• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan

Berdasarkan hasil penelitian pengujian nilai nutrien (Rahmasari,2009) menunjukkan bahwa perlakuan kimiawi dan biologis pada BBJP dapat menurunkan anti nutrisi dan racun. Beberapa antinutri dan racun yang turun yaitu curcin, anti tripsin dan asam fitat. Racun lain yang diduga turun yaitu phrobolester dilihat dari jumlah lemak yang turun. Penurunan curcin disebabkan adanya proses pemanasan sebelum pengolahan, racun ini labil terhadap pemanasan (Areghreore et al., 2003). Penurunan akifitascurcinsebasar 50% pada P2 yaitu pengolahan dengan fermentasi Trichoderma viride. Pada aktifitas anti tripsin juga mengalami penurunan, terutama pada pengolahan dengan fermentasi menggunakan Rhizophus oryzae akibat dari adanya proses pemanasan. Selain itu, adanya enzim protease dari kapangRhizophus oryzae yang dapat memutus ikatan komplek tripsin inhibitor (Aderibigbe et al., 1997). Kandungan zat makanan dan racun dalam bungkil biji jarak hasil pengolahan dapat dilihat pada Tabel 5.

Pengolahan BBJP secara kimiawi dan biologis ini juga menyebabkan perubahan kandungan beberapa nutrien. Pada pengolahan dengan ekstraksi metanol dan fermentasi menggunakan Trichoderma viride terjadi peningkatan protein kasar akibat hilangnya bagian bagian non protein selama pengolahan (Areghreore et al., 2003). Pada pengolahan dengan fermentasi menggunakan Rhizophus oryzae terjadi penurunan protein kasar akibat kurang optimalnya proses fermentasi, nutrien yang digunakan kapang untuk tumbuh tidak diimbangi adanya sumbangan protein kapang dari perombakan enzim yang terdapat pada kapang. Kandungan lemak kasar mengalami penurunan akibat terlarutnya beberapa fraksi lemak dalam proses eksraksi menggunakan perendaman metanol, selain itu adanya penyabunan lemak oleh larutan basa. Penurunan lemak juga disebabkan adanya kapang yang menghidrolisis lemak dengan bantuan enzim lipase menjadi mono dan digliserida dan juga asam lemak bebas (Tillman et al.,1989). Penurunan kadar lemak ini dapat menjadi indikasi adanya penurunan phorbolester. Pada pengolahan dengan ekstraksi metanol dan fermentasi menggunakan Trichoderma viride terjadi penurunan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N) akibat digunakan oleh kapang kerena memilki bentuk yang sederhana serta adanya fraksi yang ikut terlarut pada metanol. Pada

30 pengolahan dengan fermentasi menggunakan Rhizophus oryzae terjadi peningkatan Beta-N akibat adanya tambahan karbohidart dari perombakan serat kasar oleh enzim selulase.

Tabel 5. Kandungan Zat Makanan dan Anti Nutrisi Bungkil Biji Jarak Penelitian1) (as fed)

Perlakuan Komponen (%) P0 P1 P2 P3 Bahan Kering 84,99 84,89 94,01 92,00 Abu 5,63 6,87 5,95 5,65 Protein Kasar 24,71 31,1 22,39 28,10 Serat Kasar 32,58 39,23 44,22 44,80 NDF2) 76,22 76,67 68,22 75,11 ADF2) 56,11 42,31 42,04 63,59 Hemiselulosa2) 20,11 34,36 26,95 11,52 Selulosa2) 20,60 16,22 14,38 12,28 Lignin2) 35,08 25,80 27,44 51,01 Silika2) 0,40 0,23 0,18 0,23 Lemak Kasar 5,80 4,29 0,39 1,35 Beta-N 16,27 3,40 21,06 12,15 Ca 1,00 0,71 0,68 0,99 P 0,99 0,89 0,35 0,55 Energi Bruto (kkal/kg) 3893 3852 3948 3952 Asam fitat (% dalam bungkil)3) 10,18 8,24 7,45 8,25 Aktivitas anti tripsin (mg/g) (sampel tanpa lemak)4) 23,75 15,9 7,612 16,075

Keterangan: P0 : Bungkil biji jarak pagar tanpa pengolahan; P1 : Bungkil biji jarak pagar yang diekstraksi metanol; P2 : Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan Rhizopus oryzae; P3 : Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi denganTricodherma viride

1) Hasil Analisis Proksimat Laboratorium Ilmu Nutrisis dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008); 2) Hasil Analisis Van Soest Laboratorium Ilmu Nutrisis dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor 3) Hasil Analisis Laboratorium Pasca Panen Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor (2008); 4) Hasil Analisis Laboratorium Analisis Pakan, Balai Besar Penelitiam Ternak, Ciawi, Bogor (2008).

31 Serat kasar merupakan fraksi karbohidarat yang telah dipisahkan dengan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tidak larut dalam basa dan asam encer setelah pendidihan selama 30 menit (Tillman, 1989). Serat kasar merupakan penyusun utama dinding sel tumbuhan. Serat kasar terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Fraksi serat kasar diukur berdasarkan kelarutannya dalam laruran detergen yang membagi menjadi isi sel dan dinding sel atauneutral detergent fiber (NDF). Fraksi yang tidak larut adalah lignoselulosa yang disebutacid detergent fibre (ADF) dan fraksi yang larut yaitu hemiselulosa dan sedikit protein dinding sel. Kandungan serat kasar mengalami peningkatan akibat kurang optimalnya kerja enzim selulase kapang dalam merombak serat kasar dan adanya benang-benang miselia kapang yang memberikan tambahan serat pada BBJP. Tingginya lignin pada BBJP merupakan sumbangan dari cangkang, menyebabkan kurang optimalnya kerja kapang.

Pada unggas, serat kasar dalam jumlah tertentu diperlukan untuk memperlancar pengeluaran sisa-sisa makanan yang tidak dapat tercerna. Serat kasar hanya dapat dimanfatkan tubuh melalui proses fermentasi gastrointestinal, sedangkan hewan monogastrik terbatas dalam kemampuan tersebut. Ransum unggas tanpa serat kasar atau terlalu rendah dapat memperlambat pertumbuhan. Serat kasar yang melebihi batas maksimal akan menurunkan nilai gizi ransum. Penurunan nilai gizi tersebut disebabkan sebagian besar zat-zat makanan keluar bersama ekskreta sebelum diserap oleh usus. Menurut Kismono (1986), tingkat serat kasar yang dapat ditoleransi oleh unggas sebesar 8,02 %, ADF sebesar 12,6 %, lignin sebesar 1,5 % dan silika sebesar 0,68% pada umur 8 minggu.

Hemiselulosa merupakan fraksi serat kasar yang dapat dicerna oleh monogastrik. Hemiselulosa dapat dihidrolisa oleh kondisi asam di proventikulus dan ampela (Wahju, 2004). Selulosa pada hewan monogastrik merupakan komponen yang tidak dapat dicerna, tetapi perlu terdapat dalam ransum untuk meningkatkan gerak peristaltik. Lignin dan selulosa membentuk komponen lignoselulosa yang mempunyai daya cerna yang kecil. Lignin merupakan komponen yang tidak memiliki hasil akhir dalam proses pencernaan dan dapat menghambat proses pencernaan (Tillman, 1989).

32 Kalsium dan fosfor pada BBJP yang telah diolah mengalami penurunan. Pada P1 disebabkan oleh tercucinya mineral oleh metanol pada proses ekstaksi. Pada P2 dan P3 akibat penggunaan mineral untuk hidup kapang pada proses fermentasi. Pada proses fermentasi BBJP ini tidak menggunakan bahan tambahan sehingga kapang menggunakan zat makanan yang terkandung dalam BBJP untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keadaan ini mengakibatkan zat makanan dalam BBJP tersebut berkurang jika tidak diimbangai oleh perombakan zat makanan oleh kapang.

BBJP yang digunakan pada penelitian ini diduga varietas yang tidak beracun, karena pada saat pencekokan tidak terjadi kematian pada ayam. Toleransi makhluk hidup terhadap phorbolester sebesar 0,09mg/g BBJP (Aregheore, 2003). Jika kandungan phorbolester pada varietas tidak beracun 0,11mg/g (Makkar dan Becker, 1999) sedangkan pakan yang diberikan sebanyak 30g, maka jumlah phorbolester yang dikonsumsi sebesar 3,3mg/g.

Kecernaan Bahan Kering

Nilai rataan konsumsi, ekskresi dan kecernaan bahan kering bahan pakan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Nilai Konsumsi, Ekskresi dan Kecernaan Bahan Kering Perlakuan Konsumsi Bahan Kering (g) Ekskresi Bahan Kering (g) Kecernaan Bahan Kering (g) Kecernaan Bahan Kering (%) P0 34,31 20,61±2,30 13,70±2,30A 39,92±6,72A P1 33,27 26,24±1,95 7,03±1,95B 21,13±5,86B P2 31,91 29,08±2,29 2,83±2,29C 8,88±7,17C P3 32,61 25,47±3,44 7,14±3,44B 21,88±10,54B

Keterangan: superskrip huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01); P0 : Bungkil biji jarak pagar tanpa pengolahan; P1 : Bungkil biji jarak pagar yang diekstraksi metanol; P2 : Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan

Rhizopus oryzae; P3 : Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi denganTrichoderma viride.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pengolahan bungkil biji jarak sangat nyata (P< 0,01) menurunkan kecernaan bahan kering karena adanya serat kasar yang tinggi terutama lignin dan silika. Salah satu faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan pakan adalah komposisi pakan. Serat kasar adalah unsur yang sangat berpengaruh terhadap kecernaan dan penyerapan zat makanan.serat kasar

33 yang tinggi terutama lignin dalam bahan pakan akan menyebabkan zat makanan ikut terbuang bersama ekskreta sehingga menurunkn kecernaan. Selain itu, kecernaan bahan organik (protein, karbohidrat dan lemak) dan ketersediaan mineral juga berpengaruh pada kecernan bahan kering (McDonaldet al., 2002).

Hasil tersebut menunjukkan adanya penurunan kecernaan bahan kering bahan perlakuan dibandingkan dengan P0. Penurunan padaP1 sebesar 47,07%, P2 sebesar 77,75% dan P3 sebesar 45,19% dibandingkan dengan P0. Jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan diekskresi akan mempengaruhi nilai kecernaan bahan kering. terdapat sejumlah bahan kering yang tertinggal dan digunakan dalam tubuh ternak. Fermentasi bahan pakan akan mengalami perubahan-perubahan fisik dan kimia seperti rasa, aroma, daya cerna dan daya simpan. Proses fermentasi dapat meningkatkan palatabilitas ransum (Hardjoet al., 989). Hal ini dapat dilihat pada P3 yang memiliki nilai kecernaan bahan kering yang tidak berbeda nyata dengan P1 meskipun pada P3 memiliki kandungan serat kasar yang tinggi.

Hewan tidak dapat menghasilkan enzim untuk mencerna serat kasar, tetapi mikroorganisme dalam saluran pencernaan menghasilkan enzim untuk memecah serat seperti selulase dan hemiselulase. Enzim tersebut dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa serta pati dan karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam asetat, propionat dan butirat. Unggas hanya bisa mencerna hemiselulosa pada komdisi asam proventikulus (Tillmanet al., 1989).

Retensi Nitrogen

Retensi nitrogen adalah selisih antara nilai konsumsi nitrogen dengan nilai nitrogen yang diekskresikan setelah dikoreksi dengan nilai ekskresi nitrogen endogenus. Apabila nitrogen yang dikonsumsi lebih besar daripada yang diekskresikan maka retensi nitrogen bernilai positif, yang berati terjadi pembentukan protein jaringan. Jika retensi nitrogen bernilai negatif mengindikasikan adanya kehilangan protein dalam jaringan melalui katabolisme sebagai akibat nitrogen yang dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan hidup pokok (Wahju, 2004). Meningkatnya konsumsi nitrogen diikuti dengan meningkatnya retensi nitrogen, tetapi tidak selalu disertai dengan peningkatan bobot badan bila energi ransum rendah. Peningkatan retensi nitrogen berarti semakin banyak nitrogen yang dimanfaatkan oleh tubuh ternak, jika terjadi peningkatan retensi nitrogen maka semakin banyak nitrogen yang

34 dimanfaatkan oleh tubuh ternak. Rataan nilai retensi nitrogen dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Nilai Konsumsi, Ekskresi Retensi Nitrogen

Perlakuan Konsumsi N (g) Ekskresi N (g) Retensi N (g) % Retensi N P0 1,32 0,65±0,05 0,66±0,05A 50,39±3,62a P1 1,57 1,00±0,31 0,57±0,31B 36,39±19,95b P2 1,14 1,00±0,19 0,15±0,19C 12,71±16,59c P3 1,47 0,88±0,26 0,59±0,26B 40,14±17,58b

Keterangan: superskrip huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01); superskrip huruf kecil berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05); P0 : Bungkil biji jarak pagar tanpa pengolahan; P1 : Bungkil biji jarak pagar yang diekstraksi metanol; P2 : Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan Rhizopus oryzae; P3 : Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan

Tricodherma viride

Pada hasil analisis ragam didapatkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) pada persentase retensi nitrogen. Antara perlakuan P1 dan P3 tidak berbeda nyata karena meskipun P3 memiliki kandungan protein yang tinggi, tetapi juga memiliki kandungan serat kasar yang tinggi. Pada P3, serat kasar pada perlakuan ini mengandung lignin dan silika yang tinggi sehingga dapat menghambat kecernaan protein. Rataan nilai retensi nitrogen mengalami penurunan dibandingkan dengan P0 terutama pada P2. Besarnya nilai penurunan P1 adalah 27,78%, P2 74,77% dan P3 20,34%.

Menurut Wahju (2004), efisiensi protein yang diretensi oleh ayam broiler adalah 67%. Rendahnya retensi nitrogen ini disebabkan oleh kandungan serat kasar yang tinggi pada ransum terutama lignin dan selulosa yang tidak dapat dicerna oleh unggas sehingga menurunkan kecernaan dan meningkatkan ekskresi pakan. Selain itu, rendahnya nilai retensi nitrogen ini dapat disebabkan oleh adanya protein yang terikat oleh antinutri dalam bungkil biji jarak seperti asam fitat serta anti tripsin yang menghambat sintesa protein. Terdapatnyacurcin pada bahan pakan juga mengurangi kecernaan bahan pakan khususnya terhadap protein.

Energi Metabolis

Energi metabolis adalah perbedaan antara kandungan energi bruto pakan atau ransum dengan energi bruto yang dikeluarkan melalui ekskreta (Sibbald, 1980). Nilai energi metabolis semu BBJP olahan pada P1, P2 dan P3 sangat nyata (P<0,01)

35 mengalami penurunan dibandingkan dengan perlakuan P0. Nilai energi metabolis semu terdapat pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Nilai konsumsi, Ekskresi, Retensi Nitrogen dan Energi Metabolis Semu selama 24 Jam

Perlakuan Konsumsi energi (kkal/ekor) Ekskresi energi (kkal/ekor) Retensi N (g/ekor) EMS (kkal/g) EMSn (kkal/kg) P0 133,57 60,98±7,85 0,66±0,05 2155,73±228,62 2155,58±228,62A P1 128,14 84,92±7,00 0,57±0,31 1299,37±210,41 1299,23±210,36B P2 125,99 93,77±11,42 0,15±0,19 1009,65±357,88 1009,62±357,85C P3 128,87 76,89±11,19 0,59±0,26 1593,87±343,37 1593,72±343,32B

Keterangan: superskrip huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01); EMS: Energi Metabolis Semu; EMSn: Energi Metabolis Semu terkoreksi nitrogen; P0 : Bungkil biji jarak pagar tanpa pengolahan; P1 : Bungkil biji jarak pagar yang diekstraksi metanol; P2 : Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan Rhizopus oryzae; P3 : Bungkil biji jarak pagar yang difermentasi dengan

Trichoderma viride.

Terjadi penurunan energi metabolis sebesar 31,7% (P1), 53,16% (P2) dan 26,07% (P3) dibandingkan dengan P0. Penurunan energi metabolis ini diakibatkan adanya peningkatan serat kasar bahan pakan pada perlakuan P1, P2 dan P3 serta terjadi penurunan lemak sebagai salah satu komponen penghasil energi. Pada unggas, serat kasar yang sebagian besar terdiri dari lignin dan selulosa tidak dapat dicerna karena tidak memiliki enzim selulase untuk memecah serat kasar. Jumlah serat kasar yang dapat ditoleransi pada ransum unggas sebesar 4%-8% (1,2-2,4 gram/30 gram), sedangkan pada P1, P2 dan P3 memiliki serat kasar tinggi sehingga dapat menjadi anti nutrisi dalam pakan unggas (Wiseman, 2002). Jumlah pakan yang dikonsumsi dalam penelitian ini sebesar 30 gram, selisih serat kasar yang dikonsumsi pada P0 sebesar 7,74gram , P1 sebesar 11,76 gram, P2 sebesar 13,27 gram, dan P3 sebesar 13,44 gram.

Konsentrasi ADF dalam bahan pakan secara langsung berkorelasi negatif dengan energi ransum dan berkorelasi positif dalam mengisi saluran pencernaan (Ruiz et al., 1995). Pada P2 meskipun memiliki kandungan ADF terendah, tetapi kandungan hemiselulosa rendah sehingga nilai energi metabolis rendah.

Nilai energi metabolis semu bungkil biji jarak pada penelitian ini mendekati nilai energi metabolis dedak padi yaitu sebesar 1900 kkal/kg (Leeson dan Summers, 2005). Pada P0 nilai energi metabolis semu sebesar 2155,58 kkal/kg sedangkan P3

36 yaitu pengolahan BBJP dengan fermentasi menggunakanTrichoderma viride sebesar 1593,72 kkal/kg. Ransum yang mengandung BBJP dengan pengolahan fisik, kimia dan biologis menurut Nurbaeti (2007) meningkatkan energi metabolis, efisiensi penggunaan protein, dan palatabilitas dibandingkan ransum ayng mengandung bungkil biji jarak tanpa pengolahan. menyatakan bahwa energi metabolis semu ransum yang mengandung hasil olahan bungkil biji jarak pagar secara fisk, kimia, dan biologis mengalami peningkatan sebesar 21,98%, 20,45% dan 25,84% (Nurbaeti, 2007)

Nilai energi metabolis semu terkoreksi nitrogen pada P2 memiliki nilai sangat berbeda nyata (P<0,01) lebih kecil dibandingkan perlakuan lain. Hal ini diduga kapang menggunakan zat makanan inangnya untuk tumbuh. Rhizopus oryzae memiliki enzim lipase dan protease yang memecah lemak dan protein sehingga mengurangi jumlah lemak dan protein dalam pakan. Nutrien penentu energi metabolis antara lain protein, BETN dan lemak. Asam fitat pada BBJP mengikat protein dalam bentuk fitat-protein sehingga menyebabkan penurunan nilai protein. Asam fitat menurunkan degradasi protein dengan cara membentuk senyawa komplek dan berinteraksi dengan enzim seperti tripsin dan pepsin (Reddy dan Pierson, 1994). Lemak dan minyak, menurut Wiseman (2002) memiliki kontribusi nilai yang besar dalam energi metabolis, yaitu sebesar 2,25 kali protein. Kapang juga menyumbangkan serat kasar pada bungkil biji jarak hasil pengolahan sehingga kandungan serat kasar meningkat. Peningkatan serat kasar diduga adanya miselium kapang yang terbentuk dan rendahnya aktivitas enzim selulase (Volk, 2004).

Absorpsi Kalsium

Absorpsi kalsium merupakan selisih antara kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang diekskresikan. Rataan nilai konsumsi kalsium, ekskresi kalsium dan absorpsi kalsium dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil analisis ragam menunjukkan hasil tidak berbeda nyata (P>0,01), tetapi mengalami penurunan sebesar 36,72% (P1), 64,98% (P2) dan 0,34% (P3) pada absorpsi kalsium. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan variasi antar individu yang tinggi, dilihat dari koefisien variasi yang tinggi.

37 Tabel 9. Rataan Nilai Konsumsi, Ekskresi dan Absorpsi Kalsium

Perlakuan Konsumsi Ca (g) Eksresi Ca (g) Absorpsi Ca (g) % Absorpsi Ca P0 0,34 0,12±0,03 0,22±0,03 64,85±9,78 P1 0,24 0,13±0,10 0,1±0,1 41,04±42,60 P2 0,22 0,16±0,04 0,05±0,04 22,71±17,75 P3 0,32 0,11±0,06 0,21±0,07 64,63±20,07

Keterangan: P0: BBJP tanpa pengolahan, P1: BBJP diekstraksi methanol 90% , P2: BBJP difermentasiRhizopus oryzae, P3: BBJP difermentasiTricodherma viride.

Kandungan kalsium bahan pakan perlakuan berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan konsumsi kalsium berbeda pula. Tingginya ekskresi kalsium dapat disebabkan oleh tingginya kandungan serat kasar pada bahan pakan sehingga sebagian besar pakan tidak dapat tercerna. Selain itu, dalam bahan pakan perlakuan terdapat anti nutrisi asam fitat yang dapat mengikat kalsium yang menyebabkan kurang tersedianya kalsium bagi pertumbuhan. kebutuhan kalsium pada ayam broiler umur 6 minggu adalah 0,8% dan dapat meningkat jika dalam bahan pakan tersebut mengandung tinggi asam fitat (NRC, 1994). Asam fitat dapat menurunkan absorbsi kalsium dengan jalan mengikat kalsium dan membentuk garam kalsium yang tidak larut dalam lumen usus (Gambar 14).

Gambar 14. Pengikatan Kalsium oleh Asam Fitat

Kadar protein dalam bahan pakan juga mempengaruhi absopsi kalsium. Semakin tinggi kandungan protein dalam bahan pakan tersebut maka absorpsi kalsium juga meningkat (Piliang, 2002). Pada hasil analisa zat makanan, P1 memiliki kandungan protein yang paling tinggi, sedangkan kandungan protein terdapat pada P2. Rendahnya absorpsi kalsium pada P2, selain disebabkan oleh rendahnya protein baha pakan juga disebabkan oleh tingginya ekskresi kalsium. Menurut Sumiati (2005), absopsi mineral kalsium dipengaruhi oleh adanya albumin dan prealbumin.

38 Meningkatnya konsentrasi albumin dan prealbumin dalam darah dapat meningkatkan absorpsi dan transpor kalsium dalam tubuh.

Absorpsi Fosfor

Hasil analisis ragam menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0,01) menurunkan absorpsi fosfor pada perlakuan P1, P2 dan P3 dibandingkan P0. Rataan nilai konsumsi, ekskresi dan absorpsi fosfor dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Nilai Konsumsi, Ekskresi dan Absorpsi Fosfor Perlakuan Konsumsi P (g) Ekskresi P (g) Absorpsi P

(g) % Absorpsi P P0 0,34 0,26±0,05 0,08±0,05 22,57±15,26A P1 0,30 0,37±0,06 -0,08±0,06 -27,26±19,62C P2 0,11 0,22±0,04 -0,11±0,04 -95,4±36,53C P3 0,18 0,19±0,03 -0,01±0,03 -3,94±17,39B

Keterangan: superskrip huruf besar berbeda pada kolom yang sama menunjukkan sangat berbeda nyata (P<0,01); P0: BBJP tanpa pengolahan, P1: BBJP diekstraksi methanol 90% , P2: BBJP difermentasiRhizopus oryzae, P3: BBJP difermentasiTricodherma viride.

Penurunan nilai absorpsi fosfor akibat adanya asam fitat serta serat kasar pada bungkil biji jarak. Serat kasar dalam bahan pakan menyebabkan terikatnya nutrien termasuk mineral yang terdapat dalam bahan pakan. Mineral P yang terikat anti nutrisi dan racun dalam pakan BBJP diduga menyebabkan mineral dalam tubuh ikut terbuang sehingga terjadi defisiensi. Nilai rataan absorpsi P dapat dilihat pada Tabel 10. Besarnya nilai eksresi P mengakibatkan jumlah mineral dalam pakan BBJP yang diberikan defisiensi mineral khususnya P yang tersedia sehinga unggas menggunakan P dari dalam tubuhnya untuk memenuhi kebutuhan mineralnya (Wiseman, 2002).

Nilai rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan standar deviasi disebabkan adanya nilai absorpsi yang negatif. Nilai negatif pada hasil absorpsi fosfor disebabkan ekskresi fosfor lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsinya. Tingginya ekskresi fosfor disebabkan oleh penggunaan fosfor yang terdapat dalam tubuh oleh ternak karena kurangnya asupan fosfor. Hal ini karena adanya asam fitat yang mengikat fosfor sehingga kurangnya ketersediaan fosfor. Jumlah fosfor dalam feses dipengaruhi oleh kadar fosfor dalam bahan pakan dan kebutuhan ternak (Piliang, 2002). Kebutuhan fosfor tesedia untuk ayam broiler umur sebesar 0,3%. Jumlah kebutuhan ini tidak dapat terpenuhi oleh fosfor dalam bahan pakan perlakuan

39 kerena masih terikat oleh asam fitat sehingga untuk memenuhi kebutuhan, ternak menggunakan cadangan fosfor dalam tubuh.

Gambar 15. Pengikatan Fosfor oleh Asam Fitat

Asam fitat adalah bentuk simpanan fosfor dalam biji-bijian, merupakan campuran garam myoinositol asam heksafosfor. Asam fitat dapat membentuk kompleks dengan bermacam-macam kation atau dengan protein yang mempengaruhi derajat kelarutan. Serat kasar dalam bahan pakan perlakuan juga menyebabkan ekskresi meningkat karena tidak dapat dicerna oleh unggas serta dapat mengikat zat makanan dan mineral dalam bahan pakan sehinga ikut terbuang dalam feses.

Menurut Nurhikmawati (2007), absorpsi kalsium dan fosfor ransum yang mengandung bungkil biji jarak terdetoksifikasi memiliki pola yang meningkat dibandingkan ransum yang mengandung bungkil biji jarak pagar tanpa pengolahan. Selain itu, dikatakan pula bahwa pengolahan bungkil biji jarak secara fisik, kimia dan biologis yang dicampur dalam ransum sebesar 20% dapat meningkatkan reteni bahan kering.

Dokumen terkait