• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR MINGGU"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKTIVITAS ITIK ALABIO DAN MOJOSARI SELAMA 40 MINGGU DARI UMUR 20–60 MINGGU

(Productivity of Alabio and Mojosari Ducks for 40 Weeks from 20-60 weeks of Age)

MAIJON PURBA1,L.H.PRASETYO1,PENI S.HARDJOSWORO2danRITA D.EKASTUTI3 1Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

2Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

3Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor

ABSTRACT

A study was conducted in Balitnak Ciawi to study the dynamics of egg production of Alabio and Mojosari for 40 weeks. Each breed consists of 40 female ducks, chosen by randomization and placed on individual cages. The average age of the ducks was 20 to 22 weeks respectively for Alabio and Mojosari.

Commercial feed was given based on the standard of Balai Penelitian Ternak with protein dan EM composition of 18% and 2700 kcal/kg. Feed was given 140 g/head/day, and water were given ad libitum. The traits observed were: age of the first laying, body weight at first laying, weight of first egg and egg production (duck day production). The results showed that the average age of first laying of Alabio and Mojosari ducks were 142,12 and 151,85 days respectively. The average body weight at first laying and weight of first egg for both ducks were not different (P>0.05). The average body weight at first laying of Alabio and Mojosari were 1621,75 and 1610,75 g/head, and the average weight of first egg were 50,54 and 52,45 g respectively. During 40 weeks, the average egg production of Alabio and Mojosari ducks were not different (P>0.05) except egg production on week-2, 10, 19 and 20 which were different (P<0.05), the average egg production of Alabio was higher than Mojosari ducks. The range of egg production of Alabio and Mojosari ducks before molting were 2,98–6,00 and 2,95–5,53 eggs/head/weeks for 22 weeks. During molting for 11 weeks, the egg production of Alabio was lower (1,57-2,75 eggs/head/week) than Mojosari ducks (2,13-3,40 eggs/head/week). Egg production of Alabio and Mojosari ducks after molting for 7 weeks were 3,33-4,90 and 3,68-4,54 eggs/head/week respectively.

Key words: Egg production, molting, Alabio and Mojosari ducks ABSTRAK

Suatu penelitian telah dilakukan di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) untuk mengetahui dinamika produksi telur selama 40 minggu pada itik Alabio dan Mojosari. Sebanyak 40 ekor itik Alabio dan 40 ekor Mojosari dipilih secara acak lalu dipelihara dalam kandang individu. Rata-rata umur kedua jenis itik adalah sekitar 20-22 minggu. Pakan yang diberikan selama penelitian adalah pakan komersial yang disusun berdasarkan standar Balai Penelitian Ternak dengan kandungan Protein 18% dan EM 2700 kkal/kg. Pakan diberikan sekali dalam sehari dengan rata-rata 140 g/ekor/hari, air minum diberikan ad libitum. Parameter yang diukur adalah umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur, bobot telur pertama dan produksi telur (duck day production). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata umur pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari masing-masing dicapai selama 142,12 dan 151,85 hari. Berdasarkan hasil analisis statistik umur pertama bertelur kedua jenis itik berbeda nyata (P<0,05), rataan umur pertama bertelur itik Alabio lebih awal dibandingkan dengan Mojosari. Rataan bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama kedua jenis itik tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan bobot badan pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari masing-masing 1621,75 dan 1610,75 g/ekor, sedangkan bobot telur pertama kedua jenis itik masing-masing 50,54 dan 52,45 g/ekor. Selama masa produksi 40 minggu, rataan produksi telur yang dicapai itik Alabio dan Mojosari berdasarkan analisis statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) kecuali pada minggu ke-2, 10, 19 dan 20 berbeda nyata (P<0,05). Rataan produksi telur itik Alabio pada minggu-minggu tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan itik Mojosari. Kisaran produksi telur itik Alabio dan Mojosari sebelum rontok bulu adalah 2,98-6,00 dan 2,95-5,53 butir/ekor/minggu selama 22 minggu. Kisaran produksi telur saat rontok bulu selama 11 minggu pada itik Alabio dan Mojosari adalah (1,57–2,75 dan 2,13–3,40 butir/ekor/minggu),

(2)

sedangkan setelah rontok bulu selama produksi 7 minggu adalah antara (3,33–4,90 dan 3,68–4,54 butir/ekor/minggu). Kisaran produksi telur itik Alabio selama masa rontok bulu lebih rendah dibandingkan dengan itik Mojosari.

Kata kunci: Produksi telur, rontok bulu, Alabio dan Mojosari

PENDAHULUAN

Kebutuhan masyarakat terhadap telur sebagai salah satu bahan konsumsi sehari-hari cenderung semakin meningkat. DITJEN BINA

PRODUKSI PETERNAKAN (2001) melaporkan bahwa jumlah konsumsi masyarakat terhadap telur di Indonesia mengalami peningkatan, tahun 1999 sebesar 2,82 kg/kapita/tahun, sedangkan pada tahun 2000 meningkat menjadi 3,48 kg/kapita/tahun (naik sebesar 23,40%).

Peningkatan tersebut dimungkinkan karena telur adalah merupakan sumber makanan yang mengandung gizi tinggi dan harganya relatif terjangkau dari berbagai lapisan masyarakat.

Diantara berbagai jenis itik yang ada di Indonesia, itik Alabio dan Mojosari merupakan dua jenis itik lokal yang potensial untuk dipelihara maupun dikembangkan sebagai penghasil telur guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Walaupun itik Alabio berasal dari daerah Amuntai, Kalimantan Selatan dan itik Mojosari berasal dari daerah Mojosari, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, akan tetapi, kedua jenis itik tersebut memiliki daya adaptasi yang baik bahkan dapat hidup dan berkembang biak di luar daerah asalnya.

Itik lokal yang ada di Indonesia menurut HARDJOSWORO (1995), adalah jenis itik yang memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan karena itik lokal tersebut sudah mengalami seleksi secara alami. Keberhasilan itik lokal sebagai ternak pendatang yang mampu beradaptasi dengan baik dengan lingkungan di Indonesia, membuat ternak tersebut dapat hidup dan berkembang biak dimana saja (HARDJOSWORO et al., 2002).

ROSE (1997) menyatakan bahwa kelebihan ternak itik bila dibandingkan dengan hewan unggas lainnya adalah memiliki daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan, tahan terhadap penyakit dan dapat hidup, berkembang biak meskipun dalam kondisi ketersediaan pakan yang terbatas.

Rontok bulu adalah salah satu keadaan biologis yang selalu dapat terjadi pada setiap spesies unggas. Pengaruh rontok bulu terhadap

hewan unggas misalnya itik sangat berhubungan terhadap jumlah produksi telur yang dihasilkan. Rontok bulu pada hewan unggas menurut PALMER (1972) maupun PAYNE (1972) adalah suatu kejadian alami pada hewan unggas, bahkan menurut PALMER (1972) rontok bulu pada hewan unggas adalah sangat penting, karena melalui rontok bulu terjadi regenerasi pergantian bulu lama dengan tumbuhnya bulu-bulu baru.

ETCHES (1996) maupun BEYER (1998) juga menyatakan bahwa rontok bulu pada hewan unggas, selain regenerasi pergantian bulu maupun jaringan reproduksi (ovarium dan oviduk) juga merupakan periode istirahat bertelur. Selama periode rontok bulu pada itik produksi telur menjadi menurun bahkan berhenti bertelur.

Rontok bulu pada itik petelur yang berkualitas baik umumnya terjadi setelah menjalani periode bertelur selama 1 tahun dan dalam jangka waktu rontok bulu yang singkat.

Menurut NORTH dan BELL (1990), ternak unggas petelur yang baik memiliki masa produksi yang lama dan masa rontok bulu yang singkat. Sebaliknya, apabila itik petelur yang dipelihara berkualitas rendah, kejadian rontok bulu lebih awal dan dalam jangka waktu yang lama.

Ketersediaan bibit itik lokal yang bermutu baik hingga saat ini masih sulit didapatkan sehingga upaya-upaya pembentukan sentra pembibitan itik yang digunakan sebagai usaha budidaya itik baik secara tradisional dan komersial sangat dibutuhkan. Keragaman dalam produktivitas itik lokal hingga saat ini juga masih sangat tinggi, karena itik yang memiliki kemampuan berproduksi tinggi dengan yang rendah di tangan peternak mendapat kesempatan yang sama (HARDJOSWORO, et al. 2002). Pendekatan secara genetis melalui seleksi induk terhadap aspek prouktivitas pada ternak itik merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki mutu genetik itik petelur.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan produktivitas

(3)

itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu dari umur 20−60 minggu.

MATERI DAN METODE

Kegiatan penelitian ini berlangsung selama 10 bulan dari bulan Nopember 2002-Agustus 2003, Balai Penelitian Ternak. Materi yang digunakan adalah dua jenis itik betina lokal yakni itik Alabio dan Mojosari hasil penetasan Balai Penelitian Ternak. Masing-masing jenis terdiri atas 40 ekor berumur antara 20-22 minggu. Kedua jenis itik dipelihara di dalam kandang individu (battery) berbentuk single deck terbuat dari bahan kawat dengan ukuran:

panjang 40 cm, lebar 35 cm, tinggi depan 55 cm dan tinggi belakang 50 cm. Peralatan kandang yang digunakan adalah tempat pakan, tempat minum, lampu penerangan. Untuk membantu mempermudah pengamatan, seluruh itik yang diamati diberi nomor sayap (wing band).

Pakan diberikan sekali dalam sehari (pagi) setelah kandang dibersihkan dari kotoran, dan air minum diberikan ad libitum. Ransum yang diberikan adalah ransum itik petelur sesuai standar Balai Penelitian Ternak dengan kadar protein 18% dan EM 2700 Kkal/kg. Komposisi ransum itik petelur untuk 100 kg bahan pakan (Tabel 1). Jumlah ransum yang diberikan kepada kedua jenis itik selama penelitian berlangsung sebanyak 140 g/ekor/hari.

Tabel 1. Bahan komposisi ransum ternak itik untuk 100 kg bahan pakan

Bahan pakan Jumlah (kg)

Dikalsium fosfat Tepung ikan Kalsium karbonat Jagung giling Garam halus Minyak sayur Premix-A Polar

Bungkil kedelai Dedak Metionin

1,00 8,50 6,00 30,20 0,20 4,00 0,60 17,00 14,45 18,00 0,05

Jumlah 100,00 Kandungan protein: 18%

Energi Metabolis (EM): 2700 Kkal/kg

Sumber: BALAI PENELITIAN TERNAK, Bogor

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu arah dengan membandingkan kedua jenis itik. Peubah yang diamati selama penelitian berlangsung adalah produksi telur (duck day production). Produksi telur dihitung berdasarkan jumlah rata-rata telur dalam mingguan. Untuk mendukung peubah produksi telur juga dilakukan perhitungan terhadap umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur, dan bobot telur pertama.

Umur pertama bertelur dihitung dari tanggal menetas sampai tanggal pertama kali bertelur. Bobot badan pertama bertelur diperoleh melalui penimbangan pada saat itik tersebut mulai pertama bertelur. Bobot telur pertama diperoleh dengan cara menimbang masing-masing telur yang dihasilkan saat pertama kali kedua jenis itik bertelur. Produksi telur, umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama dianalisis dengan prosedur Analysis of Variance (ANOVA) satu arah dan bila terdapat perbedaan antar jenis dilanjutkan dengan uji Duncan dengan bantuan program Statistical Analysis System (SAS, 1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN Umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama

Umur pertama bertelur atau umur masak kelamin, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari (Tabel 2). Rataan umur pertama bertelur itik Alabio 144,13 ± 7,51 hari sedangkan itik Mojosari 151,85 ± 13,60 hari. Berdasarkan hasil analisis statistik, rata-rata umur pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari berbeda nyata (P<0.05). Rataan umur pertama bertelur itik Alabio lebih awal dibandingkan dengan itik Mojosari. Rataan umur pertama bertelur hasil pengamatan lebih awal bila dibandingkan dengan hasil penelitian PRASETYO dan SUSANTI (2000) yang melaporkan bahwa rataan umur pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari masing-masing 24,27 minggu (169,84 hari) dan 24,53 minggu (171,71 hari).

(4)

Tabel 2. Rata-rata umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari

Jenis Parameter

Alabio ± Std Mojosari ± Std Umur pertama bertelur (hari)

Bobot badan pertama bertelur (g) Bobot telur pertama (g)

144,13 ± 7,51a 1621,75 ± 91,23a

50,53 ± 5,43a

151,85 ± 13,60b 1610,75 ± 119,92a

52,44 ± 8,82a Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Superskrip sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05) Std = Standard deviasi

Bobot badan pertama bertelur itik Alabio dan Mojosari masing-masing 1621,75 dan 1610,75 g/ekor. Berdasarkan hasil analisis statistik, bobot badan pertama bertelur kedua jenis itik tidak berbeda nyata (P>0,05). Rataan bobot badan pertama bertelur itik Mojosari hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian PRASETYO dan SUSANTI (2000) yaitu sebesar 1616 g/ekor, akan tetapi rataan bobot badan pertama bertelur itik Alabio yang dilaporkan PRASETYO dan SUSANTI (2000) lebih tinggi yaitu sebesar 1906 g/ekor bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan.

Rataan bobot telur pertama kedua jenis itik secara statistik juga tidak berbeda nyata (P>0,05). Rata-rata bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari masing-masing 50,53 dan 52,44 g/ekor. PURBA et al. (2002) juga melaporkan bahwa rataan bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari yang dipelihara dengan sistem kandang battery dan litter masing-masing 57,62 dan 59,42 g/ekor, dan secara statistik juga tidak berbeda nyata (P>0,05).

PRASETYO dan SUSANTI (2000) melaporkan bahwa rataan bobot telur pertama itik Alabio dan Mojosari berbeda nyata (P<0,05).

Dilaporkan bahwa rataan bobot telur pertama kedua jenis itik yang diamati masing-masing 56,39 dan 53,69 g/ekor. Bobot telur tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaan tersebut diduga adalah pengaruh kandungan protein dan EM yang berbeda.

Kandungan protein yang diberikan dalam penelitian PRASETYO dan SUSANTI (2000) adalah 20% dan EM 3000 kkal/kg, sedangkan

dalam penelitian ini kandungan protein sebesar 18% dan EM 2700 kkal/kg.

Produksi telur

Rata-rata produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu disajikan dalam Gambar 1. Rataan produksi telur itik Alabio dan Mojosari masing-masing sebesar 4 butir/ekor/minggu (56,78%) dan 3,77 butir/ekor/minggu (53,41%). Rataan produksi telur kedua jenis itik selama pengamatan berlangsung tidak jauh berbeda, bahkan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0.05) kecuali produksi telur pada minggu ke-2, 10, 19 dan 20 berbeda nyata (P<0.05). Rataan produksi telur itik Alabio pada minggu-minggu tersebut adalah 6,00 ± 1,36; 5,10 ± 2,66; 4,67 ± 2,70 dan 2,45 ± 2,95 butir/ekor, sedangkan itik Mojosari 5,03 ± 2,32 butir/ekor; 3,16 ± 2,90 butir/ekor; 3,21 ± 2,94 dan 3,30 ± 3,00 butir ekor. Rataan produksi telur itik Alabio pada minggu-minggu tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan itik Mojosari. Perbedaan tersebut diduga adalah sebagai faktor genetik dan lingkungan.

Rataan produksi telur itik Alabio yang diamati lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian ROHAENI dan SETIOKO (2002) maupun SETIOKO dan ROHAENI (2002).

ROHAENI dan SETIOKO (2002) melaporkan bahwa rataan produksi telur itik Alabio selama 10 bulan produksi yang dibagi dalam 3 kelompok (kelompok A, B dan C) masing- masing sebesar 58,92; 61,96 dan 64,63%.

Selanjutnya, hasil penelitian SETIOKO dan ROHAENI (2002) melaporkan rataan produksi

(5)

Gambar 1. Dinamika produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu

telur itik Alabio selama 12 bulan produksi yang juga dibagi dalam 3 kelompok (kelompok A, B dan C) dengan jumlah kandungan protein dan energi dari ketiga kelompok tersebut 18,89% dan 2250 kkal/kg; 18,93% dan 2250 kkal/kg; 19,17% dan 2250 kkal/kg, masing- masing sebesar 66,86%; 60,07% dan 48,09%.

Perbedaan rataan produksi telur tersebut diduga adalah pengaruh lokasi dan sistem kandang yang berbeda maupun bahan pakan serta kandungan protein dan energi yang diberikan juga berbeda.

Rataan produksi telur itik Mojosari selama produksi 12 minggu pengamatan adalah sebesar 4,58 butir/ekor (65,39%) lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian ANDAYANI et al. (2001) yang melaporkan bahwa rataan produksi telur itik Mojosari selama 12 minggu sebesar 62,44%.

Puncak produksi itik Alabio dicapai pada minggu ke-2 yaitu rata-rata 6 butir/ekor sedangkan itik Mojosari dicapai pada minggu ke-1 rata-rata 5,53 butir/ekor. Kisaran produksi telur itik Alabio dan Mojosari sebelum periode rontok bulu selama periode 22 minggu yaitu dari produksi telur minggu ke-1 hingga minggu ke-22 masing-masing adalah (2,98−6,00 butir/ekor) dan (2,95−5,53) butir/ekor.

Walaupun rataan produksi telur kedua jenis itik yang diamati selama periode sebelum rontok bulu tidak berbeda nyata (P>0,05), namun bila dilihat pada Gambar 1 tampak bahwa jumlah

produksi telur itik Alabio sebelum rontok bulu lebih baik dibandingkan dengan itik Mojosari.

Penurunan produksi telur dari kedua jenis itik yang diamati terjadi pada produksi telur minggu ke-23−33. Kisaran produksi telur itik Alabio selama masa rontok bulu adalah 1,58 ± 2,81 sampai dengan 2,45 ± 2,95 butir/ekor, sedangkan itik Mojosari antara 2,08 ± 2,82 sampai dengan 3,38 butir/ekor. Kisaran produksi telur itik Mojosari selama masa rontok bulu tampak lebih tinggi dibandingkan dengan itik Alabio.

Kisaran produksi telur itik Alabio dan Mojosari periode setelah rontok bulu masing- masing sebesar 3,33–4,90 butir/ekor dan 3,30–

4,54 butir/ekor. Rataan produksi telur periode setelah rontok bulu pada itik Alabio tampak kembali mendekati normal yaitu pada produksi minggu ke-36 sebesar 4,80 ± 2,96 butir/ekor, sedangkan itik Mojosari dicapai pada produksi minggu ke-34 sebesar 4,54 ± 2,18 butir/ekor dan merupakan puncak produksi telur pada itik Mojosari periode setelah rontok bulu. Puncak produksi telur setelah periode rontok bulu pada itik Alabio yaitu pada minggu ke-40 sebesar 4,90 ± 1,74 butir/ekor. Puncak produksi telur yang dicapai kedua jenis itik setelah periode rontok bulu tampaknya tidak dapat menyamai puncak produksi yang dicapai sebelum periode rontok bulu. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan kedua jenis itik untuk menghasilkan produksi telur sebelum masa rontok bulu lebih tinggi dibandingkan dengan

0 1 2 3 4 5 6 7

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 Minggu

Produksi Telur (butir)

Alabio Mojosari

(6)

produksi telur sesudah rontok bulu. Hal tersebut sejalan dengan pendapat DAMME dan PIRCHNER (1984) mengemukakan bahwa puncak maupun persentase produksi telur ayam yang mengalami rontok bulu tidak dapat menyamai produksi telur sebelum periode rontok bulu.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Umur masak kelamin (pertama bertelur) itik Alabio lebih awal bila dibandingkan dengan itik Mojosari, akan tetapi bobot badan pertama bertelur maupun bobot telur pertama kedua jenis itik hampir sama.

2. Produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu hampir sama yaitu masing-masing sejumlah 4 butir/ekor/

minggu dan 3,77 butir/ekor minggu.

3. Produksi telur dari kedua jenis itik mengalami penurunan selama periode rontok bulu. Kisaran produksi telur itik Alabio selama periode rontok bulu lebih rendah bila dibandingkan dengan itik Mojosari.

DAFTAR PUSTAKA

ANDAYANI, D., M. YANIS dan B. BAKRIE. 2001.

Perbandingan produktivitas itik Mojosari dan itik lokal pada pemeliharaan secara intensif di DKI Jakarta. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

hlm. 533−541.

BEYER, R.S. 1998. Molting and other causes of feather loss in small poultry flocks. Kansas State University Agricultural Experiment Station and Cooperative Extension Service.

http://www.oznet.ksu.edu.

DAMME, K. and F. PIRCHNER. 1984. Genetic differences of feather-loss in layers and effects on production traits. Archiv. Fur. Geflugelk.

48(6): 215−222.

DIREKTORAT JENDERAL BINA PRODUKSI

PETERNAKAN. 2001. Buku Statistik Peternakan. hlm. 114−115 & 127.

ETCHES, R.J. 1996. Reproduction In Poultry.

Departement of Animal Science and Poultry Science University of Guelph. Guelph Ontario Canada N1G 2W1. Cab International. hlm.

286−297.

HARDJOSWORO, P.S. 1995. Peluang pemanfaatan potensi genetik dan prospek pengembangan unggas lokal. Pros. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. hlm. 17−23.

HARDJOSWORO,P.S.,A.R.SETIOKO,P.P.KETAREN, L.H. PRASETYO, A.P. SINURAT dan RUKMIASIH. 2002. Perkembangan teknologi peternakan unggas air di Indonesia. Pros.

Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 22−41.

NORTH, M.O. and DONALD. D. BELL., 1990.

Commercial Chicken Production Manual.

Forth Edition. An Avi Book Published by Van Nostrand Reinhold, New York.

PALMER, R. S. 1972. Patterns of molting. Avian Biology. Vol. II. Edit.DONALD, S.FARNER, JAMES R. KING and KENNETH C. PARKES. (Eds.). Academic Press New York San Francisco London. hlm. 65−102.

PAYNE, R.B. 1972. Mechanisms and control of molt.

Avian Biology. Vol. II. DONALD,S.FARNER, JAMES R. KING and KENNETH C. PARKES. (Eds.). Academic Press New York San Francisco London. hlm.:103-147.

PRASETYO,L.H., Y.C.RAHARDJO,T.SUSANTI dan W.K.SEJATI. 1998. Persilangan timbal balik antara itik Mojosari dan Tegal: II. Produksi dan kualitas telur. Kumpulan hasil-hasil penelitian peternakan APBN T.A. 1996/1997.

Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. hlm.

205−211.

PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari:

Periode awal bertelur. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 5(4): 210−214.

PURBA, M., L.H. PRASETYO dan BRAM

BRAHMANTYO. 2002. Produktivitas dua bangsa itik lokal: Alabio dan Mojosari pada system kandang battery dan litter. Pros. Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru.

Fakultas Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 157−162.

ROHAENI. E. S. dan A. R. SETIOKO. 2002. Keragaan produksi telur pada sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan (SPAKU) itik

(7)

Alabio di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Pros. Lokakarya Unggas Air.

Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 139−145.

ROSE, S.P. 1997. Principles of Poultry Science. Cab International.

SAS. 1997. SAS/STAT Guide for Personal Computers. Ver:6.12 Edit. SAS Institute Inc.

Cary, NC.

SETIOKO. A.R. dan E.S. ROHAENI. 2002. Pemberian bahan pakan lokal terhadap produktivitas itik Alabio. Pros. Lokakarya Unggas Air.

Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Fakultas Peternakan IPB Bogor-Balai Penelitian Ternak. hlm. 129−138.

DISKUSI Pertanyaan:

Mengapa produksi minggu ke 2, 10, 19, 20 berbeda?

Jawaban:

Dari 40 minggu yang diamati pada minggu tersebut secara statistik berbeda nyata, akan dikonsultasikan kembali dengan DR.HARDI. Produksi telur di daerah Banjarwangi lebih rendah karena pakannya beli (SDA nya kurang baik untuk dijadikan pakan). Produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu tidak berbeda nyata (p<0,05) kecuali pada minggu ke-2, minggu ke 10, minggu ke-14 dan minggu ke-20. Produksi itik Alabio pada minggu-minggu tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan itik Mojosari, hal tersebut diduga pengaruh faktor lingkungan.

Gambar

Tabel 1.  Bahan komposisi ransum ternak itik untuk  100 kg bahan pakan
Tabel 2.  Rata-rata umur pertama bertelur, bobot badan pertama bertelur dan bobot telur pertama itik Alabio  dan Mojosari
Gambar 1. Dinamika produksi telur itik Alabio dan Mojosari selama 40 minggu

Referensi

Dokumen terkait

Uji berikutnya adalah Paired Sample T Test dengan hasil diketahui rata-rata nilai z score sebelum diberi intervensi adalah -2,48 ± 0,27 dan sesudah diberi intervensi nilai

Restoran yang dibuat dengan konsep fast food itu pun diberi nama Lim Resto mengunakan ayam panggang oven sebagai produk utama.dengan menggunakan metode observasi, metode

Penguasaan agama pada ranah budaya di Bali memberikan dampak pola kerukunan umat beragama hanya bisa dimungkinkan tercipta ketika ada kebesaran hati agama Hindu

1) Konstitusi jasmani ialah, keadaan jasmani yang secara fisiologis merupakan sifat-sifat bawaan sejak lahir. Konstitusi jasmani ini berpengaruh juga pada tingkah laku orang itu, dan

Pada bahan baku yang berbeda maka akan didapatkan yield biodiesel yang berbeda pula. Yield biodiesel yang terbentuk dipengaruhi oleh volume pereaksi yaitu methanol yang

Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan pada siswa SD kelas V dengan menerapkan strategi SQ3R (survey, question, read, recite, review) pada judul

Lindi berasal dari proses dekomposisi sampah yang mengandung materi tersuspensi, terlarut, dan terekstraksi, sehingga kandungan lindi sangat berbahaya.Pada penelitian

Dokumentar adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditunjukkan pada subjek penelitian tetapi dalam bentuk dokumen. 4 Jadi, teknik ini merupakan teknik yang