• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prediksi dan Prospek Permintaan Lidah Buaya

Tujuan penelitian pertama yang ingin dicapai adalah memprediksi prospek permintaan lidah buaya mendatang. Berdasarkan hasil survey penggunaan lidah buaya oleh pelaku usaha di Kota Pontianak menunjukkan bahwa minat pelaku usaha terhadap lidah buaya selama Tahun 2009 sampai 2012 terus meningkat. Data penggunaan lidah buaya Tahun 2009 sampai 2012 disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Data Penggunaan Lidah Buaya Tahun 2009 sampai 2012

No. Tahun Penggunaan

(ton)

1 2009 4 680

2 2010 5 763

3 2011 5 666

4 2012 6 121

Data yang telah diperoleh tersebut selanjutnya dihitung dan dianalisis melalui pendekatan peramalan ARIMA. Adapun hasil analisis prediksi penggunaan lidah buaya selama Tahun 2013 sampai 2018 disajikan dalam Tabel 8.

internal external

Tabel 8 Prediksi Penggunaan Lidah Buaya Tahun 2013 sampai 2018 No Tahun Prediksi Penggunaan (ton) Batas Terendah Penggunaan (ton) Batas Tertinggi Penggunaan (ton) 1 2013 6 654 5 512 7 796 2 2014 7 100 5 154 9 045 3 2015 7 545 5 052 10 038 4 2016 7 990 5 051 10 929 5 2017 8 435 5 110 11 760 6 2018 8 880 5 210 12 551

Hasil analisis Tabel 8 diatas menguraikan penggunaan lidah buaya diproyeksikan akan meningkat selama Tahun 2013 sampai 2018, artinya akan terjadi peningkatan permintaan lidah buaya di masa mendatang. Meningkatnya permintaan pasar berarti terjadi peningkatan aktivitas perdagangan lidah buaya, sehingga diperlukan strategi peningkatan produksi lidah buaya.

Pengembangan agribisnis tepung lidah buaya juga berpotensi menjadi kebijakan yang strategis yang dapat meningkatkan daya tarik petani dalam meningkatkan usahataninya. Diketahui dalam pengolahan tepung lidah buaya memerlukan lidah buaya sebagai bahan baku dalam jumlah yang besar. Rasio bahan baku dan tepung yang dihasilkan adalah 150:1 atau 150 kg daun menghasilkan 1 kg tepung (Hendrawati et al. 2012). Tingginya permintaan lidah buaya dalam kegiatan agribisnis tepung lidah buaya akan mendorong semangat petani dalam meningkatkan usaha pertaniannya.

Perhitungan luas lahan tanam lidah buaya dengan asumsi dalam 1 hektar akan menghasilkan 8 000 kg (AVC 2004). Berdasarkan asumsi tersebut, diketahui luas tanam minimal yang diperlukan untuk Tahun 2013 adalah 69 ha sedangkan untuk Tahun 2014 diperlukan sebanyak 74 ha. Selanjutnya Tahun 2015 dengan permintaan sejumlah 7 545 ton, maka luas panen yang diperlukan sebanyak 79 ha sedangkan Tahun 2016 diperlukan luas panen sejumlah 83 ha. Tahun 2017 dan 2018 masing-masing mencapai 88 ha dan 93 ha.

Arahan dengan pemberian abu dan pupuk, namun tidak secara berlebihan serta peningkatan luas lahan pertanian lidah buaya dapat meningkatkan produksi lidah buaya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yurisinthae (2012) yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi lidah buaya di sentra produksi Kota Pontianak yang meliputi abu, pupuk dan luas lahan. Setiap dilakukan penambahan abu dan luas tanam lidah buaya, akan terjadi peningkatan produksi. Pemberian abu tidak boleh secara berlebihan, karena akan menyebabkan pH tanah menjadi basa (pH tinggi), sehingga penggunaan pupuk urea menjadi tidak optimal. Sebagai penyumbang unsur N, maka pemberian pupuk urea tidak dianjurkan dalam kondisi pH tanah yang tidak mendukung.

Pemasaran Lidah Buaya yang Menguntungkan Petani

Proses penyaluran hasil produksi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pasca produksi barang oleh suatu perusahaan atau industri (Irawan et al. 2001 dalam Rasuli et al. 2007). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di lapangan terhadap marjin pemasaran yang dilakukan pada Bulan Juli sampai September diketahui rantai pemasaran lidah buaya yang terjadi secara umum di wilayah ini.

Kecamatan Pontianak Utara selain sebagai pusat sentra pertanian lidah buaya juga merupakan sentra kegiatan pemasaran, perdagangan dan produksi industri olahan lidah buaya, namun pemasaran lidah buaya juga terjadi di lokasi lain seperti di pusat perdagangan produk cendramata serta di pusat perbelanjaan/swalayan. Adapun rantai pemasaran tersebut melibatkan beberapa tingkatan dimulai dari petani, pedagang pengecer, pedagang home industry dan pedagang luar pulau.

Kapasitas lidah buaya yang diterima pedagang pengecer umumnya dalam jumlah yang kecil, berkisar antara 100 - 200 kg/minggu. Pedagang home industry, umumnya mengsupply lidah buaya berasal dari beberapa petani, disebabkan oleh jumlah yang dibutuhkan lebih besar, berkisar antara 100 kg sampai 1 ton/hari. Kapasitas lidah buaya yang dijual pada perdagangan keluar pulau umumnya masih kecil. Permintaan lidah buaya yang tinggi menuntut para petani lidah buaya untuk membagi secara adil pasokan lidah buaya agar permintaan dapat terpenuhi. Kegiatan pemasaran dilakukan di wilayah yang sama dengan lokasi pertanian sehingga jarak tempuh pemasaran tidak menjadi masalah bagi para petani dan pelaku usaha lidah buaya.

Umumnya rantai pemasaran lidah buaya yang ditemukan tidak panjang. Diketahui ada 4 macam rantai pemasaran dari petani lidah buaya hingga sampai ke konsumen. Keempat rantai pemasaran tersebut adalah :

a. Rantai Pemasaran Satu

Rantai pemasaran satu merupakan kegiatan pemasaran yang terjadi antara petani dan pedagang pengecer (Gambar 10). Pedagang pengecer lidah buaya umumnya membuka toko dan lapak di sepanjang jalan Budi Utomo, Kecamatan Pontianak Utara. Penyaluran lidah buaya oleh petani langsung diantar ke lapak dan toko para pedagang pengecer. Jarak antara lapak dan toko ke perkebunan berdekatan maka biaya transportasi yang dikeluarkan petani relatif kecil. Pembeli berasal dari Kota Pontianak maupun Kabupaten disekitarnya karena lokasinya merupakan persimpangan antara kabupaten lainnya. Harga per kilogram lidah buaya yang dijual khusus kepada pedagang pengecer ini berkisar antara Rp 1 500, Rp 1 700 dan Rp 2 000 (Lampiran 2). Produk lidah buaya yang dijual dari pedagang pengecer untuk konsumen terdiri atas 2 jenis produk yaitu dalam bentuk pelepah segar dan minuman lidah buaya.

Gambar 10 Rantai Pemasaran Satu

b. Rantai Pemasaran Dua

Rantai pemasaran dua (Gambar 11) dilakukan antara petani dan pedagang home industry melalui pedagang cenderamata sebelum sampai di konsumen. Pada saluran pemasaran ini, pelepah lidah buaya dibeli dan diangkut sendiri oleh pelaku home industry dari petani untuk diolah menjadi produk olahan makanan dan minuman. Lokasi home industry lidah buaya umumnya berpusat di kecamatan Pontianak Utara, berlokasi disepanjang jalan Budi Utomo, jalan kebangkitan nasional dan jalan 28 oktober. Umumnya untuk produk olahan makanan dan minuman dari home industry dapat dinikmati oleh konsumen setelah disalurkan ke swalayan dan pedagang cendramata terlebih dahulu.

Harga yang dijual petani kepada pedagang home industry bervariasi berkisar pada Rp 1 200 dan Rp 1 500. Jenis produk yang dihasilkan oleh home industry lidah buaya cukup banyak seperti minuman dan makanan. Berdasarkan pertimbangan penelitian, harga yang digunakan adalah harga minuman lidah buaya dengan pertimbangan bahwa produk minuman merupakan produk yang secara umum dijual oleh pedagang home industry. Harga lidah buaya yang ditawarkan berkisar pada Rp 10 000, Rp 8 000, Rp 54 000, Rp 7 000, Rp 35 000, Rp 40 000, Rp 42 000, Rp 36 000, dan Rp 6 000.

Gambar 11 Rantai Pemasaran Dua c. Rantai Pemasaran Tiga dan Empat

Khusus pada rantai pemasaran tiga (Gambar 12) antara petani dan pedagang luar pulau Jakarta dan rantai pemasaran empat (Gambar 13) antara petani dan pedagang luar pulau Batam, masih relatif sedikit petani yang menjual lidah buaya dalam bentuk pelepah. Salah satu penyebab adalah karena sifat lidah buaya yang mudah rusak sehingga dibutuhkan perlakuan khusus dalam pengirimannya. Adapun harga yang diterima petani pada rantai pemasaran 3 berkisar Rp 1 500. Pada rantai pemasaran 4, harga yang diterima petani berkisar Rp 1 700 dan Rp 2 000. Harga jual pelepah pedagang luar pulau Jakarta seperti pada rantai pemasaran 3 berkisar antara Rp 4 500, sedangkan harga jual pelepah pedagang luar pulau Batam berkisar pada Rp 9 000.

Gambar 12 Rantai Pemasaran Tiga

Gambar 13 Rantai Pemasaran Empat

Petani Pedagang home

industry

Petani

Pedagang luar pulau

(Jakarta) Konsumen

Pedagang cendramata Lidah Buaya

Konsumen

Petani Pedagang luar pulau

Dilihat dari harga jual petani dan pedagang UKM yang beragam, maka perlu dilakukan analisis standard deviation yang bertujuan mengetahui tingkat penyimpangan harga jual pelaku pemasaran. Pengukuran penyimpangan menurut Riduwan et al. (2011) bertujuan menjaring data yang menunjukkan pusat atau pertengahan dari gugusan data yang menyebar. Berdasarkan data yang diperoleh, harga produk minuman lidah buaya yang ditawarkan pedagang home industry terlihat variatif, sehingga perlu untuk dilakukan analisis standard deviation sehingga diketahui derajat penyimpangan yakni sebesar Rp 18 561.

Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran (Tabel 9), dapat diketahui bahwa pada rantai pemasaran 1 diidentifikasi harga jual lidah buaya oleh petani sebesar Rp 1 733. Rantai pemasaran 2 lebih kecil yaitu Rp 1 350, rantai pemasaran 3 sebesar Rp 1 500 dan rantai pemasaran 4 sebesar Rp 1 850. Harga jual petani pada rantai pemasaran 4 lebih tinggi daripada harga jual rantai pemasaran lainnya.

Pada rantai pemasaran 1 akumulasi biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 100. Pada rantai pemasaran 3 dan 4 akumulasi biaya yang terjadi lebih kecil yaitu sebesar Rp 0 dan Rp 25. Akumulasi biaya yang dikeluarkan pada rantai pemasaran 2 adalah biaya yang paling besar dikeluarkan yaitu sebesar Rp 250.

Ditinjau dari kedua aspek diatas, maka dapat diketahui besaran pendapatan

yang diterima petani, pendapatan petani pada rantai pemasaran 1 sebesar Rp 1 633 dan rantai pemasaran 2 memiliki akumulasi pendapatan lebih kecil yaitu

sebesar Rp 1 100. Sementara pada rantai pemasaran 3 dan 4 pendapatan yang diperoleh sebesar Rp 1 500 dan Rp 1 825. Diketahui pula bahwa pada rantai pemasaran 3, biaya pemasaran paling besar dikeluarkan oleh pedagang home industry sebesar Rp 8 833 dengan harga jual lidah buaya oleh pedagang home industri sebesar Rp 26 444. Tabel 9 dan 10 menyajikan lebih rinci marjin pemasaran yang diperoleh pada masing-masing rantai pemasaran.

Tabel 9 Marjin Pemasaran dan Akumulasi Biaya di Tiap Tingkatan Pemasaran No Pelaku Pasar

Rantai Rantai Rantai Rantai pemasaran 1 pemasaran 2 pemasaran 3 pemasaran 4 Nilai (Rp) % Nilai (Rp) Nilai (Rp) Nilai (Rp) % Nilai (Rp) % 1 Petani a. Biaya (transport dll) 100 3 250 1 0 0 25 0 b. Pendapatan 1 633 44 1 100 4 1 500 33 1 825 20 c. Harga jual 1 733 47 1 350 5 1 500 33 1 850 21 2 Pedagang pengecer a. Harga beli 1 733 47 - - - - b. Biaya-biaya 950 25 (transport, penyusutan) c. Pendapatan 1 067 28 - - - - d. Harga jual 3 750 100 3 Pedagang home industry

a. Harga beli - - 1 350 5 - - - -

b. Biaya-biaya 8 833 33

(transport, upah buruh, air, mesin)

c. Pendapatan - - 16 261 61 - - - -

d. Harga jual 26 444 100

4 Pedagang luar pulau (Jakarta)

a. Harga beli - - - - 1 500 33 - - b. Biaya-biaya 2 500 56 (transport,upah buruh,pengemasan) c. Pendapatan - - - - 500 11 - - d. Harga jual 4 500 100

5 Pedagang luar pulau (Batam)

a. Harga beli - - - 1 850 21 b. Biaya-biaya 6 000 67 (transport,upah buruh,pengemasan) c. Pendapatan - - - 1 150 13 d. Harga jual 9 000 100

Harga yang diterima petani pada rantai pemasaran 1 seperti tertera pada Tabel 10 merupakan harga tertinggi yang diterima petani yaitu sebesar Rp 1 733 atau sekitar 46%. Kondisi ini juga terkait dengan perbedaan marjin pemasaran dari keempat rantai pemasaran tersebut. Marjin pemasaran pada rantai pemasaran 1 hanya Rp 2 017 atau sekitar 54%. Marjin pemasaran pada rantai pemasaran 2 sejumlah Rp 25 094 atau sekitar 95%, sementara pada rantai pemasaran 3 sebesar

Rp 3 000 atau sekitar 67% dan rantai pemasaran 4 sebesar Rp 7 150 atau sekitar 79%.

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa pemasaran antara petani langsung kepada pedagang pengecer adalah rantai pemasaran yang menguntungkan petani. Untuk peluang permintaan pasar dari lidah buaya yang besar adalah dari industri tepung lidah buaya. Permintaan tepung lidah buaya domestik dan luar negeri cukup besar, masing-masing sebesar 28.8 ton/tahun dan 110.8 ton/tahun. Permintaan lidah buaya yang tinggi dari industri tepung lidah buaya tersebut merupakan kesempatan untuk memasok lidah buaya. Perdagangan luar pulau memiliki kelemahan, mengingat lidah buaya memiliki sifat cepat rusak, maka peluang yang lebih baik adalah dengan pengembangan industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak. Petani dapat melakukan pemasaran langsung ke perusahaan industri tepung lidah buaya untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dan pada akhirnya petani akan semakin intensif meningkatkan usahataninya, kebutuhan pasar akan lidah buaya tercukupi.

Tabel 10 Harga yang Diterima Petani dan Marjin Pemasaran pada Masing-Masing Rantai Pemasaran

No Jenis Analisis Jalur Pemasaran Harga lidah

buaya/kg (Rp) 1 Bagian harga yang diterima

petani terhadap harga jual akhir pada masing-masing rantai pemasaran Rantai pemasaran 1 (Petani-Pengecer) Rantai pemasaran 2 (Petani-Pedagang home industry) Rantai pemasaran 3 (Petani-PLP Jakarta) Rantai pemasaran 4 (Petani-PLP Batam) 1 733 46% 1 350 15% 1 500 33% 1 850 21% 2 Marjin pemasaran antara

harga yang diterima petani terhadap harga jual pelaku usaha pada masing-masing rantai pemasaran Rantai pemasaran 1 (Petani-Pengecer) Rantai pemasaran 2 (Petani-Pedagang home industry) Rantai pemasaran 3 (Petani-PLP Jakarta) Rantai pemasaran 4 (Petani-PLP Batam) 2 017 54% 25 094 95% 3 000 67% 7 150 79%

Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya

Dalam pendirian suatu industri memerlukan perencanaan yang baik dan meyeluruh. Perencanaan jadwal kegiatan akan membantu dan memudahkan dalam penyelenggaraan proyek. Perencanaan yang tepat akan didapatkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan waktu penyelesaian proyek dapat diselesaikan tepat pada waktunya serta hasil dari modal yang ditanamkan dalam proyek yang merupakan penerimaan langsung bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaannya. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam perencanaan pendirian industri tepung lidah buaya ini adalah dengan menggunakan analisis kelayakan finansial usaha.

Tujuan pengembangan industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak adalah untuk memberikan nilai tambah dari bahan baku lidah buaya yang banyak tersedia sehingga lidah buaya tidak hanya dijual dalam bentuk pelepah segar yang harganya relatif murah, serta untuk mengurangi kebocoran nilai tambah ke luar wilayah. Industri tepung lidah buaya merupakan industri yang relatif baru dikembangkan di Indonesia sehingga usaha ini belum banyak dilakukan.

Analisis kelayakan finansial dilakukan terhadap 3 skenario yaitu nilai suku bunga terendah, suku bunga tertinggi dan suku bunga berlaku pada saat penelitian yang berlaku pada Bank Indonesia. Perhitungan dilakukan berdasarkan 2 asumsi. Asumsi pertama adalah produksi tepung lidah buaya yang dihasilkan dalam jumlah yang optimum, dan asumsi kedua, terjadi penurunan produksi sebanyak 30 persen. Adapun beberapa asumsi dasar perhitungan sebagai berikut:

1. Lokasi pendirian pabrik tepung lidah buaya adalah di Siantan Hulu, Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak;

2. Pembiayaan modal investasi adalah dengan modal sendiri;

3. Analisis finansial dilakukan berdasarkan umur ekonomis selama 10 tahun; 4. Harga produk menggunakan adalah harga pada tahun 2006 yaitu Rp 900 000

pada tahun ke-0 dan diasumsikan tahun ke-1 sampai 10 mengikuti tingkat inflasi yang berlaku di Kota Pontianak yang berlaku pada saat penelitian yaitu sebesar 8.28%;

5. Jangka waktu pembangunan pabrik industri adalah selama 1 tahun;

6. Dalam satu minggu ditetapkan sebanyak 5 hari kerja, terhitung 6 jam kerja serta dikurangi dengan 5 hari libur nasional dan 12 libur kalender, sehingga kumulatif satu tahun ditetapkan sebanyak 300 hari kerja;

7. Dalam satu kali produksi tepung lidah buaya dilakukan selama 8 jam kerja, sehingga ditetapkan akumulasi produksi dalam satu tahun sebanyak 225 kali produksi;

8. Tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi tepung lidah buaya sebanyak 20 orang;

9. Kapasitas produksi ditetapkan konstans sejak tahun ke-0 sampai 10; 10. Biaya asuransi ditetapkan sebesar 2% dari nilai investasinya;

11. Pajak penghasilan dihitung berdasarkan SK Menteri Keuangan RI Tahun 1994 tentang Pajak Pendapatan Badan Usaha dan Perseroan. Perusahaan tidak dikenai pajak bila mengalami kerugian. Pajak meliputi:

a. PBB sebesar 0.1% (tanah dan bangunan); b. Pajak kendaraan bermotor 0.5%;

c. Pajak penghasilan perseroan, jika keuntungan kurang dari 25 juta rupiah, besar pajak penghasilannya 10%. Jika keuntungan diantara 25 - 50 juta rupiah, besar pajak penghasilannya 10% dari 25 juta rupiah ditambah 15% dari keuntungan sisanya. Jika keuntungan lebih dari 50 juta rupiah, besar pajak penghasilannya 10% dari 25 juta rupiah ditambah 15% dari 25 juta kedua ditambah 30% dari keuntungan sisanya.

Tabel 11 menyajikan biaya yang dikeluarkan kegiatan produksi tepung lidah buaya.

Tabel 11 Biaya Bahan Baku, Biaya Investasi, Biaya Operasional, Biaya Penyusutan, Asuransi dan Pajak Penghasilan

No. Uraian Biaya produksi maksimum (Rp) Biaya produksi menurun 30 persen (Rp)

1 Bahan baku lidah buaya 1 733 175.000 1 217 074 000

2 Solar 845 775 000 593 922 000

3 Cellubrix 31 500 000 22 120 000

4 Karbon aktif 68 625 000 48 190 000

5 Filter earth 16 875 000 11 850 000

6 Maltodextrin 34 425 000 24 174 000

7 Biaya tenaga kerja langsung 62 628 000 62 628 000

8 Bangunan 1 800 000 000 1 800 000 000

9 Mesin 1 500 000 000 1 500 000 000

10 Kendaraan 900 000 000 900 000 000

11 Biaya listrik 132 000 000 132 000 000

12 Biaya pemasangan listrik 800 000 000 800 000 000

13 Biaya air 23 236 000 11 692 000

14 Biaya penyusutan bangunan 3 247 000 3 247 000

15 Biaya penyusutan mesin & perlengkapan 6 636 000 6 636 000

16 Biaya penyusutan peralatan pabrik 4 517 000 4 517 000

17 Baya pemeliharaan bangunan 216 000 216 000

18 Biaya umum lainnya 218 230 000 109 810 000

19 Pajak PBB 1 800 000 1 800 000

20 Pajak kendaraan bermotor 4 500 000 4 500 000

21 Biaya asuransi 2% dari nilai invetasi 84 000 000 84 000 000

22 Pajak penghasilan perseroan 10% 2 500 000 2 500 000

23 Pajak penghasilan perseroan 15% 3 750 000 3 750 000

24 Pajak penghasilan perseroan 30% 2 317 050 000 1 622 394 000

Jumlah 10 526 244 000 8 967 020 000

Sumber: PT. Aloevera Indonesia (2013) dan data primer diolah

Berdasarkan data Tabel 11, diketahui biaya yang dikeluarkan untuk produksi tepung lidah buaya meliputi:

1. Total seluruh biaya yang dikeluarkan dalam satu kali produksi pada tahun ke-0 sebesar Rp 7 212 644 000;

2. Biaya investasi usaha sebesar Rp 3 300 000 000 yang meliputi biaya bangunan Rp 1 800 000 000 dengan luas gedung 15 x 70 m, pembelian

mesin Rp 1 500 000 000 (rincian pada lampiran 3) dan kendaraan bermotor sebanyak 2 truk sebesar Rp 900.000.000;

3. Biaya tenaga kerja dalam 1 bulan sebesar Rp 5 219 000. Akumulasi biaya tahun ke-0 sebesar Rp 62 628 000;

4. Bahan baku lidah buaya satu kali produksi digunakan sebanyak 10 270 kg, dengan harga Rp 750 per kilogram, sehingga akumulasi biaya yang dikeluarkan pada produksi maksimum sebesar Rp 7 702 500;

5. Untuk bahan baku pelepah lidah buaya yang digunakan sebanyak 10 270 kg atau setara dengan 10.27 ton;

6. Biaya penyusutan bangunan yang dikeluarkan perusahaan adalah sebesar Rp 3 247 000;

7. Biaya penyusutan mesin dan perlengkapan tahun ke-0 sebesar Rp 6 636 000; 8. Biaya penyusutan peralatan pabrik yang dikeluarkan sebesar Rp 4 517 000.

Biaya pemeliharaan bangunan sebesar Rp 215 840.

9. Pajak Bumi dan Bangunan yang dibayarkan pada tahun ke-0 konstan hingga tahun ke-10 Rp 1 800 000;

10. Pajak Kendaraan Bermotor yang dibayarkan pada tahun ke-0 konstan hingga tahun ke-10 Rp 4 500 000;

11. Biaya asuransi 2% dari nilai investasi dibayarkan konstan dari tahun ke-0 sampai ke-0 sebesar Rp 84 000 000;

12. Pajak Penghasilan Perseroan 10% dari 25 juta rupiah pada produksi maksimum yang dibayarkan pada tahun ke-1 sebesar Rp 2 500 000, pajak 15% dari 25 juta rupiah kedua sebesar Rp 3 750 000 dan pajak 30% dari sisa keuntungan sebesar Rp 2 317 050 000, sedangkan pajak penghasilan perseroan 10% dari 25 juta rupiah pada produksi menurun 30% yang dibayarkan pada tahun ke-1 sebesar Rp 2 500 000, pajak 15% dari 25 juta rupiah kedua sebesar Rp 3 750 000 dan pajak 30% dari sisa keuntungan sebesar Rp 1 622 394 000.

Tabel 12 menyajikan pendapatan yang diterima dari penjualan tepung lidah buaya pada Tahun pertama.

Tabel 12 Pendapatan Tepung Lidah Buaya Tahun ke-1

No. Uraian Produ ksi (Kg) Jumlah produksi dalam 1 tahun Harga (Rp) TR (Total revenue) (Rp) 1 Produksi maksimum 38.4 225 900 000 7 776 000 000 2 Produksi menurun 30% 38.4 158 900 000 5 460 480 000

Sumber: PT. Aloevera Indonesia (2013) dan data primer diolah

Berdasarkan Tabel 12, diketahui bahwa hasil penjualan tepung lidah buaya terhadap asumsi pertama adalah sebesar Rp 7 776 000 000, dengan pertimbangan dalam satu kali produksi tepung lidah buaya dihasilkan sebanyak 38.4 kg, akumulasi produksi yang dilakukan 1 tahun sebanyak 225 kali produksi, dengan harga pokok penjualan tepung lidah buaya ditetapkan sebesar Rp 900 000/kg.

Rp 5 460 480 000, dengan pertimbangan satu kali produksi tepung lidah buaya dihasilkan sebanyak 38.4 kg, produksi dalam satu tahun menurun 30% atau hanya dilakukan 158 kali produksi, dengan harga pokok penjualan tepung lidah buaya ditetapkan sebesar Rp 900 000/kg .

Setelah diakumulasi data biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan usaha, selanjutnya dilakukan analisis kelayakan finansial industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak. Tabel 13 menyajikan hasil analisis kelayakan finansial industri tepung lidah buaya.

Tabel 13 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya No Tingkat Suku

Bunga

Kelayakan Finansial

Produksi maksimum Produksi menurun sebesar 30 persen 1 5.75% 1. NPV (Rp Ribu) 12 336 781 6 189 082 2. IRR (%) 27.55 19.01 3. Net BCR (%) 2.50 1.84 2 7.25% 1. NPV (Rp Ribu) 10 779 551 5 162 370 2. IRR (%) 27.55 19.01 3. Net BCR (%) 2.31 1.70 3 12.75% 1. NPV (Rp Ribu) 6 335 070 2 232 422 2. IRR (%) 27.55 19.01 3. Net BCR (%) 1.77 1.30

Pelaksanaan analisis kelayakan finansial seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dilakukan terhadap 3 skenario yaitu nilai suku bunga terendah, suku bunga tertinggi dan suku bunga berlaku pada saat penelitian yang berlaku pada Bank Indonesia berdasarkan 2 asumsi. Asumsi pertama, produksi maksimum dalam 1 tahun kegiatan usaha, dan asumsi kedua, produksi yang dihasilkan menurun 30%. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 13 diatas, akan diuraikan beberapa hal berikut:

Net Present Value (NPV)

Hasil NPV industri tepung lidah buaya pada jumlah produksi tepung lidah buaya yang dihasilkan maksimum dengan discount rate sebesar 5.75% adalah sebesar Rp 12 336 781 000, pada discount rate 7.25%, diperoleh nilai sebesar Rp 10 779 551 000, dan pada discount rate 12.75% diperoleh nilai sebesar Rp 6 335 070 000. Berdasarkan nilai NPV yang diperoleh tersebut, dinyatakan

layak untuk dikembangkan karena NPV yang dihasilkan lebih besar dari nol. Hasil NPV industri tepung lidah buaya pada jumlah produksi tepung lidah buaya menurun sebanyak 30 persen yang dihitung dengan discount rate sebesar 5.75% adalah sebesar Rp 6 189 082 000, pada discount rate 7.25%, diperoleh nilai sebesar Rp 5 162 370 000, dan pada discount rate 12.75% diperoleh nilai sebesar Rp 2 232 422 000. Berdasarkan nilai NPV yang diperoleh tersebut, Keterangan: (1) Suku bunga terendah, (2) Suku bunga saat penelitian, (3) suku bunga tertinggi

dinyatakan layak untuk dikembangkan karena NPV yang dihasilkan lebih besar dari nol.

Internal Rate of Return (IRR)

Nilai IRR pada produksi tepung lidah buaya yang dihasilkan maksimum, yang dihitung dengan discount rate seperti pada Tabel 13 sebesar 5.75% adalah sebesar 27.55%, selanjutnya discount rate 7.25% diperoleh nilai IRR sebesar 27.55% dan untuk discount rate 12.75% nilai IRR yang diperoleh sebesar 27.55%. Berdasarkan nilai IRR tersebut diartikan bahwa industri tepung lidah buaya yang menghasilkan produksi maksimum pada discount rate 5.75%, 7.25% dan 12.75% dapat memperoleh keuntungan sampai pada suku bunga maksimum 27.55%.

Nilai IRR pada jumlah produksi tepung lidah buaya yang dihasilkan menurun sebanyak 30%, yang dihitung dengan discount rate sebesar 5.75%, 7.25% dan 12.75% nilai IRR yang diperoleh masing-masing sebesar 19.01%, 19.01% dan 19.01%. Berdasarkan nilai IRR tersebut diartikan bahwa industri tepung lidah buaya yang produksinya menurun hingga 30% pada discount rate 5.75%, 7.25% dan 12.75% dapat memperoleh keuntungan sampai pada suku bunga maksimum 19.01%.

Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)

Berdasarkan hasil analisis B/C Ratio jika jumlah produksi mencapai 100 persen seperti terlihat pada Tabel 13 diatas, diketahui bahwa pada discount rate sebesar 5.75% diperoleh B/C Ratio sebesar 2.50%, discount rate sebesar 7.25% diperoleh B/C Ratio sebesar 2.31% dan discount rate sebesar 12.75% diperoleh B/C Ratio sebesar 1.77%. Hal ini berarti dari setiap modal yang ditanamkan sebesar Rp 1, maka pada discount rate sebesar 5.75% akan menghasilkan sebesar Rp 2.50 yang berarti pemilik usaha memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.50, sedangkan pada discount rate sebesar 7.25% akan menghasilkan sebesar Rp 2.31 yang berarti pemilik usaha memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.31 dan pada

Dokumen terkait