• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Daya saing Ekspor TPT Indonesia Berdasarkan Revealed Comparative Advantage (RCA) Periode Tahun 2006-2013

Sektor indutri tekstil dan produk tekstil Indonesia memiliki peranan yang cukup penting bagi pembentukan GDP industri bukan migas. Menurut data yang telah dilansir oleh kementrian perindustrian bahwa pada tahun 2013 triwulan II industri TPT mampu berkontribusi sebesar 9.36% terhadap pembentukan GDP industri bukan migas Indonesia. Hal tersebut mengindikasikan industri TPT memiliki peranan yang sangat penting bagi kegiatan perekonomian Indonesia dan industri ini menjadi komoditi unggulan utama ekspor serta menjadi salah satu sektor penyelamat devisa negara. Posisi daya saing produk TPT Indonesia sangat dipengaruhi oleh keunggulan komparatif, kompetitif dan kebijakan-kebijakan domestik yang mengatur industrinya. Produk TPT Indonesia juga memiliki daya saing yang cukup baik di kawasan APEC, hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan nilai RCA dan perkembangan indeks RCA komoditi kapas, serat stafel buatan, barang-barang rajutan dan pakaian jadi

bukan rajutan pada masing-masing negara mitranya pada periode tahun 2006 hingga 2013 (secara lengkap tersedia pada lampiran 21,22,23,24).

Komoditi Kapas (Kode HS 52)

Pada Tabel 10 menunjukkan perkembangan daya saing dan pangsa relatif komoditi kapas Indonesia pada periode tahun 2010-2013. Dapat dilihat komoditi kapas memiliki tingkat daya saing yang tinggi di negara-negara maju seperti Kanada, Amerika Serikat dan Jepang dengan nilai RCA yang lebih besar dari satu setiap tahunnya. Selain itu, perkembangan pangsa relatif di tiga negara tersebut mempunyai tren yang cukup baik setiap tahunnya. Tren daya saing di masing-masing negara cenderung mengalami penurunan yang cukup signifikan pada tahun 2011. Penurunan daya saing terbesar berada di negara Kanada, Hongkong, dan Australia dengan nilai penurunan sebesar 3.65, 0.73, dan 0.70.

Pada tahun 2013 terjadi penurunan tingkat daya saing dan perkembangan pangsa relatif yang cukup pesat di Singapura dengan nilai RCA sebesar 0.90 atau turun tiga kali lipat jika dibandingkan pada tahun sebelumnya dan nilai indeks RCA yang hanya sebesar 0.28 yang artinya perkembangan pangsa relatif pada saat itu sangat rendah. Hal tersebut terjadi karena terjadinya penurunan permintaan dari masyarakat Singapura akan komoditi kapas Indonesia yang dapat dilihat pada nilai perdagangan komoditi kapas saat itu. Nilai perdagangan komoditi kapas Indonesia di negara Singapura pada tahun 2013 mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu sebesar US$3.9 Juta atau mengalami penurunan sebesar US$5.2 Juta sehingga terjadinya penurunan daya saing lebih disebabkan oleh permintaan yang menurun pada saat itu.

Tabel 10 Perkembangan nilai RCA dan indeks RCA komoditi kapas Indonesia tahun 2010-2013

Negara RCA Indeks RCA

2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 Amerika Serikat 5.58 4.92 6.03 5.95 1.10 0.88 1.23 0.99 Jepang 4.58 4.11 5.34 5.93 1.14 0.90 1.30 1.11 Singapura 1.15 1.25 3.22 0.90 0.80 1.09 2.58 0.28 Cina 0.71 0.40 0.56 1.15 0.99 0.56 1.39 2.07 Malaysia 1.18 0.54 0.46 0.75 0.83 0.45 0.86 1.63 Thailand 0.47 0.31 0.43 0.58 1.01 0.66 1.36 1.36 Korea Selatan 1.37 0.72 1.05 1.50 0.79 0.53 1.46 1.42 Australia 2.76 2.06 2.04 2.09 1.35 0.75 0.99 1.03 Pilipina 2.43 2.37 3.74 3.39 1.01 0.98 1.58 0.91 Hongkong 1.57 0.84 1.74 1.23 1.43 0.54 2.06 0.71 Vietnam 0.38 0.33 0.28 0.27 0.96 0.87 0.84 0.97 Kanada 16.14 12.49 17.04 19.97 1.24 0.77 1.36 1.17

Perkembangan daya saing negara pesaing komoditi kapas Indonesia pada tahun 2010-2013 telah tersaji dalam Tabel 11. Dapat dilihat negara Cina dan Amerika Serikat merupakan negara pesaing Indonesia dalam mengalirkan arus komoditi kapas di kawasan APEC. Negara Cina memiliki daya saing yang cukup baik di negara Pilipina dengan tren yang meningkat setiap tahunnya dengan nilai RCA sebesar 6.76 di tahun 2010 dan 24.90 di tahun 2013 atau terjadi peningkatan nilai RCA sebesar 18.14. Sementara itu, negara pesaing lainnya yaitu Amerika Serikat memiliki daya saing yang baik di negara Thailand dengan nilai RCA tertinggi pada tahun 2011 sebesar 5.52 dan terendah pada tahun 2012 sebesar 3.50. Sedangkan di negara Hongkong tingkat daya saing komoditi kapas Amerika Serikat memiliki tingkat daya saing yang rendah jika dibandingkan di negara lainnya dengan nilai RCA yang selalu kurang dari 0.20 setiap tahunnya pada periode 2010-2013.

Tabel 11 Perkembangan nilai RCA komoditi kapas negara pesaing tahun 2010-2013

Negara Cina Amerika Serikat

2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 Indonesia 1.53 1.27 1.35 1.29 2.58 4.00 1.85 2.31 Amerika Serikat 1.79 1.57 1.61 1.57 - - - - Jepang 2.08 1.56 1.69 1.40 1.13 1.53 0.85 0.97 Singapura 4.08 5.49 9.98 6.50 0.55 0.43 0.39 0.52 Cina - - - - 3.02 3.02 3.11 2.19 Malaysia 2.75 1.47 1.55 2.61 0.77 1.13 0.71 1.06 Thailand 2.42 1.55 1.87 1.90 4.65 5.52 3.50 3.76 Korea Selatan 2.01 1.55 1.42 1.42 0.99 2.08 1.21 1.30 Australia 1.30 1.69 1.56 1.56 0.87 0.80 0.68 0.84 Pilipina 6.76 8.06 19.51 24.90 0.89 1.07 0.73 1.03 Hongkong 1.39 1.34 1.27 1.37 0.19 0.11 0.17 0.19 Vietnam 2.09 2.10 2.05 1.86 2.83 3.34 2.59 3.69 Kanada 1.40 1.37 1.28 3.07 0.80 0.89 0.86 0.84

Sumber : International Trade Centre, 2015(diolah)

Komoditi Serat Stafel Buatan (Kode HS 55)

Pada Tabel 12 menunjukkan perkembangan daya saing dan pangsa relatif komoditi serat stafel buatan yang menjadi salah satu barang ekspor utama dalam industri TPT Indonesia. Tingkat daya saing komoditi ini cukup besar setiap tahunnya di masing-masing negara dengan nilai RCA yang mendekati satu. Namun, komoditi ini memiliki daya saing yang cukup rendah di negara Vietnam dengan nilai RCA di tahun 2010 sebesar 0.71, tahun 2012 sebesar 0.85, dan daya saing tertinggi di tahun 2013 yaitu sebesar 1.28. Sementara itu, tingkat daya saing tertinggi berada di negara Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Korea Selatan dengan nilai RCA sebesar 10.39, 9.65, 9.00, dan 11.87 pada tahun 2013. Tingkat daya saing yang baik di negara-negara tersebut didukung oleh perkembangan pangsa relatifnya dengan rata- rata indeks RCA setiap tahunnya sebesar 1.01 (dapat dilihat pada Tabel 12). Negara Amerika Serikat dan Korea Selatan memiliki andil yang cukup besar bagi perkembangan komoditi ini, dapat dilihat dari rata-rata volume ekspor kedua negara

tersebut setiap tahunnya yang telah mencapai 56.96 ribu ton dan 61.48 ribu ton. Total volume ekspor dari keduanya menguasai lebih dari 40% pasar atau pergerakan arus barang komoditi serat stafel buatan Indonesia ke negara mitra dagang utamanya dalam kawasan APEC. Komoditi ini dinilai memiliki kontribusi ekspor yang cukup besar setiap tahunnya, karena tren permintaan ekspor yang terus meningkat setiap tahunnya dan proporsi volume yang lebih besar jika dibandingkan dengan komoditi lainnya (dapat dilihat pada Gambar 6).

Tabel 12 Perkembangan nilai RCA dan indeks RCA komoditi serat stafel buatan tahun 2010-2013

Negara RCA Indeks RCA

2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 Amerika Serikat 11.24 10.66 13.12 10.39 0.90 0.95 1.23 0.79 Jepang 8.72 8.57 10.01 9.65 0.92 0.98 1.17 0.96 Singapura 1.99 1.11 1.00 1.14 1.70 0.56 0.90 1.14 Cina 2.67 3.02 2.96 2.65 1.54 1.13 0.98 0.90 Malaysia 4.01 3.73 3.52 4.09 1.39 0.93 0.94 1.16 Thailand 2.86 3.89 4.11 5.41 0.98 1.36 1.06 1.32 Korea Selatan 7.73 6.58 6.77 9.00 0.95 0.85 1.03 1.33 Australia 3.37 3.09 5.17 4.94 0.78 0.92 1.67 0.96 Pilipina 2.09 1.44 1.01 1.05 1.29 0.69 0.70 1.03 Hongkong 7.16 4.92 6.70 11.56 1.55 0.69 1.36 1.72 Vietnam 0.71 1.02 0.85 1.28 1.31 1.43 0.83 1.52 Kanada 12.71 10.66 11.42 11.87 1.00 0.84 1.07 1.04

Sumber : International Trade Centre, 2015 (diolah)

Pada Tabel 13 menyajikan perkembangan daya saing komoditi serat stafel buatan negara pesaing Indonesia yaitu Cina dan Amerika Serikat dalam periode tahun 2010-2013. Negara Cina dan Amerika Serikat memiliki daya saing yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan Indonesia. Hal tersebut dikarenakan negara Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar dalam menghasilkan komoditi serat stafel buatan sehingga banyak negara mitra dagang utamanya yang mengimpor produk ini dari Indonesia. Walaupun demikian daya saing negara Cina dan Amerika Serikat cukup baik di kawasan ini. Dapat dilihat bahwa negara Cina memiliki daya saing yang baik di negara Malaysia dengan nilai RCA sebesar 4.01 (2010), 4.02 (2011), 3.88 (2012), dan 4.44 (2013) sedangkan tingkat daya saing terendah berada di negara Vietnam dengan nilai RCA yang kurang dari satu pada tahun 2010 dan 2011 dan mulai meningkat di tahun 2012-2013 dengan nilai RCA yang lebih besar dari satu. Sementara itu, negara Singapura dan Kanada menjadi primadona negara Amerika Serikat dalam mengekspor komoditi ini yang dapat dilihat dari tingkat daya saing di negara Singapura yang mencapai titik tertinggi sebesar 3.75 di tahun 2012 dan Kanada dengan nilai RCA sebesar 1.88, 2.05, 2.30, dan 2.34 yang cenderung mengalami peningkatan pada tahun 2010-2013.

Tabel 13 Perkembangan nilai RCA komoditi serat stafel buatan negara pesaing tahun 2010-2013

Negara Cina Amerika Serikat

2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 Indonesia 1.88 2.28 2.00 1.57 0.73 0.74 1.05 1.18 Amerika Serikat 1.75 1.88 1.79 1.68 - - - - Jepang 1.54 1.47 1.49 1.36 0.71 0.50 0.59 0.81 Singapura 1.74 1.72 11.41 3.76 1.60 3.24 3.75 1.68 Cina - - - - 0.68 0.65 0.50 0.52 Malaysia 4.01 4.02 3.88 4.44 0.20 0.05 0.03 0.09 Thailand 5.03 4.78 3.94 3.94 0.25 0.15 0.23 0.33 Korea Selatan 2.51 2.53 2.34 2.41 0.29 0.30 0.29 0.35 Australia 1.56 1.69 1.59 1.38 0.82 0.55 0.42 0.53 Pilipina 2.70 2.66 2.75 2.26 1.06 1.19 1.50 1.79 Hongkong 1.36 1.77 1.31 1.23 0.11 0.11 0.14 0.11 Vietnam 0.84 0.96 1.02 1.63 0.16 0.13 0.29 0.20 Kanada 1.70 1.98 1.70 1.77 1.88 2.05 2.30 2.34

Sumber : International Trade Centre, 2015 (diolah)

Komoditi Barang-Barang Rajutan (Kode HS 61)

Pada Tabel 14 menyajikan informasi akan perkembangan nilai RCA dan perkembangan indeks RCA komoditi barang-barang rajutan Indonesia pada periode 2010-2013 ke negara mitra dagang utamanya dalam kawasan APEC. Daya saing di negara Cina dan Korea Selatan cenderung memiliki nilai RCA yang meningkat setiap tahunnya dengan nilai RCA di tahun 2010-2013 sebesar 1.16, 1.36, 2.09, dan 3,25 untuk negara Cina dan negara Kanada sebesar 0.80, 1.37, 1.89 dan 2.63.

Tabel 14 Perkembangan nilai RCA dan indeks RCA komoditi barang-barang rajutan tahun 2010-2013

Negara RCA Indeks RCA

2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 Amerika Serikat 6.32 6.78 7.16 6.35 0.93 1.07 1.06 0.89 Jepang 0.11 0.23 0.42 0.52 1.12 2.03 1.87 1.25 Singapura 0.47 0.44 0.59 0.49 1.26 0.93 1.36 0.82 Cina 1.16 1.36 2.09 3.25 1.30 1.17 1.54 1.55 Malaysia 2.58 1.77 0.93 1.53 1.37 0.69 0.53 1.64 Thailand 0.82 0.56 0.48 0.96 1.10 0.69 0.85 2.01 Korea Selatan 0.80 1.37 1.89 2.63 1.04 1.71 1.38 1.40 Australia 0.18 0.24 0.36 0.52 1.08 1.34 1.50 1.44 Pilipina 1.05 0.72 1.26 0.83 0.83 0.69 1.74 0.66 Hongkong 0.16 0.23 0.42 0.67 1.29 1.44 1.87 1.59 Vietnam 0.26 0.35 0.49 0.02 0.25 1.33 1.42 0.03 Kanada 7.57 7.32 9.10 9.15 1.08 0.97 1.24 1.01

Selanjutnya, dapat dilihat kembali di negara Jepang memilik nilai RCA cenderung sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya tetapi perkembangan pangsa relatifnya cenderung mengalami kenaikan yang cukup baik dengan nilai indeks RCA tertinggi pada tahun 2011 yaitu sebesar 2.03 yang menunjukkan adanya peningkatan daya saing dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan perkembangan pangsa relatif terendah berada di negara Vietnam dengan nilai indeks RCA sebesar 0.03 di tahun 2013 yang disebabkan oleh terjadinya penurunan volume ekspor barang-barang rajutan yang cukup signifikan ke negara ini. Namun, secara keseluruhan tingkat daya saing komoditi barang-barang rajutan Indonesia relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan komoditi lainnya karena negara pesaing utamanya yaitu negara Cina sangat mendominasi dalam penguasaan pasar di kawasan APEC.

Pada Tabel 15 menyajikan perkembangan daya saing komoditi barang-barang rajutan negara Cina dan Hongkong pada periode 2010-2013. Dapat dilihat negara Cina sangat mendominasi di negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Pilipina dengan nilai RCA yang lebih besar dari 25.00 setiap tahunnya. Selain itu, daya saing komoditi ini di negara Indonesia juga cukup besar dengan titik tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebesar 36.67 dan di negara Vietnam dengan nilai RCA sebesar 54.63 di tahun 2012. Sementara itu, negara pesaing lainnya yaitu Hongkong memiliki daya saing yang lebih baik bila dibandingkan dengan Indonesia. Daya saing yang baik dimiliki negara Hongkong berada pada negara-negara di benua Amerika yaitu negara Kanada dan Amerika Serikat. Nilai RCA Hongkong sebesar 5.18, 5.31, 5.14, 4.71 (Amerika Serikat) dan 14.47, 14.30, 14.42, 12.98 (Kanada) menunjukkan bahwa negara Hongkong memiliki tingkat daya saing yang jauh lebih baik bila dibandingkan dengan negara Indonesia dan Cina.

Tabel 15 Perkembangan nilai RCA komoditi barang-barang rajutan negara pesaing tahun 2010-2013

Negara Cina Hongkong

2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 Indonesia 14.19 15.00 36.67 22.82 13.04 15.73 17.07 7.92 Amerika Serikat 1.95 2.13 2.13 2.10 5.18 5.31 5.14 4.71 Jepang 4.24 4.14 4.17 3.98 3.39 3.73 3.23 3.63 Singapura 3.91 4.96 6.18 6.08 4.94 5.03 4.98 3.70 Cina - - - - 2.68 2.37 1.93 1.75 Malaysia 40.07 28.03 36.74 38.72 11.54 7.11 4.98 7.56 Thailand 9.89 9.32 8.82 11.26 5.18 4.86 5.38 4.75 Korea Selatan 5.80 5.29 4.32 4.39 3.84 5.09 5.30 4.54 Australia 4.92 4.72 4.81 4.50 5.59 5.56 5.68 5.58 Pilipina 66.66 44.94 56.69 36.34 18.68 11.35 10.71 10.58 Hongkong 0.95 0.94 1.14 1.65 - - - - Vietnam 19.89 31.67 54.63 2.94 4.50 3.46 2.78 1.95 Kanada 5.85 5.66 5.01 5.07 14.47 14.30 14.42 12.98

Komoditi Pakaian Jadi Bukan Rajutan (Kode HS 62)

Pada Tabel 16 menyajikan perkembangan daya saing dan pangsa relatif komoditi pakaian bukan rajutan Indonesia. Jika dilihat dari perkembangannya di negara Malaysia cenderung mengalami penurunan daya saing yang dapat dilihat dari nilai RCA yang terus menurun dari tahun 2010 sebesar 5.75 hingga tahun 2013 yang hanya sebesar 2.57 atau menurun sebesar 3.18 dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Sementara itu, tingkat daya saing komoditi ini di negara Jepang, Australia dan Korea Selatan cenderung mengalami tren yang selalu meningkat dengan peningkatan daya saing setiap tahunnya yang lebih besar dari 0.03 dengan nilai RCA tertinggi sebesar 0.68 untuk negara Jepang dan 1.50 untuk negara Australia, 1.28 untuk Korea Selatan pada tahun 2013. Dilihat dari perkembangan volume ekspor, tingkat daya saing, dan perkembangan pangsa relatif dalam beberapa tahun terakhir komoditi ini mampu memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perkembangan ekspor TPT sehingga Indonesia harus mampu mendorong ekspor pakaian jadi bukan rajutan demi mempertahankan pasar dan mencipatkan daya saing yang lebih baik lagi, khususnya di negara Amerika Serikat, Kanada, dan Malaysia.

Tabel 16 Perkembangan nilai RCA dan indeks RCA komoditi pakaian jadi bukan rajutan tahun 2010-2013

Negara RCA Indeks RCA

2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 Amerika Serikat 7.86 7.67 7.63 7.19 1.02 0.98 1.00 0.94 Jepang 0.24 0.30 0.43 0.68 0.96 1.26 1.43 1.58 Singapura 0.69 0.68 0.73 0.53 0.77 0.99 1.07 0.74 Cina 1.30 1.16 1.30 1.52 1.25 0.89 1.12 1.17 Malaysia 5.75 3.62 3.35 2.57 0.71 0.63 0.93 0.77 Thailand 1.54 0.87 0.69 0.68 0.91 0.56 0.79 0.99 Korea Selatan 0.38 0.64 0.92 1.28 1.09 1.71 1.43 1.39 Australia 0.93 0.97 1.25 1.50 1.05 1.05 1.29 1.20 Pilipina 1.10 0.72 0.51 0.47 0.63 0.65 0.72 0.92 Hongkong 0.33 0.30 0.62 1.20 1.23 0.93 2.05 1.92 Vietnam 0.37 0.34 0.38 0.16 1.09 0.94 1.11 0.42 Kanada 12.25 11.75 11.73 12.14 0.94 0.96 1.00 1.03

Sumber : International Trade Centre, 2015 (diolah)

Pada Tabel 17 menunjukkan perkembangan daya saing komoditi pakaian jadi bukan rajutan Cina dan Hongkong ke negara mitra dagang utama dalam kawasan APEC. Sama halnya dengan komoditi sebelumnya, negara Cina tetap memiliki daya saing yang baik di setiap negaranya. Bila dilihat dari tren nya perkembangan daya saing komoditi pakaian jadi bukan rajutan Cina memiliki tren yang terus meningkat setiap tahunnya di negara Indonesia dengan nilai RCA sebesar 1.30, 1.89, 5.16, 5.45 pada tahun 2010-2013 sebaliknya di negara Vietnam cenderung mengalami penurunan daya saing yang cukup besar setiap tahunnya dengan penurunan terbesar yaitu 4.70 di tahun 2011, 2.63 di tahun 0.31. Penurunan yang cukup besar di negara

Vietnam lebih disebabkan oleh menurunnya permintaan komoditi pakaian jadi bukan rajutan Cina.

Selanjutnya, negara Hongkong kembali memiliki daya saing yang cukup baik untuk komoditi ini yang dapat dilihat dari nilai RCA dan perkembangan nilai RCA setiap tahunnya. Tingkat daya saing komoditi pakaian jadi bukan rajutan Hongkong memiliki daya saing yang baik di negara Indonesia, Malaysia, Singapura dan Kanada dengan nilai RCA yang lebih besar dari 5.50 setiap tahunnya pada periode 2010- 2013. Nilai RCA sebesar 17.24, 18.88, 19.72 di negara Indonesia pada tahun 2010- 2013 menunjukkan bahwa negara Indonesia menjadi salah satu pasar utama bagi negara Hongkong. Secara keseluruhan negara Cina dan Hongkong menjadi negara pesaing utama dalam mendistribusikan komoditi pakaian jadi bukan rajutan di kawasan APEC. Oleh karena itu, Indonesia harus mampu menjaga daya saing dan peluanganya di negara yang memiliki daya saing yang tinggi seperti Amerika Serikat dan Kanada.

Tabel 17 Perkembangan nilai RCA komoditi pakaian jadi bukan rajutan negara pesaing tahun 2010-2013

Negara Cina Hongkong

2010 2011 2012 2013 2010 2011 2012 2013 Indonesia 1.30 1.89 5.16 5.45 17.24 18.88 19.72 15.49 Amerika Serikat 2.26 2.23 2.18 2.15 5.01 5.34 5.40 5.31 Jepang 3.81 3.73 3.65 3.46 1.44 1.58 1.43 1.37 Singapura 2.30 3.17 3.11 2.81 6.71 6.64 6.01 5.74 Cina - - - - 2.00 1.90 1.48 1.20 Malaysia 10.21 7.36 8.42 6.00 10.36 6.63 5.85 5.10 Thailand 1.71 1.63 1.80 2.33 9.65 6.99 6.54 5.07 Korea Selatan 3.22 2.99 2.56 2.33 2.28 2.25 2.52 2.05 Australia 3.63 3.53 3.33 3.38 4.72 4.94 4.68 4.42 Pilipina 5.41 4.18 4.37 3.68 10.68 6.40 4.93 6.21 Hongkong 0.73 0.67 0.63 1.17 - - - - Vietnam 9.71 5.01 2.38 2.07 1.99 2.25 2.64 1.71 Kanada 6.36 6.04 5.00 5.01 12.30 12.31 11.47 10.84

Sumber : International Trade Centre, 2015 (diolah)

Analisis Determinasi Perkembangan Ekspor TPT Indonesia dengan Pendekatan Gravity Model Periode Tahun 2006-2013

Komoditi Kapas (Kode HS 52)

Pada Tabel 18 menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan kapas Indonesia ke negara mitra dagang utama dalam kawasan APEC. Harga ekspor komoditi kapas (LNPC52), port efficiency (LNPEJ) negara mitra dagang, regulatory environment (LNREJ) negara mitra dagang, interaksi GDP riil antar negara Indonesia dengan negara tujuan (LNGDPIJ), jarak ekonomi (LNDISTECO), dan nilai tukar riil

(LNRER) merupakan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Persamaan model komoditi kapas yang telah diestimasi sebagai berikut :

LN = 59.18918 + -1.24418 LNPCit + 0.48156 LNGDPijt + -6.35426

LN + 2.46995 LNPEjt + -0.70010 LNREjt + -0.00022 LNRERit

Tabel 18 Hasil estimasi gravity model volume ekspor kapas Indonesia menggunakan metode fixed effect model

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNPC52 -1.24418 0.11224 -11.08458 0.0000* LNGDPIJ 0.48156 0.17048 2.82481 0.0060* LNDISTECO -6.35426 1.73895 -3.65409 0.0005* LNPEJ 2.46995 0.70745 3.49133 0.0008* LNREJ -0.70010 0.22113 -3.16601 0.0022* LNRER -0.00022 0.00006 -3.69262 0.0004* C 59.18918 14.89603 3.97349 0.0002* Weighted Statistics

R-squared 0.96428 Sum squared resid 6.94597

Prob(F-statistic) 0.00000 Durbin-Watson stat 1.48319 Unweighted Statistics

R-squared 0.95545 Sum squared resid 7.18774

Durbin-Watson stat 1.39337

*, ** Signifikan pada taraf nyata 5%, dan 10%

Uji asumsi klasik dalam model volume kapas sudah terbebas dari permasalahan normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Pada uji normalitas nilai jarque bera lebih besar dari taraf nyata sebesar 5% (3.49358 > 0.05) dan probabilitas lebih besar dari taraf nyata sebesar 5% (0.17433 > 0.05). Sehingga model volume ekspor kapas Indonesia memiliki error terms yang terdistribusi normal. Selanjutnya, terbebasnya permasalahan autokorelasi dalam pemodelan jika rentang nilai DW di antara 1.8023 < DW < 2.1977. Dalam hasil estimasi model kapas nilai DW sebesar 1.48319 yang menunjukkan terjadinya autokorelasi. Namun permasalahan autokorelasi dalam model kapas sudah teratasi dengan pembobotan

Generalized Least Square (GLS).

Pada pengujian multikolinearitas nilai korelasi antar variabel independent

berada di bawah nilai 0.8 yang menunjukkan tidak ada korelasi antar variabel

independent nya. Selain itu, pada model volume ekspor kapas Indonesia nilai R- squared yaitu sebesar 0.96428 dan seluruh variabel yang digunakan dalam model ini berpengaruh secara signifikan terhadap volume ekspor kapas Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa model terlepas dari permasalahan multikolinearitas. Uji heteroskedastisitas memiliki nilai sum square residual pada weighted statistics yaitu sebesar 6.94597 lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai sum square residual pada

unweighted statistics yaitu sebesar 7.18774, maka dapat disimpulkan tidak ada permasalahan heteroskedastisitas dalam model ini.

Berdasarkan hasil estimasi persamaan diatas, menunjukkan nilai probabilitas dari F hitung yang lebih kecil dibandingkan dengan taraf nyata 5% (0.00000 < 0.05) yang berarti variabel independent yang digunakan secara bersama-sama mampu

menjelaskan pengaruhnya terhadap model volume ekspor kapas Indonesia. Nilai R- squared sebesar 0.96428 yang artinya sebesar 96.428% keragaman yang terdapat dalam variabel dependent dapat dijelaskan melalui variabel independent nya, sedangkan sebesar 3.572% dapat dijelaskan oleh variabel-variabel lain di luar model.

Harga ekspor memiliki nilai probabilitas sebesar 0.0000 yang berarti variabel tersebut berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% (0.05) terhadap perkembangan volume ekspor kapas Indonesia. Harga ekspor memiliki hubungan yang negatif terhadap volume ekspor kapas dengan nilai koefisien regresi sebesar 1.24418, yang artinya setiap terjadi peningkatan harga sebesar 1% akan mengurangi volume ekspor kapas Indonesia sebesar 1.24418% dengan asumsi variabel lainnya cateris paribus. Lipsey (1997) menyatakan bahwa kenaikan harga ekspor suatu negara akan memengaruhi penurunan permintaan dari pihak konsumen luar negeri terhadap barang tersebut, sehingga volume ekspor dari suatu negara akan mengalami penurunan.

Interaksi GDP riil negara Indonesia dengan negara mitra memiliki nilai probabilitas sebesar 0.0060 yang menunjukkan variabel tersebut berpengaruh signifikan pada taraf nyata sebesar 5% (0.05) terhadap perkembangan volume ekspor kapas Indonesia. Interaksi GDP riil berpengaruh positif terhadap volume ekspor dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.48156, yang artinya setiap terjadi kenaikan interaksi GDP sebesar 1% akan meningkatkan volume ekspor sebesar 0.48156% dengan asumsi variabel lainnya cateris paribus. Apabila Indonesia sebagai eksportir dan negara tujuan pada saat yang bersamaan mengalami peningkatan GDP riil maka akan meningkatkan kesempatan Indonesia untuk meningkatkan produk ekspornya ke negara tujuan dikarenakan negara-negara tersebut memiliki peningkatan terhadap kemampuan menyerap produk (Pradipta dan Firdaus 2014).

Berdasarkan hasil estimasi menunjukkan jarak ekonomi memiliki nilai probabilitas sebesar 0.0005 yang berarti variabel tersebut berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% (0.05) terhadap perkembangan volume ekspor kapas Indonesia. Jarak ekonomi berpengaruh negatif terhadap volume ekspor dengan nilai koefisien regresi sebesar 6.35426, yang artinya setiap terjadi kenaikan biaya transportasi sebesar 1% akan menurunkan volume ekspor kapas Indonesia sebesar 6.35426% dengan asumsi variabel lainnya cateris paribus. Hasil tersebut juga didukung oleh penelitian Zarzoso dan Lehman (2002) yang menyatakan bahwa jarak secara geografis diyakini akan berdampak negatif akan aliran barang dan jasa bagi negara yang melakukan perdagangan karena akan menimbulkan biaya transportasi yang cukup besar dalam mengalirkan barang dan jasa tersebut.

Probabilitas sebesar 0.0008 menunjukkan bahwa variabel port efficiency

berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% (0.05) terhadap perkembangan volume ekspor kapas Indonesia. Port efficiency berpengaruh positif terhadap volume ekspor dengan nilai koefisien regresi sebesar 2.46995, yang artinya setiap terjadi kenaikan

port efficiency sebesar 1% akan meningkatkan volume ekspor kapas Indonesia sebesar 2.46995% dengan asumsi variabel lainnya cateris paribus. Hasil estimasi ini juga didukung oleh penelitian Wilson et al (2003) yang menyatakan bahwa efisiensi pelabuhan berpengaruh signifikan dan positif terhadap perkembangan ekspor industri

manufaktur dalam kawasan APEC dan memiliki elastisitas yang cukup besar bagi arus perdagangan dalam sebuah perdagangan.

Probabilitas sebesar 0.0022 menunjukkan bahwa variabel regulatory environment berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% (0.05) terhadap perkembangan volume ekspor kapas Indonesia. Regulatory environment berpengaruh negatif terhadap volume ekspor dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.70010, yang artinya setiap terjadi kenaikan regulatory environment sebesar 1% akan menurunkan volume ekspor kapas Indonesia sebesar 0.70010% dengan asumsi variabel lainnya

cateris paribus. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Wilson et al (2003) dalam menganalisis dampak fasilitasi terhadap perkembangan ekspor di kawasan APEC. Dalam penelitiannya menunjukkan bahwa lingkungan peraturan memiliki dampak negatif dan berpengaruh signifikan terhadap perkembangan ekspor di kawasan ini. Lingkungan peraturan juga menunjukkan seberapa ketat peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah di suatu negara.

Nilai tukar riil dalam hasil estimasi model volume ekspor kapas memiliki nilai probabilitas sebesar 0.0004 yang menunjukkan variabel tersebut berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% (0.05) terhadap volume ekspor. Nilai tukar riil berpengaruh negatif terhadap volume ekspor dengan nilai koefisien regresi sebesar 0.0002, yang artinya setiap terjadi kenaikan nilai tukar rupiah atau terdepresiasi terhadap mata uang negara tujuan sebesar 1% akan menurunkan volume ekspor kapas sebesar 0.0002% dengan asumsi variabel lainnya cateris paribus. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini. Terjadinya penurunan volume ekspor dikarenakan sebesar 99,2% kebutuhan kapas domestik dipenuhi melalui kegiatan impor (Kemenperin 2012). Hal tersebut terjadi karena negara Indonesia hanya mampu memproduksi kapas sebesar 1.6–2.5 ribu ton setiap tahunnya sedangkan kebutuhan domestik setiap tahunnya sebesar 700 ribu ton. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika terjadi kenaikan harga bahan baku kapas yang sebagian besar diimpor akan berpengaruh pada penurunan volume ekspor kapas Indonesia.

Komoditi Serat Stafel Buatan (Kode HS 55)

Pada Tabel 19 menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan serat stafel buatan Indonesia ke negara mitra dagang utama dalam kawasan APEC. Harga ekspor komoditi serat stafel buatan (LNPC55), GDP riil negara Indonesia (LNGDPI), GDP riil negara mitra (LNGDPJ), jarak ekonomi (LNDISTECO), port efficiency (LNPEJ) negara mitra, regulatory environment (LNREJ) mitra dagang, dummy krisis tahun 2008, dan dummy peraturan menteri keuangan tahun 2011 merupakan variabel- variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Persamaan model komoditi serat stafel buatan yang telah diestimasi sebagai berikut :

LN = 26.55600 + -0.39618 LNPCit + 1.04397 LNGDPit + 0.73058 LNGDPjt + - 3.21629 LN + 1.37680 LNPEjt + -0.52481 LNREjt + -0.18116

Tabel 19 Hasil estimasi gravity model volume ekspor serat stafel buatan Indonesia menggunakan metode fixed effect model

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNPC55 -0.39618 0.11874 -3.33642 0.0013* LNGDPI 1.04397 0.46813 2.23010 0.0287* LNGDPJ 0.73058 0.47233 1.54675 0.1261 LNDISTECO -3.21629 1.48589 -2.16455 0.0336* LNPEJ 1.37680 0.68005 2.02455 0.0464* LNREJ -0.52481 0.14362 -3.65401 0.0005* DK2008 -0.18116 0.06664 -2.71858 0.0081* DPMK2011 -0.13537 0.07671 -1.76477 0.0816** C 26.55600 13.14567 2.02013 0.0469* Weighted Statistics

R-squared 0.98502 Sum squared resid 7.88106

Prob(F-statistic) 0.00000 Durbin-Watson stat 1.21889 Unweighted Statistics

R-squared 0.91329 Sum squared resid 9.47196

Durbin-Watson stat 0.91916

*, ** Signifikan pada taraf nyata 5%, dan 10%

Uji asumsi klasik dalam model volume serat stafel buatan sudah terbebas dari permasalahan normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas. Pada uji normalitas nilai jarque bera lebih besar dari taraf nyata sebesar 5% (3.82102 > 0.05) dan probabilitas lebih besar dari taraf nyata sebesar 5% (0.148004 > 0.05).

Dokumen terkait