• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan Citra Edamame Program Pengolahan Citra Edamame

Hasil pengambilan citra edamame dengan menggunakan kamera digital memiliki format RGB dengan resolusi 352 x 288 piksel dan ekstensi BMP. Setelah keseluruhan sampel edamame terekam, dilakukan konversi citra menjadi resolusi 256 x 256 piksel dan ekstensi BMP. Program pengolahan citra edamame dibuat untuk mendapatkan nilai parameter mutu yang menentukan grade edamame. Gambar 11 menunjukkan contoh citra yang terekam pada berbagai kelas mutu.

Komponen program pengolahan citra edamame terdiri atas tombol untuk eksekusi program, form image untuk menampilkan citra asli maupun citra hasil pengolahan, box hasil analisis, dan display box. Gambar 12 adalah hasil eksekusi program pengolahan citra edamame tahap I.

Tiga tombol eksekusi pada program berfungsi sebagai berikut ini.

1 Ambil citra: Digunakan untuk membuka file citra yang disimpan dalam hardisk

2 Olahs: Digunakan untuk mengeksekusi proses ekstraksi citra yang telah dibuka

3 Keluar: Keluar dari program

Jika proses pengambilan citra berhasil, maka pada display box muncul informasi tentang lokasi folder file citra disimpan, resolusi citra, dan kedalaman warna citra. Selain itu juga terbentuk 6 buah form image yang berisi citra asli. Program menampilkan citra hasil pengolahan pada form image dan hasil analisis pada box hasil analisis. Proses ini dilakukan pada saat tombol Olahs dieksekusi.

Output dari program berikutnya adalah file teks yang berisi data hasil analisis dengan nama Test.txt. File Test.txt terbuka secara otomatis pada saat dilakukan eksekusi program. Informasi data citra dituliskan pada saat tombol Olahs ditekan. Apabila dilakukan proses pengambilan data citra kembali, informasi berikutnya ditambahkan pada baris baru file teks. File teks ditutup jika tombol Keluar ditekan.

Kelas mutu SQ:

Kelas mutu SG:

Kelas mutu TG:

Kelas mutu RJ:

tusukan karat abnormal

gigitan ulat mekanis bercak hitam

45

Gambar 12 Tampilan program pengolahan citra edamame tahap I

Penelitian ini dilakukan dengan jumlah sampel yang cukup besar, maka program dibuat minimalis dengan tidak mengesampingkan fungsi- fungsi ekstraksi citra. Pembentukan form image yang banyak ditujukan agar operator dapat segera mengetahui apabila terdapat keanehan pada sampel, sehingga dapat dilakukan tindakan koreksi.

Nilai threshold, filter ukuran, dan konstanta lain yang digunakan untuk ekstraksi citra ditentukan dengan nilai yang sama tanpa dilakukan modifikasi. Hal ini menjamin citra mendapatkan perlakuan yang sama, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja program.

Proses Ekstraksi Citra

Proses ekstraksi citra dilakukan dengan membandingkan antara form- form image dan melakukan operasi tertentu pada piksel-piksel pembentuk citra. Berikut ini adalah proses ekstraksi citra untuk mendapatkan parameter mutu berupa panjang polong, area polong, panjang polong, perimeter, area cacat, r dan g.

(A) (B) (C) Gambar 13 Proses penentuan area polong

1 Penentuan area polong edamame dilakukan dengan melakukan segmentasi yang hasilnya direpresentasikan oleh tiga form image diatas. Proses segmentasi citra asli (A) menjadi citra modifikasi background (B) dilakukan dengan mengubah keseluruhan background menjadi berwarna putih, sedangkan polong edamame dipertahankan pada nilai asli. Penggunaan background berwarna biru memiliki nilai sinyal warna biru seragam (255) pada tiap permukaannya membantu proses ini.

2 Proses berikutnya adalah membuat citra biner dengan sumber citra (B) menjadi citra area (C) dimana background dirubah menjadi berwarna hitam dan polong edamame berwarna putih. Area polong dihitung berdasarkan jumlah piksel yang berwarna putih. Citra (B) yang merupakan modifikasi background dari citra asli tidak ditampilkan pada program, namun citra (B) diperlukan untuk proses penentuan nilai r dan g.

3 Panjang polo ng edamame ditentukan dari citra (C) dengan mencari koordinat awal piksel berwarna putih dan koordinat akhir piksel berwarna putih, kemudian dihitung panjang polongnya.

4 Perimeter didapatkan dengan menghitung jumlah piksel pada polong yang berbatasan denga n background. Prosesnya adalah menentukan piksel perbatasan dari citra (C) hingga didapatkan citra perimeter (D).

47

(D) (E)

Gambar 14 Citra perimeter dan citra area cacat

5 Penentuan area cacat edamame dengan proses binerisasi dengan nilai threshold pada sinyal RGB. Proses thresholding menjadikan area cacat berwarna hitam seperti ditunjukkan pada citra biner (E), piksel berwarna hitam pada polong dihitung untuk mendapakan area cacat. Koordinat piksel-piksel pada area cacat pada citra E dikoleksi untuk penentuan r dan g.

6 Setelah didapatkan area cacat maka ditentukan nilai r dan g, citra (B) diperlukan untuk mendapatkan nilai- nilai RGB piksel pada polong. Koordinat piksel-piksel dari area cacat juga diperlukan, untuk mengeliminasi nilai- nilai RGB piksel pada cacat. Jumlah keseluruhan nilai R dan jumlah keseluruhan nilai B pada piksel- piksel polong tanpa cacat dikoleksi, kemudian dibagi dengan area polong tanpa cacat. Area polong tanpa cacat diperoleh dari nilai selisih area polong dengan area cacat.

Fungsi threshold yang digunakan pada penentuan area cacat dapat dicari dengan melakukan analisa warna pembentuk cacat yang dibandingkan dengan area polong. Berikut ini adalah tabel dan grafik yang digunakan untuk menentukan fungsi threshold area cacat.

Tabel 2 Sebaran nilai R untuk pembentuk polong dan cacat

Nilai R pembentuk cacat No

Hitam Karat Coklat Polong

1 89 146 124 207 2 68 142 114 191 3 92 133 109 167 4 86 138 114 162 5 43 134 119 144 6 50 148 107 107 7 101 143 100 204 8 66 144 123 182 9 90 137 123 201 10 94 139 93 191 Rata-rata 78 140 113 176 Standar deviasi 20 5 10 31 Maksimum 101 148 124 207 Minimum 43 133 93 107 0 50 100 150 200 250 0 1 2 3 4 5

Pembentuk cacat dan polong R

Hitam Karat Coklat Polong

Gambar 15 Sebaran nilai R untuk pembentuk cacat dan polong

Berdasarkan gambar diatas warna pembentuk area cacat berupa hitam, karat, dan coklat. Sinyal pembentuk warna berupa nilai R dari piksel yang diamati. Nilai R pembentuk cacat dibandingkan dengan warna polong untuk mendapatkan nilai threshold yang memisahkan nilai R area cacat dengan nilai R polong. Untuk warna hitam nilai thresholdnya adalah R < 101, sedangkan untuk karat berada pada selang 132 – 148 yang diberi tanda garis melintang. Warna coklat sulit dipisahkan dengan polong, karena memiliki nilai R saling tumpang tindih dengan polong.

49

Tabel 3 Sebaran nilai G pembentuk polong dan cacat

Nilai G pembentuk cacat No

Hitam Karat Coklat Polong

1 83 149 107 220 2 63 149 108 213 3 87 145 104 172 4 88 153 108 166 5 43 152 97 163 6 51 142 92 115 7 108 151 89 220 8 84 152 109 204 9 66 146 105 230 10 76 145 77 213 Rata-rata 75 148 100 192 Standar deviasi 19 4 11 36 Maksimum 108 153 109 230 Minimum 43 142 77 115 0 50 100 150 200 250 0 1 2 3 4 5

Pembentuk cacat dan polong G

Hitam Karat Coklat Polong

Gambar 16 Sebaran nilai G untuk pembentuk cacat dan polong

Analisis sinyal pembentuk warna G menunjukkan bahwa warna hitam memiliki nilai threshold G < 108, sedangkan untuk karat berada pada selang 142 – 154 yang diberi tanda garis melintang. Warna coklat sulit dipisahkan dengan polong, karena nilai G saling tumpang tindih dengan polong. Nilai threshold untuk karat berupa selang R dan G masih terdapat saling tumpang tindih dengan polong. Namun jika pasangan kombinasi nilai R dan G diaplikasikan dengan logika and ternyata bisa digunakan untuk membedakan karat dengan nilai R dan G polong, karena pada polong tidak terjadi kombinasi sedemikian rupa. Pada warna coklat tidak terjadi hal yang sama, sehingga warna coklat tidak memiliki nilai threshold untuk membedakannya dengan polong.

Tabel 4 Sebaran nilai B pembentuk polong dan cacat

Nilai B pembentuk cacat No

Hitam Karat Coklat Polong

1 107 134 120 184 2 89 133 101 149 3 104 127 88 176 4 80 113 101 177 5 62 147 101 152 6 68 118 103 155 7 92 138 87 204 8 95 117 109 117 9 41 126 96 119 10 90 129 85 137 Rata-rata 83 128 99 157 Standar deviasi 20 10 11 28 Maksimum 107 147 120 204 Minimum 41 113 85 117 0 50 100 150 200 250 0 1 2 3 4 5

Pembentuk cacat dan polong B

Hitam Karat Coklat Polong

Gambar 17 Sebaran nilai B untuk pembentuk cacat dan polong

Kontribusi sinyal pembentuk warna B terdapat pada pembentuk cacat berwarna hitam, yaitu B < 104. Logika yang digunakan untuk pembentuk cacat hitam adalah logika and. Logika yang disusun untuk pembentuk warna hitam ternyata juga mengakomodir pembentuk cacat warna coklat pada beberapa titik. Pembentuk cacat berupa karat tidak diaplikasikan pada nilai B, karena apabila logika untuk thresholding karat ditambahkan dengan nilai B maka hasilnya menjadi tidak menentu. Sinyal B juga digunakan untuk memisahkan polong dengan background menggunakan logika B > 205. Untuk menghubungkan antara hitam dan karat digunakan logika or, karena kejadian keduanya adalah saling lepas.

51

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diformulasikan fungsi threshold sebagai berikut: Jika ((R<101) and (G<108) and (B<104)) or ((R>132) and (R<148)) and ((G>142) and (G<154)) or (B>205) maka tampilkan: cacat = hitam, lainnya = putih.

Hasil proses ekstraksi citra dapat diuji lebih lanjut dengan hubungan antara parameter mutu dengan kriteria grading edamame. Jika parameter mutu menunjukkan adanya relevansi dengan kriteria grading edamame, maka program pengolahan citra edamame dapat digunakan. Hasil analisis program pengolahan citra berupa file teks ditampilkan pada gambar berikut ini.

Gambar 18 Tampilan file teks hasil pengolahan citra

Sembilan kolom pada file teks dapat dijelaskan sebagai berikut: kolom pertama merupakan informasi nama file dan folder tampat file tersebut berada. Kolom kedua adalah data area polong tanpa cacat, kolom ketiga adalah jumlah piksel batas daerah. Ketiga kolom ini tidak digunakan dalam analisis JST. Kolom berikutnya berturut-turut adalah panjang polong, area polong, perimeter, area cacat, r, dan g. Parameter mutu ini adalah output dari program pengolah citra edamame. Sifat Kelas Mutu berdasarkan Hasil Ekstraksi Citra

Setelah dilakukan analisis terhadap keseluruhan data citra, hasil parameter mutu diolah dengan menggunakan program MS Excel, untuk mendapatkan parameter-parameter statistik berupa rata-rata, standar deviasi, nilai minimum, dan nilai maksimum. Proses ini bertujuan untuk melihat relevansi antara parameter pada masing- masing kelas mutu dengan kriteria grading edamame.

Hasil ekstraksi citra pada tiap parameter mutu berdasarkan parameter statistik dengan data training sebanyak 2000 sampel dapat dijabarkan sebagai berikut ini. 100 120 140 160 180 200 220 240 260 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Nomor data

Panjang polong ( piksel ) .

SQ

SG

TG

RJ

Gambar 19 Pola sebaran edamame pada empat kelas mutu terhadap panjang polong Tabel 5 Parameter statistik parameter mutu panjang polong

Parameter mutu panjang polong Parameter statistik SQ SG TG RJ Rata-rata 194 180 162 185 Standar deviasi 14 9 8 25 Maksimum 247 223 190 249 Minimum 168 156 138 111 • Panjang polong

Dari nilai rata-rata panjang polong terlihat bahwa panjang polong terbesar dimiliki oleh kelas mutu SQ, kemudian RJ, SG, dan terakhir adalah TG. Semakin besar panjang polong, maka semakin besar ukuran polong. Berdasarkan kriteria grading jumlah polong maksimum dapat diurutkan panjang polong berturut- urut dari panjang polong terbesar adalah SQ, SG, kemudian TG. Hal ini relevan dengan hasil ekstraksi citra. Kelas mutu RJ memiliki ukuran polong bervariasi yang ditunjukkan dengan nilai keragaman yang terbesar,

53

kemudian diikuti oleh SQ, yang kemungkinan disebabkan oleh kisaran nilainya lebih besar dibandingkan dengan SG dan TG. Berdasarkan nilai maksimum dan minimum panjang polong terlihat bahwa terdapat nilai yang tumpang tindih pada kesemua kelas mutu. Rentang data panjang polong kelas mutu RJ melingkupi seluruh kelas mutu yang lain. Hal ini sesuai dengan kriteria grading edamame bahwa polong terlalu besar dan terlalu kecil masuk dalam kelas RJ.

1500 2500 3500 4500 5500 6500 7500 8500 9500 10500 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Nomor data

Area Polong (piksel) .

SQ

SG

TG

RJ

Gambar 20 Pola sebaran edamame pada empat kelas mutu terhadap area polong Tabel 6 Parameter statistik parameter mutu area polong

Parameter mutu area polong Parameter statistik SQ SG TG RJ Rata-rata 6891 6136 5186 6409 Standar deviasi 709 445 396 1430 Maksimum 10114 6999 5796 10327 Minimum 6003 5402 3962 1742 • Area polong

Area polong memiliki pola hubungan yang sama terhadap kelas mutu dengan panjang polong. Yaitu area terbesar adalah SQ, disusul SG, dan kemudian TG. Variasi terbesar juga ditunjukkan pada kelas mutu RJ, selain itu kelas mutu RJ memiliki kisaran area yang ekstrim, dari ukuran terbesar yang mendekati area

polong terbesar SQ hingga sangat kecil jauh lebih kecil dari TG. Penjelasan diatas menunjukkan bahwa area polong hasil pengolahan citra relevan dengan kriteria grading edamame. Nilai area polong yang tumpang tindih juga dijumpai pada area polong. Area polong kelas mutu SQ pada daerah batas bawah bertumpang tindih dengan area polong kelas mutu SG pada daerah batas atas. Hal yang sama terjadi pula pada daerah batas bawah kelas mutu SG dengan daerah batas atas kelas mutu TG.

200 250 300 350 400 450 500 550 600 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Nomor data Perimeter (piksel) . SQ SG TG RJ

Gambar 21 Pola sebaran edamame pada empat kelas mutu terhadap perimeter Tabel 7 Parameter statistik parameter mutu perimeter

Parameter mutu perimeter Parameter Statistik SQ SG TG RJ Rata-rata 427 402 359 411 Standar deviasi 30 22 19 58 Maksimum 539 507 410 559 Minimum 375 355 307 228 • Perimeter

Tidak berbeda dengan panjang polong dan area polong, perimeter juga memiliki pola hubungan yang sama. Relevansi dengan kriteria grading edamame juga ditunjukkan oleh perimeter.

55 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Nomor data

Area Cacat (piksel) .

SQ

SG

TG

RJ

Gambar 22 Pola sebaran edamame pada empat kelas mutu terhadap area cacat Tabel 8 Parameter statistik parameter mutu area cacat

Parameter mutu area cacat Parameter statistik SQ SG TG RJ Rata-rata 64 78 49 261 Standar deviasi 26 39 18 204 Maksimum 114 178 89 1549 Minimum 2 7 5 16 • Area Cacat

Area cacat terbesar dimiliki oleh kelas mutu RJ, kemudian disusul oleh SG, SQ, dan TG. Kelas mutu TG memiliki area cacat terkecil, hal ini mungkin berhubungan dengan area polongnya yang kecil. Kelas mutu TG memiliki variasi yang terkecil, hal ini relevan dengan kriteria grading berdasarkan kecacatan diukur berdasarkan persentase polong yang cacat tiap 500 gram. Variasi yang kecil menunjukkan bahwa kelas mutu TG memiliki lebih banyak polong yang cacat pada tiap 500 gram dibanding dengan SQ. Penyimpangan terjadi pada kelas mutu SG yang memiliki variasi lebih besar dari pada SQ. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kesalahan pada proses grading. Variasi terbesar pada kelas mutu RJ menunjukkan bahwa kelas mutu RJ merupakan

kelas mutu yang memiliki area cacat yang paling tidak beraturan, hal ini juga diperkuat dengan kisaran area cacat yang sangat ekstrim.

0.3 0.31 0.32 0.33 0.34 0.35 0.36 0.37 0.38 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Nomor data r . SQ SG TG RJ

Gambar 23 Pola sebaran edamame pada empat kelas mutu terhadap r Tabel 9 Parameter statistik parameter mutu r

Parameter mutu r Parameter statistik SQ SG TG RJ Rata-rata 0.33 0.33 0.33 0.33 Standar deviasi 0.01 0.01 0.01 0.01 Maksimum 0.37 0.35 0.36 0.36 Minimum 0.31 0.31 0.27 0.25 • r

Nilai rata-rata dan standar deviasi r menunjukkan nilai yang sama pada semua kelas mutu. Hal ini relevan dengan kriteria grading edamame yang menuntut warna hijau seragam. Kelas mutu SQ dan SG memiliki kisaran indeks yang kecil, artinya memiliki warna yang seragam. Kelas mutu TG dan RJ memiliki kisaran r yang lebar. Kisaran warna yang lebar dapat diterima pada kelas mutu RJ, tetapi pada mutu TG kemungkinan terjadi penyimpangan akibat pencilan data, atau mungkin kisaran tersebut masih dalam batas toleransi.

57 0.35 0.37 0.39 0.41 0.43 0.45 0.47 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Nomor data g . SQ SG TG RJ

Gambar 24 Pola Sebaran edamame pada empat kelas mutu terhadap g Tabel 10 Parameter statistik parameter mutu g

Parameter mutu g Parameter statistik SQ SG TG RJ Rata-rata 0.39 0.39 0.39 0.38 Standar deviasi 0.02 0.01 0.01 0.01 Maksimum 0.47 0.42 0.43 0.43 Minimum 0.37 0.36 0.37 0.35 • g

Nilai rata-rata dan standar deviasi g juga menunjukkan nilai yang sama pada semua kelas mutu, kecuali pada kelas mutu RJ. Hal ini relevan dengan kriteria grading edamame yang menuntut warna hijau seragam. Kisaran yang lebar dan nilai maksimum tertinggi ditunjukkan oleh kelas mutu SQ. Penyimpangan ini kemungkinan disebabkan oleh pencilan data.

Adanya data yang saling tumpang tindih menunjukkan bahwa proses grading edamame tidak terlalu ketat. Hal ini dapat dimaklumi karena proses grading dilakukan secara manual dan hanya mengandalkan visualisasi manusia tanpa alat bantu. Walau demikian keenam parameter mutu pengolahan citra

menunjukkan relevansinya dengan kriteria grading edamame, sehingga secara umum program pengolahan citra dapat dipergunakan untuk mengekstrak sifat citra polong edamame.

Pendugaan Mutu Edamame dengan Jaringan Syaraf Tiruan

Parameter mutu citra diatas digunakan sebagai input JST. Dua ribu data training digunakan untuk pelatihan hingga didapatkan arsitektur jaringan terbaik dan bobot-bobot terbaik. Lima ratus data testing digunakan dalam proses propagasi maju.

Algoritma pelatihan yang ditetapkan menggunakan Backpropagation gradient descent dengan momentum, menggunakan satu lapisan tersembunyi. Fungsi aktifasi sigmoid bipolar digunakan dari lapis input menuju lapis tersembunyi, maupun dari lapis tersembunyi menuju ke output. Bobot awal dengan metode Nguyen-Widrow, learning rate sebesar 0,2 dan momentum sebesar 0,9. Pada output digunakan dua node dengan bilangan bipolar (1, -1).

Variasi yang diberikan adalah input jaringan dan banyaknya node pada lapisan tersembunyi. Variasi input dibuat dengan dua macam metode normalisasi, sedangkan variasi jumlah node lapisan tersembunyi ditetapkan tiga macam. Dengan demikian ada enam variasi JST yang diuji. Dari keenam macam variasi itu ditentukan yang terbaik, dalam artian mampu memberikan dugaan hasil yang mendekati hasil sebenarnya.

Penentuan Variasi Jaringan Syaraf Tiruan Terbaik

Penentuan kriteria penghentian iterasi JST ditentukan melalui proses trial and error. Dari berbagai variasi arsitektur dan metode normalisasi input, pada MSE 0,4 jaringan sudah menunjukkan kekonvergenan. Untuk meningkatkan akurasi JST maka dipergunakan nilai MSE yang lebih kecil untuk menghentikan iterasi. Penghentian iterasi ditetapkan pada MSE sebesar 0,28. Enam macam variasi JST yang diuji adalah sebagai berikut ini.

1 Normalisasi input dengan metode kisaran [-0,9 , 0,9] dengan 10 node lapisan tersembunyi (A1).

2 Normalisasi input dengan metode kisaran [-0,9 , 0,9] dengan 15 node lapisan tersembunyi (A2).

59

3 Normalisasi input dengan metode kisaran [-0,9 , 0,9] dengan 20 node lapisan tersembunyi (A3).

4 Normalisasi input dengan metode rata-rata nol dan standar deviasi satu dengan 10 node lapisan tersembunyi (A4).

5 Normalisasi input dengan metode rata-rata nol dan standar devia si satu dengan 15 node lapisan tersembunyi (A5).

6 Normalisasi input dengan metode rata-rata nol dan standar deviasi satu dengan 20 node lapisan tersembunyi (A6).

Hasil dari pelatihan keenam variasi JST dengan menggunakan data training pada target MSE sebesar 0,28 adalah sebagai berikut ini.

1 A1 berhenti pada iterasi ke 245257 dengan gradient 0,00054340. 2 A2 berhenti pada iterasi ke 96252 dengan gradient 0,00129021. 3 A3 berhenti pada iterasi ke 62579 dengan gradient 0,00219657. 4 A4 berhenti pada iterasi ke 19339 dengan gradient 0,00202795. 5 A5 berhenti pada iterasi ke 5656 dengan gradient 0,00536304. 6 A6 berhenti pada iterasi ke 4407 dengan gradient 0,00537992.

Gambar berikut ini menunjukkan perbandingan antara enam variasi JST.

0.0E+00 2.0E+04 4.0E+04 6.0E+04 8.0E+04 1.0E+05 1.2E+05 1.4E+05 1.6E+05 5 10 15 20 25

Jumlah node lapisan tersembunyi

Jumlah iterasi .

[-0,9 , 0,9] mean=0; std=1

Gambar 25 Perbandingan jumlah lapisan tersembunyi dan metode normalisasi data input terhadap jumlah iterasi pada enam variasi JST

Pada semua jumlah node lapisan tersembunyi, representasi input dengan menggunakan metode normalisasi kisaran nilai [-0,9 , 0,9] (warna biru) membutuhkan iterasi yang lebih banyak untuk mencapai target MSE sebesar 0,28. Variasi A1 merupakan variasi dengan jumlah iterasi terbanyak yaitu hingga iterasi ke 245257 baru mencapai target MSE sebesar 0,28. Representasi input dengan menggunakan metode normalisasi rata-rata nol dan standar deviasi satu (warna merah muda) membutuhkan iterasi yang lebih sedikit pada semua variasi jumlah node lapisan tersembunyi.

Berdasarkan penjelasan diatas semakin banyak lapisan tersembunyi akan mengurangi jumlah iterasi yang dibutuhkan untuk mencapai target MSE, meskipun waktu perhitungan per iterasi lebih lama (karena perhitungan yang lebih komplek). Hal ini disebabkan karena semakin banyak lapisan tersembunyi, maka semakin banyak hubungan neuron yang terjadi. Banyaknya hubungan neuron mengakibatkan banyaknya bobot yang terlibat sehingga jaringan lebih cepat mencapai konvergensi. Meskipun demikian jumlah lapisan tersembunyi membutuhkan waktu iterasi total yang lebih sedikit. Pengaruh terbesar ditunjukkan oleh variasi representasi normalisasi data input. Metode normalisasi dengan menggunakan metode rata-rata nol dan standar deviasi satu menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada presentasi input dengan menggunakan metode normalisasi kisaran nilai [-0,9 , 0,9]. Hal ini disebabkan karena rentang data input pada metode normalisasi data dengan rata-rata 0 dan standar deviasi satu lebih lebar, serta memiliki keragaman sama.

Pemilihan variasi JST yang terbaik didapat dengan melakukan propagasi maju pada data testing. Propagasi maju menghasilkan pendugaan kelas mutu yang tidak selalu sama dengan target, tergantung dari kinerja JST. Variasi terbaik adalah variasi JST yang menunjukkan kesesuaian pendugaan target yang paling besar. Hasil propagasi data testing dengan jumlah masing- masing sampel 500 pada keenam variasi JST dijelaskan sebagai berikut ini.

61 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 1 2 3 4 5 6 7 Variasi JST

Kesesuaian pendugaan target (%) .

SQ SG TG RJ Total A2 A1 A3 A4 A5 A6

Gambar 26 Perbandingan hasil propagasi maju pada berbagai variasi JST terhadap kesesuaian target

Tabel 11 Hasil propagasi maju data testing

Kesesuaian target Variasi JST SQ SG TG RJ Jumlah A1 87 37 108 113 345 Persentase 69,6 29,6 86,4 90,4 69 A2 99 36 101 111 347 Persentase 79,2 28,8 80,8 88,8 69,4 A3 87 37 108 113 345 Persentase 69,6 29,6 86,4 90,4 69 A4 95 76 111 113 395 Persentase 76 60,8 88,8 90,4 79 A5 99 75 116 115 405 Persentase 79,2 60 92,8 92 81 A6 97 76 120 114 407 Persentase 77,6 60,8 96 91,2 81,4

Berdasarkan data diatas, nilai MSE yang sama tidak mengakibatkan tingkat kesesuaian target yang sama. Hal yang sama terjadi pada jumlah lapisan tersembunyi, banyaknya jumlah lapisan tersembunyi hanya sedikit mempengaruhi tingkat kesesuaian target. Bahkan pada variasi A3 (jumlah lapisan tersembunyi 20) terjadi penurunan tingkat kesesuaian target bila dibandingkan dengan variasi A2 (jumlah lapisan tersembunyi 15). Sehingga pada metode representasi normalisasi input dengan metode kisaran nilai [-0,9 , 0,9] menghasilkan tingkat kesesuaian target yang tidak menentu.

Variasi A4, A5, dan A6 menunjukkan kecenderungan peningkatan tingkat kesesuaian target dengan semakin banyaknya jumlah lapisan tersembunyi. Metode representasi normalisasi input dengan metode rata-rata 0 dan standar deviasi 0 menunjukkan peningkatan tingkat kesesuaian target yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan metode representasi normalisasi input dengan metode kisaran nilai [-0,9 , 0,9]. Hal ini disebabkan variasi tersebut memiliki kinerja yang jauh lebih baik karena memiliki range data yang lebar dan variasi yang seragam.

Pada seluruh variasi JST kelas mut u SG menunjukkan tingkat kesesuaian target yang paling rendah jika dibandingkan dengan kelas mutu lainnya. Hal ini sesuai dengan penjelasan dimuka bahwa pada parameter mutu panjang polong, area polong, dan perimeter polong terjadi nilai yang saling tumpang tindih antara kelas mutu SQ, SG, dan TG. Kelas mutu SG yang diapit oleh SQ dan TG mengalami kesalahan pendugaan target menjadi SQ dan TG sehingga tingkat kesesuaian target kelas mutu SG menjadi paling rendah..

Dokumen terkait