• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK SIFAT-SIFAT PRODUKSI TELUR ITIK ALABIO

(Genetic Parameter Estimates of Egg Production Characteristics in Alabio Ducks)

T.SUSANTI danL.H.PRASETYO

1Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

ABSTRACT

Egg production of local ducks in Indonesia is still low, and one way of improving their productivity is through genetic improvement. Estimates of genetic parameters are required before designing an appropriate genetic program for the targeted population. This study was aimed at estimating genetic parameters of a population of Alabio ducks, which includes heritability and genetic correlations between age at first laying, weight of first eggs, and egg production at 12 weeks with egg production at 24 weeks. Measurements were taken from 650 female and 100 male Alabio ducks of F1 population and 400 female of F2 population. Data were analyzed using animal model of the Restricted Maximum Likelihood (REML) with program PEST dan VCE 4.2. Results showed that the heritability estimates for age at first laying, weight of first eggs, egg production at 12 weeks and egg production at 24 weeks were 0.047 ± 0.043; 0.160 ± 0.098; 0.235 ± 0.087 and 0.127 ± 0.088 respectively. The estimates of genetic correlation coefficient between egg production at 24 weeks with age at first laying, weight of first egg and egg production at 12 weeks were 0.349; 0.016 and 0.996 respectively. Based on the estimates of heritability of the egg production characteristics it seems that crossbreeding would be more suitable for improving egg production in Alabio ducks. If a selection program is to be used for improving egg production, then some other characteristics should be considered, which have a higher heritability and higher genetic correlation coefficients with egg production.

Key Words: Genetic Parameters, Egg Production, Alabio Ducks

ABSTRAK

Saat ini populasi itik di Indonesia relatif banyak, namun produktivitasnya relatif rendah sehingga perlu upaya perbaikan terhadap mutu genetik, pakan dan majemen. Perbaikan mutu genetik dapat dilakukan dengan program pemuliaan melalui seleksi dan atau persilangan. Untuk menentukan program pemuliaan yang akurat untuk dilakukan dalam suatu populasi, maka sebaiknya diketahui terlebih dahulu parameter genetik dari populasi tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pendugaan nilai parameter genetik itik Alabio yang meliputi nilai heritabilitas dan korelasi genetik umur pertama bertelur, bobot telur pertama, produksi telur 12 minggu dan produksi telur 24 minggu. Penelitian ini mennggunakan 1.150 ekor itik Alabio betina yang terbagi dalam dua generasi yaitu generasi tetua (F1) sebanyak 650 ekor betina dan 100 ekor jantan. Sedangkan pada generasi anak (F2) hanya diamati produksi telur itik betina sebanyak 400 ekor.

Struktur perkawinan bervariasi dari satu pejantan dengan dua sampai empat ekor betina dengan jumlah bervariasi pula dari dua sampai empat anak per induk betina. Data-data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan animal model Restricted Maximum Likelihood (REML) menggunakan program PEST dan VCE 4.2 (Groeneveld, 1998). Nilai heritabilitas umur pertama bertelur, bobot telur pertama, produksi telur 12 dan 24 minggu pada itik Alabio masing-masing adalah 0,047 ± 0,043; 0,160 ± 0,098; 0,235 ± 0,087 dan 0,127

± 0,088. Sedangkan nilai korelasi genetik antara produksi telur 24 minggu dengan umur pertama bertelur, bobot telur pertama dan produksi telur 12 minggu masing-masing adalah 0,349; 0,016 dan 0,996. Berdasarkan nilai heritabilitas sifat-sifat produksi telur itik Alabio tersebut, maka program pemuliaan itik Alabio sebaiknya dilakukan dengan persilangan. Sedangkan apabila ingin melakukan program seleksi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi telur, sebaiknya dipertimbangkan kriteria seleksi pada sifat-sifat lain yang memiliki nilai heritabilitas dan korelasi genetik yang tinggi dengan sifat produksi telur.

Kata Kunci: Parameter Genetik, Produksi Telur, Itik Alabio

(2)

PENDAHULUAN

Fungsi ternak itik di daerah pedesaan di Indonesia adalah salah satu komponen penting dalam sistem usahatani para petani kecil dan sumber pendapatan tunai bagi keluarga.

Meskipun saat ini populasi itik di Indonesia relatif banyak, namun potensi populasi ini belum mampu berperan sebagai sumber pangan andalan, karena produktivitasnya yang relatif rendah dan keragaman yang tinggi (HARDJOSWORO et al., 2001). Itik Alabio dinilai mempunyai kemampuan berproduksi relatif tinggi namun keragamannya juga tinggi.

RAHMAT (1998) melaporkan bahwa rata-rata produksi telur itik Alabio adalah 227,92±63,63 butir per ekor per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keragaman produksi telur itik Alabio relatif tinggi yaitu 27,92%. Sehingga perlu upaya untuk memperbaiki produktivitasnya.

Upaya yang dapat dilakukan untuk memperbaiki produktivitas seekor itik adalah perbaikan terhadap mutu genetik disamping perbaikan pakan dan manajemen. Perbaikan mutu genetik merupakan alternatif yang relatif efektif karena akan memberikan dampak yang lebih permanen.

Pada dasarnya upaya perbaikan genetik dapat dilakukan melalui dua prosedur yaitu seleksi dan atau persilangan. Kedua sistem tersebut dapat digunakan secara terpisah maupun dalam suatu kombinasi. Untuk menentukan program pemuliaan yang akurat pada suatu populasi, sebaiknya diketahui terlebih dahulu parameter genetik dari populasi tersebut. Parameter genetik yang perlu diketahui adalah nilai heritabilitas dan korelasi genetik pada sifat-sifat produksi yang memiliki nilai ekonomis penting (WARWICK et al., 1995). Nilai heritabilitas dapat digunakan sebagai dasar kebijakan dalam melakukan seleksi, karena nilai heritabilitas yang tinggi akan memberikan respon seleksi yang tinggi pula. Sebaliknya apabila nilai heritabilitas relatif rendah, maka program seleksi tidak akan efektif sehingga program persilangan akan lebih baik (CAMERON, 1997). Sedangkan korelasi genetik dapat dimanfaatkan untuk menentukan sifat produksi lain yang dapat dijadikan kriteria seleksi apabila sifat pertama yang dipilih sebagai kriteria seleksi terlalu sulit atau terlalu mahal untuk dilakukan (MARTOJO, 1992).

Produksi telur merupakan salah satu sifat penting yang bernilai ekonomi tinggi dari performan ternak petelur. Istilah produksi telur dapat digunakan untuk menggambarkan pembentukan sebutir telur, jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor induk selama periode bertelur atau jumlah butir telur yang dihasilkan oleh sekelompok induk dalam suatu periode waktu tertentu. Sifat-sifat lain yang mempengaruhi produksi telur adalah umur pertama bertelur yang merupakan ciri bahwa itik tersebut sudah masak kelamin dan bobot telur (HARDJOSWORO, 2001; KETAREN et al., 1999).

Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pendugaan nilai parameter genetik itik Alabio yang meliputi nilai heritabilitas dan korelasi genetik umur pertama bertelur, bobot telur pertama, produksi telur 12 minggu dan produksi telur 24 minggu.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini menggunakan catatan performans itik Alabio yang ada di Balai Penelitian Ternak sejak tahun 2000. Catatan tersebut terdiri atas silsilah ternak, tanggal menetas dan tanggal pertama kali bertelur sehingga dapat diketahui umur pertama bertelur, bobot telur pertama kali, produksi telur yang dicatat setiap hari sehingga dapat diketahui produksi telur selama 12 dan 24 minggu.

Dalam penelitian ini mennggunakan 1.150 ekor itik Alabio betina yang terbagi dalam dua generasi yaitu generasi tetua (F1) sebanyak 650 ekor betina dan 100 ekor jantan. Sedangkan pada generasi anak (F2) hanya diamati produksi telur itik betina sebanyak 400 ekor.

Perbanyakan populasi anak dilakukan melalui inseminasi buatan (IB) yang dilakukan dua kali dalam seminggu, sehingga penetasan pun dilakukan dua kali dalam seminggu. Struktur perkawinan bervariasi dari satu pejantan dengan dua sampai empat ekor betina dengan jumlah bervariasi pula dari dua sampai empat anak per induk betina.

Data-data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis dengan animal model Restricted Maximum Likelihood (REML) menggunakan program PEST dan VCE 4.2 (GROENEVELD, 1998).

(3)

HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai heritabilitas

Hasil pendugaan nilai heritabilitas sifat- sifat produksi telur itik Alabio tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai heritabilitas dan galat baku umur pertama bertelur, bobot telur pertama produksi telur 3 bulan dan produksi telur 6 bulan itik alabio

Sifat Nilai heritabilitas

Umur pertama bertelur 0,047 ± 0,043 Bobot telur pertama 0,160 ± 0,098 Produksi telur 12 minggu 0,235 ± 0,087 Produksi telur 24 minggu 0,127 ± 0,088

Pada Tabel 1 tampak bahwa nilai heritabilitas sifat-sifat produksi telur itik Alabio termasuk kategori rendah. Hal ini terjadi karena kergaman yang tampak dalam sifat-sifat reproduksi dan produksi tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh keragaman lingkungan dan hanya sedikit yang dipengaruhi oleh keragaman genotipa (WARWICK et al., 1995; CAMERON, 1997).

Nilai heritabilitas umur pertama bertelur pada itik Alabio yang diperoleh pada penelitian ini adalah 0,047 ± 0,043 yang termasuk kategori rendah. Nilai ini lebih kecil daripada GUNAWAN (1989) yang memperoleh nilai heritabilitas umur pertama bertelur pada itik Alabio sebesar 0,12 dengan metode analisis ANOVA. INDRIJANI (2001) menyatakan bahwa nilai heritabilitas akan berbeda akibat perbedaan populasi yang diamati, perbedaan metode dan model analisis yang digunakan.

Nilai heritabilitas bobot telur pertama itik Alabio adalah 0,160 ± 0,098 yang termasuk kategori rendah. Nilai galat baku bobot telur pertama juga relative rendah. Hal ini menunjukkan bahwa program VCE (Varians Component Estimation) dirancang untuk menduga parameter genetik yang lebih akurat, karena dalam analisisnya harus mempertimbangkan fixed effect yang dalam penelitian ini hatch atau waktu penetasan digunakan sebagai fixed effect (CAMERON, 1997; ANANG, 2001).

Nilai heritabilitas produksi telur 12 minggu itik Alabio adalah 0,235 ± 0,087 yang

termasuk kategori rendah. Hasil yang hampir sama diperoleh HU et al. (1999) yang memperoleh nilai heritabilitas produksi telur 15 minggu (± 4 bulan) sebesar 0,20 ± 0,03.

Sedangkan nilai heritabilitas produksi telur 24 minggu itik Alabio adalah 0,127 ± 0,088 yang termasuk kategori rendah. Hasil ini lebih kecil daripada hasil penelitian HU et al. (1999) yang memperoleh 0,22 ± 0,03. Berdasarkan nilai heritabilitas produksi telur tersebut tampak bahwa produksi telur 12 minggu memiliki nilai heritabilitas lebih tinggi dibandingkan produksi telur 24 minggu. Berdasarkan nilai tersebut, maka program pemuliaan melalui seleksi sebaiknya mempertimbangkan kriteia seleksi produksi telur 12 minggu. Pada umumnya tujuan pemeliharaan itik adalah menghasilkan telur selama satu tahun. Oleh karena itu, jika tujuan utama seleksi adalah produksi telur satu tahun maka harus dicari dahulu korelasi antara produksi telur 12 minggu dengan produksi telur setahun agar diperoleh respon seleksi yang diinginkan.

Korelasi genetik

Korelasi genetik terjadi karena adanya pengaruh gen-gen yang bersifat pleiotropy yaitu sebuah gen yang dapat mempengaruhi dua sifat atau lebih, atau karena adanya linkage gen yaitu dua gen atau lebih yang saling mempengaruhi karena letaknya berdekatan dalam kromosom (WARWICK et al., 1995).

Nilai-nilai korelasi genetik ini berperan dalam mengukur respon seleksi terkorelasi yaitu perubahan genetik atau respon pada sifat kedua sebagai akibat seleksi pada sifat pertama. Nilai korelasi genetik yang diamati dalam penelitian ini adalah produksi telur 24 minggu dengan sifat-sifat produksi yang lainnya seperti tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai korelasi genetik dan galat baku produksi telur 24 minggu terhadap umur pertama bertelur, bobot telur pertama dan produksi telur 3 bulan iti Alabio

Sifat Korelasi genetik

Umur pertama bertelur 0,349 ± * Bobot telur pertama 0,016 ± * Produksi telur 12 minggu 0,996 ± *

* = galat baku tidak dapat diestimasi

(4)

Pada Tabel 2 tampak bahwa korelasi genetik produksi telur 24 minggu dengan umur pertama bertelur bernilai 0,349. Hal ini berarti bahwa sifat produksi telur 24 minggu relatif berpengaruh sedang terhadap umur pertama bertelur. WARWICK et al. (1995) melaporkan bahwa umur pertama bertelur pada ayam berkorelasi negatif tinggi dengan produksi telur sampai umur 46 minggu. Hasil penelitian ini pun berbeda dengan HU et al. (1999) yang memperoleh korelasi genetik umur pertama bertelur dengan produksi telur 15 dan 22 minggu pada entok dengan nilai masing- masing -0,91± 0,04 dan -0,86 ± 0,05.

Demikian pula dengan nilai korelasi genetik produksi telur 24 minggu dengan bobot telur pertama dengan nilai 0,016 yang termasuk kategori positif rendah (WARWICK et al., 1995). Hasil penelitian ini juga berbeda dengan NURGIARTININGSIH et al. (2002) yang memperoleh nilai korelasi genetik produksi telur enam bulan dengan bobot telur umur 28 dan 33 minggu pada ayam White Leghorn masing-masing -0,19 dan -0,30. Perbedaan hasil tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan metode dan model analisis yang digunakan. Selain itu, hasil tersebut di atas memberikan indikasi bahwa meskipun program VCE (Varians Component Estimation) dirancang untuk menduga parameter genetik yang lebih akurat dibandingkan ANOVA namun dalam penggunaannya program VCE ini memerlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya jumlah ternak yang digunakan harus banyak, catatan silsilah keluarga harus lengkap, perkawinan induk dan pejantan harus terstruktur dengan jumlah anak yang terstruktur pula sehingga perkawinan melalui inseminasi buatan sangat disarankan, dan sistem kandang yang digunakan harus kandang individu karena analisis nilai heritabilitas berdasarkan catatan individu.

Nilai korelasi genetik produksi telur 24 minggu dengan produksi telur 12 minggu adalah 0,996. Hal ini sejalan dengan WARWICK

et al. (1995) yang memperoleh nilai korelasi genetik positif tinggi antara produksi telur jangka pendek dengan produksi telur selama 300 hari.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Nilai heritabilitas umur pertama bertelur, bobot telur pertama, produksi telur 12 dan 24 minggu pada itik Alabio masing-masing adalah 0,047 ± 0,043; 0,160 ± 0,098; 0,235

± 0,087 dan 0,127 ± 0,088.

2. Sedangkan nilai korelasi genetik antara produksi telur 24 minggu dengan umur pertama bertelur, bobot telur pertama dan produksi telur 12 minggu masing-masing adalah 0,349; 0,016 dan 0,996.

3. Berdasarkan nilai heritabilitas sifat-sifat produksi telur itik Alabio tersebut, maka program pemuliaan itik Alabio sebaiknya dilakukan dengan persilangan. Sedangkan apabila ingin melakukan program seleksi dengan tujuan untuk meningkatkan produksi telur, sebaiknya dipertimbangkan kriteria seleksi pada sifat-sifat lain yang memiliki nilai heritabilitas dan korelasi genetik yang tinggi dengan sifat produksi telur.

DAFTAR PUSTAKA

ANANG, A., N. MIELENZ, L. SCHULER dan R.

PREISINGER. 2001. The use of monthly egg production records for genetic evaluation of laying hens. JITV 6(4): 270 – 274.

CAMERON,D. 1997. Selection Indices and Prediction of genetic Merit in animal Breeding. Roslin Institute. Edinburg, UK.

GROENEVELD, E. 1998. VCE User’s Guide and References Manual Version 4.2. Institute of Animal Behaviour. Federal Agricultural Research Centre, Germany.

GUNAWAN,B.,D.RAHMAT dan H.MARTOJO. 1989 Heritability Estimates for egg production traits in Indonesia layer duck. Ilmu dan Peternakan, 3(4): 177 – 179.

HARDJOSWORO, P.S.,A.R.SETIOKO, P.P.KETAREN, L.H.PRASETYO,A.P.SINURAT dan RUKMIASIH. 2001. Pros. Lokakarya Unggas Air.

Pengembangan Agribisnis Unggas Air sebagai Peluang Usaha Baru. Kerjasama Institut Pertanian Bogor, Balai Penelitian Ternak dan Yayasan KEHATI. hlm. 22 – 41.

(5)

HU,Y.H.,J.P.POIVEY,R.ROUVIER,C.T.WANG dan C.TAI. 1999. Estimation of genetic parameters of muscovy laying performances in Taiwanese Climatic Condition. Proc. 1st World Waterfowl Conference. Taichung. Taiwan Republic of China. pp. 102 – 107.

INDRIJANI, H., R.R. NOOR dan C. TALIB. 2001.

Penggunaan catatan test day untuk mengevaluasi mutu genetik sapi perah. JITV 6(4): 227 – 232.

KETAREN,P.P.,L.H.PRASETYO dan T.MURTISARI. 1999. Karakter produksi telur itik silang Mojosari x Alabio. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor.

MARTOJO, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Depatemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi.

Institut Pertanian Bogor.

NURGIARTININGSIH, V.M.A., N. MIELENZ, R.

PREISINGER dan L. SCHULER. 2002. Genetic parameters of laying hens in single and group cages. 7th World Congress on Genetics Applied to Livestock Production. August 19 – 23, Montpellier, france.

RAHMAT, D. 1989. Pendugaan parameter genetik beberapa sifat produksi telur itik alabio, Khaki Campbell dan hasil kawin silang antara itik Alabio, Tegal dan Khaki Campbell. Tesis.

Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

WARWICK,E.J.,M.ASTUTI dan W.HARDJOSUBROTO. 1995. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Lindi berasal dari proses dekomposisi sampah yang mengandung materi tersuspensi, terlarut, dan terekstraksi, sehingga kandungan lindi sangat berbahaya.Pada penelitian

Uji berikutnya adalah Paired Sample T Test dengan hasil diketahui rata-rata nilai z score sebelum diberi intervensi adalah -2,48 ± 0,27 dan sesudah diberi intervensi nilai

Namun dalam perjalannya transaksi tersebut rusak ketika pihak penyewa meminta tambahan biaya dari biaya yang telah di tentukan di awal akad sehingga disini terjadi

dominan dari kayu yang mudah terbakar -Sosialisasi SPM bidang PU dan Penataan Ruang bangunan rumah -Rekonstruksi terkait perizinan pemanfaatan ruang pantai; -Membangun

(3) Modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diberikan setelah Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan yang disusun oleh Dewan Direksi mendapat

memperkirakan jumlah timbulan sampah yang timbul akibat pertambahan penduduk maupun perubahan gaya hidup masyarakat itu sendiri. Jumlah sampah yang diproduksi diperkirakan sebesar

Kelarutan dalam alkohol dapat dihitung dari banyaknya alkohol yang ditambahkan pada minyak daun kayu manis, sehingga terlarut secara sempurna yang ditandai dengan

Secara konseptual penelitian ini akan menelaah dua faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar fisika siswa, yairu motivasi belajar dan pengetahuan matematika