KETERKAITAN GENETIS SIFAT RONTOK BULU DENGAN
PRODUKSI TELUR PADA ITIK ALABIO DAN ITIK PEKING
TRIANA SUSANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Keterkaitan
Genetis Sifat Rontok Bulu dengan Produksi Telur pada Itik Alabio dan Itik
Peking” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, September 2012
Triana Susanti
ABSTRACT
TRIANA SUSANTI. The Relationship Between Molting and Egg Production
Genetically on Crossbred Alabio and Peking Duck. Under direction of RONNY
R. NOOR, PENI S. HARDJOSWORO, and L. HARDI PRASETYO.
Molting is a natural phenomenon on all adult female birds related to egg
production, but the extent of its effects on egg production has not been known. An
experiment was conducted to study the nature of the genetic relationship between
molting and egg production, to study the effect of the prolactin hormone
concentration on the molting and egg production, and to get an alternative way
of controlling the molting in ducks. The research materials were crossbred Alabio
and Peking ducks i.e AP ( Alabio
♂ x Peking ♀) and PA (Peking ♂ x Alabio ♀)
,
10 males and 90 females, respectively, with the total number of 200 birds. The
variables measured were the pattern of molting, frequency, starting time of
molting, duration of stops laying eggs, and the prolactin hormone concentrations
that were associated with the production of eggs for 48 weeks. The results showed
that the mechanism of molting always started with a stop laying, molting, and
laying back. The molting occurence was used to divide the experimental ducks
into two , namely (a) the ducks showing no molting during 48-weeks observation
and (b) ducks showing molting during 48-weeks observation. The average egg
production for 48 weeks in the non-molting ducks were significantly higher than
that in the molting ducks (P <0.01). In the population of molting duck, selection
can still be done, as there are molting individuals with high egg production.
Therefore, the variables associated with molting in egg production should be
sought. The molting frequency does not affect the egg production. The starting
time of molting affect egg production, but its correlation with egg production was
low, so it can not be used as selection criteria. The variables of stop laying affects
egg production for 48 weeks and its correlation with egg production was high, so
the variable of stop laying can be used as selection criteria of molting to increase
egg production. The results of measurements of the concentration of prolactin
hormone is consistent with the production of eggs. The concentration of the
prolactin hormone in AP and PA ducks during the egg-laying period before and
after the molting was very significantly higher than in the period of molting. In
the period before molting, the prolactin hormone concentrations of AP ducks was
higher than that of PA duck. The egg production of AP ducks before molting (0
-16 weeks) was higher than that of the PA ducks. The conclusion is that the
alternative handling of the molting genetically is selection, and its criteria are
whether presence or absence of molting. On the molting duck population,
selection can be done based on the duration of stop laying i.e., less than 60 days
as selection criterion.
RINGKASAN
TRIANA SUSANTI. Keterkaitan Genetis Sifat Rontok Bulu dengan Produksi
Telur pada Itik Alabio dan Itik Peking. Dibimbing oleh RONNY R. NOOR, PENI
S. HARDJOSWORO, dan L. HARDI PRASETYO.
Rontok bulu adalah fenomena alami pada semua unggas betina dewasa yang
berkaitan dengan produksi telur, namun keterkaitan genetis antara rontok bulu
dengan produksi telur belum banyak diketahui. Suatu penelitian telah dilakukan
untuk mempelajari keterkaitan sifat rontok bulu dengan produksi telur secara
genetis, mempelajari pengaruh hormon prolaktin pada sifat rontok bulu dan
produksi telur, dan memperoleh alternatif cara pengendalian sifat rontok bulu
pada itik secara genetis.
Materi penelitian adalah itik hasil persilangan alabio dengan peking, yaitu
itik AP (Alabio
♂ x Peking ♀) dan itik PA (Peking ♂ x Alabio ♀) masing
-masing
berjumlah 10 ekor jantan dan 90 ekor betina yang berasal dari itik alabio dan itik
peking masing-masing berjumlah 7 ekor jantan dan 25 ekor betina, sehingga
jumlah semua ternak adalah 264 ekor. Peubah yang diamati adalah pola, frekuensi
dan waktu mulai terjadinya rontok bulu, lama berhenti bertelur, dan konsentrasi
hormon prolaktin yang dikaitkan dengan produksi telur selama 48 minggu.
Analisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan untuk mengetahui pengaruh peubah
rontok bulu pada produksi telur, sedangkan analisis korelasi dan regresi dilakukan
untuk mengetahui hubungan antara peubah rontok bulu dengan produksi telur
yang akan digunakan sebagai kriteria seleksi untuk meningkatkan produksi telur.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mekanisme rontok bulu selalu diawali
dengan berhenti bertelur, rontok bulu, dan bertelur kembali. Lamanya berhenti
bertelur sebelum rontok pada itik AP tidak berbeda nyata dengan itik PA,
sedangkan lama berhenti bertelur setelah rontok pada itik AP nyata berbeda
dengan itik PA, sehingga total berhenti bertelur yang berkaitan dengan rontok
bulu berbeda nyata antara itik AP dan PA, yaitu masing-masing 48.57 ±5.01 dan
69.00 ±8.11 hari.
Kejadian rontok bulu membentuk dua kelompok itik, yaitu (a) itik yang
belum rontok bulu sampai 48 minggu dan (b) itik yang mengalami rontok bulu.
Itik PA (hasil persilangan peking jantan dengan alabio betina) mengalami rontok
bulu lebih banyak dibandingkan dengan itik AP (hasil persilangan alabio jantan
dengan peking betina), yaitu 50.00 vs 23.33 %. Produksi telur kelompok itik yang
belum rontok sampai 48 minggu sangat nyata lebih tinggi jika dibandingkan
dengan kelompok itik yang mengalami rontok bulu (P < 0.01), yaitu
masing-masing 62.18 ±3.30 vs 86.48 ±1.28% pada itik AP dan 63.86 ±2.71 vs 83.15
±1.67% pada itik PA.
sehingga peubah tersebut dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk
meningkatkan produksi telur.
Hasil pengukuran konsentrasi hormon prolaktin konsisten dengan waktu mulai
terjadinya rontok bulu dan produksi telur. Konsentrasi hormon prolaktin itik AP
dan PA pada periode bertelur sebelum dan setelah rontok sangat nyata lebih tinggi
dibandingkan pada periode rontok bulu. Hasil ini mendukung dugaan bahwa gen
prolaktin sebagai salah satu pengontrol sifat rontok bulu dan produksi telur. Pada
periode bertelur sebelum rontok, konsentrasi hormon prolaktin itik AP lebih tinggi
dibandingkan dengan itik PA, sehingga produksi telur itik AP sebelum rontok
bulu (periode 0-16 minggu) lebih tinggi dibandingkan dengan itik PA.
Alternatif penanganan terhadap sifat rontok bulu adalah seleksi dengan kriteria
muncul tidaknya sifat rontok bulu. Pada populasi itik yang mengalami rontok
bulu, seleksi dapat dilakukan dengan kriteria seleksi lama berhenti bertelur yang
kurang dari 60 hari, karena masih memiliki produksi telur yang relatif tinggi, yaitu
sekitar 70%.
Inisiasi pembentukan bibit itik unggul, yang berproduksi telur tinggi dengan
sifat rontok bulu yang sudah terkendali, dapat memanfaatkan hasil persilangan itik
AP (alabio jantan dan peking betina). Hasil persilangan ini memiliki nilai
heterosis relatif tinggi, yaitu 29.96%.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1.
Dilarang mengutip sebagian dan seluruh karya tulis ini
tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b.
dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB.
KETERKAITAN GENETIS SIFAT RONTOK BULU DENGAN
PRODUKSI TELUR PADA ITIK ALABIO DAN ITIK PEKING
TRIANA SUSANTI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Mayor Ilmu dan Teknologi Peternakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji pada Ujian Tertutup
:
1.
Prof. Dr. Ir. Wasmen Manalu, M.Sc.
2.
Dr. Ir. Rukmiasih, M.Si.
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Keterkaitan Genetis Sifat Rontok Bulu dengan
Produksi Telur pada Itik Alabio dan Itik Peking
Nama
: Triana Susanti
NRP
: D161090091
Program Studi/Mayor : Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (ITP)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Prof. Dr. Ir. Ronny R. Noor, M.Rur.Sc.
Prof. (Em) Dr. Peni S. Hardjosworo, M.Sc.
Anggota
Anggota
Dr. Ir. L. Hardi Prasetyo, M. Agr
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Prof. Dr. Ir. Muladno, M.SA.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini ialah pola pewarisan sifat rontok bulu dan faktor-faktor yang
mempengaruhi rontok bulu dalam hubungannya dengan produksi telur itik,
dengan judul “Keterkaitan Genetis Sifat Rontok Bulu dengan Produksi Telur
pada Itik Alabio dan Peking”. Penelitian telah dilaksanakan sejak Juli 2010
sampai Januari 2012.
Disertasi ini memuat informasi tentang mekanisme rontok bulu yang
dihubungkan dengan produksi telur, peubah-peubah kualitatif dan kuantitatif dari
sifat rontok bulu yang dihubungkan dengan produksi telur, konsentrasi hormon
prolaktin pada periode rontok bulu dan periode produksi telur, serta upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk mengendalikan sifat rontok bulu secara genetis.
Penelitian ini dapat terlaksana dengan lancar berkat dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1.
Komisi Pembimbing dalam penelitian ini, yaitu Prof. Dr. Ir. Ronny Rachman
Noor, M.Rur.Sc. sebagai Ketua Komisi, Prof.(Em) Dr. Drh. Peni S.
Hardjosworo, M.Sc. dan Dr. L. Hardi Prasetyo, M.Agr.Sc., masing-masing
sebagai Anggota Komisi yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga,
pikiran, dan arahan dimulai sejak diskusi awal dalam penentuan ide/topik
penelitian, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, analisis data hingga
penulisan disertasi. Penulis berdoa semoga beliau bertiga selalu diberi
keluasan ilmu, kesehatan dan kemudahan di dalam melaksanakan
tugas-tugasnya dan amal baiknya saat ini dicatat oleh Allah SWT sebagai amal
jariyah.
2.
Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA, yang senantiasa memberikan
dukungan, dorongan motivasi, dan segala kemudahan dalam setiap
pelaksanaan tahapan akademik yang harus penulis jalani.
3.
Prof (R). Dr. Ir. Sofjan Iskandar, M.Rur.Sc. dan Prof (R). Dr. Ir. I Wayan
Mathius, M.Sc. yang membantu memperlancar penyediaan fasilitas penelitian
di Balitnak, Dr. Elizabeth Wina, M.Sc. yang telah membantu penulis untuk
mengikuti pelatihan molekuler dan analisis statistiknya di India dan Italia, Dr.
Bram Brahmantiyo, Dr. Maijon Purba, dan Soni Sopiyana, S.Pt. MP yang
telah memberikan motivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan studi.
4.
Ibu Nurjayanti, MSc. dan Ibu Arini dari Badan Litbang Pertanian yang telah
banyak membantu kelancaran penulis ketika melakukan penelitian di
Linkoping, Swedia.
5.
Prof (R). Dr. Ir. Ismeth Inounu, M.Si. dan Ibu Rahmawati Pulungan yang telah
membantu untuk publikasi.
6.
Prof. Dr. Laba Mahaputra dan Ibu Ida, Laboratorium Endokrinologi,
Departemen Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga,
Surabaya, yang telah memberikan bantuan teknis analisis hormon prolaktin
itik.
8.
Rekan seangkatan di Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
tahun 2009, yaitu Ibu Nena Hilmia, Ibu Lia Budimulyati Salman, Ibu Nova
Rugayah, Ibu Yurleni, Ibu Tiltje Ransalele, Ibu Lucia, dan Bapak Hasil
Tamsil, yang telah saling bantu dalam memperdalam dan memperkaya
wawasan ilmu, serta saling memberikan dukungan dan semangat dalam
penyelesaian studi.
9.
Orang-orang terdekat dan terkasih, yaitu Ayahnda (alm) R.M. Yusman
Natadisastra, Ibunda Hj. Ny.R.Lengganingrum, S.Pd, Ayahanda Mertua (Alm)
Drs. Iman Slamet dan Ibunda Mertua (Alm) Hj. E. Kasiri yang senantiasa
mendorong dan memberikan dukungan serta doa sehingga kesulitan yang
penulis hadapi menjadi mudah dan ringan. Suamiku, Dicky Muchtar Budiman,
S.E yang telah memberikan kelonggaran hati melalui pengertian,
pengorbanan, kesabaran, dukungan, dan dorongan serta doa yang tiada henti,
menjaga semangat dan motivasi penulis, meringankan dan memudahkan
penulis dalam berkonsentrasi di semua tahapan studi S-3 ini. Kepada Ananda
Muhammad Dzaki Maulana Ibrahim, Muhammad Rizky Amirulloh, dan Zahra
Hanifah Budiman semoga semua ini dapat menjadi dorongan motivasi untuk
berupaya keras meraih apa yang menjadi cita-citanya.
Besar harapan saya, karya ilmiah ini dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan bermanfaat bagi
pembangunan peternakan di Indonesia.
Bogor, September 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 8 Agustus 1967
sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara dari pasangan R.M. Yusman
Natadisastra (Alm) dan Ny.R.Lengganingrum. Pendidikan sarjana ditempuh di
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, Bandung, lulus pada tahun 1992.
Pada tanggal 3 September 1994, penulis menikah dengan Dicky Muchtar
Budiman, SE dan dikaruniai 2 orang putra dan 1 orang putri bernama Muhammad
Dzaki Maulana Ibrahim, Muhammad Rizky Amirulloh, dan Zahra Hanifah
Budiman.
Pada tahun 2000, penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada
Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun
2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Program
Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan (ITP) pada perguruan
tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian, Republik Indonesia.Penulis mulai bekerja sebagai staf peneliti di Balai
Penelitian Ternak, Ciawi Bogor sejak tahun 1993. Tahun 2008-2009 penulis
dipercaya sebagai Kepala Seksi Jasa Penelitian di Balai Penelitian Ternak di
samping sebagai pejabat fungsional Peneliti Muda dalam Bidang Pemuliaan dan
Genetika Ternak, khususnya ternak unggas (itik).
Selama mengikuti program pendidikan S-3, karya tulis ilmiah berjudul
“
Keterkaitan Kejadian dan Lamanya Rontok Bulu terhadap Produksi Telur
Itik Hasil Persilangan Peking dengan Alabio
” telah diterbitkan pada
Jurnal
Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV)
Bulan Juni 2012 Volume 17 Nomor 2. Artikel
lain yang berjudul “
Pendugaan Nilai Heterosis Sifat Rontok Bulu Pada Itik
Hasil Persilangan Alabio dan Peking”
submitted
ke
Jurnal Ilmu Ternak dan
Veteriner (JITV),
“
Relationship Between The Prolactin Hormone Level With
Molting and Duck Egg Production”
akan diterbitkan di
Journal of the
Indonesian Tropical Animal Agriculture
(JITAA) edisi September 2012 Volume
37 No.3, dan
Pertumbuhan
Starter
dan
Grower
Itik Hasil Persilangan
xix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ...
xix
DAFTAR TABEL ...
xxi
DAFTAR GAMBAR ...
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ...
xxv
PENDAHULUAN ………..
1
Latar Belakang ……….
1
Kerangka Pemikiran ………
4
Tujuan Penelitian ……….
5
Manfaat Penelitian ………...
7
Hipotesis ………..
7
TINJAUAN PUSTAKA ……….
9
Asal Usul Itik di Indonesia ………
9
Itik Alabio ………..
10
Itik Peking ………..
11
Persilangan dan Heterosis ………..
12
Seleksi ………
13
Pertumbuhan Bulu ……….
14
Sifat Rontok Bulu ………..
18
Hormon Prolaktin ………..
20
Pola Pewarisan Sifat Rontok Bulu ……….
21
BAHAN DAN METODE ………...
23
Waktu dan Tempat Penelitian ………...
23
Materi Penelitian ………...
23
Analisis Data ……….
26
HASIL DAN PEMBAHASAN ………..
29
Ciri-ciri Biologis Itik AP dan PA ……….
29
Bobot Badan ……….
29
Konsumsi dan Konversi Ransum ……….
32
Warna Bulu ………...
32
Kualitas Telur Itik ……….
34
Pola Rontok Bulu ……….
35
Frekuensi Rontok Bulu ……….
38
Waktu Mulai Terjadinya Rontok Bulu dan Produksi Telur ……….
42
Lamanya Berhenti Bertelur dan Produksi Telur ………...
45
Konsentrasi Hormon Prolaktin ……….
47
Produksi Telur ………..
49
Alternatif Cara Pengendalian Rontok Bulu Secara Genetis ……….
53
SIMPULAN DAN SARAN ………
61
Simpulan ………...
61
Saran ……….
62
DAFTAR PUSTAKA ……….
63
xxi
DAFTAR TABEL
Halaman
1.
Konsumsi dan konversi ransum pada masa
starter
dan
grower
itik AP
dan PA ………
32
2.
Rataan ± S.E kualitas telur pertama itik AP dan PA ………..
35
3.
Rataan ± S.E waktu mulai terjadinya rontok bulu, lamanya berhenti
bertelur sebelum dan sesudah rontok bulu itik AP dan PA ………
36
4.
Produksi telur selama 48 minggu itik AP dan PA yang mengalami
rontok bulu dan tidak rontok bulu ………..
37
5.
Jumlah ternak, frekuensi dan lamanya rontok bulu itik betina AP dan
PA ………...
39
6.
Rataan ± S.E lama berhenti bertelur itik AP dan PA berdasarkan
frekuensi rontok bulu yang berbeda ………..
41
7.
Rataan ± S.E produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu
berdasarkan frekuensi rontok bulu yang berbeda ………...
42
8.
Koefisien korelasi, persamaan regresi dan koefisien determinasi antara
waktu mulai terjadinya rontok bulu dengan produksi telur 48 minggu
pada itik AP dan PA ………...
44
9.
Rataan ± S.E produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu
berdasarkan lama berhenti bertelur yang berbeda ………..
45
10.
Koefisien korelasi, persamaan regresi dan koefisien determinasi antara
lamanya berhenti bertelur akibat rontok bulu dengan produksi telur
selama 48 minggu pada itik AP dan PA ………
47
11.
Konsentrasi hormon prolaktin itik sedang bertelur, rontok bulu dan
bertelur kembali pada itik hasil persilangan PA dan AP ………
48
12.
Produksi telur itik AP dan PA selama 48 minggu pengamatan ……….
49
13.
Lama berhenti bertelur dan produksi telur 30 minggu pada itik alabio,
peking dan hasil persilangan resiprokalnya ………...
53
14.
Nilai heterosis (%) lama berhenti bertelur yang mengakibatkan rontok
xxiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1.
Diagram alur kerangka pemikiran………...
6
2.
Penyebaran
pterylae
pada itik (a) dan ayam (b) ……….
15
3.
Bagian-bagian bulu itik dewasa terdiri atas bulu kontur (a) dan bulu
halus (
down feather
) (b)………..
16
4.
Siklus pertumbuhan bulu yang dimulai pada (a) fase istirahat (fase
telogen); (b) fase anagen awal (pertumbuhan bulu baru) dan (c) fase
anagen akhir (lepasnya bulu lama dan munculnya bulu baru pada
epidermis) ………...
17
5.
Pola pewarisan sifat mengeram pada persilangan resiprokal antara
ayam white leghorn jantan dengan bantam betina (a), bantam jantan
dengan white leghorn betina (b), dan persilangan
backcross
F1 jantan
dengan white leghorn betina (c) ………...
22
6.
Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk
evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur ………
23
7.
Laju pertumbuhan itik AP dan PA masing-masing sebanyak 90 ekor
pada umur DOD sampai 16 minggu………
31
8.
Penampilan itik alabio (a), peking (b), PA (c) dan AP (d) …………...
33
9.
Pola rontok bulu itik AP dan PA ………
36
10.
Produksi telur selama 48 minggu pada itik AP dan PA berdasarkan
waktu mulai terjadinya rontok bulu yang berbeda ……….
43
11.
Hubungan antara lamanya berhenti bertelur yang mengakibatkan
rontok bulu dengan produksi telur pada itik AP dan PA ………
46
12.
Trend
produksi telur (a) dan konsentrasi hormon prolaktin (b) pada
itik AP dan PA……….
51
13.
Konsentarasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu dengan
xxv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Rataan bobot badan masa
starte
r dan
grower
itik AP dan PA ………...
69
2.
Sidik ragam konsumsi dan konversi ransum masa
starter
itik AP dan
PA ………...
69
3.
Sidik ragam konsumsi dan konversi ransum masa
grower
itik AP dan
PA …...
70
4.
Sidik ragam kualitas telur pertama itik AP dan PA ………...
70
5.
Sidik ragam waktu mulai terjadinya rontok bulu itik AP dan PA ……..
71
6.
Sidik ragam lamanya berhenti bertelur itik AP dan PA ……….
71
7.
Sidik ragam produksi telur itik AP yang rontok dan tidak rontok …….
72
8.
Sidik ragam produksi telur itik PA yang rontok dan tidak rontok …….
72
9.
Sidik ragam produksi telur 48 minggu itik AP berdasarkan frekuensi
rontok bulu yang berbeda ………..
72
10.
Sidik ragam produksi telur 48 minggu itik PA berdasarkan frekuensi
rontok bulu yang berbeda ………...
72
11.
Sidik ragam produksi telur itik AP berdasarkan lamanya berhenti
bertelur yang berbeda ……….
73
12.
Sidik ragam produksi telur itik PA berdasarkan lamanya berhenti
bertelur yang berbeda ………
73
13.
Sidik ragam konsentrasi hormon prolaktin sedang bertelur dan rontok
bulu pada itik AP ………
73
14.
Sidik ragam konsentrasi hormon prolaktin sedang bertelur dan rontok
bulu pada itik PA ………
74
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan sistem pemeliharaan itik dari ekstensif (digembalakan) menjadi
intensif (terkurung) membutuhkan bibit unggul yang berproduksi telur tinggi agar
usaha menjadi efisien dan menguntungkan. Selain itu, kebutuhan terhadap bibit
itik semakin tinggi sejak terjadi diversifikasi produk itik. Pada awalnya,
masyarakat hanya mengenal telur sebagai produk ternak itik, namun saat ini
masyarakat mulai mengenal bahwa daging itik ternyata dapat dimanfaatkan
sebagai sumber pangan. Padahal, sebelum tahun 2008, berbagai upaya dilakukan
untuk peningkatan konsumsi daging itik, salah satunya melalui perlombaan
pengolahan daging itik yang dilakukan oleh Dinas Peternakan DKI Jakarta.
Penyebab peningkatan penerimaan konsumen terhadap daging itik belum
diketahui dengan jelas, tetapi fenomena ini perlu didukung agar peran unggas
lokal sebagai sumber pangan terus meningkat. Permasalahan yang diungkapkan
oleh para pemasok itik potong hidup adalah kurangnya ketersediaan bibit. Sekitar
tahun 2008, berbagai majalah populer memberitakan kurangnya pasokan itik
untuk usaha olahan di berbagai daerah. Para pencari bibit itik potong dalam
jumlah besar, yaitu sekitar 500 sampai 1000 ekor per minggu, banyak berdatangan
ke Balitnak, namun hingga saat ini kebutuhan bibit itik yang semakin tinggi
tersebut belum bisa dipenuhi.
Permasalahan yang dihadapi penyediaan bibit itik adalah belum adanya
pelaku-pelaku usaha pembibitan, karena usaha perbibitan memerlukan modal
yang besar. Permasalahan utama dalam usaha perbibitan itik ialah terbatasnya
keterampilan peternak dalam menghasilkan bibit unggul dan produksi telur yang
masih bervariasi dari itik-itik lokal. Indonesia memiliki banyak jenis itik lokal
sebagai keturunan Indian Runner dengan potensi produksi telur tinggi dan ternak
tersebut tersebar hampir di semua wilayah, namun performans yang tinggi
tersebut belum terekspresikan secara optimal karena adanya sifat rontok bulu.
Rontok bulu adalah proses lepasnya bulu-bulu lama secara alami pada
itik-itik dewasa karena terdorong oleh pertumbuhan bulu-bulu baru. Proses rontok
bulu terjadi pada itik-itik yang sudah memasuki periode produksi dan diduga
berkaitan dengan paused, yaitu masa istirahat atau berhentinya produksi telur. Hal
Comment [ T1] : bisa dipenuhi?
ini terbukti pada ayam ras yang hampir semuanya tidak mengalami periode
mengeram sebagai faktor utama yang menginisiasi terjadinya rontok bulu selama
periode produksi sehingga ayam ras memiliki produksi telur tinggi. Itik-itik lokal
masih mengalami rontok bulu yang bervariasi antarindividu maupun antarpopulasi
sehingga keragaman produksinya menjadi tinggi yang berakibat pada rataan
produksi telur yang menjadi relatif rendah.
Upaya peningkatan produksi telur telah dilakukan melalui kombinasi
persilangan di antara itik-itik lokal dengan seleksi. Hasil program pemuliaan
tersebut menunjukkan tingkat produksi yang relatif tinggi, namun keragaman
produksinya juga masih tinggi sehingga rataan produksi telur tersebut belum
optimal. Keragaman yang tinggi terjadi karena itik-itik masih mengalami rontok
bulu pada periode produksi. Pada umumnya, unggas yang dianggap memiliki
potensi genetik unggul mengalami kejadian rontok bulu setelah periode produksi
satu tahun dan terjadinya rontok bulu hanya satu kali dalam setahun dengan
periode yang pendek, namun pada itik-itik lokal dapat terjadi lebih dari satu kali.
Fenomena ini menjadi masalah bagi peternak yang menjadikan itik sebagai
komoditas usahanya, karena itik harus tetap diberi pakan, namun produksinya
sangat rendah. Oleh karena itu, suatu upaya perlu dilakukan untuk menangani
masalah rontok bulu pada itik agar produksi telurnya menjadi optimal.
Proses rontok bulu alami memerlukan waktu yang lama, karena setiap
individu mengalami rontok bulu pada waktu yang berbeda dan lamanya rontok
bulu yang berbeda pula. Hal ini akan membuat usaha ternak itik menjadi tidak
efisien, karena semua itik harus diberi pakan yang berkualitas dengan produksi
tidak optimal. Alasan ini membuat peternak melakukan penanganan rontok bulu
dari aspek manajemen pakan yang dikenal dengan istilah forced molting, yaitu
program menyerentakkan rontok bulu melalui pembatasan pemberian pakan, baik
jumlah maupun kualitasnya. Program forced molting bertujuan untuk
mempertahankan kelompok unggas dengan potensi produksi telur tinggi karena
produktivitas, terutama kualitas kerabang telur, setelah rontok bulu lebih baik
dibandingkan sebelum rontok. Dampak dari kegiatan forced molting ini
disayangkan bersifat sementara karena tidak dapat diwariskan pada keturunannya.
3
melanggar animal welfare. Oleh karena itu, suatu upaya dari bidang ilmu yang
lain perlu dilakukan agar kelompok itik yang unggul ini dapat dipertahankan.
Pada penelitian ini, penanganan kejadian rontok bulu dicoba dengan
pendekatan secara genetis yang diharapkan dapat memberikan dampak permanen
karena akan diwariskan kepada keturunanannya. Pendekatan secara genetis dapat
dilakukan karena kejadian rontok bulu yang bervariasi antarindividu maupun
antarpopulasi menunjukkan adanya variasi genetik. Oleh sebab itu, upaya
perbaikan kualitas itik melalui pengendalian sifat rontok bulunya dapat dilakukan
secara genetis, namun pengaruh gen dan faktor-faktor genetik yang berperan
dalam kejadian rontok bulu belum banyak diteliti.
Proses rontok bulu diduga dipengaruhi oleh kerja hormon prolaktin yang
merupakan salah satu hormon endokrin yang dapat bersinergi dengan hormon
gonadotropin, namun pada konsentrasi tinggi dapat menjadi antigonadotropin.
Pada periode produksi telur, hormon prolaktin berfungsi untuk menstimulasi
organ reproduksi, khususnya dalam proses pembuatan kerabang telur. Pada
konsentrasi tinggi tertentu, hormon prolaktin akan menghambat sekresi hormon
saluran reproduksi sehingga tidak ada telur yang diovulasikan dan itik memasuki
masa istirahat bertelur. Pada periode berhenti bertelur ini, hormon prolaktin
menstimulir terjadinya rontok bulu. Pengaruh hormon prolaktin pada rontok bulu
dan produksi telur pada itik juga belum banyak diteliti. Hormon prolaktin
merupakan produk gen prolaktin. Hal ini memperkuat asumsi bahwa penanganan
rontok bulu dapat dilakukan dari aspek genetik.
Upaya pembentukan bibit itik dengan kualitas yang baik dalam arti
memiliki produksi telur tinggi dan sifat rontok bulunya yang sudah diatur, secara
genetis dapat dilakukan melalui seleksi, persilangan, dan kombinasi antara seleksi
dan persilangan. Pada penelitian ini, persilangan antara rumpun itik alabio yang
mempunyai sifat rontok bulu cepat di awal produksi dengan periode yang panjang
(early and slow molting) sehingga produksi telurnya menjadi relatif rendah telah
dilakukan dengan itik peking yang diduga memiliki late and rapid molting
(rontok bulu lambat dengan periode rontok bulu yang pendek) sehingga produksi
telurnya relatif tetap tinggi. Program persilangan resiprokal ini dipilih untuk
yaitu pola pewarisan dan gen yang mempengaruhi sifat rontok bulu sekaligus
mempengaruhi produksi telur tersebut. Dengan demikian, program pemuliaan
melalui kombinasi persilangan dan seleksi yang bertujuan meningkatkan produksi
telur dapat dilakukan berdasarkan sifat rontok bulunya. Populasi hasil persilangan
cenderung menampilkan fenomena hybrid vigor yang nilainya dapat diukur secara
kuantitatif dan disebut heterosis. Adanya nilai heterosis menunjukkan bahwa
rataan performa ternak silangan lebih baik dibandingkan rataan performa
tetuanya. Populasi hasil persilangan dengan nilai heterosis yang tinggi pada
produksi telur dan kejadian rontok bulu yang sudah diatur sebagai kriteria unggul
diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai tetua untuk menghasilkan keturunan bibit
itik yang unggul pula.
Kerangka Pemikiran
Fenomena rontok bulu terjadi pada semua unggas betina dewasa, termasuk
itik alabio sebagai salah satu itik lokal di Indonesia. Pada penelitian ini,
persilangan resiprokal antara itik alabio dengan itik peking dilakukan dengan
pertimbangan bahwa itik alabio merupakan keturunan Indian runner yang
diketahui memiliki potensi produksi telur tinggi. Itik alabio juga memiliki sifat
rontok bulu yang muncul pada periode produksi telur, bahkan pada saat puncak
produksi (Purba et al. 2005) sehingga pada kejadian rontok bulu yang besar, yaitu
rontoknya bulu sayap akan diikuti dengan berhentinya produksi telur. Hal ini tentu
saja menyebabkan tingkat produksi telur pada itik alabio menjadi rendah.
Pada saat ini, di Indonesia terdapat itik peking yang berasal dari daratan
China dan ternyata mampu beradaptasi dengan baik sehingga populasinya
semakin banyak. Berdasarkan postur dan bobot badannya, itik peking merupakan
jenis pedaging sehingga potensi produksi telurnya menjadi rendah. Apabila
dibandingkan dengan itik-itik lokal di Indonesia, itik peking memiliki produksi
telur yang hampir sama dengan itik alabio sebagai tipe petelur. Hal ini terjadi
karena itik peking tetap mampu berproduksi telur, meskipun sedang mengalami
rontok bulu. Kejadian rontok bulu pada itik peking tidak menyebabkan berhenti
bertelur, karena hanya mengalami rontok bulu halus, sedangkan rontok bulu sayap
yang menyebabkan berhentinya produksi telur muncul setelah satu periode
5
minggu (Cherry & Morris 2008). Berdasarkan potensi produksi dan sifat rontok
bulu pada itik alabio dan itik peking tersebut maka dilakukan persilangan
resiprokal dengan tujuan untuk memahami kejadian rontok bulu yang berkaitan
dengan produksi telur secara genetis sehingga sifat rontok bulu dapat dikendalikan
dan faktor-faktor yang mempengaruhi sifat rontok bulu dapat diketahui.
Gen prolaktin selama ini diduga sebagai pengontrol sifat rontok bulu,
namun pengaruh hormon prolaktin pada sifat rontok bulu dan produksi telur
belum banyak diteliti. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengukuran
terhadap konsentrasi hormon prolaktin pada periode rontok bulu dan produksi
telur. Informasi hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
menentukan gen pengontrol sifat rontok bulu sehingga memudahkan dalam
menyusun program pemuliaan melalui seleksi, terutama yang berkaitan dengan
sifat rontok bulu. Penggunaan metode ini diharapkan akan menyebabkan seleksi
lebih efisien dan akurat sehingga penyediaan kebutuhan bibit itik, baik untuk
petelur maupun pedaging, akan terpenuhi lebih cepat pula. Alur kerangka
pemikiran penelitian tercantum pada Gambar 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah :
a. Mempelajari keterkaitan genetis sifat rontok bulu dengan produksi telur pada
populasi tetua (Alabio (A) dan Peking (P)) dan populasi persilangan (PA dan
AP).
b. Mempelajari keterkaitan hormon prolaktin pada sifat rontok bulu dan produksi
telur untuk mendukung gen prolaktin sebagai pengontrol rontok bulu.
c. Memperoleh alternatif cara pengendalian sifat rontok bulu pada itik secara
Ketersediaan bibit itik sebagai pedaging maupun petelur belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen karena produksi telurnya yang rendah (terutama itik yang dipelihara secara ekstensif atau digembalakan)
Salah satu penyebab rendahnya produksi telur itik adalah adanya proses rontok bulu yang berkaitan dengan berhentinya bertelur
Penanganan masalah rontok bulu dapat dilakukan secara genetik karena akan memberikan dampak yang permanen.
Program persilangan itik alabio yang memiliki sifat rontok bulu tinggi dengan itik peking yang memiliki late molting akan memberikan informasi genotipe pengontrol sifat rontok bulu dan pola pewarisannya.
[image:32.595.45.450.59.759.2]Pembentukan reference family dari persilangan resiprokal itik alabio dan itik peking sehingga diperoleh populasi PA ♂ (10 ekor), PA♀ (90 ekor), AP ♂ (10 ekor), dan AP♀ (90 ekor)
Gambar 1 Diagram alur kerangka pemikiran.
Fenotipe yang diamati ialah frekuensi rontok bulu, waktu mulai terjadinya rontok bulu, jumlah hari itik berhenti bertelur, produksi telur 48 minggu, kualitas telur dan kadar hormon prolaktin pada periode rontok bulu, dan periode produksi telur.sebelum dan setelah rontok bulu.
Diperoleh informasi mengenai mekanisme rontok bulu yang berkaitan dengan produksi telur secara genetis, pengaruh hormon prolaktin pada periode rontok bulu, dan produksi telur. Berdasarkan informasi tersebut, maka pengendalian terhadap sifat rontok bulu secara genetis dapat dilakukan.
7
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dasar untuk
pembentukan bibit itik dengan tingkat produksi telur yang tinggi dan kemampuan
pengendalian sifat rontok bulu yang lebih baik. Hal ini akan berdampak pada
sosial ekonomi masyarakat peternak itik. Selain itu, dalam jangka panjang hasil
penelitian diharapkan pula dapat dimanfaatkan untuk peningkatan efisiensi dan
akurasi seleksi berdasarkan sifat rontok bulu pada itik lokal.
Tujuan akhir penelitian adalah untuk meningkatkan produksi telur itik
melalui pengaturan pola rontok bulu, yaitu cukup satu kali dalam setahun.
Kemunculan kejadian rontok bulu diatur apabila masa produksi telur telah
mengalami penurunan secara alami pula sehingga sifat fisiologi alamiah itik untuk
merontok bulu tetap diperhatikan.
Hipotesis
a. Terdapat keterkaitan genetis antara sifat rontok bulu dengan produksi telur.
b. Terdapat keterkaitan hormon prolaktin dengan proses rontok bulu dan
produksi telur.
c. Keturunan hasil persilangan itik alabio dan peking menunjukkan nilai
9
TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul Itik di Indonesia
Berdasarkan sejarahnya, itik pertama kali didomestikasi di China (Cherry
& Morris 2008). Meskipun demikian, ada pendapat yang menyatakan bahwa
sejarah domestikasi itik dilakukan di dua tempat, yaitu China dan Eropa Barat
(Clayton 1984). Selanjutnya disebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat
utama domestikasi, seperti pada berbagai jenis ayam. Berdasarkan data-data
arkeologi, lingkungan pertanian yang disukai oleh itik telah ditemukan di daratan
China Selatan. Oleh karena itu, kemungkinan besar itik didomestikasi di daerah
tersebut sebelum dikembangkan khusus di Eropa Barat.
Pada musim dingin, itik-itik bermigrasi dari wilayah utara ke
tempat-tempat terbuka dengan lingkungan yang tersedia banyak air dan pakan melimpah,
terutama air dangkal sebagai area sumber pakannya. Dalam hal bersarang, itik
lebih menyukai tempat yang kering, seperti rerumputan di dataran tinggi, di
rawa-rawa kering, atau daerah persawahan yang banyak jerami (Crawford 1993). Salah
satu tempat migrasi itik adalah wilayah Indonesia karena memiliki daerah perairan
lebih besar jika dibandingkan dengan daratannya. Daerah perairan merupakan
tempat paling disukai oleh itik yang dikenal sebagai unggas air (water fowl). Oleh
karena itu, keberadaan itik di Indonesia merupakan ternak pendatang. Itik
dikelompokkan sebagai ternak lokal, karena daya adaptasinya yang tinggi pada
lingkungan di Indonesia selama bertahun-tahun dan mampu berkembang biak
(Hardjosworo 1995).
Itik domestik diturunkan dari wild mallard (Anas platyrhynchos) dengan
ciri-ciri, antara lain warna bulu cokelat pada tubuhnya, terutama itik betina, leher
dan kepala berwarna hijau terang mengkilap, paruh dan kakinya berwarna kuning
terang, dan warna bulu sayap adalah biru terang (Crawford 1993). Warna-warna
terang dan mengkilap tersebut diduga membantu sebagai petunjuk kontak visual
ketika sedang bermigrasi (Ogilvie & Pearson 1994). Selain warna bulu,
karakteristik khusus pada Anas platyrhynchos jantan adalah adanya empat helai
bulu ekor yang mencuat ke atas, dan ini hanya dapat ditemukan pada itik liar (wild
Karakterisasi terhadap sifat fenotipik kualitatif itik-itik lokal, yaitu itik
alabio, mojosari, cihateup, magelang, tegal, dan damiaking diperoleh hasil pola
warna bulu yang hampir sama dengan itik Mallard dengan empat helai bulu ekor
jantan yang mencuat ke atas (Susanti & Prasetyo 2007a). Berdasarkan kesamaan
ciri-ciri tersebut diduga bahwa itik-itik lokal Indonesia merupakan keturunan itik
Mallard (Anas platyrhynchos).
Itik Alabio
Salah satu rumpun itik lokal di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri
Pertanian nomor : 19/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Penetapan dan Pelepasan
Rumpun dan Galur Ternak adalah itik alabio yang berasal dari Kalimantan
Selatan, dan saat ini banyak diintroduksi ke daerah-daerah lain di wilayah
Indonesia. Rumpun itik alabio memiliki potensi yang tinggi, baik sebagai
produsen telur maupun daging (Hetzel 1985). Potensi itik alabio sebagai galur
petelur unggul menjadikannya sebagai tetua dalam program persilangan untuk
meningkatkan produktivitas itik-itik lokal lain. Prasetyo dan Susanti (2000)
melakukan persilangan antara itik alabio dengan itik mojosari yang menghasilkan
itik petelur unggul yang disebut itik MA. Itik hasil persilangan tersebut memiliki
rataan produksi telur sebanyak 74.22 butir selama periode produksi 12 minggu,
dan memiliki nilai heterosis produksi telur mencapai 11.69%. Selain itu, itik MA
memiliki umur pertama bertelur yang lebih cepat dan kualitas telur yang lebih
baik daripada induk-induk tetuanya (alabio dan mojosari).
Selain sebagai petelur unggul, itik alabio berpotensi pula menjadi itik
pedaging. Matitaputty et al. (2011) melakukan persilangan itik alabio (A) dan itik
cihateup (C) dengan hasil yang diperoleh menunjukkan nilai persentase heterosis
itik persilangan CA lebih unggul dari AC dalam bobot hidup akhir (7.05%),
pertambahan bobot hidup (7.32%), bobot karkas (9.24%), dan persentase karkas
(2.55%). Pada potongan karkas bagian paha, persentase tertinggi diperoleh itik
persilangan AC (10.13%), sementara potongan karkas bagian dada itik tetua
murni AA lebih unggul (6.13%). Itik persilangan CA memiliki sifat-sifat unggul
lebih banyak dan bernilai ekonomis dibandingkan dengan itik persilangan AC.
11
menghasilkan performans dan produksi karkas yang baik adalah itik persilangan
cihateup jantan x alabio betina (CA).
Keunggulan lain dari itik alabio adalah memiliki ciri-ciri warna bulu
hampir seragam yang didominasi oleh warna cokelat, hijau, dan hitam
keabu-abuan pada sebagian besar tubuhnya, yaitu leher, kepala, punggung, dan dada.
Suryana et al. (2010) mengidentifikasi warna bulu itik alabio dan menyimpulkan
bahwa itik alabio jantan memiliki warna bulu hijau mengkilap pada kepala, biru
mengkilap pada sayap, dan hitam keabu-abuan pada bagian dada dan ekor. Bulu
itik alabio betina didominasi warna cokelat bintik-bintik hitam. Bagian tubuh
paruh, paha, dan kaki itik alabio didominasi warna kuning dan oranye.
Berdasarkan potensi-potensi tersebut tampak bahwa itik alabio mampu
mengekspresikan keunggulannya sehingga dalam penelitian ini digunakan itik
alabio yang diharapkan mampu mencapai tujuan penelitian ini, yaitu menginisiasi
terbentuknya populasi itik yang berproduksi telur tinggi dengan kejadian rontok
bulunya yang sudah terkendali.
Itik Peking
Itik peking merupakan keturunan itik Mallard (Anas plathyrhynchos).
Hasil penelusuran sejarah domestikasi itik peking dengan menggunakan analisis
penanda mikrosatelit dan mitokondria menunjukkan bahwa itik peking memiliki
sekuens yang sama dengan itik Mallard (Qu et al. 2009). Saat ini performans itik
peking, dengan postur besar dan berbulu putih, berbeda dari keturunan itik
Mallard yang lainnya, dengan postur ramping dan berbulu cokelat kombinasi
warna hitam, hijau, dan abu-abu. Hal ini terjadi akibat dari seleksi yang relatif
lama terhadap itik peking sehingga menjadi strain atau galur pedaging dengan
warna bulu putih dan bobot dewasa 2.7 sampai 3.8 kg (Cherry & Morris 2008;
Rouvier 1999).
Produksi telur itik peking relatif rendah dibandingkan itik-itik tipe petelur
lain yang mempunyai bentuk tubuh ramping. Rata-rata produksi telur itik peking
adalah 210 butir per 500 hari atau 42% (Pingel 1990). Itik peking yang
dikembangbiakkan di Eropa ternyata mampu menghasilkan telur sebanyak
175-226 butir dalam 40 minggu dengan cara dipelihara secara intensif (terkurung).
Rata-rata pengamatan dilakukan selama 40 minggu, karena setelah 40 minggu itik
peking mengalami rontok bulu sehingga berhenti produksi telurnya. Itik peking
mengalami rontok bulu pada akhir periode produksi sehingga dikelompokkan
sebagai itik late molting. Sifat rontok bulu dengan kategori late molting
merupakan salah satu keunggulan itik tersebut sehingga digunakan dalam
penelitian ini untuk disilangkan dengan itik lokal dengan harapan dapat dipelajari
pewarisan sifat rontok bulu yang late molting tersebut, sekaligus mengurangi
kejadian rontok bulu pada itik lokal.
Persilangan dan Heterosis
Prasetyo dan Susanti (1997) menyatakan bahwa program kawin silang
telah umum digunakan dalam industri peternakan, jika fenotipe yang diinginkan
merupakan kombinasi dari galur-galur yang ada, atau untuk memperbaiki efisiensi
produksi melalui penggunaan galur jantan dan betina yang spesifik. Perkawinan
antarkelompok genotipe yang berbeda dapat dilakukan, antargalur, antarrumpun,
maupun antarbangsa dengan tujuan untuk pembentukan bangsa baru dengan
menggabungkan sifat-sifat menguntungkan ke dalam ternak silangan untuk
mempercepat peningkatan produktivitas ternak (Martojo 1992; Warwick et al.
1995).
Persilangan dilakukan sebagai strategi untuk pemanfaatan keunggulan
hibrida yang disebut heterosis. Tejadinya heterosis diduga sebagai akibat dari aksi
gen non-aditif seperti efek dominan, overdominan, dan epistasis (Falconer &
Mackay 1996; Noor 2010). Besarnya heterosis bergantung pada dominansi dari
semua pasangan gen yang mempengaruhinya dan rataan perbedaan frekuensi gen
antara kedua tetuanya untuk semua pasangan gen yang ada sehingga semakin jauh
perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya akan semakin tinggi heterosisnya.
Heterosis paling baik pada persilangan tunggal antarpopulasi dengan jarak
genetik yang jauh akan diperoleh pada generasi pertama, kemudian menurun
secara gradual dari F1, F2, F3, dan seterusnya akan hilang pada generasi tertentu.
Nilai heterosis umumnya mempunyai nilai yang berlawanan dengan nilai
heritabilitas. Noor (2010) mengungkapkan bahwa semakin tinggi nilai
13
heritabilitas dikontrol oleh aksi gen aditif, sedangkan heterosis dipengaruhi oleh
aksi gen nonaditif.
Romanov et al. (2002) mempelajari gen major sex-linked dan gen
dominan autosomal sebagai gen yang mempengaruhi sifat mengeram melalui
persilangan ayam white leghorn yang tidak mengeram dengan ayam bantam yang
mengeram. Prasetyo dan Susanti (2000) melakukan persilangan itik alabio dengan
mojosari untuk meningkatkan produksi telur pada hasil persilangannya. Huang et
al. (2009) mempelajari peta genetik itik melalui AFLP fingerprinting dengan
melakukan persilangan antara itik brown tsaiya, sebagai galur petelur lokal di
Taiwan, dengan itik peking, yang dikenal sebagai galur pedaging. Berdasarkan
uraian di atas, program persilangan dilakukan untuk berbagai tujuan. Pada
penelitian ini pun digunakan program persilangan yang serupa, yaitu antara itik
peking dan itik lokal alabio untuk mempelajari sifat-sifat rontok bulu secara
genetis.
Upaya peningkatan produktivitas ternak melalui persilangan biasanya
dikombinasikan dengan seleksi. Suksesnya suatu program persilangan bergantung
pada materi genetik individu-individu yang disilangkan, metode seleksi dan
sistem perkawinan yang digunakan (Warwick et al. 1995).
Seleksi
Seleksi berperan dalam pengubahan frekuensi gen yang mengatur sifat
kualitatif dan kuantitatif (Falconer & Mackay 1996; Noor 2010). Kegiatan seleksi
merupakan aktivitas paling penting bagi pemulia dan sebagai dasar utama dalam
pemuliaan ternak (Warwick et al. 1995). Tujuan seleksi adalah memilih
ternak-ternak dengan sifat yang diinginkan untuk dijadikan tetua dan dihasilkan generasi
berikutnya. Pada sektor peternakan, sifat-sifat yang diinginkan adalah sifat unggul
yang berhubungan dengan produktivitas dan biasanya adalah sifat kuantitatif. Di
tingkat peternak, seleksi biasanya dilakukan berdasarkan sifat kualitatif yang
diduga berhubungan dengan produktivitas karena pada umumnya peternak tidak
memiliki catatan produksi. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dicoba mencari
peubah dari rontok bulu yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif dan
dijadikan sebagai kriteria seleksi sehingga dapat dimanfaatkan oleh peternak
secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Seleksi yang paling banyak dan mudah dilakukan adalah berdasarkan
catatan atau fenotipe individu yang bersangkutan sehingga disebut seleksi
individu atau seleksi massa (Noor 2010). Seleksi ini hanya efektif untuk sifat-sifat
yang terdapat pada kedua jenis kelamin, namun kurang akurat untuk sifat-sifat
yang hanya muncul pada salah satu jenis kelamin saja. Seleksi berdasarkan sifat
rontok bulu sebagai peubah sifat kualitatif dapat dilakukan dengan seleksi
individu ini. Pada sifat yang hanya muncul pada ternak betina saja, seperti
produksi telur, memerlukan metode seleksi yang lain, yaitu seleksi berdasarkan
catatan keturunan (progeny test), tetua (silsilah), atau kerabatnya (kolateral),
terutama untuk ternak-ternak yang hanya menghasilkan satu keturunan per tahun
dengan interval generasi yang panjang. Pada unggas, dengan interval generasi
yang relatif singkat, yaitu sekitar 1 tahun, metode seleksi berdasarkan progeny
kurang efektif karena ketika informasi tetua unggul diperoleh, tetua tersebut sudah
memasuki masa tidak produktif. Oleh karena itu, pemilihan pejantan untuk
dikawinkan dengan betina terseleksi dapat memanfaatkan itik-itik jantan yang
berasal dari keturunan betina-betina terseleksi segenerasi, dengan asumsi bahwa
pejantan tersebut mempunyai sifat unggul yang diinginkan karena berasal dari
induk-induk betina terseleksi.
Sistem perkawinan dengan memanfaatkan pejantan dan induk dari
generasi yang sama dikenal dengan perkawinan interse (Martojo 1992).
Perkawinan interse biasanya dilakukan dalam upaya untuk pemantapan galur
dengan sifat yang diinginkan sudah terfiksasi. Perkawinan interse akan
mengurangi nilai keragaman sifat yang diinginkan tersebut dan galur dikatakan
“mantap” atau stabil apabila nilai keragamannya kurang dari 5%.
Pertumbuhan Bulu
Pertumbuhan bulu pada hewan unggas dimulai sejak tahapan embrio
(Bellairs & Osmond 2005). Folikel-folikel bulu tumbuh pada batas tertentu di
permukaan kulit dan disebut pterylae yangtampak pada daerah tulang belakang
15
ventral dan lateral terdapat pada paha, sayap, dan kepala. Pterylae pada itik
hampir menyebar di seluruh tubuh, sedangkan pada ayam hanya ada di
[image:41.595.89.425.52.815.2]bagian-bagian tertentu dari bagian-bagian tubuhnya (Gambar 2).
Gambar 2 Penyebaran pterylae pada itik (a) dan ayam (b).
Pada Gambar 2 tampak bahwa folikel bulu itik menyebar hampir di
seluruh permukaan kulit sehingga pterylae pun tampak pada seluruh permukaan
kulit, sedangkan folikel bulu ayam hanya tumbuh pada bagian tertentu di
permukaan kulit sehingga pterylae tampak jelas membatasi folikel-folikel bulu
ayam. Hal ini menyebabkan perbedaan ketika proses membului. Itik memerlukan
perlakuan khusus, biasanya menggunakan lilin untuk melepaskan bulunya,
sedangkan pada ayam pencabutan bulu dapat dilakukan dengan mudah hanya
dengan mencelupkannya pada air panas.
La Bonde (1998) menyatakan bahwa fungsi bulu pada spesies unggas
sangat penting, yaitu sebagai insulator, pelindung terhadap suhu lingkungan yang
ekstrim, untuk terbang, dan memperindah penampilan. Selanjutnya, Bellairs dan
Osmond (2005) menyatakan bahwa bulu pada itik dewasa yang menentukan
plumage terdapat tiga tipe, yaitu :
1. Bulu kontur (contour feather), yaitu bulu penutup tubuh itik yang terdapat
pada sayap dan ekor. Bulu kontur terdiri atas batang atau rachis dengan
percabangan (vane) di luar dan di dalam yang disusun parallel seperti duri dan
disebut barb yang ditutupi semuanya oleh barbules. b
a
2. Bulu bagian bawah (down feather) yang terdapat di bawah bulu kontur dengan
tekstur bulu halus dan lembut. Bulu-bulu tersebut hanya mempunyai batang
yang pendek dengan barb dan barbules yang menyebar bebas.
3. Tipe bulu yang ketiga adalah filoplumae dengan bentuk batang pendek,
fleksibel, seperti rambut dengan dibatasi barb sampai ke puncak.
Itik yang baru menetas mempunyai bulu penutup dari down feather halus
dan pendek, hampir mirip dengan plumule dewasa. Pertumbuhan bulu down
feather pada anak itik terjadi selama 10 hari sejak menetas, kemudian bulu-bulu
tersebut akan tumbuh dengan cepat menjadi bulu kontur selama 50 sampai 60
hari, termasuk bulu sayap primer maupun sekunder yang tumbuh dengan cepat
pada umur 24 sampai 56 hari. Pada molting pertama, bulu-bulu muda muncul dari
folikel-folikel yang sama. Bulu-bulu muda yang paling luar mirip dengan bulu
kontur pada unggas dewasa, tetapi mempunyai tekstur yang lebih halus.
Bagian-bagian bulu tersebut tercantum
pada Gambar 3.
Sumber : Bellairs & Osmond (2005)
17
Pertumbuhan bulu baru distimulir oleh hormon tiroksin dan prolaktin
(Steven 1996). Setiap folikel bulu mengalami siklus perubahan pertumbuhan
dengan merujuk pada fase anagen, bergiliran dengan periode istirahat (fase
telogen). Istilah anagen dan telogen diadopsi dari pertumbuhan rambut (Spearman
1971). Fase pertumbuhan folikel bulu terjadi sebelum moltingplumage tua yang
terjadi setiap tahun. Sekali terjadinya molting, maka feather yang lengkap akan
tumbuh pada tempat melekatnya folikel yang rontok tersebut. Pada akhir periode
pertumbuhan telogen, folikel sel semula sekali lagi masuk ke dalam periode
anagen yang pendek. Seperti halnya pertumbuhan, bulu baru akan tumbuh ke atas
mengarah pada permukaan kulit. Bulu-bulu tua didorong ke luar kanal, namun
masih tersisa folikel yang ada di dalam pembungkus berbentuk tanduk sebagai
tempat tumbuhnya bulu-bulu baru. Ketika pembungkus ini terbuka untuk
mendapatkan bulu baru, maka bulu-bulu tua akan jatuh sehingga peristiwa
molting adalah murni proses mekanis dari tumbuhnya bulu-bulu generasi baru
(Spearman 1971). Proses pertumbuhan bulu baru dan lepasnya bulu lama
tercantum pada Gambar 4.
[image:43.595.96.425.79.777.2]Sumber : Spearman (1971)
Gambar 4 Siklus pertumbuhan bulu yang dimulai pada (a) fase istirahat (fase telogen), (b) fase anagen awal (pertumbuhan bulu baru), dan (c) fase
Sifat Rontok Bulu
Rontok bulu adalah proses lepasnya bulu-bulu lama karena terdorong oleh
pertumbuhan bulu-bulu baru (Spearman 1971). Kejadian rontok bulu berkaitan
dengan peremajaan saluran reproduksi sehingga masa rontok bulu disebut juga
masa istirahat memproduksi telur (Berry 2003).
Setiap tahun kebanyakan unggas secara alami mengalami penurunan bobot
badan hampir 40% yang berhubungan dengan lepasnya bulu-bulu sayap dan
menurunnya aktivitas reproduksi (Brake & Thaxton 1979; Mrosovsky & Sherry
1980). Biasanya hewan liar mengatur sendiri untuk mengambil masa istirahat
bertelur pada musim-musim tertentu, terutama ketika kurangnya ketersediaan
pakan sehingga kejadian rontok bulunya hanya satu kali dalam setahun (Bell
2003). Pada ternak domestik, banyak hal pemicu munculnya sifat rontok bulu.
Setioko (2005) mengungkapkan faktor-faktor penyebab rontok bulu adalah
kurangnya ketersediaan pakan, perubahan susunan ransum pada itik yang
dikandangkan, perpindahan kandang, adanya hewan pengganggu, dan lingkungan
yang tidak nyaman dapat menyebabkan itik mengalami rontok bulu. Banyaknya
faktor pemicu tersebut mengakibatkan munculnya rontok bulu dapat terjadi setiap
saat secara spontan bersama-sama atau bersifat sporadis. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa munculnya rontok bulu adalah akibat stress dan
kejadiannya bergantung pada ketahanan masing-masing individu terhadap stress
tersebut (Webster, 2000; Duncan, 2001). Ketahanan individu terhadap stress
dikontrol oleh gen, sehingga munculnya kejadian rontok bulu pun diduga
dipengaruhi oleh gen, dan penanganan terhadap rontok bulu dapat dilakukan
secara genetis pula.
Berry (2003) menyatakan bahwa kejadian mengeram merupakan faktor
utama yang menginisiasi rontok bulu secara alami. Hampir semua unggas
mengalami penurunan konsumsi pakan dan bobot badan selama masa mengeram
(Sherry et al. 1980). Perubahan-perubahan fisiologis ini menyebabkan
berhentinya sistem reproduksi sehingga akan menghentikan produksi telur (Park
et al. 2004). Unggas-unggas yang telah mengalami masa rontok bulu akan
menunjukkan produksi telur yang lebih tinggi, efisiensi pakan yang lebih baik,
dan kualitas kerabang yang lebih baik (Lee 1982).
19
Kejadian rontok bulu yang bersifat alami pada unggas ini membuat para
peternak berupaya dengan berbagai cara agar ternak peliharaannya mengalami
rontok bulu secara serempak atau forced molting yang biasanya dilakukan dengan
pengambilan pakan dari kandang atau feed withdrawal, yaitu memuasakan ternak
dengan hanya diberi air minum atau pemberian pakan dengan jumlah yang sangat
terbatas dan kualitas rendah (Setioko 2005). Kegiatan forced molting banyak
ditentang oleh para pencinta binatang karena termasuk kegiatan penyiksaan yang
merupakan pelanggaran terhadap animal welfare. Hal ini memerlukan upaya dari
bidang ilmu lain untuk mengatasi rontok bulu. Salah satunya dari ilmu genetika
yang akan memberikan dampak yang lebih permanen.
Rontok bulu dapat dibagi dua, yaitu rontok bulu kecil apabila bulu badan
rontok dan rontok bulu besar, yaitu bila bulu sayap yang rontok. Sebelum rontok
bulu besar, biasanya itik akan mengalami rontok bulu kecil terlebih dahulu atau
terjadi secara bersamaan. Kadang-kadang itik langsung mengalami rontok bulu
besar tanpa harus melalui rontok bulu kecil. Rontok bulu besar ialah lepasnya bulu
sayap, baik primer maupun sekunder. Andrews et al. (1987) dan Herremans et al.
(1988) menyatakan bahwa rontoknya bulu sayap primer berpengaruh pada
penampilan reproduksi setelah molting. Hilangnya bulu sayap primer dengan jelas
disebabkan oleh tidak adanya pengaruh oestrogenic pada papilla bulu (Peczely
1992). Oleh karena itu, produksi estrogen mencapai titik paling rendah selama
terjadinya rontok bulu sayap primer (Park et al. 2004), sedangkan menurut
Setioko (2005) rontok bulu besar ditandai dengan lepasnya bulu sayap sekunder
ke 12, 13 dan 14 yang akan rontok terlebih dahulu sebelum bulu sayap yang lain.
Pada penelitian ini digunakan kategori rontok bulu sayap primer dan sekunder,
karena rontoknya kedua jenis bulu tersebut berkaitan dengan berhenti bertelur.
Tanda-tanda lain yang perlu mendapat perhatian pada itik yang rontok bulu ialah
produksi telur. Gejala penurunan produksi yang tajam tanpa ada alasan atau sebab
(biasanya sampai 20-30%) mengindikasikan itik akan segera rontok bulunya.
Pada saat rontok bulu, ovarium unggas mengalami pengecilan (regress)
sehingga produksi telur secara otomatis akan berhenti. Berry (2003) menyatakan
Hormon Prolaktin
Kejadian rontok bulu merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks
dengan melibatkan peranan hormon gonadotropin dan hormon lain, yaitu tiroksin
dan prolaktin (Steven 1996; Berry 2003). Hormon prolaktin terlibat pula dalam
pembentukan telur, yaitu dalam proses pembuatan kerabang dalam saluran shell
gland (Hazelwood 1983). Berdasarkan fungsi ganda dari hormon prolaktin
tersebut maka diduga rontok bulu berkaitan erat dengan berhentinya produksi
telur akibat kerja hormon prolaktin. Oleh sebab itu, diduga bahwa gen pengontrol
sifat rontok bulu adalah gen prolaktin (Bhattacharya et al. 2011; Alipanah et al.
2011; Cui et al. 2006).
Hormon prolaktin adalah salah satu hormon yang dihasilkan oleh hipofisa
anterior, bersama-sama dengan hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH untuk
merangsang kelenjar saluran reproduksi agar menghasilkan hormon seks, yaitu
estrogen, progesterone, dan androgen. Hazelwood (1983) menyatakan bahwa
hormon prolaktin terlibat dalam pembentukan telur, yaitu ketika proses
pembuatan kerabang di saluran shell gland. Efek kerja hormon adalah negative
feedback mechanism (Djojosoebagjo 1996), sehingga bila kadar hormon prolaktin
di dalam peredaran darah mencapai suatu keadaan yang telah melebihi dari yang
diperlukan maka produksi yang terus menerus akan mengacaukan keseimbangan.
Konsentrasi prolaktin di dalam darah meningkat setelah masa produksi telur.
Level hormon prolaktin yang tinggi akan menurunkan pengeluaran
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus, selanjutnya akan menurunkan
pengeluaran luteinizing hormone (LH) dari hipofisis sehingga tidak ada telur yang
diovulasikan (Tabibzadeh et al. 1995). Pada spesies unggas yang menunjukkan
sifat mengeram, seperti ayam hutan ataupun ayam-ayam domestik lainnya,
perubahan hormon endokrin yang terjadi pada saat induksi molting dimulai
dengan meningkatnya level prolaktin. Sastrodiharjo (1996) menyatakan bahwa
sifat mengeram dikontrol oleh hormon prolaktin. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa ayam kampung yang dimandikan setiap dua hari sekali pada
saat mengeram akan menurun hormon prolaktinnya dibandingkan dengan yang
tidak dimandikan, yaitu masing-masing sebesar 2.66 ng/mL dan 4.17 ng/mL
21
istirahat produksi telur. Istirahat produksi telur pada ayam yang dimandikan
adalah 12.7 hari, sedangkan pada ayam yang tidak dimandikan adalah 41.2 hari.
Kejadian rontok bulu pada itik-itik lokal juga menyebabkan berhentinya produksi
telur sehingga diduga bahwa sifat rontok bulu juga berhubungan dengan hormon
prolaktin.
Sekresi hormon-hormon reproduksi yang mempengaruhi rontok bulu
tersebut diduga dikontrol oleh gen-gen tertentu sehingga kejadian rontok bulu
berbeda pada setiap spesies dan jenis unggas. Purba (2005) menyatakan bahwa
lamanya rontok bulu pada itik alabio lebih cepat daripada itik mojosari. Hal ini
mengindikasikan bahwa sifat rontok bulu dipengaruhi oleh bangsa ternak atau
gen.
Pola Pewarisan Sifat Rontok Bulu
Upaya untuk mengatasi sifat rontok bulu pada itik dapat didekati dengan
mempelajari kejadian mengeram pada ayam dengan asumsi bahwa mekanisme
genetisnya dikontrol oleh gen yang sama karena proses fisiologisnya yang sama,
yaitu terkait dengan kelangsungan produksi telur. Sartika (2005) menyatakan
bahwa sifat mengeram merupakan sifat yang diwariskan. Tinggi rendahnya sifat
mengeram bergantung pada faktor genetik, seperti bangsa atau strain ayam.
Lessons dan Summer (2000), menyatakan bahwa sifat mengeram memiliki nilai
heritabilitas relatif tinggi sehingga sifat ini dapat digunakan sebagai kriteria
seleksi.
Pengamatan secara genetik atas sifat rontok bulu masih jarang dilakukan.
Pendekatan dengan sifat mengeram mungkin akan memberikan hasil yang sama.
Berdasarkan hasil penelitian Dunn et al. (1998) diperoleh bahwa sifat mengeram
dikontrol oleh gen utama yang terpaut kelamin (major gen sex-linked).
Dinyatakan pula bahwa lokasi gen mayor sifat mengeram ini terletak pada
kromosom Z. Romanov et al. (2002) menegaskan bahwa secara genetik sifat
mengeram tidak hanya dipengaruhi oleh gen sex-linked, akan tetapi dipengaruhi
pula oleh adanya aksi gen dominan autosomal tidak lengkap pada satu lokus
dengan genotipe AA, sedangkan pada ayam yang tidak mengeram dikontrol oleh
Artinya bahwa paling sedikit terdapat 3 pasang gen yang mempengaruhi sifat
mengeram, yaitu 1 gen terpaut kelamin pada kromosom Z dan 2 gen autosomal
yang terdiri atas 1 penyebab dan 1 penghambat sifat mengeram, dan keduanya
mempunyai pengaruh yang sama. Pendugaan pola pewarisan sifat mengeram
tersebut dilakukan pada persilangan resiprokal (F1) dan backcross (F2) antara
ayam white leghorn yang tidak mengeram dengan ayam bantam yang mempunyai
sifat mengeram tinggi. Pola pewarisan sifat rontok bulu diduga sama dengan pola
pewarisan sifat mengeram pada ayam. Ilustrasi pola pewarisan tersebut tercantum
pada Gambar 5.
[image:48.595.55.400.44.648.2]Sumber : Romanov et al. (2002)
Gambar 5 Pola pewarisan sifat mengeram pada persilangan resiprokal antara ayam white leghorn jantan dengan bantam betina (a), bantam jantan dengan white leghorn betina (b), dan persilangan backcross F1 jantan dengan white leghorn betina (c).
♂ WL X ♀ B aaBB AAbb
F1 : ♂ AaBb; ♀ AaBb
♂ B X ♀ WL AAbb aaBB
F1 : ♂ AaBb; ♀ AaBb
a b
♂ F1(♂ WL X ♀ B) X ♀ WL AaBb aaBB
F2 : ♂ ¼ AaBB, ¼ AaBb, ¼ aaBB, ¼ aaBb; ♀ ¼ AaBB, ¼ AaBb, ¼ aaBB, ¼ aaBB
23
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak
itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari
2012. Pengamatan ciri-ciri biologis itik hasil persilangan yang meliputi bobot
tetas, bobot badan masa starter dan grower, konsumsi dan konversi ransum,
warna bulu, dan kualitas telur dilakukan sejak itik menetas, yaitu pada bulan Juli
2010. Kegiatan penelitian dilakukan di laboratorium kandang itik Balai
Penelitian Ternak Ciawi-Bogor untuk pengamatan fenotipik dan di Laboratorium
Kebidanan dan Reproduksi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga,
Surabaya untuk analisis hormon prolaktin.
Materi Penelitian
Penelitian ini menggunakan itik AP dan PA, yaitu hasil persilangan antara
itik alabio (A) dan itik peking (P). Itik AP adalah persilangan antara itik alabio
jantan dengan peking betina, sedangkan itik PA adalah hasil persilangan itik
peking jantan dan alabio betina. Rancangan perkawinan silang pada populasi
dasar itik Alabio dengan itik Peking secara resiprokal tercantum pada Gambar 6.
Generasi P0 X X
(populasi dasar)
[image:49.595.93.437.69.819.2]Generasi F1
Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.
Tujuan perkawinan silang adalah untuk mengetahui genotipe pada
masing-masing populasi itik. Informasi tersebut akan berguna sebagai keluarga acuan
(reference family) apabila akan melakukan program pemuliaan lanjutan, terutama
secara molekuler pada ternak itik yang berhubungan dengan sifat rontok bulu.
Sistem perkawinan untuk menghasilkan keturunan populasi F1 dilakukan
dengan IB (Inseminasi Buatan). Nomor pejantan dan nomor induknya dicatat,
sehingga diketahui bapak dan induk dari masing-masing individu keturunan F1 Alabio ♀ Peking ♂
PA ♀
Alabio ♂ Peking ♀
tersebut. Jumlah populasi masing-masing itik hasil persilangan yang diamati
adalah 10 ekor jantan dan 90 ekor betina, sehingga jumlah seluruhnya yang
diamati adalah 200 ekor. Jumlah itik alabio dan peking untuk menghasilkan
masing-masing persilangan adalah 7 ekor jantan dan 25 ekor betina.
Sistem pemeliharaan itik dilakukan secara terkurung sesuai dengan standar
operasional yang ada di Balai Penelitian Ternak. Kedua jenis itik dipelihara sejak
DOD sampai produksi telur 48 minggu.