• Tidak ada hasil yang ditemukan

Development Strategy of Aloe vera in Peat Areas in Support of Pontianak City Regional Development

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Development Strategy of Aloe vera in Peat Areas in Support of Pontianak City Regional Development"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN LIDAH BUAYA (

Aloe vera

)

PADA LAHAN GAMBUT UNTUK MENDUKUNG

PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA PONTIANAK

LIA OKTAVIANA ANGRAINI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Strategi Pengembangan Lidah Buaya (Aloe vera) pada Lahan Gambut untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Kota Pontianak” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 13 Maret 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

LIA OKTAVIANA ANGRAINI. Strategi Pengembangan Lidah Buaya (Aloe vera) pada Lahan Gambut untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Kota Pontianak. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan SUWARDI.

Aloe vera dikenal dengan nama “lidah buaya” merupakan salah satu komoditi unggulan Kota Pontianak yang unik dan menjadi ciri khas Provinsi Kalimantan Barat. Kota Pontianak menjadi sentra produksi lidah buaya terbesar di Indonesia dengan agrosistemnya yang tumbuh pada lahan gambut, sehingga perlu perlakukan khusus dalam usaha taninya. Pemerintah Daerah telah melakukan berbagai pengembangan, produksi belum berhasil memenuhi permintaan pasar karena petani tidak terdorong meningkatkan produksi. Belum proporsionalnya pendapatan yang diterima petani dibandingkan dengan pendapatan yang diterima pelaku usaha lainnya menjadi salah satu penyebab kurangnya minat petani untuk meningkatkan produksi.Industri tepung lidah buayayang diharapkan dapat meningkatkan minat petani untuk meningkatkan produksi lidah buaya menghadapi kendala pemasaran. Perlu strategi pengembangan agribisnis lidah buaya dan pengembangan industri tepung lidah buaya untuk mendorong petani meningkatkan produksi.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) Memprediksi prospek permintaan lidah buaya di Kota Pontianak, (2) Mengidentifikasi rantai pemasaran lidah buaya yang menguntungkan petani, (3) Mengetahui kelayakan finansial industri tepung lidah buaya, (4) Menentukan strategi pengembangan agribisnis lidah buaya.

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Pontianak dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer berupa data wawancara dan pengisian kuesioner ke para stakeholder. Data sekunder berupa data yang diperoleh dari instansi/lembaga baik pemerintah maupun swasta meliputi data jumlah produksi dan luas lahan pertanian lidah buaya, data ekspor lidah buaya, data home industry industri lidah buaya, data finansial PT. Aloevera Indonesia, data kondisi umum wilayah dan data lainnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model autoregressive integrated moving average (ARIMA), analisis marjin pemasaran, analisis kelayakan finansial dan analisis A’WOT (kombinasi AHP dan SWOT).

Permintaan lidah buaya mendatang diprediksi akan terus meningkat. Tahun 2013 permintaan lidah buaya meningkat menjadi 6 654 ton atau berkisar 4.6% dan terus meningkat menjadi 8 880 ton atau berkisar 7% pada tahun 2018 dari produksi tahun 2012. Pengembangan industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak berpotensi mendorong petani untuk meningkatkan produksi. Rantai pemasaran yang menguntungkan petani adalah pemasaran antara petani langsung kepada pedagang pengecer atau pengguna seperti industri tepung lidah buaya. Hasil perhitungan kelayakan finansial menunjukkan industri tepung lidah buaya layak dikembangkan di Kota Pontianak, karena akan menjadi rantai pemasaran langsung dari petani ke industri tepung lidah buaya.

(6)

dari petani langsung ke pengguna lidah buaya, perluasan areal pertanian dan bantuan abu dan pupuk ke petani untuk meningkatkan produksi lidah buaya, peningkatan kualitas tepung lidah buaya agar permintaan pasar dapat terpenuhi, pembangunan pabrik tepung lidah buaya, pembangunan jalan pada Kawasan Sentra Agribisnis dan Kawasan Industri, pengembangan teknologi agribisnis lidah buaya serta menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk pengembangan ekspor. Kata kunci: Agribisnis lidah buaya, lahan gambut, industri tepung lidah buaya,

(7)

ttivitas -amilase dari ekstrak etanol SUMMARY

LIA OKTAVIANA ANGRAINI. Development Strategy of Aloe vera in Peat Areas in Support of Pontianak City Regional Development. Supervised by ERNAN RUSTIADI and SUWARDI

Aloe vera which is also known as "lidah buaya" constitutes as one of Pontianak leading commodities having the uniqueness and characteristic of West Kalimantan Province. Pontianak City has become the largest production center of Aloe vera in Indonesia, Aloe vera and its growing on peatland requires special treatment in its cultivation. The Local Government has undertaken various steps in its development but the production, however, does not meet the market demand since the farmers have no incentives to increase production. The unproportional income received by farmers compared to those earned by Aloe vera entrepreneurs could also be the cause of farmers not to increase production. Aloe vera flour industry which is expected to increase farmers interest to boost Aloe vera production faces marketing constraints. Both agribusiness development strategy and Aloe vera flour industrial development are needed to encourage farmers to increase production.

Based on the above problems, this study aims at: (1) Predicting the demand outlook of Aloe vera, (2) Identifying Aloe vera market chain that benefits farmers, (3) Determining financial feasibility of Aloe vera flour industry, (4) Developing Aloe vera agribusiness development strategy.

This research was conducted in Pontianak using both primary and secondary data. Primary data took the form of interviews and questionnaires given to the stakeholders while secondary data were obtained from institutions/organizations both public and private regarding aloevera’s total production and its acreage, export data, data on home industry, financial data of PT . Aloevera Indonesia, data on area condition in general and others. The method of analysis used in this study comprises of a model of Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA), Marketing Margin Analysis, Financial Analysis and A'WOT Analysis (combination of AHP and SWOT) .

Aloe vera future demand is predicted to continue to increase. In 2013, Aloe vera demand will increase to 6 654 tons or equivalent to about 4.6 % and shall continue increasing to 8 880 tons, or about 7% of 2012 production level by 2018. Development of Aloe veras flour industry in Pontianak will encourage farmers to increase production. Marketing chain that benefits farmers is the one that directly links farmers to retailers or users such as Aloe vera’s flour industry. The results on financial feasibility calculation has shown that Aloe veras flour industry should be developed in the city of Pontianak as it would constitute a direct marketing chain from the farmers to Aloe vera’s flour industry.

(8)

agribusiness centers as well as industrial estates, to provide technological assistance on Aloe vera flour industry and to create a business climate conducive to export development .

Keywords : Aloe vera agribusiness, peat, Aloe vera flour industry, regional development .

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

STRATEGI PENGEMBANGAN LIDAH BUAYA (

Aloe vera)

PADA LAHAN GAMBUT UNTUK MENDUKUNG

PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA PONTIANAK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(12)
(13)

Judul Tesis : Strategi Pengembangan Lidah Buaya (Aloe vera) Pada Lahan Gambut Untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Kota Pontianak

Nama : Lia Oktaviana Angraini NIM : A156120314

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr Ketua

Dr Ir Suwardi, MAgr Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun RP Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr.

Tanggal Ujian: 27 Februari 2014

(14)
(15)
(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini dilandasi atas keinginan penulis untuk memberi konstibusi pemikiran kepada Pemerintah Kota Pontianak dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat serta unsur lain yang terlibat terkait pengembangan lidah buaya (Aloe vera) yang saat ini sedang menghadapi kendala yang menghambat perkembangannya dan pada akhirnya mampu memberikan kontribusi bagi penyelesaiannya. Adapun Judul penelitian yang dilaksanakan sejak Bulan April sampai Oktober 2013 ini adalah

“Strategi Pengembangan Lidah Buaya (Aloe vera) pada Lahan Gambut untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Kota Pontianak”.

Banyak pihak yang berkontribusi dan sangat membantu sejak awal studi hingga penyelesaian studi yang diakhiri pada kegiatan penelitian, oleh sebab itu, izinkan penulis menyampaikan penghargaan yang mendalam kepada mereka yang terlibat dan berjasa dalam proses studi, penelitian dan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa dorongan dan bimbingan oleh Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr dan Dr. Ir. Suwardi, M.Agr, masing-masing selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, terima kasih yang setinggi-tingginya atas bimbingan, masukan, arahan dan motivasi untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.

Pusbindiklatren Bappenas selaku sponsor beasiswa yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan studi serta bantuan dan dukungan yang diberikan selama melaksanakan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

Prof. Dr. Ir. Santun R.P Sitorus selaku ketua program studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) atas motivasi dan bimbingan sejak awal pelaksanaan studi hingga penelitian ini dan seluruh dosen pengajar PWL atas pengajaran mata kuliah wajib dan pilihan serta Dyah Retno Panuju, SP, M.Si yang telah memberikan penjelasan singkat dalam melaksanakan tahapan analisis A’WOT (AHP dan SWOT) sebagai salah satu teknik analisis data penelitian terkait pengambilan keputusan.

Kepada Gubernur Kalimantan Barat dan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Prov. Kalbar yang telah memberikan kesempatan kepada penulis selaku aparatur Pemerintah Daerah untuk melakukan studi Magister Sains di IPB dan atas dukungan moril dan materi selama penulis melaksanakan studi ini. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Kornelius, S.IP, MT dan Erni Muchsin, S.STP, M.Si masing-masing selaku Sekretaris dan Kepala Sub Bidang Umum dan Aparatur Badan Kepegawaian Daerah Prov. Kalbar atas kesempatan dan dukungan kepada penulis dalam melaksanakan studi.

Bapak dan Ibu tercinta, atas kasih sayang telah mendidik dan mengasuh dengan penuh rasa cinta sejak lahir hingga dapat meraih cita-cita saya dan memberikan kebanggaan terbesar bagi hidup mereka. Hal yang sama kepada adik-adikku tersayang dan seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan, doa dan dukungan moril dan tenaga.

(17)

Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan karunia-Nya dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Maret 2014

(18)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA 7

3 METODE PENELITIAN 16

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 17

Bagan Alir Penelitian 18

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33

Prediksi dan Prospek Permintaan Lidah Buaya 33

Pemasaran Lidah Buaya yang Menguntungkan Petani 35 Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya 40 Strategi Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya 46

5 SIMPULAN DAN SARAN 54

Simpulan 54

Saran 55

DAFTAR PUSTAKA 55

LAMPIRAN 58

(19)

DAFTAR TABEL

1 Jenis Produk dan Kapasitas Produk Industri Olahan Lidah Buaya di Kota Pontianak Tahun 2013

11

2 Metode Analisis Data 21

3 Syarat Uji Stasioner Data 22

4 Skala Penyusunan Prioritas 28

5 Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary (IFAS) 29 6 Matriks External Strategic Factor Analysis Summary (EFAS) 30 7 Data Penggunaan Lidah Buaya Tahun 2009 sampai 2012 33 8 Prediksi Penggunaan Lidah Buaya Tahun 2013 sampai 2018 34 9 Marjin Pemasaran dan Akumulasi Biaya di Tiap Tingkatan Pemasaran 38

10 Harga yang Diterima Petani dan Marjin Pemasaran pada Masing-Masing Rantai Pemasaran

39

11 Biaya Bahan Baku, Biaya Investasi, Biaya Operasional, Biaya Penyusutan, Asuransi dan Pajak Penghasilan

41

12 Pendapatan Tepung Lidah Buaya Tahun ke-1 42

13 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya 43 14 Faktor-Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman

Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya

46 15 Hasil Analisis Matriks Internal Strategic Factor Analysis Summary

(IFAS) dari Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya.

48 16 Hasil Analisis Matriks External Strategic Factor Analysis Summary

(EFAS) dari Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya.

49

DAFTAR GAMBAR

1 Tahapan Usaha Tani Lidah Buaya di Lahan Gambut 1

2 Pohon Industri Lidah Buaya 3

3 Kerangka Pemikiran 7

4 Gambar Produk Lidah Buaya 10

5 Peta Kota Pontianak 17

6 Bagan Alir Operasional Analisis Penelitian 20

7 Model Matriks Internal External 31

8 Model Matriks Space 32

9 Matriks SWOT 33

10 Rantai Pemasaran Satu 35

11 Rantai Pemasaran Dua 36

(20)

13 Rantai Pemasaran Empat 36

14 Hasil Analisis Matrik Internal External 50

15 Hasil Analisis Matriks Space 51

16 Hasil Analisis Matriks SWOT Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya 52

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prediksi Permintaan Lidah Buaya dalam Tahun 2013 sampai 2018 58 2 Daftar Harga, Biaya dan Keuntungan Pedagang Pengecer Lidah Buaya 60 3 Daftar Rincian Mesin, Perlengkapan dan Peralatan yang digunakan

untuk Mengolah Tepung Lidah Buaya

61

4 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di Kota Pontianak dengan Discount Rate 5.75 % dengan Asumsi Produksi Maksimum

62

5 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di Kota Pontianak dengan Discount Rate 7.25 % dengan Asumsi Produksi Maksimum

63

6 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di Kota Pontianak dengan Discount Rate 12.25 % dengan Asumsi Produksi Maksimum

64

7 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di Kota Pontianak dengan Discount Rate 5.75 % dengan Asumsi Produksi Menurun 30%

65

8 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di Kota Pontianak dengan Discount Rate 7.25 % dengan asumsi produksi menurun 30%

66

9 Hasil Analisis Kelayakan Finansial Industri Tepung Lidah Buaya di Kota Pontianak dengan Discount Rate 12.75 % dengan Asumsi Produksi Menurun 30%

67

10 Perhitungan Rating Faktor Strategi Internal dan External dalam

Analisis A’WOT untuk Penyusunan Strategi Pengembangan Agribisnis Lidah Buaya

(21)
(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Aloe vera atau dikenal dengan “lidah buaya” dan produk olahannya merupakan salah satu komoditi unggulan daerah Kota Pontianak karena unik dan menjadi ciri khas Provinsi Kalimantan Barat yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Walikota No. 710 tahun 2013. Lidah buaya dikembangkan di Indonesia pada awal Tahun 1990an oleh bangsa etnis Tionghoa dari Cina dan dibawa pertama kali ke Provinsi Kalimantan Barat (Dhamayanti 2012). Agroekosistem lidah buaya di Kota Pontianak dibudidayakan pada lahan gambut, mengingat jenis tanah di Kota Pontianak didominasi oleh jenis tanah gambut yang mencapai luas 5 592 ha dari luas Kota Pontianak yakni 10 782 ha. Curah hujan tinggi dan intensitas cahaya sinar matahari yang diperoleh sangat penuh, mengingat Kota Pontianak dilintasi garis khatulistiwa membuat kondisi ini sangat cocok untuk pertumbuhan lidah buaya pada lahan gambut di Kota Pontianak. Budi daya lidah buaya pada lahan gambut memerlukan perlakuan yang khusus. Proses pengelolaan lahan pertanian lidah buaya pada lahan gambut di Kecamatan Pontianak Utara, Kota Pontianak disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Tahapan Usaha Tani Lidah Buaya di Lahan Gambut. Sumber :

Aloevera Center (2004). Keterangan: (1) Pengolahan lahan, (2) Pembuatan drainase, (3) Penanaman dan pemupukan, dan (4) Pemanenan.

4 3

2

(23)

Gambar 1 menggambarkan proses kegiatan pertanian lidah buaya pada lahan gambut yang terdiri atas proses pengolahan lahan, pembuatan drainase, penanaman, perawatan dan pemupukan (AVC 2004). Pembuatan drainase dilakukan bertujuan membuang air yang berlebihan agar terjadi oksidasi dan mineralisasi akibat terjadinya penurunan permukaan air tanah di lahan gambut (Burhansyah 2002). Budi daya lidah buaya pada lahan gambut membutuhkan perlakukan yang khusus (Daryono 2004). Karakteristik umum lahan gambut dicirikan dengan kadar KTK (kapasitas tukar kation) lebih besar dibandingkan dengan tanah mineral, kadar N relatif tinggi berkisar 1% - 2%, kejenuhan basa relatif rendah berkisar 10% - 15% dan derajat pH di kawasan pinggir sungai rata-rata 4.3. Mengingat wilayah Kota Pontianak dilalui sungai Kapuas sehingga gambut Kota Pontianak relatif tipis sehingga tergolong gambut subur (Noor 2008).

Sentra produksi lidah buaya terbesar di Indonesia terdapat di Kota Pontianak yang berada pada suatu Kawasan Sentra Agribisnis Pontianak (KSAP) (Wijayanti 2007). Lidah buaya yang diproduksi di daerah lain seperti Purworejo, Bogor dan Parung baru pada skala usaha yang masih relatif sempit dan lokasinya terpencar. Keunggulan lidah buaya adalah salah satu tanaman obat prioritas WHO, sangat bermanfaat bagi penderita kanker dan terdaftar dalam Food and Drug Administration di Amerika (Dimyati dan Sahari 2002).

Pemerintah Daerah telah menyusun rencana pengembangan lidah buaya untuk mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak yang tercantum dalam Peraturan Walikota Nomor 710 Tahun 2013 dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pontianak Tahun 2002 sampai 2012. Rencana pengembangan lidah buaya yang dituangkan dalam RTRW Kota Pontianak terwujud dalam pengembangan Kawasan Sentra Agribisnis. Pemerintah Daerah memberikan alokasi lahan untuk pengembangan kawasan tanaman lidah buaya, pepaya dan jagung seluas 674.70 ha dan pengembangan kawasan agroindustri seluas 6 ha.

Budi daya lidah buaya seluas 300 hektar berpotensi menghasilkan 2 400 ton lidah buaya, sehingga pendapatan yang akan diperoleh sejumlah 3.6 milyar rupiah per panen, dengan asumsi harga lidah buaya sebesar Rp 1 500 per kilogram. Besarnya pendapatan yang diperoleh akan mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak dan meningkatkan PDRB sektor pertanian, mengingat sektor pertanian hanya menyumbang 202 juta rupiah atau berkisar 1.45% dari keseluruhan nilai PDRB Kota Pontianak tahun 2011 (BPS 2012).

(24)

Industri olahan lidah buaya yang berkembang di Kota Pontianak baru sebatas perdagangan lidah buaya dalam bentuk pelepah dan produk olahan makanan dan minuman home industry yang berjumlah 16 home industry dan 2 perusahaan besar nasional yaitu PT. Niramas Utama dan PT. Aloevera Indonesia. Hasil olahan yang terbatas tersebut hanya memberikan sedikit nilai tambah dalam pengembangan lidah buaya. Nilai tambah yang besar akan diperoleh jika lidah buaya dapat diolah menjadi produk yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjutan, seperti industri farmasi dan kosmetik (Sulaeman 2004). Produk kosmetik dan farmasi yang dihasilkan dengan bahan baku lidah buaya tidak bisa digunakan secara langsung dalam bentuk pelepah segar, tetapi harus diolah dahulu menjadi gel (Aloe gel) atau tepung (Aloe powder). Tepung lidah buaya pernah diproduksi oleh PT. Aloevera Indonesia di Kota Pontianak selama tahun 2006 sampai 2007. Produksi tepung lidah buaya dihentikan karena kualitas produk yang belum sesuai permintaan pasar (Ellyta 2004). Pentingnya pengembangan industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak bertujuan menumbuhkan pasar baru yang dapat menampung produksi lidah buaya, mengingat rasio perbandingan antara bahan baku dan tepung yang dihasilkan adalah 150:1 atau 150 kg daun menghasilkan 1 kg tepung (Hendrawati et al. 2012). Besarnya jumlah kebutuhan lidah buaya dalam industri tepung lidah buaya akan mendorong minat petani untuk meningkatkan produksi dan akhirnya lidah buaya dapat berkontribusi dalam pengembangan wilayah Kota Pontianak. Hubungan antara lidah buaya dan produk turunannya terlihat sebagaimana pohon industri lidah buaya pada Gambar 2.

Gambar 2 Pohon Industri Lidah Buaya, Sumber: Aloevera Center (2004)

Pasar untuk tepung lidah buaya juga cukup menjanjikan khususnya untuk pasar dalam negeri. Industri farmasi dan kosmetik di Indonesia masih mengimpor

(25)

tepung lidah buaya dari Amerika dan Australia. Industri tepung lidah buaya yang ada di Indonesia belum mampu mensuplai kebutuhan pasar tersebut. Terbatasnya produksi lidah buaya dari pesaing seperti Amerika dan Australia karena terkendalanya musim, mengakibatnya ekspor lidah buaya negara pesaing menjadi terhambat, sedangkan permintaan lidah buaya semakin meningkat, baik dalam bentuk pelepah maupun tepung lidah buaya. Produksi lidah buaya dinilai akan meningkatkan kinerja sumber daya manusia khususnya petani dan pelaku usaha, sehingga perlu upaya menumbuhkan minat pelaku usaha untuk mengembangkan industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak.

Kamaruddin (2006) juga menyarankan untuk memprioritaskan pengembangan industri tepung lidah buaya di Kawasan Sentra Agribisnis Kota Pontianak. Sejalan dengan strategi tersebut, Lewis (1967) dalam Rustiadi et al. (2011) juga memandang pentingnya pengembangann sektor industri dalam rangka mendukung pengembangan sektor pertanian. Lebih lanjut disampaikan, pengembangan sektor pertanian lidah buaya tanpa diikuti perkembangan sektor industri, akan memperburuk term of trade sektor pertanian. Pengembangan lidah buaya tanpa diikuti pengembangan industri olahan, baik industri kecil maupun besar seperti tepung lidah buaya tidak akan memberikan nilai tambah yang besar bagi pertanian lidah buaya. Akibatnya akan terjadi kelebihan produksi atau tenaga kerja dalam usaha tani lidah buaya, pendapatan di sektor pertanian akan menurun dan rangsangan penanaman modal baru tidak terjadi lagi. Dengan demikian, sudah seharusnya Pemerintah Daerah mengembangkan industri tepung lidah buaya secara serius untuk mendorong pengembangan lidah buaya dalam mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak.

Berdasarkan uraian diatas, diperlukan adanya strategi pengembangan lidah buaya, baik dari aspek produksi, pemasaran, pengolahan dan kebijakan.

Perumusan Masalah

Lidah buaya dan produk olahannya merupakan salah satu komoditi unggulan Kota Pontianak yang unik dan menjadi ciri khas Provinsi Kalimantan Barat. Lidah buaya tumbuh sangat subur di lahan gambut Kota Pontianak karena curah hujan Kota Pontianak yang cukup tinggi dan intensitas cahaya sinar matahari yang diperoleh sangat baik, mengingat wilayahnya dilintasi garis khatulistiwa membuat kondisi ini sangat cocok untuk pertumbuhan lidah buaya di Kota Pontianak.

(26)

Belum proporsionalnya pendapatan yang diterima petani dibandingkan dengan pendapatan yang diterima pelaku usaha juga menjadi penyebab kurangnya rminat petani untuk meningkatkan produksi. Perlu diidentifikasi rantai pemasaran lidah buaya yang paling menguntungkan petani.

Industri tepung lidah buaya yang diharapkan dapat meningkatkan minat petani untuk meningkatkan produksi lidah buaya serta menumbuhkembangkan industri kosmetik dan farmasi menghadapi kendala pemasaran. Produk tepung lidah buaya berasal dari Kota Pontianak tidak dapat bersaing dengan pesaing lain karena kualitas belum sesuai permintaan pasar dan kurangnya kepercayaan pasar terhadap kuantitas produk yang belum terjamin.

Perdagangan pelepah segar dan olahan home industry lidah buaya hanya memberikan sedikit nilai tambah dalam pengembangan lidah buaya. Nilai tambah yang besar akan diperoleh jika lidah buaya dapat diolah menjadi produk yang dibutuhkan industri sebagai bahan baku industri lanjutan, seperti industri farmasi dan kosmetik (Sulaeman 2004). Produk kosmetik dan farmasi yang dihasilkan dengan bahan baku lidah buaya harus diolah dahulu menjadi gel (Aloe gel) atau tepung (Aloe powder). Tepung lidah buaya memiliki potensi permintaan pasar domestik dan global serta peluang pasar dalam negeri yang tinggi. Merupakan peluang untuk mendorong minat petani untuk meningkatkan produksi lidah buaya pada gilirannya akan mendorong pengembangan lidah buaya. Perlu upaya menumbuhkan minat pelaku usaha untuk mengembangkan industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak. Kamaruddin (2006) juga menyarankan untuk memprioritaskan pengembangan industri tepung lidah buaya di Kawasan Sentra Agribisnis Kota Pontianak.

Berbagai program pengembangan lidah buaya yang dilakukan Pemerintah Daerah belum mampu mengatasi masalah produksi, pemasaran hingga industri pengolahan lidah buaya. Perlu dianalisis strategi pengembangan agribisnis lidah buaya agar pengembangan lidah buaya untuk mendukung pengembangan wilayah dapat tercapai.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk:

1. Memprediksi dan prospek permintaan lidah buaya di masa mendatang;

2. Mengidentifikasi rantai pemasaran lidah buaya yang paling menguntungkan petani;

3. Mengetahui kelayakan finansial industri tepung lidah buaya;

4. Menentukan strategi pengembangan agribisnis lidah buaya untuk mendorong pengembangan wilayah Kota Pontianak.

Manfaat Penelitian

(27)

1. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pengambil kebijakan (Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Pemerintah Kota Pontianak) dalam pengembangan lidah buaya dalam mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak;

2. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya yang tertarik untuk meneliti pengembangan lidah buaya di Kota Pontianak;

3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana pengembangan wawasan dalam menganalisis dan memecahkan permasalahan yang terjadi pada pengembangan lidah buaya.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dititikberatkan pada strategi yang dilakukan dalam upaya pengembangan lidah buaya di Kota Pontianak yang meliputi aspek produksi, pemasaran dan pengembangan industri olahan tepung lidah buaya. Wilayah penelitian dibatasi pada Kota Pontianak yang merupakan sentra produksi lidah buaya dan agribisnis lidah buaya terbesar di Indonesia.

Penentuan objek penelitian maupun responden ditentukan dengan metode purposive sampling berdasarkan pertimbangan efektivitas dan kemudahan dalam pencapaian tujuan penelitian.

Kerangka Pemikiran

Sejak diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, landasan perencanaan dan pengembangan wilayah semakin jelas dan menarik. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara bersama menyelenggarakan pemerintahan dengan menjunjung tinggi asas pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian sumber daya alam dan sumber daya lainnya untuk mewujudkan pengembangan wilayah. Kota Pontianak sebagai sentra produksi lidah buaya memiliki potensi agroklimat dan tanah gambut yang sangat cocok bagi pertumbuhan lidah buaya. Lidah buaya termasuk salah satu tanaman obat terlaris di pasar dunia dan memiliki prospek tinggi.

(28)

sesuai permintaan pasar dan kuantitasnya belum terjamin. Perlu strategi pengembangan lidah buaya untuk mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak. Lebih rinci kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

TINJAUAN PUSTAKA

Lidah Buaya

Tanaman lidah buaya menyerupai kaktus tersebut merupakan jenis sukulen atau banyak mengandung cairan. Lidah buaya merupakan tumbuhan yang dapat hidup di tempat yang bersuhu tinggi atau ditanam di pekarangan rumah sebagai tanaman hias. Ciri-ciri tanaman lidah buaya, antara lain daunnya agak runcing berbentuk taji, tebal, getas, tepinya bergerigi/berduri kecil, permukaan berbintik-bintik dengan panjang 15-36 cm dan lebar 2-6 cm (Intan 2012).

strategi pengembangan lidah buaya

Gambar 3 Kerangka Pemikiran program pengembangan

Pemerintah belum berhasil

sentra produksi terbesar dan pengkajian nilai tambah di

Indonesia prospek tinggi mendukung

pengembangan wilayah -Potensi sumber daya -Kondisi geografis -Kondisi iklim -Intensitas cahaya -Kondisi permintaan -Nilai sejarah

aloe powder memiliki nilai tambah yang besar dan prospek tinggi

upaya menumbuhkan kembali industri tepung lidah buaya

mendorong minat petani meningkatkan produksi Lidah

buaya terbatas

Pendapatan petani tidak proporsional

Produk tepung berasal dari Pontianak tidak mampu

bersaing

(29)

Dhamayanti (2012) menyatakan di daerah Pontianak khususnya di Kota Pontianak terdapat sekitar 20 jenis Aloe vera yang dibudidayakan. Terdapat satu jenis Aloe vera yang unggul dan sering diminati atau dikonsumsi oleh penduduk atau masyarakat Kota Pontianak yaitu Aloe vera aloenensis. Ciri-ciri Aloe vera aloensis yaitu ukurannya lebih besar, lebih mudah dalam pengolahannya, dan lebih mudah dipasarkan. Ada pula jenis Aloe vera yang bagus namun berbau tajam yaitu Aloe vera barbodensis. Jenis Aloe vera ini sedikit dipasarkan dan jarang diminati oleh masyarakat. Aloe vera ini biasanya digunakan dalam pembuatan tepung.

Morfologi Lidah Buaya

a. Batang Tanaman

Lidah buaya atau Aloe vera berbatang pendek dan kecil yang dikelilingi oleh pelepah daun. Batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh daun-daun yang rapat dan sebagian terbenam dalam tanah. Melalui batang ini akan muncul tunas-tunas yang selanjutnya menjadikan anakan. Lidah buaya yang bertangkai panjang juga muncul dari batang melalui celah-celah atau ketiak daun. Lidah buaya tidak mempunyai cabang. Batang lidah buaya juga dapat distek untuk perbanyakan tanaman (Intan 2012).

b. Daun

Daun tanaman lidah buaya berbentuk pita dengan helaian yang memanjang. Daun lidah buaya melekat dari bagian bawah batu satu dengan yang lain berhadap-hadapan membentuk struktur khas yang disebut roset. Daunnya berdaging tebal, tidak bertulang, berwarna hijau keabu-abuan, bersifat sukulen (banyak mengandung air) dan banyak mengandung getah atau lendir (gel) yang biasanya dimanfaatkan sebagai bahan baku obat. Bentuk daunnya menyerupai pedang dengan ujung meruncing, permukaan daun dilapisi lilin, dengan duri lemas dipinggirnya. Panjang daun dapat mencapai 50 – 75 cm, dengan berat 0.5 – 1 kg, daun melingkar rapat di sekeliling batang bersaf-saf. Pada tepi daun terdapat duri yang tidak terlalu keras, warna daunnya berwarna hijau, dan pada daun yang masih muda terdapat bercak-bercak putih (Intan 2012).

c. Bunga

Bunga lidah buaya berwarna kuning atau kemerahan berupa pipa yang mengumpul, keluar dari ketiak daun. Bunganya berukuran kecil, tersusun dalam rangkaian berbentuk tandan, dan panjangnya bisa mencapai 1 meter. Bunga lidah buaya biasanya muncul bila ditanam di pegunungan (Intan 2012).

d. Akar

Akar tanaman lidah buaya berupa akar serabut yang pendek menyebar kesamping di bagian bawah tanaman. Panjang akar berkisar antara 50 – 100 cm. Untuk pertumbuhannya tanaman menghendaki tanah yang subur dan gembur di bagian atasnya (Intan 2012).

Manfaat Lidah Buaya

(30)

1. Sebagai bahan makanan

Manfaat dalam bidang pangan yang terkandung di dalam lidah buaya meliputi minuman kesehatan, juice, makanan dan food suplement (AVC 2004). 2. Sebagai bahan kosmetik

Sebagai bahan kosmetika, lidah buaya digunakan untuk membuat produk-produk seperti krim cukur, formula pelindung sinar matahari (sun protectin formula), pelembab kulit, pembersih muka, penyegar, masker, lipstik, deodoran, shampoo, dan kondisioner rambut. Kegunaan sebagai bahan baku perawatan kulit (sun block, hand dan body lotion, skincleansers, facial moistures), perawatan rambut (shampo, creambath) dan untuk perawatan kuku (AVC 2004).

3. Sebagai bahan industri farmasi

Bidang farmasi dan kesehatan, AVC (2004) menyebutkan manfaat lidah buaya antara lain anti inflammasi (peradangan), anti oxidant, laxatif (pencahar), anti mikrobial & molusisidal, anti kanker (aceman sebagai imunostimulator), afrosiak, immunomodulator (kekebalan) dan hepatoprotektor.

4. Sebagai bahan pengobatan tradisional

Dalam ilmu pengobatan tradisional, banyak ramuan menggunakan bahan lidah buaya yang digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyebutkan bahwa lidah buaya dapat dijadikan sebagai obat cacing, luka bakar, bisul, luka bermasalah, amandel, sakit mata, dan keseleo.

5. Mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh

Menurut pengamat makanan kesehatan Freddy (2004) dalam AVC (2004) dari sekitar 200 jenis tanaman lidah buaya atau herbal food, yang baik digunakan untuk pengobatan adalah jenis Aloe barbadensis miller. Lidah buaya untuk herbal products jenis ini mengandung 72 zat yang dibutuhkan oleh tubuh (AVC 2004). Di antara ke-72 zat yang dibutuhkan tubuh itu terdapat 18 macam asam amino, karbohidrat, lemak, air, vitamin, mineral, enzim, hormon, dan zat golongan obat. Antara lain antibiotik, antiseptik, antibakteri, antikanker, antivirus, antijamur, antiinfeksi, antiperadangan, antipembengkakan, antiparkinson, antiaterosklerosis, serta antivirus yang resisten terhadap antibiotik.

Dengan banyaknya kandungan di dalam lidah buaya, tidak hanya berguna untuk menjaga kesehatan, tetapi juga mampu mengatasi berbagai macam penyakit, seperti menurunkan gula darah pada penderita diabetes, dan menurunkan tingginya kolesterol dalam tubuh (AVC 2004).

6. Sebagai bahan baku industri pertanian

Bidang pertanian, manfaat lidah buaya antara lain memiliki kegunaan sebagai bahan baku pupuk organik, suplement hidroponik, suplement media kultur jaringan dan penambah nutrisi untuk pakan ternak (AVC 2004).

Produk Lidah Buaya di Kota Pontianak

(31)

lidah buaya menjadi minuman siap saji, kemudian mengalami perkembangan pada diversifikasi produknya, dan saat ini telah memproduksi berbagai produk lidah buaya dalam kemasan seperti teh, dodol, manisan, kerupuk, selai, stick, cokelat lidah buaya, kue lapis, kue kering, larutan penyegar panas dalam (instan), juice, bahkan telah ada pengusaha yang memproduksi sabun lidah buaya meskipun teknik pengolahan dan teknologi produksinya masih sangat sederhana (Jumiar 2013).

Produk industri olahan lidah buaya yang banyak beredar di pasar adalah minuman lidah buaya. Minuman lidah buaya yang beredar tersebut didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar nasional seperti PT. Niramas Utama dan PT. Keong Nusantara Abadi, PT. Aloevera Indonesia, PT. Libe Bumi Abadi, dan PT. Kavera Biotech. Produk minuman lidah buaya yang paling banyak menguasai pasar nasional adalah PT. Niramas Utama dengan merk Inaco dan PT. Keong Nusantara Abadi dengan merk Wong Coco (Jumiar 2013).

Perdagangan lidah buaya yang berkembang di Kota Pontianak masih berupa pelepah segar dan produk olahan makanan dan minuman. Produk industri olahan makanan dan minuman berbahan baku lidah buaya dapat dilihat pada Gambar 4.

Hampir semua industri memproduksi produk industri olahan lidah buaya yang sama seperti dodol, manisan dan minuman. Hasil olahan produk yang sama tersebut karena faktor teknologi pengolahan yang masih sederhana (Jumiar 2013). Adapun jenis produk dan kapasitas produk yang dihasilkan industri lidah buaya di Kota Pontianak yang dihasilkan pada tahun 2013 disajikan dalam Tabel 1.

1 2

4 3

(32)

Tabel 1 Jenis Produk dan Kapasitas Produk Industri Olahan Lidah Buaya di Kota Pontianak Tahun 2013

No. Industri Produk olahan Kapasitas

(ton/bulan)

1 Triple Minuman 150

2 PT. Niramas Utama Minuman 140

3 Isunvera Kerupuk, manisan,

teh, coklat, stick

40

4 Segar Rasa Minuman 15

5 Madinah Minuman 15

6 Mitra Sumber Aloe vera Minuman 10

7 Rotiku Hidup Minuman, jelly, teh, dodol, kerupuk

10

8 Mavera Minuman 9

9 Nusa Indah Manisan, dodol 3

10 Plabour Dodo, stick 3

11 Kimken Minuman, selai 3

12 Hidayah Dodol 2

Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Pontianak (2013)

Berdasarkan data Tabel 1 diatas, diketahui kapasitas produk olahan lidah buaya yang dihasilkan oleh industri olahan lidah buaya di Kota Pontianak cukup besar. Sebagian besar hasil olahan dipasarkan ke swalayan dan pedagang cendramata di Kota Pontianak, hanya PT. Niramas Utama yang menjual produk olahan keluar pulau. Sebagian besar pelepah lidah buaya sebagai bahan baku dibeli langsung ke petani dan sebagian pengusaha mengambil dari kebun sendiri.

Budi Daya Lidah Buaya di Lahan Gambut di Kota Pontianak

Definisi gambut menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2006) adalah tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari 50 cm. Karakteristik umum lahan gambut dicirikan dengan nilai KTK (kapasitas tukar kation) berkisar antara 100 sampai 300 me/100 g tanah dan derajat pH rata-rata kurang dari 4.0 (Driessen dan Soepraptohardjo 1974 dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006), kadar N relatif tinggi berkisar 1 - 2%, kejenuhan basa relatif rendah berkisar 10 - 15% (Noor 2008). Mengingat pembentukan gambut Kota Pontianak dipengaruhi oleh air sungai, karena dilalui sungai Kapuas sehingga gambut Kota Pontianak tergolong gambut mesotrofik atau gambut dengan tingkat kesuburan yang sedang (Polak 1949 dalam Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006).

(33)

memiliki drainase yang baik, kandungan bahan organik tinggi dan gembur. Tanaman lidah buaya dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai tinggi, namun untuk berproduksi secara optimal menghendaki ketinggian 200 – 700 m di atas permukaan laut. Tanaman ini termasuk tanaman yang membutuhkan cahaya sinar matahari penuh (iklim panas) dengan kelembaban cukup tinggi, sekitar 16 – 30 oC, curah hujan berkisar 2 500 – 4 000 mm per-tahun. Hal ini sesuai dengan karakteristik wilayah Kota Pontianak. Menurut data BPS Kota Pontianak Tahun 2012, jenis tanah di Kota Pontianak adalah tanah gambut, ketinggian wilayah berkisar 0.1 sampai 1.5 meter diatas permukaan laut, curah hujan berkisar antara 3 000 – 4 000 mm per tahun dan beriklim tropis dengan suhu yang tertinggi (berkisar antara 28 – 32 oC dan suhu rata –rata pada siang hari 30 oC), mengingat wilayahnya yang dilintasi garis khatulistiwa sehingga intensitas cahaya matahari yang diperoleh sangat penuh. Kesesuaian kriteria tersebut membuat lidah buaya yang dihasilkan di Kota Pontianak memiliki kualitas yang sangat baik.

Lahan gambut yang dijadikan lokasi budi daya lidah buaya harus diberikan perlakuan-perlakuan, seperti penurunan permukaan air tanah dengan cara membuat drainase atau parit mengingat pada lahan gambut daerahnya selalu jenuh dengan air, sehingga dibuat drainase untuk membuang air yang berlebihan agar terjadi oksidasi dan mineralisasi (Burhansyah 2002).

Dalam melaksanakan usaha tani lidah buaya diperlukan input faktor produksi seperti bibit, pupuk, tenaga kerja, peralatan dan modal. Umumnya bibit berasal dari daerah setempat dan diperoleh secara turun temurun. Pupuk yang digunakan dalam pedagangan lidah buaya adalah pupuk organik dan anorganik (Burhansyah 2002). Lahan gambut memerlukan pemupukan NPK serta hara mikro Cu dan Zn, karena gambut mempunyai afinitas yang lemah terhadap kation maupun anion, sehingga pemberian pupuk harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa pertumbuhan tanaman (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian 2006). Pemberian pupuk kandang menurut Endriani (2006) mampu meningkatkan tinggi tanaman lidah buaya, namun pemberian pupuk kotoran ayam memberikan hasil yang paling baik diantara pupuk kandang lainnya. Lebih lanjut Yurisinthae (2012) mengemukakan penggunaan pupuk urea menjadi tidak optimal apabila pemberian abu pada tanaman lidah buaya dilakukan secara berlebihan, karena akan menyebabkan pH tanah menjadi basa (pH tinggi), sebagai penyumbang unsur N, maka pemberian pupuk urea tidak dianjurkan dalam kondisi pH tanah yang tidak mendukung.

Tanaman lidah buaya ditanam dengan jarak tanam yang bervariasi, dari

jarak tanam 200 x 100 cm (populasi tanaman 5 000 per hektar) sampai 120 x 75 cm (populasi tanaman 10 800 per hektar). Secara teknis AVC (2004)

merekomendasikan populasi tanaman sebanyak 8 000 /hektar (Burhansyah 2002). Tindakan pengendalian hama dan penyakit umumnya jarang dilakukan, karena perawatan yang intensif umumnya tanaman lidah buaya tidak mudah terserang hama dan penyakit. Tindakan hama dan penyakit dilakukan dengan cara membuang tanaman yang terserang hama bekicot (Achatina fulica). Penyakit yang sering menyerang tanaman ini dari golongan jamur seperti Fusarium yang menyerang pangkal batang atau akar sehingga tanaman mati (Burhansyah 2002).

(34)

tahun kedua, berat satu pelepah bisa mencapai 0.8 – 1.2 kg dengan tingkat produksi sekitar 80% (Burhansyah 2002).

Tanaman lidah buaya dari bibit yang baik umumnya dipanen pada umur 7 - 8 bulan sejak ditanam di lapangan dengan masa puncak produksi pada umur 4 - 5 tahun. Penentuan umur ekonomis didasarkan rata-rata nilai produksi per tahun yang maksimum. Hasil analisis Burhansyah (2002) menyebutkan umur ekonomis terjadi tahun ke-3 dengan nilai produksi Rp 32 880 976. Mulai tahun keempat hingga ketujuh nilai produksi terus menurun (Burhansyah 2002).

Sistem pengembangan usaha tani lidah buaya juga perlu diperhatikan agar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Pengembangan usaha tani lidah buaya dengan sistem monokultur secara luas akan menyebabkan eksternalitas negatif (degradasi lingkungan), karena lidah buaya adalah tanaman herba rendah dan memerlukan lingkungan yang terbuka sehingga tidak baik dalam konservasi kawasan, selain kebijakan pembatasan penguasaan lahan usaha tani terutama pada skala perusahaan besar, upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi eksternalitas ini adalah pola usaha tani dengan multi usaha. Disamping memiliki usaha tani lidah buaya pada suatu petak, pada petak lain diusahakan komoditas yang secara fisik dan ekonomi layak diusahakan (Kamaruddin 2006).

Konsep Pengembangan Lidah buaya untuk Mendukung Pengembangan Wilayah Kota Pontianak

Sejak diberlakukannya Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, landasan perencanaan dan pengembangan wilayah semakin jelas dan menarik. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara bersama menyelenggarakan pemerintahan dengan menjunjung tinggi asas pemanfaatan, pelestarian dan pengendalian sumber daya alam dan sumber daya lainnya untuk mewujudkan pengembangan wilayah. Sejalan dengan hal tersebut, Hayami dan Ruttan (1971) dalam Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa pengembangan wilayah tidak terlepas dari pemanfaatan sumber daya alam.

(35)

Pengembangan lidah buaya akan berjalan baik apabila terjalin keterpaduan sektor antara pertanian lidah buaya dengan industri tepung lidah buaya. Dengan kata lain, untuk mendorong terwujudnya pengembangan lidah buaya membutuhkan industri tepung lidah buaya sebagai pasar yang menampung lidah buaya. Demikian sebaliknya, industri tepung lidah buaya memerlukan lidah buaya sebagai bahan baku memproduksi tepung lidah buaya. Artinya terjadi keterpaduan antara sektor yang saling menguntungkan dalam kaitannya sebagai input dan output.

Dalam pengembangan wilayah, keterpaduan sektoral, spasial dan keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah adalah sangat penting. Secara institutional, keterpaduan sektoral tidak hanya hubungan antar lembaga pemerintah, tetapi juga antar pelaku ekonomi (swasta dan masyarakat). Perkembangan sektor-sektor tersebut secara tidak langsung berpengaruh terhadap perkembangan sektor-sektor lainnya (Rustiadi et al. 2011). Hal ini berarti, pengembangan lidah buaya tidak hanya mendorong perkembangan sektor pertanian dan industri, tetapi juga berpotensi mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya, dan pada gilirannya berpengaruh terhadap pengembangan wilayah.

Hakikat terpenting pengembangan lidah buaya adalah untuk menghindari potensi terjadinya pengurasan sumber daya alam keluar dari Kota Pontianak atau dikenal dengan backwash effect. Teori backwash effect mengungkapkan bahwa terjadinya nilai tambah ke pusat pertumbuhan tidak hanya berdampak terhadap kemiskinan di wilayah belakang, namun akan memberikan dampak terhadap pusat pertumbuhan tersebut, yang pada akhirnya akan memunculkan masalah sosial, lingkungan, dan ekonomi yang kompleks dan sulit diatasi (Rustiadi et al. 2011).

Untuk mengukur perkembangan suatu wilayah ditentukan berdasarkan perencanaan pembangunan wilayah. Pembangunan melalui pengembangan lidah buaya bertujuan: 1) Produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), 2) Pemerataan, keberimbangan dan keadilan (equity), dan 3) Keberlanjutan (sustainability) (Rustiadi et al. 2011). Dilihat dari pendekatan pertumbuhan (growth), pengembangan lidah buaya ditujukan meningkatkan pendapatan lidah buaya yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan wilayah. Untuk pendekatan pemerataan (equity) pengembangan lidah buaya diharapkan dapat meningkatkan petani dan masyarakat, membuka dan memperluas lapangan pekerjaan, mengurangi pengangguran serta mengurangi kemiskinan. Dalam pendekatan keberlanjutan (sustainability), pengembangan lidah buaya diharapkan mampu mengelola lahan gambut serta mempertahankan daerah serapan air, artinya pengembangan lidah buaya mengelola lingkungan secara keberlanjutan, meningkatkan ekonomi masyarakat dan ekonomi wilayah dan mengurangi pengangguran dan kriminalitas. Pada hakikatnya, pembangunan keberlanjutan dari pengembangan pertanian lidah buaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan generasi yang akan datang.

Pemasaran Lidah Buaya

(36)

mereka butuhkan dan inginkan melalui penciptaan dan pertukaran nilai dengan yang lain.

Dalam kaitannya dengan pemasaran pertanian, menurut Sudiyono (2002) mengartikan pemasaran sebagai proses aliran yang disertai perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat dan guna bentuk yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi pemasaran.

Jalur pemasaran lidah buaya menunjukkan adanya aktivitas jual beli pelepah lidah buaya sampai produk akhirnya yang dimulai dari petani penanam lidah buaya sampai dengan industri yang memasarkan produk-produk jadi berbahan baku lidah buaya. Hasil panen pelepah lidah buaya dikumpulkan pada petani pengumpul dan didistribusikan ke para pengguna. Hasil olahan setenggah jadi lidah buaya seperti gel/juice, ekstrak, tepung, dan tepung kulit lidah buaya didistribusikan ke industri-industri pemakai bahan setengah jadi seperti industri makanan dan minuman kesehatan, farmasi, kosmetik, dan jamu di dalam dan luar negeri. Hasil penelitian Sudirman (2010) dinyatakan sebesar 98.16 persen petani memasarkan produksinya hanya untuk kebutuhan local dengan system pemasaran secara langsung maupun tidak langsung, hanya 1.84 persen saja yang diserap oleh industri lokal yaitu PT. Nitramas Utama yang mengolah daun lidah buaya segar menjadi minuman nata de aloe.

Selain pemasaran secara langsung ke konsumen, aktivitas pemasaran lidah buaya juga dilakukan oleh lembaga pemasaran. Pemasaran yang dilakukan oleh lembaga pemasaran cenderung hanya melakukan fungsi perubahan kepemilikan dan fungsi perubahan tempat. Fungsi perubahan bentuk hanya dilakukan oleh pihak pabrik pengolahan. Fungsi perbedaan waktu tidak mempengaruhi harga, karena karakteristik komoditas lidah buaya yang perishable, pendistribusian yang cepat sangat dibutuhkan untuk mengurangi derajat penyusutan dan kerusakan (Kamruddin 2006). Harga jual daun lidah buaya segar yang dipasarkan baik secara langsung ke konsumen akhir maupun melalui agen pengumpul tidak berbeda jauh dengan harga beli yang ditetapkan oleh industri. Harga ini pun ditentukan oleh pihak agen, sehingga petani berada pada posisi penerima harga (price taker). Pemasaran ke luar daerah baik nasional maupun ke luar negara, jika dilakukan oleh petani saat ini masih belum memungkinkan karena diperlukan perlakuan serta peralatan khusus terkait dengan kondisi produksi yang masih dalam bentuk segar (Yurisinthae et al. 2012).

Berdasarkan konteks modal usaha, pedagang pengumpul dan perusahaan/pabrik pengolahan yang menguasai permodalan dan pasar bertindak sebagai principal. Petani lidah buaya sebagai pihak yang hanya menerima bantuan modal dan tidak menguasai pasar bertindak sebagai agent. Principal memberikan kredit kepada petani, baik berupa uang muka pembelian lidah buaya oleh pedagang pengumpul dan berupa modal awal dan natura (pupuk dan input produksi lainnya) oleh pihak koperasi sebagai perantara pabrik pengolahan kepada agent, dengan kewajiban pihak agent mengembalikan kredit pada saat panen dan menjual hasil panen lidah buayanya kepada principal. Bentuk sistem kerja sama tersebut merupakan bentuk hubungan principal-agent yang diterapkan dalam Kawasan Sentra Agribisnis Kota Pontianak (Kamaruddin 2006).

(37)

hubungan keterkaitan antara jaringan komunikasi pendidikan dalam pemasaran lidah buaya di Kota Pontianak. Pengaruh keikutsertaan petani dalam jaringan komunikasi hanya menambah pengetahuan petani dalam hal harga, mutu dan informasi pembeli namun tidak mengubah tindakan petani dalam pemasaran. Hal ini ditunjukkan dengan masih lemahnya kemampuan petani dalam posisi tawar menawar. Petani lidah buaya hanya menerima harga yang ditawarkan oleh pembeli dan secara umum kurang aktif dalam mencari pangsa pasar baru.

Ellyta (2006) menambahkan bahwa faktor internal pendidikan formal juga sangat mempengaruhi pemahaman petani terhadap permasalahan terutama pemasaran lidah buaya, dengan kata lain mereka lebih mudah untuk memahami informasi baik itu dalam hal harga, mutu dan pembeli, selanjutnya faktor kepemilikan media juga mempengaruhi tingkat pengetahuan petani. Semakin banyak jumlah sarana media massa yang dimiliki petani maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuan petani.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat. Luas

wilayah Kota Pontianak mencapai 107.82 km2 yang terdiri atas 6 Kecamatan dan

29 kelurahan, dengan letak geografis pada 0o 02’ 24” Lintang Utara sampai 0o 05’

37” Lintang Selatan, dan 109o 16’ 25” Bujur Timur sampai dengan 109o 23’ 01”

Bujur Timur. Wilayah terluas adalah Kecamatan Pontianak Utara yaitu 37.22 km2

atau berkisar 34.52% dari luas Kota Pontianak, yang merupakan sentra pertanian lidah buaya di Kota Pontianak (BPS 2012).

(38)

Gambar 5 Peta Kota Pontianak yang Berbatasan Langsung dengan Kabupaten Pontianak

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: a. Sumber Data primer

Data primer dalam penelitian ini berasal dari kegiatan observasi, wawancara dan pengisian kuesioner kepada petani terkait harga yang diterima serta jumlah bahan baku lidah buaya yang diperlukan pelaku usaha (pedagang pengecer, pedagang home industry dan pedagang luar pulau). Disamping itu, pengisian kuesioner juga dilakukan terhadap stakeholder yang terkait sebagai pelaku utama pembuat kebijakan yang terlibat dalam pengembangan lidah buaya. Beberapa pihak yang terlibat diantaranya Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan home industry Kota Pontianak, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Pontianak, Penyuluh Pertanian. akademisi, petani dan pelaku usaha. b. Sumber Data sekunder

Data sekunder yang dibutuhkan seperti data jumlah produksi, data penggunaan lidah buaya ditingkat pelaku usaha, data ekspor lidah buaya, data finansial PT. Aloevera Indonesia, data kondisi umum wilayah dan data lainnya yang terkait dengan penelitian.

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kota Pontianak Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Pontianak, Aloevera Center Kota Pontianak dan PT. Aloevera Indonesia Cabang Kota Pontianak.

Kec. Siantan Kab. Pontianak

Kec. Sungai Ambawang Kab. Pontianak

Kec. Sungai Kakap Kab. Pontianak

(39)

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data dan informasi dari instansi-instansi terkait, melakukan wawancara dan menyebarkan kuesioner. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan wilayah tersebut merupakan lokasi produksi lidah buaya di Kota Pontianak dan petani masih aktif melakukan kegiatan pertanian lidah buaya. Pengambilan sampel (responden) wawancara dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu penentuan sampel (responden) ditentukan berdasarkan pertimbangan penelitian. Penentuan jumlah responden dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan pengambilan sampel dari berbagai pihak terkait diantaranya petani, pelaku usaha, pembuat kebijakan dan akademisi. Semua responden berjumlah 50 orang. Kuesioner dimaksud digunakan untuk melakukan analisis Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA), analisis marjin pemasaran dan analisis A’WOT (kombinasi analisis AHP dan SWOT).

2. Prediksi permintaan dan prospek lidah buaya mendatang dengan Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) menggunakan responden sebanyak 29 orang, terdiri atas para pelaku usaha lidah buaya (pedagang pengecer, pedagang UKM). Data ekspor menggunakan data sekunder yang diperoleh dari UPTD Aloevera Center Kota Pontianak.

3. Identifikasi pemasaran lidah buaya yang menguntungkan petani lidah buaya menggunakan metode analisis marjin pemasaran. Data yang dikumpulkan meliputi data primer yang diperoleh dengan melakukan wawancara ke petani dan pelaku usaha lidah buaya dipilih responden sebanyak 11 orang, yang terdiri atas 6 orang petani, 3 orang pedagang pengecer dan 2 orang pedagang luar pulau. Metode pengambilan sampel berdasarkan metode purposive sampling. Untuk data aktivitas usaha home industry menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Aloevera Center Pontianak.

4. Perumusan strategi kebijakan pengembangan agribisnis lidah buaya dilakukan

dengan analisis A’WOT (kombinasi antara AHP dan SWOT). Metode

pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner. Dalam metode penentuan responden (sampel) dilakukan dengan pendekatan purposive sampling berdasarkan pertimbangan bahwa responden terpilih menguasai hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan agribisnis tepung lidah buaya. Responden yang dipilih sebanyak 10 orang yang mewakili dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Pontianak, Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Pontianak, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kota Pontianak, Kantor Penyuluh Pertanian Kota Pontianak, akademisi, petani dan pelaku usaha .

Pengolahan data dibantu dengan alat analisis berupa software pengolah data meliputi Minitab 15, Microsoft Word dan Microsoft Excell.

Bagan Alir Penelitian

(40)

Berbagai upaya pengembangan lidah buaya telah dilakukan Pemerintah Daerah, namun produksi lidah buaya sampai saat ini masih belum mampu memenuhi kebutuhan pasar. Kurangnya pasokan lidah buaya berdampak mengganggu aktivitas perdagangan serta sebagai bahan baku olahan produk agroindustri dan bahan baku untuk memproduksi tepung lidah buaya, sehingga mengakibatkan terhambatnya pengembangan lidah buaya di Kota Pontianak, oleh sebab itu, perlu analisis prediksi permintaan lidah buaya agar diketahui jumlah kebutuhan bahan baku lidah buaya yang digunakan untuk aktivitas perdagangan dan industri lidah buaya. Data penggunaan lidah buaya oleh pelaku pasar akan dianalisis dengan metode Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA), kemudian akan diketahui nilai proyeksi permintaan lidah buaya masa mendatang.

Banyak petani yang beralih ke tanaman lain, mengingat usaha tani lidah buaya kurang menguntungkan petani. Petani belum puas dalam memperoleh keuntungan, hal ini disebabkan oleh petani hanya menerima harga yang ditentukan oleh pelaku usaha, sehingga perlu diidentifikasi rantai pemasaran lidah buaya yang menguntungkan petani. Data yang digunakan meliputi data harga, biaya dan keuntungan perdagangan di setiap saluran pemasaran lidah buaya di Kota Pontianak. Data yang telah diperoleh tersebut dianalisis dengan metode analisis margin pemasaran. Diharapkan dengan meningkatnya keuntungan, petani akan semakin bersemangat untuk meningkatkan usahataninya.

Berbagai potensi pasar dari lidah buaya dan produk turunan industrinya, merupakan kesempatan yang baik untuk mengembangkan tepung lidah buaya sebagai bahan baku produk turunan lidah buaya yang meliputi produk pangan, kosmetik dan farmasi. Potensi pasar tepung lidah buaya yang tinggi ini pada gilirannya mampu memberikan pengaruh terhadap pengembangan lidah buaya. Kesempatan dan potensi yang baik ini belum mendorong pelaku usaha dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan agribisnis tepung lidah buaya di Kota Pontianak, sehingga akan dianalisis gambaran perencanaan agribisnis tepung lidah buaya dengan menggunakan metode analisis kelayakan finansial, dengan berdasarkan 3 kriteria utama kelayakan usaha yaitu NPV, IRR dan Net BCR. Adapun data aktivitas usaha diperoleh dari PT. Aloevera Indonesia Cabang Pontianak.

Tepung lidah buaya Kota Pontianak dinilai belum mampu bersaing dengan pesaing-pesaing lain. Hal ini menyebabkan perlunya dilakukan analisis strategi pengembangannya, dengan fokus utama strategi pengembangan pemasaran tepung lidah buaya agar berkualitas dan mampu bersaing dalam pasar domestik dan global. Metode yang digunakan untuk menyusun prioritas strategi pengembangan agribisnis tepung lidah buaya adalah A’WOT, yaitu kombinasi Analytical Hierarchy Process (AHP) dan SWOT (strenghts, weakness, opportunities, threats).

(41)

demikian, berdasarkan hasil tersebut dapat diperoleh suatu output mengenai strategi kebijakan apa yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung agar prioritas strategi dapat dijalan dengan efektif dan efisien. Bagan alir operasional penelitian lebih rinci dapat dilihat pada Gambar 6.

Metode Analisis Data

Setelah diketahui gambaran umum potensi dan karakteristik daerah berdasarkan data-data yang ada kemudian peneliti melakukan analisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sehingga dapat menjawab permasalahan tentang strategi pengembangan lidah buaya (Aloe vera) pada lahan gambut untuk mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 2.

Gambar 6 Bagan Alir Operasional Analisis Penelitian

(42)

Tabel 2 Metode Analisis Data

Berdasarkan Tabel 2 diatas diketahui tahapan dan teknik analisis yang digunakan di dalam penelitian. Adapun beberapa teknik analisis yang akan digunakan akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Analisis ARIMA dilakukan untuk memprediksi dan prospek permintaan lidah buaya;

2. Analisis marjin pemasaran digunakan untuk mengidentifikasi rantai pemasaran lidah buaya yang menguntungkan petani;

3. Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk mengetahui kelayakan finansial industri tepung lidah buaya di Kota Pontianak;

4. Analisis A’WOT (kombinasi AHP dan SWOT) digunakan untuk menentukan strategi pengembangan agribisnis lidah buaya untuk mendukung pengembangan wilayah Kota Pontianak.

(43)

Perhitungan Prediksi dan Prospek Permintaan Lidah Buaya

Dalam menghitung prediksi dan menentukan prospek permintaan lidah buaya untuk beberapa tahun mendatang digunakan metode analisis Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA). Data yang digunakan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan adalah data laporan penjualan lidah buaya luar pulau yang diperoleh dari Aloevera Center Kota Pontianak. Data primer menggunakan data penggunaan lidah buaya ditingkat pedagang pengecer dan home industry diperoleh dengan melakukan wawancara dan pengisian kuesioner. Jumlah responden sebanyak 29 (dua puluh sembilan) terdiri atas para pelaku usaha lidah buaya (pedagang pengecer, pedagang UKM). Software yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis data adalah menggunakan Minitab 15.

Menurut Shumway et al. (2000), ARIMA merupakan metode peramalan data deret waktu. Model yang dibentuk tersebut mengasumsikan bahwa data bersifat stasioner dalam rataan dan dalam ragam. Stasioner dalam rataan berarti bahwa data tidak menunjukkan pola tren, baik itu tren menaik atau menurun; sedangkan stasioner dalam ragam berarti bahwa simpangan-simpangan lokal data terhadap pola data itu secara umum dapat dikatakan homogen. Pengecekan kedua kondisi stasioner ini dapat dilakukan melalui plot deret waktu.

Model yang dihasilkan dari metode ARIMA ini menurut Shumway et al. (2000) memiliki tiga komponen, yaitu:

a. Komponen regresi diri (Auto Regression/AR) dengan banyaknya ordo disimbolkan dengan p.

b. Komponen differencing, yaitu proses pengurangan data dengan data sebelumnya sedemikian rupa sehingga data deret waktu menjadi stasioner dalam rataan. Banyaknya proses difference tadi disimbolkan dengan d.

c. Komponen rataan bergerak sisaan (Moving Average/MA) dengan banyaknya ordo disimbolkan dengan q.

Oleh karena itu model yang dihasilkan dengan metode ARIMA ini sering disimbolkan dengan ARIMA (p,d,q). Besarnya p dan q ditentukan berdasarkan plot ACF (Auto Correlation Function) dan PACF (Partial Auto Correlation Function) data yang telah stasioner dengan ketentuan pada Tabel 3.

Tabel 3 Syarat Uji Stasioner Data

Model Plot ACF Plot PACF

AR(p) Tail off Cut off setelah jeda ke-p

MA(q) Cut off setelah jeda ke-q Tail off

(44)

1. Periksa kestasioneran data melalui plot deret waktu. Model ARIMA biasanya digunakan jika data tidak stasioner. Untuk menstasionerkan data dapat dilakukan dengan diferensiasi dengan orde tertentu, sehingga model ARIMA

(p,d,q) secara matematis dituliskan sebagai berikut (Shumway et al. 2000): 

 ( )

)

(B t  B

dimana :

 = nilai stasioner B = nilai koefisien

t nilai pada waktu sebelumnya

� = parameter yang menentukan proses pola nilai

t = rangkaian umur ke-t

2. Tentukan nilai p, d dan q. Jika data telah stasioner, maka tidak perlu dilakukan proses differencing, sehingga nilai d = 0. Jika sebaliknya, maka data terlebih dahulu dilakukan differencing agar data menjadi stasioner. Setelah data stasioner, selanjutnya lakukan penentuan nilai p dan q berdasarkan plot ACF dan PACF.

3. Duga model ARIMA dengan nilai p, d dan q pada langkah 2. Setelah nilai p, d dan q diperoleh pada langkah ke-2 di atas, langkah selanjutnya adalah pendugaan model ARIMA (1,0,0).

4. Verifikasi kelayakan model yang dihasilkan pada langkah 3. Dari keluaran di atas didapatkan beberapa indikator kebaikan model berupa besarnya galat baku, log-likelihood, AID dan SBC. Keempat ukuran ini merupakan ukuran besarnya galat dan berguna pembandingan model. Dengan demikian model yang baik adalah model yang memiliki nilai yang kecil pada keempat ukuran tersebut.

5. Lakukan overfitting, yaitu pendugaan model dengan nilai p, d dan q lebih besar dari yang ditentukan pada langkah 2. Dari langkah kedua didapatkan nilai p, d dan q masing-masing sebesar 1.0 dan 0. Pada langkah ini, overfitting dilakukan dengan menerapkan proses pendugaan parameter seperti pada langkah 3 dengan menambah besarnya p menjadi 2.

6. Untuk keperluan peramalan, gunakan model yang paling baik di antara model yang dihasilkan pada langkah 2 dan langkah 5.

Analisis Sistem Pemasaran Lidah Buaya

Analisis sistem pemasaran lidah buaya dilakukan dengan metode analisis marjin pemasaran. Analisis marjin pemasaran dilakukan terhadap berbagai rantai pemasaran yang ditemukan di lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan dalam analisis ini meliputi data primer yang diperoleh dengan metode wawancara yang meliputi data harga yang diterima petani, biaya produksi dan pemasaran (pengepakan, transport, tenaga kerja dan lain-lain) dan keuntungan yang diperoleh di tingkat petani dan pelaku usaha. Pengumpulan data dilakukan dengan metode

Gambar

Gambar Produk Lidah Buaya
Gambar 1  Tahapan Usaha Tani Lidah Buaya di Lahan Gambut. Sumber :
Gambar 2 Pohon Industri Lidah Buaya, Sumber: Aloevera Center  (2004)
Gambar 3  Kerangka Pemikiran
+7

Referensi

Dokumen terkait