• Tidak ada hasil yang ditemukan

bertelur yang berbeda 73 13 Sidik ragam konsentrasi hormon prolaktin sedang bertelur dan rontok

PEMBAHASAN UMUM

Salah satu pemicu rontok bulu adalah stress. Akibat dari stress tersebut akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi hormon prolaktin dalam darah. Akibat dari tingginya konsentrasi hormon prolaktin menyebabkan 2 hal yang saling berkaitan yaitu berhenti bertelur dan rontok bulu.

Berhenti bertelur yang terjadi karena tingginya konsentrasi hormon prolaktin akan menghambat sekresi FSH dan LH yang pada gilirannya tidak terjadi pembentukan telur atau berhenti bertelur. Selain itu, hormon prolaktin berperan dalam mengatur metabolisme lemak dalam saluran reproduksi. Pada kondisi stress itik hanya sedikit mengkonsumsi pakan, sehingga bobot badannya berkurang, termasuk menyusutnya jaringan otot dan jaringan lemak. Hal ini menyebabkan kurangnya suplai lemak ke hati sebagai salah satu depot lemak sehingga ukuran hati menjadi kecil seperti itik-itik dara yang belum bertelur. Penyusutan ukuran hati berdampak pada ovarium yang mengalami regress. Hal ini terjadi karena ovarium mendapat suplai lemak secara langsung dari hati untuk membentuk kuning telur. Metabolisme lemak dalam pembentukan telur diatur oleh hormon endokrin, salah satunya adalah hormon prolaktin. Penyusutan ovarium pada gilirannya menyebabkan tidak ada telur yang diproduksi atau berhenti bertelur. Kadar hormon prolaktin yang tinggi, selanjutnya akan merangsang pertumbuhan bulu-bulu baru.

Ketika proses pertumbuhan bulu terjadi, maka kadar hormon prolaktin berangsur-angsur mengalami penurunan. Sehingga pada saat rontok bulu yaitu lepasnya bulu-bulu lama karena terdorong oleh pertumbuhan bulu-bulu baru, maka konsentrasi hormon prolaktin berada pada level yang paling rendah. Akibat dari rendahnya konsentrasi hormon prolaktin, selanjutnya akan merangsang sekresi hormon FSH dan LH, sehinga proses pembentukan telur akan dimulai kembali.

Ketahanan terhadap stress setiap individu berbeda-beda yang berakibat bervariasinya kejadian rontok bulu pada masing-masing individu. Hal ini menunjukkan adanya variasi genetik, sehingga dapat disimpulkan bahwa sifat rontok bulu dikontrol oleh gen. Selain itu, hasil analisis regresi dan korelasi

menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu, maka diduga semakin tinggi pula produksi telurnya selama 48 minggu. Hal ini terjadi karena dalam produksi telur yang semakin tinggi, semakin tinggi pula hormon prolaktin yang diperlukan untuk proses pembuatan kerabang. Korelasi yang tinggi antara hormon prolaktin, yang diukur pada periode rontok bulu dengan produksi telur mendukung dugaan gen prolaktin sebagai pengontrol sifat rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur. Dalam penelitian ini belum diperoleh konsentrasi prolaktin tertinggi yang menghambat pembentukan telur, sehingga penelitian perlu dilanjutkan untuk memperoleh informasi tersebut melalui pengukuran hormon prolaktin per satuan waktu tertentu dalam kondisi mulai berhenti bertelur sebelum rontok bulu dan selama periode rontok bulu.

Terjadi tidaknya rontok bulu bergantung pada daya tahan masing-masing individu terhadap stress sebagai pemicu terjadinya rontok bulu. Selama 48 minggu periode produksi, rontok bulu tidak selalu terjadi pada 180 ekor individu itik yang diamati. Pada itik AP hanya 23.33% (21/90 ekor) dan PA sekitar 50% (45/90 ekor) yang mengalami rontok bulu. Berdasarkan jumlah ternak yang mengalami rontok bulu pada populasi itik AP dan PA, maka diduga bahwa kejadian rontok bulu dipengaruhi oleh maternal effect (pengaruh induk). Pendugaan ini berdasarkan bahwa induk itik betina alabio sebagai pembawa rontok berpengaruh pada anaknya, yaitu PA yang mengalami rontok bulu lebih banyak dan lebih sering, sedangkan itik peking, sebagai induk betina dari itik AP, memiliki sifat rontok bulu lambat dan menghasilkan keturunan dengan sifat rontok bulu lambat juga. Hasil pengamatan ini belum lengkap sehingga perlu dibuktikan melalui penelitian lebih lanjut dengan melakukan persilangan backcross antara F1 jantan dengan Peking betina untuk menghasilkan populasi F2.

Mayoritas itik-itik mengalami rontok bulu satu kali, meskipun pada itik PA ada yang mengalami sampai 3 kali. Kejadian rontok bulu sangat nyata mempengaruhi tingkat produksi telur selama 48 minggu, yaitu 86.48±1.28 vs 62.18±3.30% pada itik AP dan 83.15±1.67 vs 63.86±2.71% pada itik PA. Dapat diasumsikan bahwa berdasarkan muncul tidaknya rontok bulu, maka program seleksi dapat dilakukan sebagai salah satu upaya pengendalian sifat rontok bulu.

59

Pada kelompok itik yang mengalami rontok bulu, dengan rataan produksi telur 62.18±3.30 dan 63.86±2.71% masing-masing pada itik AP dan PA, masih memungkinkan untuk dilakukan seleksi karena variasi produksi telur yang relatif tinggi. Kriteria seleksi dapat ditentukan dengan mengevaluasi peubah-peubah yang berkaitan dengan sifat rontok bulu dan produksi telur. Pada penelitian ini dievaluasi peubah frekuensi terjadinya rontok bulu, waktu mulai terjadinya rontok bulu dan lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu.

Peubah frekuensi rontok bulu tidak berpengaruh pada produksi telur sehingga peubah frekuensi rontok bulu tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur. Waktu mulai terjadinya rontok bulu berpengaruh pada produksi telur. Itik-itik yang mengalami kejadian rontok bulu di awal (< hari ke-60) dan di akhir periode produksi (> hari ke-301) memiliki produksi telur yang relatif tinggi, yaitu 68.06 dan 71.13% pada itik AP, sedangkan pada itik PA adalah sebesar 66.65 dan 79.47%. Namun, peubah waktu mulai terjadinya rontok bulu berkorelasi rendah dengan produksi telur sehingga tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Peubah lain, yaitu lamanya berhenti bertelur, diamati untuk mencari peubah rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur yang akan dijadikan sebagai kriteria seleksi dalam memilih individu-individu dengan potensi telur tinggi dan sifat rontok bulu yang sudah terkendali. Itik-itik dengan lamanya berhenti bertelur selama kurang dari 60 hari masih berproduksi tinggi, yaitu 68,13% pada itik AP dan 73,42% pada itik PA. Hal ini menunjukkan bahwa itik-itik yang mengalami rontok bulu masih dapat dipertahankan, apabila lamanya berhenti bertelur kurang dari 60 hari, karena masih mampu berproduksi sekitar 70% sebagai patokan produksi tinggi jika dibandingkan rata-rata produksi itik lokal yang masih berkisar antara 60 sampai 65% per tahun.

Upaya pengendalian rontok bulu secara genetis dapat dilakukan dengan persilangan antara itik yang memiliki potensi sifat rontok bulu tinggi (alabio) dengan itik yang berpotensi rontok bulunya rendah (peking). Itik AP sebagai hasil persilangan itik alabio jantan dengan peking betina ternyata menunjukkan nilai heterosis yang relatif tinggi pada sifat lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok bulu (-23.29%) dan produksi telur (29.96%). Oleh karena

itu, itik AP ini dapat digunakan sebagai inisiasi untuk pembentukan galur baru itik yang berproduksi telur tinggi dengan sifat rontok bulu yang sudah terkendali. Pembentukan galur baru dapat dilakukan dengan memanfaatkan keragaman lamanya berhenti bertelur dan produksi telur yang masih tinggi di dalam populasi itik AP. Hasil persilangan ini pun menunjukkan keunggulan itik Alabio yang mampu mengekspresikan tujuan dari penelitian ini yaitu mempelajari pola pewarisan sifat rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur. Keunggulan ini ditunjukkan dengan nilai heterosis yang relatif tinggi pada sifat lamanya berhenti bertelur dan produksi telur.

Program pemuliaan yang dapat dilakukan adalah melalui seleksi dalam 2 tahap, yaitu (a) tahap I berdasarkan sifat kualitatif dengan kriteria muncul tidaknya rontok bulu pada periode produksi dan (b) tahap II melakukan seleksi pada kelompok itik yang sudah mengalami rontok bulu berdasarkan sifat kuantitatif, yaitu kriteria lamanya berhenti bertelur tidak lebih dari 60 hari dan waktu mulai terjadinya rontok bulu di awal (< hari ke-60) atau di akhir periode produksi (> hari ke-301). Kedua peubah tersebut terbukti berkaitan erat dengan produksi telur. Namun, analisis pendugaan parameter genetik seperti nilai heritabilitas dan korelasi genetik kedua peubah perlu dilakukan dalam menentukan kriteria seleksi dengan tujuan meningkatkan produksi telur. Seleksi hanya dilakukan pada individu-individu betina, sedangkan pejantan diperoleh dari keturunan betina-betina terseleksi.

Generasi berikutnya dihasilkan melalui perkawinan inter se (jantan dan betina satu generasi) dengan harapan akan diperoleh galur baru dengan keragaman sifat yang rendah (<5%) sehingga dapat disebut galur baru yang “mantap” atau “stabil”. Pada gilirannya, galur-galur baru tersebut akan berperan sebagai bibit itik unggul untuk mendukung intensifikasi dan memenuhi permintaan yang tinggi terhadap itik petelur dan pedaging dapat segera terpenuhi.

61

Dokumen terkait