas tanah sebesar 25 ppt. Parameter cahaya dengan naungan memiliki rata-rata sebesar 4.630 lux dan cahaya tanpa naungan sebesar 10.012 lux (Susanti 2002).
KondisiBioekologi Mangrove
Mangrove di Tritih Kulon merupakan vegetasi yang relatif luas dengan pemandangan disekelilingnya berupa hamparan sungai, memiliki beberapa jenis flora antara lain bakau bandul (Rhizophora muucronata), bakau kacang (Rhizophora stylosa), Api-api (Avicennia marina), serta jenis tumbuhan pantai antara lain ketapang (Terminalia catappa), nyamplung (Calophyllum inophyllum)
(Thurniati 1991). Tomlinson (1994) menyatakan vegetasi mangrove terbagi menjadi tiga elemen berdasarkan ciri morfologi dan tempat tumbuh yaitu elemen mayor (mangrove sejati), elemen minor dan elemen asosiasi.
Manfaatnya mangrove mempunyai banyak kegunaanya baik secara fisik, ekologi dan sumberdaya ekonomi seperti:
2. Manfaat ekologi, memberikan sumbangan berupa bahan organik bagi perairan sekitarnya, sebagai daerah asuhan (nursery grounds), pemijahan (spawning grounds) beberapa hewan perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan, serasah mangrove (daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan sehingga menyediakan keanekaragaman (biodiversity) yang tinggi. Beberapa jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya juga bergantung pada mangrove.
3. Manfaat ekonomi, terdapat tiga sumber utama yaitu hasil hutan, perikanan estuari, wisata pantai dan alam, beberapa spesies mengandung zat aktif yang dimanfaatkan sebagai obat.
Moluska dan Krustacea
Biota yang ditemui di kawasan wisata hutan payau dari jenis fauna seperti teritip (Belanus spp.), kerang totok (Polymesoda erosa), kerang tanggal. Jenis krustasea seperti udang dan kepiting bakau (Scylla serrata), uca (Uca sp.), yuyu (Parathelphusa convexa) dan lain-lain. Biota endemik yang dikenal masyarakat luas yaitu populasi kerang totok (Polymesoda erosa) dan kerang tanggal.
Ikan
Kelompok fauna perairan di kawasan wisata hutan payau Tritih Kulon adalah ikan blanak (Periophthalmus argentilonatus), ikan kating (Ketengus typus), ikan tenggeleng (Acentrogobius cauerensis), ikan kiper (Scatophagus argus) ikan glodok/mudskipper, ikan buntal (Diodon sp), ikan putihan (Pampus argeteun), ikan baronang (Siganus sp.), ikan kerapu lumpur (Epinephelus coroides), ikan kerong (Plectorhinchus lessoni).
Reptil dan Mamalia
Jenis reptil berdasarkan informasi masyarakat terdapat kadal (Mabouia multifasciata), ular air (Natrix sp.) dan beberapa jenis mamalia kera ekor panjang (Macaca fascicularis). Tahun 1990-an di lokasi wisata hutan payau kera ekor panjang merupakan satwa jinak yang dipelihara.
Burung
Jenis burung berdasarkan informasi masyarakat seperti kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil (Egretta garzetta), belekok/kuntul sawah (Ardeola speciosa), kareo (Amaurornis phoenicurus), bangau (Leptitorus javanicus), sriti (Collocalia esculenta), cerek (Charadrius javanicus), camar (Sterna hirundo), sayangnya burung-burung ini sekarang sebagian hanya berfungsi sebagai tempat untuk mencari makan (singgah) bukan berfungsi sebagai tempat bersarang dan bertelur. Atraksi burung tersebut sering terbang dan singgah ketika airnya surut pada pagi dan sore hari.
Burung yang berada di ekosistem mangrove Kabupaten Cilacap secara umum dikategorikan untuk (Hernowo dan Arief 1998):
1. Mencari makan, tidur, istirahat, berbiak, membesarkan keturunan serta berlindung. Contoh burungnya adalah kelompok kuntul (Egretta spp, Ardeola
spp, Butorides) dan belibis (Dendrocyqua sp)
3. Mencari makan, singgah, istirahat dan tidur. Contoh burungnya adalah jenis cerek (Charadrius sp), trinil (Tringa sp) serta gajahan (Numenius spp).
KondisiSosial Ekonomi
Sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon menjadi petani dan nelayan. Masyarakat yang mata pencahariannya sebagai nelayan setiap tahunnya mengadakan sedekah laut yang merupakan suatu upacara tradisional. Ada juga masyarakat yang memilki keahlian dibidang kebudayaan yang tergabung dalam sanggar seni seperti permainan angklung dan ebeg dengan menunggang kuda kepang yang diiringi gamelan dan sejenisnya. Pertanian merupakan sektor utama perekonomian masyarakat sekitar wisata hutan payau, untuk profesi nelayan hanya sebagian penduduk. Sumber pendapatan lainnya adalah menjadi pekerja di berbagai perusahaan di Kabupaten Cilacap. Data kunjungan masyarakat ke kawasan wisata disajikan seperti pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data pengunjung
TAHUN PENGUNJUNG (ORANG) JUMLAH
ASING DOMESTIK
1991 66 22.980 23.046
1995 42 17.684 17.726
1997 47 22.485 22.532
1999 14 22.166 22.180
2001 4 14.294 14.298
2005 1 2.019 2.020
2007 0 1058 1058
2009 0 370 370
2011 0 132 132
Sumber: Perhutani 2012
Menurut Thurniati (1991) alasan pengunjung datang ke kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon adalah untuk menikmati alam (64,41%), mendapat pengalaman atau petualangan baru (27,68%) dan untuk menambah ilmu (16,38%). Pengunjung terbanyak dari kalangan pegawai swasta 24,86%, pelajar 24,86% serta pegawai negeri 18,08% dengan tingkat pendidikan pengunjung terbanyak adalah tamat SLTA 54,80%, tamat SLTP 20,91%, tamat Akademi/PT 12,99% dengan status pribadi sebagian besar belum kawin.
Fasilitas pendukung berupa hotel/losmen sangat berpengaruh pada minat pengunjung, tercatat pada tahun 2011 ada 49 hotel dengan jumlah kamar sebanyak 1.084 kamar. Terdapat 10 usaha (20,41%) merupakan hotel berklasifikasi bintang dengan jumlah kamar sebanyak 364 kamar, unutk non bintang sebanyak 39 usaha dengan jumlah kamar 720 kamar. Kegiatan kunjungan dibeberapa obyek wisata Kabupaten Cilacap seperti disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2Data kunjungan objek wisata
Obyek wisata Banyaknya
wisatawan (orang) Taman Hiburan Rakyat Teluk Penyu 314,160
Benteng Pendem 98.984
Air Panas Cipari 3.714
Obyek wisata Banyaknya wisatawan (orang)
Pantai Ketapang Indah 9.142
Pantai Sodong 4.852
Wana Selok 2,714
Pantai Sedayu 9.766
Pantai Jetis 10.500
Pantai Karangpakis 2.940
Pantai Srandil 1.563
Sumber: Diolah dari data BPS 2011
Fasilitas aksesibilitas, merupakan salah satu kunci utama dalam mendukung keberhasilan pengembangan wisata hutan payau. Pemerintah daerah sudah memfasilitasi transportasi angkutan umum melalui darat (terminal, stasiun kereta api), transportasi laut (Pelabuhan Lomanis dan Tanjung Intan), transportasi udara (Bandara Udara Tunggul Wulung). Lokasi kawasan wisata hutan payau letaknya strategis kurang lebih 300 m dari jalan provinsi sehingga dapat dicapai dengan mudah baik menggunakan transportasi yang ada. Kisaran jarak lokasi Kabupaten Cilacap dengan dengan kabupaten lain seperti disajikan pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Kisaran jarak lokasi dengan beberapa kota terdekat Kota Terdekat Lokasi Wisata (km)
Cilacap 8
Purwokerto 55
Tegal 131
Ciamis 139
Yogjakarta 197
Semarang 246
Bandung 259
Bogor 385
Jakarta 428
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Bioekologi
Kesehatan Mangrove
Hasil pengamatan di lapangan diperoleh sembilan jenis mangrove yaitu
Bruguiera gymnoriza, Avicennia marina, Avicennia alba, Rhizopora apiculata, Rhizopora mucronata, Sonneratia alba, Aegiceras corniculatum, Nypa fruticans
dan Acanthus ilicifolius yang berasal dari sekitar Sungai Ngrewing (stasiun 1), Sungai Daon (stasiun 2), Sungai Cikantil (stasiun 3), Sungai Ngroyom (stasiun 4) dan Sungai Ciremang (stasiun 5). Hal ini menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman di kawasan wisata hutan payau rata-rata tergolong sedang (sehat), karena menurut Wilhm dan Dorris (1986) nilai indeks keanekaragam (H’) antara satu sampai tiga tergolong sedang. Penentuan stasiun di atas didasarkan karena lokasi tersebut berpotensi untuk kegiatan yang bersifat wisata ekosistem mangrove, seperti tracking, berperahu, memancing serta memotret, dengan jumlah stasiun dianggap sudah mewakili jenis dan kerapatan ekosistem mangrove. Sebaran mangrove di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Sebaran mangrove dilokasi penelitian
Spesies Mangrove Stasiun
1 2 3 4 5
Bruguiera gymnoriza V 0 0 0 0
Avicennia marina V V V V V
Avicennia alba 0 V 0 0 V
Rhizopora apiculata V V V V V
Rhizopora mucronata V 0 0 0 0
Sonneratia alba 0 0 0 V 0
Aegiceras corniculatum 0 0 0 V 0
Nypa fruticans 0 V V V V
Acanthus ilicifolius 0 V 0 V V
Keterangan: V : ada , 0 : Tidak ada (survei 2013)
Berdasarkan Tabel 5.1 di atas jenis mangrove A. marina merupakan jenis yang dominan ditemukan disemua stasiun. Hal ini menunjukkan keterwakilan (dominansi) jenis mangrove tersebut tergolong baik dalam menjaga keberlangsungan pertumbuhan. Menurut Supriharyono (2007) dalam Romadhon (2008), baiknya pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik, dan menurut Mann (2000) tingkat kandungan bahan organik yang tersedia bagi biota maupun tanaman (fitoplankton, zooplankton dan algae) menunjukkan tingginya kandungan serasah yang jatuh ke perairan. Tingkat keanekaragaman mangrove sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan di kawasan wisata hutan payau di Tritih Kulon dapat dimanfaatkan untuk mengukur kekayaan komunitas suatu kawasan. Menurut Soegianto (1994) dalam Mangindaan dkk.
Berdasarkan hasil analisis, stasiun satu terdiri dari empat jenis mangrove, yaitu B. gymnoriza, A. marina, R. apiculata, dan R. mucronata. Total nilai kerapatan sebesar3.133 ind/ha (pohon), 6.600 ind/ha (anakan), dan 85.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. mucronata sebesar 109%. Stasiun dua terdiri dari A. alba, A. marina dan R. apiculata,N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.100 ind/ha (pohon), 1.400 ind/ha (anakan), dan 20.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi A. marina sebesar 254%. Stasiun tiga terdiri dari A. marina, R. apiculata dan N. fruticans. Total nilai kerapatan sebesar 1.633 ind/ha (pohon), 1.000 ind/ha (anakan), dan 10.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi A. marina sebesar 194%. Stasiun empat terdiri dari A. marina, R. apiculata, S. alba, N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.767 ind/ha (pohon), 3.600 ind/ha (anakan), dan 150.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. apiculata sebesar 140%. Stasiun lima terdiri dari A. marina, A. alba, R. apiculata, Ae. corniculatum, N. fruticans dan A. ilicifolius. Total nilai kerapatan sebesar 1.533 ind/ha (pohon), dan 160.000 ind/ha (semai) dengan INP tertinggi R. apiculata sebesar 149%. Hasil analisis kerapatan dan indek nilai penting (INP) mangrove disajikan pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Kerapatan mangrove dan INP
Lokasi Species Kerapatan (ind/ha) INP (%)
Pohon Anakan Semai
Sumber: Hasil analisis tahun 2013
ini menunjukkan bahwa secara umum kondisi hutan mangrove di kawasan wisata
hutan payau dalam keadaan baik ≥1.500 pohon/ha, yang sesuai dengan
KepMenLH No. 201 tahun 2004 (Wiharyanto dkk. 2010). Walupun stasiun dua nilai kerapatannya paling kecil, namun memiliki INP sebesar 254% untuk jenis A. marina, hal ini menurut Bengen (2002) mangrove tersebut memiliki peran yang penting dalam lingkungan karena memiliki INP mendekati nilai 300%. Masih baiknya kondisi mangrove tersebut, disebabkan daerah kawasan wisata hutan payau ini merupakan daerah yang terlindungi dari deburan ombak yang ganas.
Kategori anakan menunjukkan A. marina mampu tumbuh di stasiun satu dan dua, hal ini terjadi karena kategori anakan A. marina memberikan respon yang lebih baik di lokasi tersebut. Menurut Hutahaean dkk. (1999) anakan A. marina dalam adaptasi konsentrasi garam yang tinggi (akumulasi) akan mengeluarkannya melalui kelenjar dengan memproduksi daun dalam jumlah yang besar.
Kategori semai yang mempunyai nilai kerapatan relatif tinggi adalah jenis
A. marina terdapat di stasiun empat dan lima. Hal ini menunjukkan perbedaan beberapa spesies yang mampu tumbuh dengan baik, diduga ada pemangsaan oleh sejenis kepiting dan dampak dari kategori pohon yang ada. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Pradana dkk. (2013) yang menyatakan bahwa pemangsaan oleh gastropoda dan krustasea menjadi penghambat dalam proses regenerasi tumbuhan mangrove itu sendiri baik pada propagul yang baru jatuh maupun yang sudah dibibitkan. Selain itu, menurut Soerianegara (1968) bahwa kematian pohon-pohon tancang (Bruguiera sp.) di Cilacap karena kandungan NaCl yang sangat sedikit. Oleh karena itu pihak perhutani melakukan penanaman percontohan jenis tersebut di stasiun satu (petak 57), yang menghasilkan tingkat keberhasilan beradaptasi baik. Tingkat kerapatan pohon, anakan dan semai disajikan pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1a Kerapatan mangrove kategori pohon
Gambar 5.1b Kerapatan mangrove kategori anakan