• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri-ciri Biologis Itik AP dan PA

bertelur yang berbeda 73 13 Sidik ragam konsentrasi hormon prolaktin sedang bertelur dan rontok

HASIL DAN PEMBAHASAN Ciri-ciri Biologis Itik AP dan PA

Itik AP dan PA yang merupakan hasil silangan antara alabio sebagai itik petelur dengan peking sebagai itik pedaging memiliki karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan itik-itik lokal yang sudah ada di Indonesia. Pada umumnya itik-itik lokal berpotensi sebagai petelur dengan karakteristik bobot badan relatif sedang, sedangkan itik AP dan PA memiliki bobot badan relatif besar mewarisi gen bobot besar dari induknya yaitu peking. Karakteristik bobot badan tersebut menjadi salah satu ciri biologis pada ternak hasil persilangan ini. Ciri-ciri biologis lain itik AP dan PA yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi dan konversi ransum, warna bulu dan kualitas telur.

Bobot Badan

Keberhasilan produksi telur yang optimum pada periode bertelur ditentukan oleh pertumbuhannya, terutama masa starter, yaitu sejak itik menetas (DOD) sampai umur 8 minggu (Susanti dan Prasetyo 2007b). Pertumbuhan pada ternak itik diartikan sebagai pertumbuhan dalam bobot hidup dari sejak menetas (DOD) sampai umur dewasa kelamin. Pengamatan pertumbuhan itik masa starter dilakukan sejak itik menetas (DOD) sampai umur 8 minggu.

Bobot badan DOD itik AP (48.12 ± 0.46 g) sangat nyata lebih besar daripada itik PA (42.57 ± 0.36 g). Begitu pula pada umur 1 sampai 4 minggu, bobot badan itik AP sangat nyata lebih besar dibandingkan itik PA, yaitu masing- masing berturut-turut dari umur 1 sampai 4 minggu 135.04±2.71 vs 122.48±2.68 g, 281.51±4.62 vs 250.40±4.97 g, 538.24±9.67 vs 507.72±11.32 g, dan 813.61±12.54 vs 774.55±15.16 g. Hal ini menunjukkan adanya maternal effect, karena itik AP adalah hasil persilangan antara alabio jantan sebagai tipe petelur dengan peking betina yang merupakan galur pedaging. Hasil penelitian ini memiliki bobot DOD itik AP (48.12±0.46 g) dengan nilai di antara hasil persilangan itik alabio dengan itik cihateup, yaitu sebesar 50.23±3.01g pada itik AC dan 45.63±1.08 g pada itik CA, namun itik PA (42.57±0.36 g) memiliki nilai di bawah kedua hasil persilangan tersebut (Matitaputty et al. 2011).

Pada umur 5 sampai 8 minggu, itik AP memiliki bobot badan yang sama dengan itik PA, yaitu masing-masing berturut-turut adalah 1099.75±16.04 vs

1058.32±17.78 g, 1413.87±16.30 vs 1367.52±21.41 g, 1672.94±19.08 vs 1655.15±23.47 g dan 1882.61±20.82 vs 1911.70±23.26 g. Meskipun bobot badan itik AP lebih baik dibandingkan dengan itik PA pada awal pertumbuhan, namun pada umur 8 minggu bobot badan itik PA masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat sehingga pertambahan bobot badan (PBB) selama masa starter menjadi sama pada itik AP dan PA, yaitu masing-masing 1834.49±20.84 vs 1869.14±23.13 g. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan itik peking sebagai tipe pedaging sudah mengalami perlambatan pada umur 8 minggu, sedangkan galur itik alabio sebagai tipe petelur masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat. Perubahan laju pertumbuhan itik PA yang lebih tinggi daripada itik AP terus berlanjut sampai memasuki masa grower.

Laju pertumbuhan itik PA lebih baik dibandingkan dengan itik AP. Hal ini terlihat dari bobot badan itik AP dan PA yang sama secara statistik pada umur 10 minggu. Namun, pada umur 12 sampai 18 minggu, bobot badan itik AP sangat nyata lebih rendah dibandingkan itik PA. Padahal, pada umur DOD sampai umur 4 minggu bobot badan itik AP lebih baik daripada itik PA. Pola laju pertumbuhan pada penelitian ini hampir sama dengan persilangan itik CA dan AC. Pada bobot awal itik AC lebih baik daripada itik CA, namun pada bobot akhir, yaitu umur 8 minggu itik CA lebih baik daripada itik AC sehingga pertambahan bobot badan itik CA lebih baik dibandingkan itik AC (Matitaputty et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa bobot badan dan ukuran-ukuran tubuh pada masa grower dipengaruhi oleh galur pejantan.

Bobot badan itik AP dan PA pada umur 10 sampai 16 minggu berturut- turut adalah 2108.98±24.80 vs 2166.50±21.87 g, 2172.03±27.46 vs 2261.00±23.01 g, 2209.83±28.36 vs 2314.60±22.99 g, 2251.49±38.33 vs 2344.70±22.40 g. Pertambahan bobot badan sampai masa grower itik PA sangat nyata lebih besar daripada itik AP, yaitu masing-masing 2203.46±38.38 dan 2302.14±22.33 g. Hasil ini menunjukkan bahwa itik PA, yang berasal dari induk alabio sebagai tipe petelur, masih menunjukkan laju pertumbuhan yang cepat pada masa grower, sedangkan itik AP, yang berasal dari induk peking sebagai tipe pedaging, laju pertumbuhannya sudah mengalami perlambatan pada umur 8 minggu sehingga bobot badan pada masa grower menjadi rendah. Hal ini

31

mungkin sebagai akibat seleksi dalam kurun waktu yang panjang terhadap galur itik peking yang memang ditujukan untuk pembentukan itik tipe pedaging dengan umur potong 8 sampai 12 minggu, meskipun itik alabio dan peking merupakan keturunan yang sama, yaitu dari itik Mallard (Anas plathyrhynchos). Perubahan laju pertumbuhan itik AP dan PA dari sejak menetas sampai dewasa kelamin terlihat jelas pada Gambar 7.

Gambar 7 Laju pertumbuhan itik AP dan PA masing-masing sebanyak 90 ekor pada umur DOD sampai 16 minggu.

Berdasarkan Gambar 7 tampak bahwa pada awal pertumbuhan, yaitu umur DOD sampai umur 3 minggu, itik AP memiliki bobot badan lebih besar daripada itik PA. Namun, sejak umur 4 minggu, laju pertumbuhan itik AP sudah memasuki perlambatan, sedangkan itik PA masih mengalami laju percepatan pertumbuhan sehingga laju pertumbuhan masa starter, yaitu umur DOD sampai 8 minggu pada itik AP dan PA, adalah sama. Laju pertumbuhan itik PA masih mengalami percepatan sampai umur 16 minggu sehingga bobot badan itik PA sangat nyata lebih besar daripada itik AP.

0 500 1000 1500 2000 2500

Umur (mi nggu)

B o bo t ba da n ( g ) itik PA (g) 42.57 122.5 250.4 507.7 774.6 1058 1368 1655 1912 2167 2261 2315 2345 Itik AP (g) 48.12 135 281.5 538.2 813.6 1100 1414 1673 1883 2109 2172 2210 2251 DOD 1 2 3 4 5 6 7 8 10 12 14 16

Konsumsi dan Konversi Ransum

Hasil pengamatan atas konsumsi dan konversi itik AP dan PA tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1 Konsumsi dan konversi ransum pada masa starter dan grower itik AP dan PA

Peubah Itik AP (n = 90 ekor) Itik PA (n = 90 ekor) Masa starter (0-8 minggu) :

Konsumsi (g/e/8 mg) 8804.84a ± 441.92 7973.10a Konversi

± 303.33 4.70a ± 0.22 4.31a ± 0.19

Masa grower (10-16 minggu) :

Konsumsi (g/e/16 mg) 21577.00a ± 1530.86 20100.28a Konversi

± 852.55 9.74a ± 0.69 8.81a ± 0.38 Huruf superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P > 0.05).

Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa konsumsi itik AP dan PA tidak berbeda nyata pada semua fase pertumbuhan, yaitu masing-masing 8804.84±441.92 g dan 7973.10±303.33 g untuk masa starter, 21577.00±1530.86 g dan 20100.28±852.55 g untuk masa grower. Konversi ransum itik AP dan PA juga tidak berbeda, yaitu masing-masing 4.70±0.22 dan 4.31±0.19 untuk masa starter, 9.74±0.69 dan 8.81±0.38 untuk masa grower. Konsumsi dan konversi yang diperoleh dalam penelitian ini lebih besar daripada galur murni alabio, peking, maupun hasil persilangan alabio dengan cihateup (Matitaputty et al. 2011; Marie-Etancelin et al. 2008 ). Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya pakan yang tercecer dan tidak diukur sehingga terjadi peningkatan jumlah pakan yang digunakan yang berakibat tingginya nilai konversi ransum pada penelitian ini.

Warna Bulu

Warna bulu itik AP dan PA sebagai keturunan itik peking dan alabio didominasi warna hitam, meskipun ada beberapa ekor yang berwarna putih dan cokelat menyerupai itik alabio. Variasi warna bulu itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu di bagian punggung berwarna hitam, dada berwarna putih, sayap bagian atas bervariasi antara putih, hitam, dan abu-abu totol cokelat seperti warna itik alabio. Penampilan itik alabio, peking, PA dan AP tercantum pada Gambar 8.

33

Gambar 8 Penampilan itik alabio (a), peking (b), PA (c) dan AP (d).

Berdasarkan Gambar 8 tampak bahwa penampilan warna bulu itik PA dan AP hampir sama, yaitu didominasi warna hitam dengan bercak putih di bagian dada, sayap, dan kepala. Warna hitam pada itik dikontrol oleh gen E (Lancaster 1993). Gen E adalah gen autosomal yang dominan terhadap e+

Pada awalnya, hanya diketahui 3 tipe alel warna bulu itik mallard, yaitu M

(warna lain, seperti biru dan cokelat) dan menyebabkan bulu di seluruh tubuh berwarna hitam, kecuali warna bulu pada bagian-bagian tubuh tertentu yang dikontrol oleh gen warna putih. Gen E menjadi epistasis lengkap terhadap semua gen pada lokus M dan Li.

R, M+, dan md yang merupakan gen autosomal dengan derajat dominan lengkap

MR>M+>md. Saat ini, Campbell (1984) telah menemukan gen MB pada itik sebagai pengontrol warna hitam dan merupakan gen paling dominan terhadap

c d

warna lain yang telah diketahui sebelumnya, yaitu MR (restricted), M+ (mallard), dan md (dusky), namun diduga gen MB sama dengan gen E (Lancaster 1993).

Gen pada lokus L adalah gen pengontrol untuk warna terang mengkilap. Lancaster (1993) menyatakan bahwa terdapat 3 gen pengontrol warna terang mengkilap pada itik, yaitu Li+ (fase gelap), li (fase mengkilap), dan lih (fase harlequin). Pada itik AP dan PA, warna terang yang mengkilap tidak muncul. Semua bagian tubuh didominasi warna hitam di bagian punggung dan bercak putih di bagian sayap. Meskipun ada beberapa ekor yang memiliki warna bulu putih di bagian leher dan dada, sebagian besar bagian tubuh lainnya didominasi oleh warna hitam. Hal tersebut memunculkan dugaan bahwa warna hitam bulu itik AP dan PA dikontrol oleh gen E atau MB, sedangkan kilapan warna pada itik AP dan PA dikontrol oleh gen lih.

Induk itik AP dan PA adalah alabio dan peking. Itik alabio memiliki variasi warna bulu dominan cokelat dengan variasi biru, ungu, dan hijau pada sayap. Gen pengontrol warna bulu itik alabio adalah M+ dengan warna dilusi (d) sehingga diduga genotipenya adalah bi+/bi+ d/d yang mengekspresikan warna bulu cokelat yang seragam. Gen d adalah resesif dan terkait kelamin. Itik peking yang merupakan keturunan Indian Runner memiliki gen R dalam keadaan heterosigot, yaitu Rr+ dengan ekspresi warna bulu putih (Jaap 1933), namun apabila R bertemu dengan warna dilusi, maka zuriatnya akan menghasilkan warna hitam dan putih yang hanya muncul sebagian kecil saja.

Kualitas Telur Itik

Kualitas telur itik AP dan PA yang diamati adalah telur yang pertama kali dikeluarkan. Tujuannya adalah untuk mengetahui kualitas telur apabila akan ditetaskan untuk menjadi bibit. Hasil pengukuran terhadap kualitas telur itik AP dan PA tercantum pada Tabel 2.

35

Tabel 2 Rataan ± S.E kualitas telur pertama itik AP dan PA

Peubah Itik AP (n = 90 butir) Itik PA (n = 90 butir) ... g ………..……. Bobot telur 62.58A ± 1.00 62.64A Bobot kuning telur

± 0.80 17.86A ± 0.41 17.07A Bobot putih telur

± 0.39 37.14A ± 0.53 38.04A Bobot kerabang basah

± 0.42 7.87A ± 0.11 7.52B Bobot kerabang kering

± 0.08 6.57a ± 0.09 6.27b ± 0.07 Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01); Huruf kapital superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0.05); S.E = standar error

Bobot telur dan bobot kerabang merupakan indikator utama yang menjadi bahan pertimbangan dalam proses penetasan. Bobot telur pertama itik AP tidak berbeda dari itik PA, yaitu masing 62.58±1.00 dan 62.64±0.80 g. Peubah bobot telur akan menentukan bobot tetas. Telur-telur yang ditetaskan berasal dari itik- itik yang telah mengalami masa produksi minimal 3 bulan agar diperoleh DOD yang sehat dan kuat. Selain itu, bobot telur yang pertama dikeluarkan biasanya relatif rendah, sehingga apabila telur-telur tersebut ditetaskan, maka akan diperoleh DOD yang lemah dan rentan terhadap penyakit. Pada masa produksi 3 bulan, bobot telur relatif stabil dan seragam sehingga akan dihasilkan bobot DOD yang seragam pula.

Bobot telur yang tidak berbeda antara itik AP dan PA berhubungan dengan bobot kuning dan bobot putih telur itik AP dan PA yang tidak berbeda pula (Tabel 2). Bobot kerabang itik AP berbeda dari itik PA, terutama bobot kerabang kering. Hal ini mungkin merupakan suatu indikasi bahwa itik-itik yang berproduksi telur tinggi memiliki bobot kerabang telur yang tinggi pula.

Pola Rontok Bulu

Kejadian rontok bulu selalu diawali dengan berhenti bertelur yang diikuti dengan rontok bulu dalam kondisi berhenti bertelur selama beberapa hari kemudian bertelur kembali. Urutan kejadian rontok bulu dengan berhenti bertelur dan bertelur kembali tercantum pada Gambar 9.

Lama berhenti bertelur

Produksi telur Berhenti Rontok bulu Berhenti Bertelur kembali Gambar 9 Pola rontok bulu itik AP dan PA.

Pola rontok bulu dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian Purba et al. (2005) yang mengamati pola rontok bulu pada itik alabio dan mojosari. Kejadian rontok bulu yang selalu diawali dengan berhenti bertelur mungkin sebagai akibat dari mulai mengecilnya organ saluran reproduksi sehingga tidak ada telur yang dihasilkan (Berry 2003; Park et al. 2004). Periode berhenti bertelur akibat rontok bulu dihitung dalam hari dan dinyatakan sebagai lamanya berhenti bertelur.

Glatz (2001) menyatakan bahwa lamanya periode rontok bulu dapat dipengaruhi oleh galur, spesies, dan status nutrisi. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini digunakan kelompok hasil persilangan berbeda, yaitu itik AP dan PA untuk mengetahui pengaruh galur pada lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu secara genetis. Hasil pengamatan lamanya berhenti bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu, serta waktu mulai terjadinya rontok bulu tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3 Rataan ± S.E waktu mulai terjadinya rontok bulu, lamanya berhenti bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu itik AP dan PA

Peubah Itik AP (n = 21 ekor) Itik PA (n = 45 ekor)

Waktu mulai rontok (hari ke-) 135.10a ± 17.21 129.18a Lamanya berhenti bertelur :

± 11.67

- Sebelum rontok (hari) - Setelah rontok (hari) - Total hari berhenti

bertelur (hari) 12.80a ± 1.50 36.70a ± 4.64 48.57a 14.56 ± 5.01 a ± 1.23 54.00b ± 7.44 69.00b ± 8.11

Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P < 0.05)

Waktu mulai terjadinya rontok bulu pada itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu masing-masing pada hari ke-135.10±17.21 dan 129.18±11.67 yang dihitung sejak itik pertama kali bertelur. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa waktu mulai terjadinya rontok bulu relatif lambat, yaitu pada minggu ke-17 dan 18

37

masing-masing pada itik PA dan AP. Ellis (2004) menyatakan bahwa pada umumnya rontok bulu terjadi pada minggu ke-6 setelah produksi pertama.

Lamanya berhenti bertelur sebelum rontok bulu pada itik AP dan PA tidak berbeda, yaitu masing-masing 12.80±1.50 vs 14.56±1.23 hari, namun lamanya berhenti bertelur setelah rontok bulu berbeda nyata antara itik AP dan PA, yaitu masing-masing 36.70±4.64 vs 54.00±7.44 hari. Perbedaan lamanya berhenti bertelur setelah rontok bulu menyebabkan total lama berhenti bertelur juga berbeda, yaitu 48.57±5.01 vs 69.00±8.11 hari masing-masing pada itik AP dan PA. Lama berhenti bertelur yang pendek pada itik AP merupakan sinyal bahwa itik AP memiliki potensi produksi telur yang lebih baik dibandingkan dengan itik PA. Hasil pengamatan ini juga mendapatkan bahwa lamanya berhenti bertelur adalah relatif pendek baik pada itik AP maupun itik PA karena Purba et al. (2005) memperoleh lama berhenti bertelur pada itik alabio dan mojosari berturut- turut adalah 90.70 dan 90.90 hari.

Terjadinya rontok bulu yang relatif lambat dan dalam periode yang pendek ini menunjukkan bahwa persilangan itik alabio dan peking dapat diharapkan sebagai sumber bibit induk untuk menghasilkan itik-itik dengan sifat rontok bulu yang terkendali, yaitu terjadinya rontok bulu yang lambat dan dalam periode yang pendek. Informasi ini belum lengkap karena belum dikaitkan dengan produksi telur sebagai sifat utama dalam usaha peternakan. Oleh karena itu, analisis dilanjutkan dengan menghubungkan sifat rontok bulu dengan produksi telur. Hasil pengamatan produksi telur selama 48 minggu pada itik yang mengalami rontok bulu dan tidak rontok bulu tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4 Produksi telur selama 48 minggu itik AP dan PA yang mengalami rontok bulu dan tidak rontok bulu

Kondisi itik Jumlah itik (ekor) Produksi telur (%) Itik AP Itik PA Itik AP Itik PA

rataan ± S.E Itik rontok 21 45 62.18 a ± 3.30 63.86 a Belum rontok sampai

48 minggu

± 2.71 62 42 86.48b ± 1.28 83.15b ± 1.67 Huruf superskrip yang berbeda (a dan b) pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada taraf P<0.01, S.E = standar eror

Produksi telur itik yang belum mengalami rontok bulu sampai pengamatan 48 minggu sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu. Hal ini terjadi pada kedua kelompok itik AP dan PA. Produksi telur itik AP dan PA yang belum mengalami rontok bulu sampai 48 minggu sangat nyata lebih tinggi dibandingkan dengan itik yang rontok bulu sebelum 48 minggu, yaitu berturut-turut 86.18 vs 61.92%; dan 83.15 vs 63.86%. Perbedaan produksi ini menunjukkan bahwa kejadian rontok bulu sangat mempengaruhi produksi telur. Oleh karena itu, seleksi diperlukan untuk memilih individu-individu yang akan diperbanyak untuk menghasilkan keturunan dengan rontok bulu yang lambat. Seleksi individu berdasarkan muncul tidaknya rontok bulu pada periode produksi dapat dilakukan dengan pemisahan itik-itik yang mengalami rontok bulu dari itik-itik lain yang belum mengalami rontok bulu. Seleksi berdasarkan sifat kualitatif ini dapat diaplikasikan di tingkat peternak.

Kenyataan di lapangan bahwa para peternak masih mempertahankan dan memperjualbelikan itik-itik yang sudah mengalami rontok bulu dengan harapan masih dapat menghasilkan telur yang tinggi. Hal ini menunjukkan upaya seleksi perlu dilakukan untuk pemilihan itik-itik yang masih memiliki produksi telur relatif tinggi meskipun telah mengalami rontok bulu. Oleh karena itu, peubah rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur perlu dicari sebagai kriteria seleksi. Pada penelitian ini diamati peubah-peubah rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur, yaitu frekuensi rontok bulu, waktu mulai terjadinya rontok bulu, lama berhenti bertelur, dan konsentrasi hormon prolaktin pada saat rontok bulu.

Frekuensi Rontok Bulu

Hasil pengamatan selama periode produksi 48 minggu menunjukkan adanya itik-itik yang mengalami rontok bulu, namun ada pula yang belum menunjukkan rontok bulu. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dibuat dua kelompok itik, yaitu (a) kelompok itik yang mengalami rontok dan (b) itik yang belum rontok sampai produksi telur 48 minggu. Jumlah ternak pada kedua kelompok, frekuensi rontok bulu, dan lamanya rontok bulu tercantum pada Tabel 5.

39

Tabel 5 Jumlah ternak, frekuensi dan lamanya rontok bulu itik betina AP dan PA Waktu dan frekuensi mulai rontok bulu Itik AP Itik PA

……..…Ekor (%)……….. (a)Itik yang mengalami rontok 21 (23.33) 45 (50.00)

Rontok 3 kali 0 4 (4.44)

Rontok 2 kali 3 (3.33) 13 (14.44)

Rontok 1 kali 18 (20.00) 28 (31.11)

(b)Belum rontok sampai 48 minggu 62 (68.89) 42 (46.67)

Mortalitas 7 (7.78) 3 (3.33)

Itik PA, yaitu hasil persilangan jantan peking dengan betina alabio, lebih banyak mengalami kejadian rontok bulu dibandingkan dengan itik AP sebagai hasil persilangan antara jantan alabio dengan betina peking. Sebanyak 50.00% (45/90) itik PA mengalami rontok bulu selama masa pengamatan 48 minggu, sedangkan pada itik AP kejadian rontok bulu hanya muncul sebanyak 23.33% (21/90). Mayoritas kejadian rontok bulu adalah satu kali masing-masing 20.00 % (18/90) untuk itik AP dan 31.11 % (28/90) untuk itik PA, namun pada itik PA ada yang mengalami rontok bulu dua kali, yaitu 14.44% (13/90) dan 4.44% (4/90) mengalami rontok bulu tiga kali. Selama masa pengamatan terdapat mortalitas sebanyak 7.78 % (7/90) pada itik AP dan 3.33 % (3/90) pada itik PA.

Hasil pengamatan atas jumlah ternak berdasarkan kejadian rontok bulu pada populasi itik AP dan PA menunjukkan kecenderungan bahwa kejadian rontok bulu dipengaruhi oleh maternal effect (pengaruh induk). Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Dun et al. (1998) yang menyatakan bahwa sifat mengeram dipengaruhi oleh gen terpaut kelamin pada kromosom Z karena kejadian rontok bulu pada itik AP lebih sedikit dibandingkan itik PA. Hal ini mungkin terkait gen kelamin, namun pada kromosom W. Pendugaan ini berdasarkan bahwa induk itik betina alabio sebagai pembawa rontok berpengaruh pada anaknya, yaitu PA yang mengalami rontok bulu lebih banyak dan lebih sering, sedangkan itik peking, sebagai induk betina dari itik AP, memiliki sifat rontok bulu lambat dan menghasilkan keturunan dengan sifat rontok bulu lambat juga (Tabel 5).

Apabila diduga bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh 2 gen dominan autosomal tidak lengkap yang saling menghilangkan (AA sebagai penyebab rontok bulu dan BB sebagai penghambat rontok bulu) dan dipengaruhi oleh lingkungan, maka diprediksi kejadian rontok bulu pada hasil persilangan lebih kecil dibandingkan dengan kejadian rontok bulu pada tetua itik alabio (asumsi ≤ 50%). Pada penelitian ini, kejadian rontok bulu pada kedua genotipe berada di bawah 50%, yaitu 23.33% pada AP dan 50.00% pada PA sehingga konsisten dengan pola pewarisan sifat mengeram pada ayam yang dipengaruhi oleh paling sedikit 2 gen dominan autosomal tidak lengkap yang saling menghilangkan (Romanov et al. 2002). Hasil pengamatan ini belum lengkap sehingga perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut dengan melakukan persilangan backcross antara F1 jantan dengan Peking betina untuk menghasilkan populasi F2.

Kromosom kelamin unggas adalah ZZ (homogametik) pada jantan dan ZW (heterogametik) pada betina (Noor 2010). Sifat rontok bulu, selain dipengaruhi oleh gen dominan autosomal tidak lengkap, berhubungan pula dengan gen terpaut kelamin pada kromosom Z (Dun et al. 1998; Romanov et al. 2002). Oleh karena itu, program seleksi dengan tujuan mengendalikan sifat rontok bulu harus melibatkan kelompok pejantannya dengan membentuk reference family. Hal ini akan memudahkan dalam menentukan genotipe sifat rontok bulu yang berasal dari induk dan pejantannya.

Penentuan frekuensi rontok bulu sebagai peubah yang dapat digunakan sebagai kriteria dalam program seleksi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi telur memerlukan analisis hubungan antara frekuensi rontok bulu dengan lamanya berhenti bertelur dan produksi telur. Hasil analisis keterkaitan frekuensi rontok bulu dengan lamanya berhenti bertelur tercantum pada Tabel 6, sedangkan hasil analisis keterkaitan frekuensi rontok bulu dengan produksi telur tercantum pada Tabel 7.

41

Tabel 6 Rataan ± S.E lama berhenti bertelur itik AP dan PA berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda

Frekuensi rontok bulu

Lamanya berhenti bertelur per kejadian rontok (hari)

Total lamanya berhenti bertelur

(hari) Itik AP Itik PA Itik AP Itik PA Rontok ke-1 Rontok ke-2 Rontok ke-1 Rontok ke-2 Rontok ke-3 1 kali 44.67±5.19 59.46±9.97 44.67B±5.19 59.46B 2 kali ±9.97 27.33a±4.18 44.67b±11.89 35.08a±4.91 33.92a±7.53 72.00A±7.77 69.00AB 3 kali ±10.63 - - 37.33a±2.33 31.67a±5.78 30.67a±11.35 - 99.67A±16.02

Huruf kecil superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0.01); Huruf besar superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P < 0.05); S.E = standar error

Frekuensi rontok bulu tiga kali pada itik PA secara nyata menyebabkan periode berhenti bertelur yang lebih lama, yaitu 99.67±16.02 hari, jika dibandingkan dengan itik yang mengalami rontok bulu satu kali, yaitu 59.46±9.97 hari, tetapi tidak berbeda dari itik-itik yang mengalami rontok dua kali dengan

Dokumen terkait