• Tidak ada hasil yang ditemukan

a m b a t ( m m )

Daging Daging Daging Hati Ginjal Kaki

Penisilin Tetrasiklin M akrolida Aminoglikosida

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian residu antibiotika terhadap sampel daging bagian paha, sayap, dada, hati, ginjal dan kaki ayam pedaging menggunakan metode Bio-Assay atau

Screening Test yang mengacu pada SNI 01-6366-2000 tentang batas maksimum

residu dalam bahan pangan asal hewan. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5. Rata-rata Zona Hambat Residu Antibiotika (Penisillin) Antara Daging (Paha, Dada, Sayap), Organ (Hati, Ginjal) dan Kaki Ayam Pedaging

Zona Hambat No. Sampel Jumlah

Penisilin Tetrasiklin Makrolida Aminoglikosida 1. Hati 31 1,55 ± 8,53 Negatif Negatif Negatif 2. Ginjal 31 0,99 ± 6,34 Negatif Negatif Negatif 3. Daging Paha 31 0,25 ± 1,85 Negatif Negatif Negatif 4. Kaki 31 0,79 ± 3,77 Negatif Negatif Negatif 5. Daging Dada 31 Negatif Negatif Negatif Negatif 6. Daging Sayap 31 Negatif Negatif Negatif Negatif Berdasarkan tabel di atas terlihat golongan antibiotika tetrasiklin, makrolida dan aminoglikosida tidak terbentuk zona hambat, sedangkan golongan penisilin terbentuk zona hambat. Hasil rataan zona hambat pada daging paha, hati, ginjal dan kaki ayam pedaging masih berada di bawah standard SNI 01-6366-2000. Ilustrasi dari rata-rata zona hambat seperti grafik di bawah ini:

Grafik 1. Rataan Zona Hambat Residu Antibiotika Golongan Penisilin, Tetrasiklin, Makrolida dan Aminoglikosida

37

Organ hati mempunyai rataan zona hambat yang paling besar dibandingkan dengan lima bagian lainnya, sedangkan bagian dada dan sayap tidak ada sebaran rataan zona hambat karena nilainya adalah negatif.

Tidak ditemukannya residu antibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging, dimungkinkan karena farmakokinetika obat pada fase farmakokinetika yaitu, absorpsi, transpor, biotransformasi, distribusi dan ekskresi.

a. Absorpsi

Antibiotika yang diberikan secara oral masuk ke dalam lambung, kemudian di usus hancur menjadi molekul kecil dan menembus dinding usus halus. Penyerapan obat dari usus ke sirkulasi darah melalui filtrasi, difusi atau transfor aktif, kecepatan resorpsi tergantung pada pemberian, cara pemberian dan sifat fisikokimiawi obat. Disini kecepatan larut partikel obat (dissolution rate) mempunyai peranan yang penting, semakin halus obat semakin cepat larut dan resorpsi obat. Contohnya sulfonamida dan khloramfenikol (Mutchler, 1999 dan Phillips et al., 2004) .

Antibiotika yang digunakan sebagai growth promoter, daya absorbsi paling kecil oleh usus artinya antibiotika ini bekerja hanya membunuh bakteri patogen, sehingga jenis antibiotika tersebut sama sekali tidak ada resiko terakumulasi di organ tubuh ternak. Dosis penggunaannya sangat kecil yaitu antara 1 – 2 ppm atau 1 – 2 kg/ton pakan, sifat antibiotika harus mudah terdegradasi oleh alam, sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 806/Kpts/TN.260/12/94 tentang klasifikasi obat hewan, bahwa antibiotika yang digunakan tidak memiliki waktu paruh atau waktu henti (withdrawal time) obat (Anonimus, 1991).

b. Transpor

Agar transpor obat ke target sasaran tercapai dalam organ tubuh, zat aktif diolah menjadi suatu bentuk pemberian. Bentuk utama transpor yaitu, secara lokal (intranasal, intraokuler, intra vaginal, intrapulmonal dan kulit) dan sistemis (oral, sublingual, injeksi, inplantasi subkutan dan rektal). Molekul zat kimia melintasi membran semipermeabel berdasarkan adanya perbedaan konsentrasi seperti, melintasi dinding pembuluh ke ruang antar jaringan (interstitium) (Adam, 2002). Mekanisme transpor terbagi dua secara pasif dan aktif, transpor pasif tidak memerlukan energi dan menggunakan cara filtrasi melalui pori-pori kecil dari

membran dan difusi zat larut dalam lapisan lemak dari membran sel. Sedangkan transfor aktif memerlukan energi, tidak tergantung konsentrasi obat dan dilakukan dengan mengikat zat hidrofil (makromolekul dan ion) pada suatu protein pengangkut spesifik yang berada di membran sel (carrier), setelah membran dilintasi obat dibebaskan kembali (Tjay dan Raharja, 2005).

c. Biotransformasi

Tubuh akan berupaya merombak obat yang masuk menjadi metabolit yang tidak aktif dan bersifat lebih hidrofil agar memudahkan proses ekskresi di ginjal. Di dalam hati metabolit yang tidak aktif lagi mengalami proses detoksifikasi atau bioinaktivasi (first pass effect). Reaksi transformasi di dalam hati dilakukan oleh enzim mikrosomal dengan reaksi biokimia yakni, reaksi oksidasi oleh enzim oksidatif cytochrom P 450 dan reaksi reduksi. Kecepatan biotransformasi bertambah bila konsentrasi obat meningkat, fungsi hati, umur, faktor genetis dan penggunaan obat lain (Focosi, 2003; Tjay dan Raharja, 2005).

d. Distribusi

Melalui peredaran darah secara merata ke seluruh tubuh (kapiler dan cairan ekstra sel) diangkut ke dalam sel (cairan intra sel) organ atau otot sasaran. Distribusi obat juga dapat terjadi tidak merata akibat gangguan (rintangan) darah ke otak (cerebro spinal barrier), terikatnya obat pada protein darah atau jaringan lemak. Antibiotika seperti penisilin, khloramfenikol dan tetrasiklin dapat melintasi rintangan ini dengan dosis besar, bila diberikan injeksi intra vena. Sebagian obat di dalam darah diikat secara reversibel pada protein plasma. Zat bersifat asam terikat pada albumin, zat basa mengikat diri pada glikoprotein asam seperti globulin contoh, doksisiklin (Phillips et al., 2004).

e. Eskresi

Organ tubuh yang paling berperan dalam proses eliminasi obat adalah ginjal, obat dikeluarkan dalam bentuk yang tidak berubah (parent drug) atau dalam bentuk metabolit (setelah mengalami biotransformasi) dan kebiasaannya berupa metabolitnya dan hanya sebagian kecil dalam keadaan utuh seperti, penisilin dan terasiklin. Obat yang diekskresi secara aktif tidak terpengaruh oleh pengikatan, seperti benzilpenisilin persentase pengikatan sampai 50% hampir diekskresi

39

masuk ke dalam usus kecil dan dieliminasi melalui feces. Eliminasi melalui jalur ini, obat atau metabolitnya masih dapat mengalami resorpsi (memasuki siklus enterohepatik) (Prescott dan Baggot, 1997).

Kadar plasma obat dan lama pengaruhnya tergantung pada kecepatan eliminasi obat yang dinyatakan dengan plasma half life eliminasi, masa paruh, t ½), yaitu jarak waktu dimana kadar obat dalam plasma pada fase eliminasi turun sampai separuhnya. Kecepatan eliminasi obat dan plasma t ½ tergantung dari kecepatan biotransformasi dan ekskresi. Obat dengan metabolisme cepat waktu paruhnya juga pendek.

Gambar 3. Distribusi Obat dalam Tubuh

Waktu paruh plasma menggambarkan waktu henti obat (withdrawal time). Tidak adanya residu dalam jaringan tubuh hewan sangat berkaitan positif dengan waktu paruh eliminasi plasma (plasma elimination half life, t ½), volume distribusi (apparent volume of distribution, Vd), body clearence (Clb), ikatan dengan protein plasma dan biotransformasi (Tjay dan Raharja, 2005 dan Adam, 2002).

Waktu henti obat adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi. Ini merupakan

18

Pemakaian

Proses yang Terjadi dalam Organisme Setelah Pemberian Oral

Penghancuran sediaan obat, pelarutan bahan berkhasiat

Absorbsi

Distribusi FarmakodinamikFase

Deposit

Ekskresi Biotransformasi

waktu yang cukup sampai konsentrasi obat dalam tubuh hewan menurun ke batas toleransi. Waktu henti obat hewan sangat bervarisasi bergantung pada jenis obat, spesies hewan, faktor genetika ternak, iklim setempat, cara pemberian, dosis obat, status kesehatan hewan, batas toleransi residu obat dan formulasi obat (Bahri

et al., 2005).

Berdasarkan hasil pendataan, ayam pedaging yang dijual di pasar tradisional 65% berasal dari peternakan ayam pedaging diwilayah Kabupaten Tangerang, 20% dari Bogor dan 15% dari Sukabumi. Untuk itu dilakukan pengambilan data skunder hasil pengujian residu antibiotika pada sampel daging dan hati ayam mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2005.

Laboratorium Kesmavet Bambu Apus DKI Jakarta selama 2 tahun melakukan pengujian residu antibiotika pada daging ayam sebanyak 431 sampel, dari keseluruhan sampel tersebut hanya 1 (satu) sampel atau 0,0023% yang positif residu antibiotika (golongan penisilin, makrolida dan tetrasiklin), data yang diperoleh seperti tabel dibawah ini:

Tabel 6. Hasil Pengujian Residu Antibiotika (Laboratorium BPMPP) Tahun 2004 – 2005

UJI RESIDU ANTIBIOTIKA

N0 ASAL

SAMPEL

JENIS

SAMPEL JUMLAH PC's ML's AG's TC's

1 Jakarta Daging Ayam 184 5 0 0 0

2 Jakarta Hati Ayam 2 1 0 0 0

3 Bogor Daging Ayam 34 0 0 0 0

4 Bogor Hati Ayam 1 0 0 0 0

5 Tangerang Daging Ayam 3 0 0 0 0 6 Bekasi Daging Ayam 2 0 0 0 0

TOTAL 226 6 0 0 0

Sumber : Laporan tahunan BPMPP, 2005

Sedangkan data sekunder dari Laboratorium Balai Pengujian Mutu Produk Pertanian (BPMPP) Bogor sebanyak 226 sampel, hanya 6 sampel atau 0,027% positif residu antibiotika (golongan penisilin) seperti terlihat pada tabel di bawah ini:

41

Tabel 7. Hasil Pengujian Residu Antibiotika (Laboratorium Kesmavet DKI) Tahun 2004 – 2005

UJI RESIDU ANTIBIOTIKA N0

ASAL SAMPEL

JENIS

SAMPEL JUMLAH PC's ML's AG's TC's

1 Jakarta Daging Ayam 252 0 0 0 0 2 Bogor Daging Ayam 62 0 0 0 0 3 Tangerang Daging Ayam 94 1 1 0 1 4 Bekasi Daging Ayam 23 0 0 0 0

TOTAL 431 1 1 0 1

Sumber : Laporan tahunan Laboaratorium Kesmavet, 2005

Data yang diperoleh dari ke dua laboratorium tersebut selama 2 tahun, terlihat bahwa adanya residu antibiotika pada sampel tersebut hanya sebanyak 7 sampel atau 0,0293%, dari segi kesehatan masyarakat veteriner keberadaan residu antibiotika dalam pangan asal hewan perlu mendapat perhatian, mengingat bahaya yang ditimbulkannya terhadap konsumen.

Adanya residu antibiotika golongan penisilin, makrolida dan tetrasiklin dari data skunder tersebut dimungkinkan karena, tingginya angka sakit dan kematian pada unggas baik ayam petelur maupun pedaging pada akhir tahun 2003. Pada awalnya peternak dan pemerintah belum mengetahui secara jelas jenis penyakit yang banyak menimbulkan kerugian ekonomi tersebut, upaya yang dilakukan peternak adalah mengobati ternaknya dengan menggunakan antibiotika, akibat penggunaan antibiotika yang tidak rasional (diagnosa yang belum jelas) semua golongan antibiotika digunakan tetapi penyakit tidak sembuh. Untuk mengurangi kerugian yang lebih besar peternak menjual ternaknya walaupun masih dalam masa pengobatan. Waktu henti obat yang seharusnya dilewati, baru setelah itu hewan dipotong mereka abaikan. Pada tahun 2004 pemerintah mengumumkan penyakit misterius itu adalah penyakit Avian influenza (flu burung) (Distannak, 2005).

Pemakaian antibiotika perlu memperhatikan waktu henti obat, setelah waktu henti obat dapat dilewati diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau telah berada dibawah batas maksimum residu (BMR) sehingga produk ternak aman dikonsumsi. Menurut Komisi Obat hewan Departemen Pertanian, pemerintah memperbolehkan penggunaan antibiotika pada ternak dengan ketentuan, antibiotika yang digunakan pada manusia tidak boleh digunakan pada ternak, antibiotika yang digunakan harus aman bagi manusia, hewan, lingkungan,

memiliki efikasi yang bagus dan bermutu baik, khususnya untuk mencegah resisitensi bakteri pada manusia.

Kebijakan pemerintah terhadap pangan asal hewan dalam bentuk pengawasan dan pembinaan terhadap keamanan produk daging, susu dan telur terus ditingkatkan. Dalam pelaksanaan operasionalnya pemberian sertifikat nomor kontrol veteriner kepada unit usaha pangan asal hewan, penerapan Good Farming

Practise (GFP) dan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), program

monitoring dan surveillance residu serta pengembangan pengawas kesmavet. Sistem HACCP merupakan sistem jaminan yang berdasarkan pada kesadaran dan perhatian bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik atau tahapan produksi, akan tetapi dapat dilakukan pengendalian pencegahan bahaya-bahaya tersebut (Moerad, 2003).

Menurut Bahri et al. (2005) keamanan pangan berkaitan erat dengan rantai penyedian pangan terutama proses pra produksi. Faktor pakan, penyakit hewan dan penggunaan obat hewan memegang peranan penting. Untuk itu penerapan HACCP pada setiap mata rantai peneyediaan pangan asal hewan akan dapat menjamin keamanan produk yang dihasilkan.

Tuntutan konsumen terhadap pangan asal hewan yang sehat, aman dan terbebas dari residu antibiotika semakin meningkat. Upaya yang dilakukan untuk menghilangkan residu antibiotika antara lain penggunaan alternatif pengganti antibiotika seperti, probiotik dan prebiotik, imunomodulator, asam-asam organik, minyak essential, herbal dan enzim.

Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menekan bahaya potensial yang diakibatkan residu pada manusia adalah dengan melakukan pemasakan jaringan hewan apabila hendak dikonsumsi. Hal ini akan menurunkan konsentrasi dari beberapa mikroba antara lain penisilin dan tetrasiklin. Beberapa antibiotika seperti kloramfenikol dan streptomisin bersifat lebih stabil terhadap panas (Crawford dan Franco, 1994).

Menurut Lukman (1994) kandungan residu doksisiklin dalam daging dada, kaki, hati dan ampela dapat diinaktivasi dengan pemanasan 1000C selama 20 menit, 1000C selama 10 menit, 800C selama 20 menit, 800C selama 10 menit.

Dokumen terkait