• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Naskah

DI KABUPATEN TUBAN JAWA TIMUR Achmad Sidiq

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Naskah

Rubrik Tasawuf Ramadhan merupakan rubrik yang ada hanya di bulan ramadhan saja. Prof Nazarudin Umar dipercaya sebagai penulis tetap di rubrik ini. Terdapat 21 judul tulisan tulisan Nazarudin Umar selama satu bulan. Berikut kami uraikan, Materi tulisan dalam rubrik tasawuf ramadhan yang disertai analisis intertekstual ayat al Quran sebagai hipogramnya.

Judul: “Dari Tanpa Niat Ke Niat Yang Luhur” (Senin, 6 Juni 2016 atau 1 Ramadhan 1437 H)

Isi pesannya lebih menegaskan tentang pentingnya niat (karena Allah) dalam setiap perbuatan. Menurut ulama fikih, mengganggap sia-sia amal perbuatan tanpa niat. Bahkan Imam Syafii mengharuskan adanya niat bagi setiap perbuatan jika dikehendaki sebagai ibadah. Kalangan ulama kalam (teolog) menganggap niat sebagai faktor pembeda antara perbuatan

manusia dan hewan. Niat adalah bentuk keterlibatan Tuhan, mulai dari kehendak (masyiah),

kemampuan (istitha’ah) sampai terjadinya perbuatan (kasab).

Disinilah perlunya niat yang baik dan benar agar perbuatan kita mempunyai dampak spiritual lebih utama (insan kamil). Tingkatan efek spiritual inilah yang membedakan antara perbuatan manusia dan perbuatan hewan (hayawat) dan tumbuhan (nabatat). Kita perlu

mengingatkan diri kita agar selalu tersambung dengan Tuhan dalam melakukan setiap pekerjaan kita. Hanya dengan cara ini, maka seorang hamba akan bisa meraih martabat ulama.

Mengenai pentingnya niat sesuai dengan hipogram hadits Nabi yang diriwayatkan oleh HR Bukhari muslim,dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa :

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim,

dan empat imam Ahli Hadits)

Judul: “Dari Mukhlas ke Mukhlish” (Selasa, 7 Juni 2016 atau 2Ramadhan 1437 H)

Terdapat perbedaan antara mukhlas dan mukhlis. Tidak semua orang yang melakukan perbuatan ikhlas (mukhlish) dapat disebut mukhlash. Dengan kata lain semua orang mukhlas pasti mukhlish, tetapi belum tentu seorang mukhlish adalah orang yang mukhlash. Dari kata ikhlas lahir kata Mukhlash yang berarti orang yang mencapai puncak keikhlasan sehingga bukan dirinya lagi yang berusaha menjadi orang ikhlas (mukhlish) tetapi Allah SWT yang proaktif untuk memberikan keikhlasan itu. Mukhlish masih sadar bahwa dirinya dalam posisi ikhlash, sedangkan mukhlash tidak sadar dalam posisi ikhlas. Keikhlasan sudah menjadi bagian dari habit

dan karakternya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Lebih lanjut, jika masih dalam kadar mukhlish maka yang bersangkutan masih riskan untuk digoda berbagai manuver iblis, sedangkan dalam kadar mukhlash, iblis sudah menyerah dan tidak bisa lagi mengganggunya karena langsung di back up oleh Allah SWT. Mengenai tema

mukhlish dan muklash, Prof Nazar merujuk pada hipogramnya QS. Al hijr, 39-40serta Q.S Shad ayat 82-83. sebagai hipogramnya.

Judul: “Dari Shadiq Ke Shidiq” (Rabu, 8 Juni 2016 atau 3Ramadhan 1437 H)

Terdapat perbedaan antara shadiq dan shidiq meskipun berasal dari kata yang sama yaitu sadaqa yasduqu yang berarti percaya, membenarkan. Shadiq yaitu mempercayai sesuatu

setelah melalui proses panjang misalnya: menanti penjelasan yang masuk akal dan masuk di hati. Sedangkan siddiq yaitu sebuah kepercayaan lebih mendalam dan tanpa harus menunggu

proses penjelasan. Shadiq masih terpengaruh akal dan pikiran, sedangkan shidiq sudah tidak tergoda oleh pikiran. Shadiq masih fluktuatif, tergantung suasana mood, bisa terpengaruh faktor eksternal dan internal, belum bisa istiqomah.

Dalam pandangan ulama tasawuf, Syekh Hasan Syadali (ulama tasawuf yang muktabarah/ legitimated), seseorang yang sudah sampai ke tingkat shidiq sudah mampu menampilkan akhlak

karimah. Amalan syariahnya sudah sempurna, karakternya diwarnai dengan muruah, sikapnya

dihiasi tawadhu, perilakunya dibungkus dengan zuhud, sedangkan hati dan pikirannya disinari dengan keikhlasan.

Tema tentang shidiq dan shadiq sesuai dengan kandungan ayat al quran Ad Dhuha 93:9 dan Qs An Nisa 4:69 yang artinya:

Mereka itu akan bersama dengan orang yang dianugarehi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shidiqin, orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh, dan mereka adalah teman yang sebaik-baiknya”.

Judul: “Dari Shabir Ke Mashabir” (Kamis, 9 Juni 2016 atau 4 Ramadhan 1437 H)

Prof Nazar menceritakan kisah Nabi Ayyub yang di dera penyakit. Beliau tidak hanya shabir tetapi sudah termasuk kategori mashabir. Kesabaran ditingkat awal (shabir) masih menyisihkan sedikit keluhan. Sedangkan, kesabaran di tingkat akhir (mashabir) sudah tidak ada keluhan, bahkan sudah bersahabat dengan penyakit atau penderitaan.

Ungkapan seperti: “ Saya sudah memaafkan, tetapi belum bisa melupakan”. Ini masih masuk kategori shabir. Ketika, ia memaafkan dan kembali ke titik nol, itu baru mashabir. Kata shabir menunjukkan orang yang sabar tetapi masih temporer, masih memberi batas, dan sewaktu-waktu bisa lepas, sedangkan mashabir, kesabarannya sudah permanen, sabar yang tiada batas. Hal ini merujuk pada Q.S shad/38:42, 38:44 dan al Baqarah 2:153).

Judul: “Dari Syukur Ke Syakur” (Jumat, 10 Juni 2016 atau 5Ramadhan 1437 H)

Kata syukur dan syakur berasal dari akar kata syakara-yaskuru yang berarti bersyukur.

Syukur ialah mensyukuri segala nikmat yang Tuhan berikan kepada kita, seperti kesehatan, rezeki, jabatan, keturunan, dan keluarga sakinah. Sedangkan syakur ialah mensyukuri segala sesuatu yang berasal dari Tuhan termasuk musibah, penderitaan, dan kekecewaan. Bersukur atas segala kenikmatan dari Allah adalah hal yang biasa, akan tetapi mensyukuri penderitaan, musibah dan kekecewaan adalah hal yang luar biasa. Ini yang termasuk kategori syakur. Syukur banyak dilakukan oleh orang, tetapi yang melakukan syakur masih langka.

diri. Kualitas syakur tidak bisa dicapai tanpa berusaha untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Ayat Al Quran sebagai hipogram atas tema syukur dan syakur terdapat dalam Q.S Saba 34:13) yang berarti: “Hanya sedikit sekali di antara hambaku yang mampu mencapai derajat syakur.”

Judul: “Dari Taib ke Tawwab” (Sabtu, 11 Juni 2016 atau 6 Ramadhan 1437 H)

Orang-orang yang bertobat dikenal dengan dua istilah, yaitu al taib dan al tawwab. Kedua

istilah ini berasal dari akar yang sama yaitu taba yatubu yang berarti kembali ke jalan yang benar

setelah melalui jalan menyimpang. Al Taib yaitu kembali ke jalan yang benar setelah menempuh

jalan menyimpang.

Al Taib yaitu orang yang sesekali melakukan pertobatan. Ia membiarkan dirinya

melakukan dosa karena mereka yakin pada saatnya pasti akan kembali (taib) ke jalan kebenaran. Dosa dan maksiat dibiarkan menumpuk, dengan harapan nanti sekalian tobat di masa mendatang jika segalanya berubah. Orang seperti ini, sesungguhnya melakukan pertobatan hanya intensitasnya kurang. Tidak seperti yang diserukan Allah yaitu taubatan nashuha. Sedang al tawwab yaitu orang yang melakukan pertobatan, baik ketika ia menyadari telah melakukan

kesalahan maupun ketika ia tidak melakukan kesalahan.

Ia menjadikan tobat sebagai karakter (habit) karena menyadari kelemahannya di hadapan Allah. Ia sadar, ajal bisa datang tiba-tiba tanpa persiapan sebelumnya. Karena itu, ia selalu berusaha untuk kembali (tawwab) setiap kali ia berbuat dosa atau maksiat. Qs At Tahrim 66:8, Qs An Nisa 4:14, Al Furqon 25: 70 merupakan ayat Al Quran yang berisi tentang tema tobat.

Judul:“Dari Inabah Ke Istijabah” (Senin, 13 Juni 2016 atau 8Ramadhan 1437 H)

Syekh Ibnu Athaillah membedakan dua jenis tobat, yaitu taubat inabah dan taubah istijabah. Taubat inabah yaitu sikap taubat seorang hamba yang didorong oleh rasa takut terhadap dosa dan maksiat yang telah dilakukannya sehingga terbayang dibenaknya kerugian besar di dunia dan siksa Tuhan di neraka. Dalam suasana takut, ia menyerahkan diri, bertobat, dan minta ampun kepada Allah SWT. Siang dan malam melakukan ketaatan kepada Allah dengan harapan amal kebajikan bisa mengikis habis segala dosa-dosanya.

Sedangkan tobat istijabah merupakan bentuk tobat seorang hamba yang malu pada kemuliaan Tuhannya. Tobat dalam tahap ini tidak lagi membayangkan Allah SWT sebagai Maha Pembalas terhadap segala dosa dan maksiat sebagaimana dalam tahap tobat inabah. Tobat istijabah akan merasa tersiksa rasa malu terhadap Tuhannya ketimbang panasnya api

neraka-Nya. Ayat Al Quran terkait dengan tobat serta amalan untuk selalu baik yaitu terdapat dalam Qs Hud 11: 114.

Judul: “Dari Istighfar ke Tobat” (Selasa, 14 Juni 2016 atau 9Ramadhan 1437 H)

Sesungguhnya tobat itu adalah istighfar, tetapi tidak semua istighfar adalah tobat. Istighfar secara populer diartikan sebagai ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kesalahan dan kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istighfar, misalnya

astagfirullahal’azim.

Imam al-Gazali dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din-nya tidak membahas panjang lebar

tentang masalah istighfar, tetapi yang dibahas panjang lebar ialah masalah tobat. Bagi Al-Ghazali, istighfar hanya bagian kecil dari tobat. Ia sendiri membagi tingkatan tobat itu ke dalam tiga pembagian besar, yaitu tobatnya orang awam, tobatnya orang khawas, dan tobatnya orang khawas al-khawas, sebagaimana pernah diuraikan dalam pembahasan terdahulu.

Rasulullah SAW pernah ditanya oleh istrinya, ‘Aisyah RA, mengapa engkau menghabiskan waktu malammu untuk beribadah, bukankah engkau seorang nabi yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT? Rasulullah menjawab singkat, “Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur?” Dari sini bisa dipahami bahwa porsi makna tobat tidak hanya sekadar pembersihan diri dari dosa dan maksiat, tetapi lebih banyak bermakna mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT (taqarrub ilallah). Aya al quran mengenai tema tobat

terdapat dalam Q.S Hud 11:3, Q.S Maryam 19:47,Q.S Al Furqon 25:71.

Judul: “DariTahmid Ke Syukur” (Rabu, 15 Juni 2016 atau 10Ramadhan 1437 H)

Sesungguhnya, semua syukur adalah tahmid, tapi tidak semua tahmid adalah syukur. Tahmid adalah salah satu bagian kecil dari syukur. Tahmid secara populer diartikan sebagai ungkapan spontanitas seseorang yang baru saja merasakan nikmat dan karunia Allah dengan mengucapkan lafaz alhamdulillah. Kata ini berasal dari dari akar kata hamida-yahmadu, berarti

memuji atau menyanjung, yaitu memuji kepada Allah SWT.

Kalangan arifin mengartikan syukur sebagai penyandaran segala nikmat kepada sang pemberi nikmat, yaitu Allah SWT Dengan sikap rendah diri dan penuh ketulusan. Syukur ada tiga macam; syukur dengan lisan, ini yang paling populer. Syukur dengan hati yaitu menyadari sepenuhnyaatas segala apa yang disaksikan di bumi yang luas dan tetap konsisten menjaga kehormatan. Yang ketiga, syukur dengan aktualisasi diri. Misal: syukur kedua mata dengan menahan dan menghindari dari segala yang diharamkan Allah atas keduanya dari segala aib orang.Syukur kedua tangan dengan tidak mengambil hak orang lain. Syukur kedua kaki dengan

tidak pergi ke tempat maksiat. Tema syukur sesaui dengan Q.S Al Baqarah 2:152 dan 172.

Judul: “Dari Tawakal Ke Taslim” (Kamis, 16 Juni 2016 atau 11Ramadhan 1437 H)

Kepasrahan diri kepada Allah SWT bertingkat. Ada yang pasrah dalam arti tawakal yaitu pasrahnya seseorang kepada Allah SWT yang masih menggunakan logika dan perhitungan. Misalnya, seseorang yang memasrahkan diri kepada Allah setelah melakukan proses keamanan yang ketat, kemudian berdoa dan memasrahkan keamanan diri dan hartanya kepada Allah SWT. Kepasrahan seperti ini menampilkan diri dalam porsi yang lebih aktif ketimbang sifat hakikat kepasrahan itu sendiri.

Tawakal tidak bisa diartikan sebagai kepasrahan secara pasif, yang menyiratkan unsur kemalasan, keputusasaan dan sikap minimalis lainnya. Namun, kepasrahan adalah aktif, sesuai dengan kapasitas manusia sebagai hamba dan khalifah Allah yang menuntut tanggungjawab. Tidak bisa berdiam diri pasif saat kita didera penyakit, tetapi kita harus berusaha mencari cara penyembuhan.

Namun, ada jenis kepasrahan lebih tinggi daripada kepasrahan tawakkal yaitu taslim.

Kepasrahan dalam bentuk taslim diumpamakan seperti seorang bayi. Bayi yang pasrah di hadapan

orang tua, khususnya ibunya. Ia tidak perlu berkeringat mencari nafkah untuk makan. Disini peran Allah lebih proaktif terhadapnya. Orang-orang yang mendapat karamah, waliyullah dan para nabi masuk ke dalam kategori ini. Ayat al quran yang berisi tema tawakal adalah Q.S Ali Imron 3:159,Q.S Al Maidah 5:23.

Judul: “Dari Taslim Ke Tafwidh” (Jumat, 17 Juni 2016 atau 12Ramadhan 1437 H)

Di artikel sebelumnya telah diuraikan tentang tawakal serta taslim. Terdapat kepasrahan

yang lebih tinggi dari tawakal dan taslim yaitu tafwidh. Tafwidh disebut pasrah yang paling tinggi

yangdisebut dengan khawash al khawash (pasrah secara total). Karena itu, Allah SWT yang maha

proaktif. Kepasrahan ini bisa dicontohkan dengan seorang janin yang terdapat dalam rahim ibunya (Qs Al Mu’minun 23:13)

Selain bayi yang terdapat dalam janin, contoh lainnya yaitu para nabi yang diberi mukjizat oleh Allah SWT. Seperti Nabi Ibrahim yang dibakar tetapi masih hidup, bahkan sehelai rambut pun tidak terbakar. Nabi Daud tidak bisa terluka ketika ditusuk menggunakan senjata. Serta Nabi Musa yang mampu membelah laut (Qs Al Ghafir 40: 45-46.

Ayat ayat yang terkait dengan tafwidh yaitu Qs Al Ghafir 40:44.” Kelak kamu akan ingat kepada apa yang kukatakan kepadamu. Dan aku menyerahkan (yufawwidh) urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hambaNya.”

Judul : “Dari Alim Ke Arif” (Sabtu, 18 Juni 2016 atau 13 Ramadhan 1437 H)

Umumnya orang arif adalah alim, tetapi tidak semua orang alim itu arif. Penggunaannya dalam Bahasa Indonesia sering dipertukarkan (interchangible). Seolah-olah kedua kata ini

sinonim, padahal keduanya amat berbeda. Alim artinya orang yang mengetahui sesuatu dengan menggunakan kecerdasan logika. Sedangkan arif berarti orang yang memahami sesuatu dengan menggunakan kecerdasan batin atau spiritual.

Cara menjadi alim bagi banyak orang tidak terlalu sulit, yang penting ada kesungguhan, punya biaya dan rajin belajar, insyallah akan menjadi alim. Sedangkan untuk menjadi arif tidak cukup dengan rajin belajar dan biaya yang cukup tetapi lebih dari itu harus mendekatkan diri kepada Allah SWT, menjauhi larangan dan menaati perintahnya. Juga diperlukan kesabaran, kepasrahan diri, dan tawakal serta senantiasa berdoa agar mendapatkan berkah itu.

Pengetahuan yang diperoleh melalui metode pertama disebut ilmu (ilmu) sedangkan pengetahuan yang diperoleh melalui metodologi yang kedua disebut Makrifat (makrifah). Prototipe ideal seorang muslim sesungguhnya harus memiliki keduanya yaitu ilmu dan makrifah. Keilmuan akan banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan duniawi, sedangkan makrifah banyak membantu kita untuk memberikan kemudahan ukhrawi. Ilmu banyak menolong kita untuk sukses menjadi khalifah di bumi, sedangkan makrifah banyak menolong kita untuk sukses menjadi hamba atau abdul/abid. Hal ini sebagaimana tertuang dalam (Q.S Al Anam 6:59).

Judul: “Dari zikir ke wirid” (Senin, 21 Juni 2016 atau 16Ramadhan 1437 H)

Dalam pengertian populer, zikir lebih banyak berarti penyebutan dan penyucian nama Allah sama dengan pengertian populer dari wirid. Termasuk makna zikir dan wirid yaitu membaca al Quran. Keduanya sama-sama bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bedanya, hanya dari segi ketentuan penyebutan dan pengungkapan.

Zikir biasanya tidak ditentukan jumlah, waktu dan tempat pelaksanaannya. Kapan pun dan dimanapun bebas menjalankan zikir. Sementara wirid biasanya ditentukan jenis, jumlah, waktu dan ketentuan pengamalannya. Bacaan ketika zikir tidak ditentukan, bergantung pada apa yang dihapal atau apa yang dikuasainya. Sedangkan, wirid sudah ditentukan jenis bacaan, tidak bisa ditawar panjang pendeknya. Wirid inilah yang lebih memerlukan alat bantu, seperti tasbih, buku-buku, dan amalan-amalan tertentu.

Tentu saja yang lebih baik adalah wirid. Zikir terkesan temporer. Misalnya: ketika seseorang sedang menghadapi masalah, mempunyai hajat lebih besar, sedang bahagia, dan mengungkapkannya dengan zikir, sedangkan ketika sedih dilakukan seadanya. Sedangkan wirid lebih bersifat permanen dalam keadaan apapun dan bagaimanapun selalu mengamalkan wiridnya.

Jika ia meninggalkan wiridnya, seperti meninggalkan kewajiban serta ada yang kurang. Sehingga ahli wirid lebih kuat ketimbang ahli zikir.

Di dalam Al Quran, zikir dan wirid sangat dianjurkan sebagaimana terdapat dalam (QS Ar Ra’d 13:28):

“yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati ini menjadi tenteram.

Judul: “Puasa dan Perubahan Karakter” (Senin, 21 Juni 2016 atau 16 Ramadhan 1437 H)

Dalam kitab Ihya Ulumuddin Imam Ghazali menyebutkan bahwa puasa adalah ibadah

yang tidak bisa dipisahkan dengan kesabaran, “Dan karena puasa itu termasuk sabar dan bahwa puasa itu sebagian sabar, maka Allah SWT berfirman (dalam hadis qudsi), ‘Puasa itu bagi-Ku dan Aku akan membalasnya’.” (HR Bukhari).

Penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa takwa adalah karakter yang tidak mungkin dicapai melainkan diupayakan dengan penuh kesabaran. Dengan demikian, menjadi sangat mudah untuk dipahami, mengapa bulan suci Ramadhan benar-benar dijadikan momentum emas oleh Rasulullah untuk taqarrub kepada Allah SWT.

Mengingat takwa di dalam Islam begitu jelas aplikasinya, maka takwa menjadi induk terbentuknya karakter dalam diri Muslim, yakni hadirnya pengejawantahan nilai-nilai iman dalam perilaku keseharian. Sehingga, identitas sebagai Muslim benar-benar memancar dalam kehidupan. Ditambah dengan puasa, sudah semestinya setiap Muslim menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter sebagaimana makna operatif dari takwa itu sendiri.

Oleh karena itu, seharusnya puasa sebagai bulan perubahan karakter atau penajaman karakter. Sehingga Islam tidak sekadar menjadi identitas, tetapi mewujud dalam realitas. Sabar mengisi Ramadhan dengan amalan-amalan yang Rasulullah teladankan adalah bagian dari proses perubahan karakter itu sendiri. Ayat al Quran tentang puasa dan peubahan karakter terkandung dalam Q.S Al baqarah 2:183-187.

Judul: “Dari Wirid Ke Warid” (Senin, 22 Juni 2016 atau 17Ramadhan 1437 H)

Keutamaan wirid terletak pada kekuatan istiqomah seorang hamba di dalam melakukan ketaatan kepada Tuhannya. Target kuantitatif harus dicapai setiap hari untuk meyakinkan dirinya tetap di dalam kondisi spiritual yang baik, sehingga terkesan formalitas. Amalan dan pengabdian kepada Allah SWT masih mengacu kepada target kuantitatif. Ahli wirid sering terlena kepada jumlah standar kuantitatif. Jika keseluruhan wirid dilaksanakan, mereka merasa plong.

Orang yang konsisten mengamalkan wirid dan sudah sampai pada tingkat penghayatan lebih mendalam terhadap wiridnya, wirid ini akan berangsur-angsur melahirkan

warid. Warid adalah efek positif yang lahir dari pengamalan wirid secara istiqomah, Ibnu

Athaillah menyebut warid sebagai pemberian dan hidayah Allah SWT berupa petunjuk,

cahaya ilahi, dan kesenangan batin di dalam bertaqarub kepada-Nya.

Lebih lanjut menurut Ibnu Athaillah, Allah memberimu warid untuk

menyelamatkanmu dari cengkeraman dunia dan membebaskan dari diperbudak oleh makhluk apapun. Ia membagi warid menjadi tiga tingkatan. Yaitu 1) Warid yang muncul

pada ahli wirid berupa hamba merasa ringan dalam menjalankan ketaatan dan beribadah karena sudah merasa lebih dekat ke hadirat-Nya. 2) Warid yang muncul pada ahli wirid

berupa hamba merasakan puncak keikhlasan dan sudah mampu melepaskan diri dari tujuan apapun selain hanya kepad allah SWT. 3) Warid yang muncul pada ahli wirid berupa kekuatan untuk melepaskan diri dari sifat wujud yang terbatas untuk kemudian menyaksikan kebesaran Allah yang tidak terbatas. Teks ini mengacu pada Q.S Al Ahzab ayat 41-42, dan Q.S al Baqarah 152.

Judul: “Dari Rahmat Rahmaniyah Ke Rahmat Rahimiyah” (Senin, 23 Juni 2016 atau 18Ramadhan 1437 H)

Rahmat rahmaniyah ialah rahmat semesta alam yang diberikan Allah SWT kepada siapa pun tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, golongan, keyakinan, agama, dan madzab, termasuk didalamnya binatang, tumbuh-tumbuhan, jin dan malaikat. Rahmat rahmaniyah dapat diakses oleh siapa pun yang berusaha untuk mendapatkanNya, meskipun orang tersebut kufur dan pendosa. Yang penting, mereka sudah memenuhi persyaratan universal dan sudah berhak mendapatkannya. Itulah sebabnya, banyak kita jumpai orang yang selayaknya mendapat azab, tetapi mendapatkan rezekinya.

Sedangkan rahmat rahimiyah ialah rahmat secara khusus diperuntukkan kepada hamba-hamba pilihan Allah yaitu orang-orang yang beriman sepenuh hati dan melaksanakan amal saleh dengan ikhlas. Mereka ini akan mendapatkan rahmat yang tidak hanya diberikan kepada orang-orang awam, apalagi orang kafir. Hanya, mereka yang sampai pada tingkat atau maqam sosial dan spiritual yang lebih tinggi yang mendapatkannya.

Perbedaan rahmat rahmaniyah dan rahmat rahimiyah yaitu yang pertama bersifat

sementara, temporer, tidak holistik dan hanya berlaku di dalam kehidupan dunia. Sedangkan, rahmat rahimiyah lebih lama dan abadi, bahkan berlangsung dan berlanjut sampai pada hari kahirat kelak. Sifat Allah yang rahman dan rahm terdapat dalam QsAl A’raf 7:156.

Judul: “Dari Rahmat Rahmaniyah Ke Rahmat Rahimiyyah” (Senin, 24 Juni 2016 atau 19Ramadhan 1437 H)

Al Quran konsisten selalu mendahulukan kata rahman baru rahim. Sesungguhnya untuk mengisyaratkan kita bahwa perjuangan menuju tujuan puncak harus melalui anak tangga pertama. Untuk mencapai makam makrifah lebih tinggi tidak bisa meninggalkan fikih dan syariat. Orang yang berusaha mencapai puncak makam spiritual tanpa mengindahkan aspek fikih dan syariah sulit dibayangkan akan mencapai tujuan tersebut. Kalangan sufi menunjukkan tiga jalan menuju puncak, yaitu syariat, tarekat dan hakikat.

Ar Rahman adalah simbol kemahapengasihan Allah. Apakah benda mati atau benda hidup, alam gaib dan alam syahadah semua mendapatkan rahmat-Nya bahkan orang kafir sekalipun. Ar Rahman adalah kasih sayang “generik” yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan ar rahim adalah kasih sayang-Nya yang “spesial” dikhususkan kepada hamba-Nya yang khusus pula.

Judul : “Dari ‘Abiid ke ‘Ibaad” (Selasa, 28 Juni 2016 atau 23 Ramadhan 1437 H)

Terdapat tiga istilah dan jenis hamba yang diperkenalkan Allah SWT dalam Alquran, yaitu ‘abbid, ‘abiid, dan ‘ibaad. Kata ‘aabid digunakan untuk orang-orang yang melakukan

Dokumen terkait