• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Wilayah Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah didapatkan dari dua lokasi yang berbeda yaitu Desa Sukaresmi Kecamatan Mega Mendung Kabupaten Bogor dan Desa Pamijahan Gunung Bunder Kabupaten Bogor. Kondisi umum pada Desa Sukaresmi yaitu tegakan jabon dikombinasikan dengan tanaman bunga dan pisang, tegakan jabon pada lokasi ini berumur 2 tahun 5 bulan. Secara geografis lokasi ini berada pada ketinggian 900 m dpl dengan curah hujan tahunan sebesar 3178.8 mm/tahun dan rata-rata temperatur 17.8‒23.91 o

C (Seo 2013).

Desa Pamijahan berada di ketinggian 435 m dpl dengan curah hujan tahunan antara 2500‒3000 mm/tahun dan rata-rata temperatur 24‒28 o

C (Seo 2013). Desa Pamijahan memiliki kondisi umum yang berbeda, terdapat kombinasi antara tanaman jabon dengan tanaman lainnya. Umur tegakan jabon pada lokasi ini berbeda-beda, yaitu umur 7 bulan, 11 bulan, dan 17 bulan.

Tegakan jabon yang berumur 7 bulan dikombinasikan dengan ubi dengan jarak tanam antar pohon 2 x 2,5 m. Umur tegakan jabon 11 bulan dikombinasikan dengan tanaman suren dengan jarak tanam yang digunakan yaitu 2 x 2.5 m, sedangkan pada tegakan jabon yang berumur 17 bulan dikombinasikan dengan dua jenis tanaman lainnya yaitu sengon dan suren dengan jarak tanam yaitu 3 x 2.5 m.

Kepadatan spora

Isolasi tanah pada rizosfer jabon dari dua lokasi pengambilan sampel memiliki nilai kepadatan spora FMA bervariasi dan berfluktuasi pada setiap tanaman. Kepadatan spora per 50 gram tanah pada tanaman inang S. bicolor dan P. javanica dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Dinamika kepadatan spora pada tanaman S. bicolor dan P. javanica dalam tiga kali pengamatan dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 menunjukkan bahwa kepadatan spora Gunung Bunder pada tanaman inang S. bicolor, bulan November 2012 sebanyak 193 spora/50 gram tanah, bulan Desember 2012 kepadatan spora sebanyak 295 spora/50 gram tanah dan bulan Januari 2013 kepadatan spora sebanyak 9 spora/50 gram tanah. Kepadatan spora Mega Mendung pada tanaman inang S. bicolor, bulan November 2012 sebanyak 148 spora/50 gram tanah, bulan Desember 2012 sebanyak 87 spora/50 gram tanah dan bulan Januari 2013 sebanyak 6 spora/50 gram tanah. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan spora hasil pemerangkapan Rainiyati (2007) 2‒57 spora/50 gram tanah pada rizosfer pisang.

6

Gambar 3 Fluktuasi kepadatan spora FMA per 50 gram tanah pada tanaman inang S. bicolor dan P. javanica yang diperoleh dari tiga kali pengamatan

Kepadatan spora Mega Mendung, pada tanaman inang S. bicolor dan P. javanica mengalami penurunan pada bulan Desember dan Januari. Hal ini dikarenakan perbedaan jenis tanah, lingkungan tumbuh (suhu, cahaya, dan kelembapan), dan ketinggian tempat di Gunung Bunder dan Mega Mendung sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran jenis FMA dan kepadatan spora. Menurut Rainiyati (2007) bahwa perbedaan kepadatan spora kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan (jenis tanah, hara tanaman, ketinggian tempat, cahaya).

Kepadatan spora pada tanaman inang S. bicolor dan P. javanica Gunung Bunder pada bulan Desember mengalami peningkatan dimungkinkan karena spora sedang berkecambah. Bulan Januari kepadatan spora pada S. bicolor dan P. javanica mengalami penurunan karena tanaman inang S. bicolor mati dan media penangkaran basah karena disiram, sehingga spora yang sudah terbentuk menjadi berkecambah yang menyebabkan kepadatan spora turun secara drastis. Kepadatan spora Gunung Bunder pada tanaman inang P. javanica, bulan November 2012 sebanyak 128 spora/50 gram tanah, bulan Desember 2012 sebanyak 253 spora/50 gram dan bulan Januari 2013 sebanyak 26 spora/50 gram tanah. Kepadatan spora Mega Mendung pada tanaman inang P. javanica, bulan November 2012 sebanyak 72 spora/50 gram tanah, bulan Desember 2012 sebanyak 55 spora/50 gram tanah dan bulan Januari 2013 sebanyak 12 spora/50 gram tanah. Hasil ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Karepesina (2007) yang menemukan 24‒40 spora/50 gram tanah dari bawah tegakan jati ambon di lokasi Salahutu.

Gambar 3 juga menunjukkan bahwa kepadatan spora pada tanaman inang S. bicolor dan P. javanica terlihat berbeda. Kepadatan spora pada tanaman inang S. bicolor menghasilkan kepadatan spora yang lebih tinggi dibandingkan dengan P. javanica, sehingga S. bicolor lebih efektif untuk pemerangkapan spora dibandingkan P. javanica. Hal ini dikarenakan S. bicolor memiliki sistem perakaran yang baik untuk pembentukan mikoriza (Sirappa 2003). Menurut

7 Patriyasari (2006) jumlah spora dipengaruhi oleh mikoriza itu sendiri dan varietas tanaman inang. Perbedaan kepadatan spora pada tiga kali pengamatan menginformasikan bahwa keanekaragaman FMA pada suatu lokasi tergantung pada jenis FMA yang bersporulasi pada saat tersebut. Menurut Delvian (2003) bahwa adanya perubahan kepadatan spora dalam setiap pengamatan menunjukkan bahwa setiap jenis FMA membentuk spora pada saat yang berbeda, tergantung responnya terhadap tanaman inang.

Persentase Kolonisasi Akar

Infeksi akar dicirikan oleh adanya asosiasi antara FMA dengan akar yang membentuk struktur-struktur yang dihasilkan oleh FMA seperti hifa, vesikula, arbuskula maupun spora. Adanya satu atau lebih struktur FMA tersebut, maka dapat dikatakan terjadi infeksi oleh FMA. Hasil pengamatan infeksi akar hanya ditemukan struktur hifa dan vesikula saja sedangkan struktur arbuskula tidak ditemukan. Struktur hifa dan vesikula dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Infeksi FMA yang ditemukan pada akar P. javanica berupa hifa (a) dan vesikula (b) dengan perbesaran 400 x

Kolonisasi akar dihitung berdasarkan jumlah bidang pandang terinfeksi terhadap total bidang pandang yang diamati. Tingkat infeksi pada akar diklasifikasikan menurut The Instate of Mycorrhizal Research and Development, USDA Forest Service, Athena Georgia (Setiadi 1992) sebagai berikut:

Kelas 1, bila infeksinya 0%‒5%, sangat rendah, kelas 2 bila infeksinya 6%‒25%, rendah, kelas 3 bila infeksinya 26%‒50%, sedang, kelas 4 bila infeksinya 51%‒75%, tinggi, kelas 5 bila infeksinya 76%‒100%, sangat tinggi.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi asosiasi antara FMA dengan akar tanaman inang. Persentase infeksi akar pada tiap tanaman inang berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 1.

a b

8 Tabel 1 Persentase infeksi akar pada tanaman inang S. bicolor dan P. javanica

bulan November 2012 sampai dengan Januari 2013 Lokasi

Persen infeksi akar (%)

S. bicolor P. javanica

November Desember Januari November Desember Januari Plot 1 Gunung Bunder 18.33r

46.67s 33.33s 51.67t 61.67t 56.67t Plot 2 Gunung Bunder 16.67r

60.00t 41.67s 51.67t 53.33t 50.00s Plot 3 Gunung Bunder 70.00t

45.00s 48.33s 53.33t 85.00st 68.33t Plot 1 Mega Mendung 36.67s

60.00t 41.67s 38.33s 33.33s 50.00s Plot 2 Mega Mendung 61.67t 36.67s 36.67s 53.33t 63.33t 58.33t Plot 3 Mega Mendung 45.00s

46.67s 36.67s 11.67r 41.67s 55.00t r = rendah, s = sedang, t = tinggi, st = sangat tinggi, huruf di belakang angka menunjukkan tingkat infeksi FMA pada akar S. bicolor dan P. javanica.

Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase infeksi akar pada tanaman inang S. bicolor bulan November sebesar 16.67‒70.00% dengan kriteria infeksi akar rendah-tinggi. Bulan Desember sebesar 36.67‒60.00% dengan kriteria sedang -tinggi dan bulan Januari sebesar 33.33‒48.33% dengan kriteria sedang. Persentase infeksi akar pada tanaman inang P. javanica bulan November berkisar antara 11.67‒53.33% dengan kriteria rendah-tinggi. Bulan Desember berkisar antara 33.33‒85.00% dengan kriteria sedang-sangat tinggi dan bulan Januari berkisar antara 50.00‒68.33% dengan kriteria sedang-tinggi.

Infeksi akar pada bulan November‒Desember cenderung meningkat baik pada tanaman S. bicolor dan P. javanica. Infeksi akar pada bulan

Desember‒Januari cenderung menurun baik tanaman inang S. bicolor maupun P.

javanica. Menurut Fitter dan Merryweather (1992) bahwa variasi infeksi akar tumbuhan oleh FMA di alam berbeda dengan berbedanya tempat dan waktu.

Persentase infeksi akar dalam penelitian ini lebih besar pada P. javanica dibandingkan dengan S. bicolor karena memiliki sedikit bulu akar sehingga akan berupaya untuk memperluas eksploitasi akar dengan mikoriza. Simanungkalit (2000) menyatakan bahwa sistem perakaran seperti serabut yang memiliki rambut akar yang banyak umumnya dianggap kurang bergantung pada infeksi mikoriza dibandingkan dengan tanaman dengan sistem perakaran yang kasar dan memiliki sedikit atau tanpa rambut akar. Persentase infeksi akar tidak berhubungan erat dengan kepadatan spora. Hal ini sesuai dengan Tuheteru (2003) bahwa antara infeksi akar dan jumlah spora yang dihasilkan tidak memiliki korelasi yang erat, sehingga spora yang banyak belum tentu persentase infeksi akar akan tinggi pula.

Identifikasi dan Karakterisasi Spora FMA

Hasil identifikasi tipe spora atas dasar karakteristik morfologi dan respon terhadap reaksi Melzer’s menunjukkan bahwa ditemukan tiga genus yaitu Glomus, Scutellospora dan Acaulospora. Morfologi masing-masing genus memiliki perbedaan, berdasarkan hasil identifikasi FMA pada tanaman inang

9 terhadap larutan Melzer’s, karakteristik genus Glomus pada tanaman inang S. bicolor dan P. javanica dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.

Gambar 5 Genus Glomus yang ditemukan pada tanaman inang S. bicolor dalam tiga kali pengamatan dengan perbesaran 400 x

Gambar 6 Genus Glomus yang ditemukan pada tanaman inang P. javanica dalam tiga kali pengamatan dengan perbesaran 400 x

Gambar 5 dan 6 menunjukkan genus Glomus memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Genus Glomus pada umumnya memiliki ciri khusus yaitu adanya hyphal attachment, namun pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hyphal attachment. Karakteristik morfologi yang ditemukan pada penelitian ini, umumnya spora Glomus berbentuk bulat hingga bulat lonjong berwarna kuning muda, kuning kemerahan, coklat dan hitam, permukaan relatif halus, dinding spora tipis. Ukuran diameter spora Glomus yang ditemukan berkisar antara 36‒80

10 µm. Hal ini sesuai dengan Puspitasari et al. (2012), spora Glomus rata-rata memiliki bentuk bulat sampai bulat lonjong, memiliki dinding spora mulai dari kuning bening sampai coklat kemerahan, permukaan dinding spora relatif halus dan memiliki dinding spora tipis. Selain Glomus, ditemukan juga genus Acaulospora yang dapat dilihat pada Gambar 7 dan genus Scutellospora yang dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7 Genus Acaulospora yang ditemukan pada tanaman inang S. bicolor dalam tiga kali pengamatan dengan perbesaran 400 x

Gambar 7 menunjukkan genus Acaulospora yang ditemukan memiliki karakteristik spora bulat, berwarna kuning kemerahan, dinding spora relatif tebal dan ketika bereaksi dengan larutan Melzer’s, bagian tengah spora (germination wall) berubah warna menjadi merah kecoklatan. Ukuran diameter spora Acaulospora yang ditemukan berkisar antara 60‒100 µm. Menurut Hall (1984) dalam Patriyasari (2006), spora Acaulospora memiliki bentuk bulat lonjong, dinding spora yang relatif tebal dan berwarna orange kemerahan.

Gambar 8 Genus Scutellospora yang ditemukan pada tanaman inang S. bicolor (a) dan P. javanica (b) dalam tiga kali pengamatan dengan perbesaran 400 x

Gambar 8 menunjukkan bahwa genus Scutellospora yang ditemukan memiliki memiliki karakteristik spora bulat, berwarna kuning muda hingga kuning kemerahan, dinding spora relatif tebal berwarna coklat dan ketika bereaksi dengan larutan Melzer’s warna spora menjadi coklat tua hingga merah coklat seluruhnya. Ukuran rata-rata diameter spora Scutellospora yang ditemukan yaitu 160 µm. Menurut INVAM (2012b), spora Scutellospora bereaksi dengan larutan Melzer’s secara menyeluruh. Warna sporanya merah coklat ketika bereaksi dengan larutan Melzer’s. Hasil identifikasi spora yang diperoleh dari setiap pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 menunjukkan bahwa dinamika spora pada setiap pengamatan berbeda-beda, genus yang paling dominan ditemukan pada masing-masing lokasi adalah Glomus. Frekuensi perubahan tipe spora yang terdapat pada suatu lokasi antar waktu pengamatan bervariasi. Terlihat pada lokasi plot 1 Gunung Bunder, dari tiga kali pengamatan ditemukan genus Acaulospora pada pengamatan

11 pertama dan kedua. Pengamatan ketiga, genus yang ditemukan yaitu Glomus dengan tanaman inang S. bicolor. Pada tiga kali pengamatan dengan tanaman inang P. javanica genus yang ditemukan yaitu Glomus. Lokasi plot 1 dan plot 2 Mega Mendung, hanya genus Glomus yang ditemukan pada kedua tanaman inang. Hal ini menunjukkan bahwa Glomus memiliki penyebaran yang paling luas dibandingkan dengan genus lainnya. Menurut INVAM (2012b), Glomus adalah jenis yang paling dominan (52.3%), diikuti Acaulospora (20.9%), Scutellospora (16.9%), Gigaspora (4.7%), Entrophospora (2.3%), Arcaheospora (1.7%) dan Paraglomus (1.2%).

Tabel 2 Dinamika genus FMA yang diperoleh pada setiap lokasi dalam tiga kali pengamatan

Lokasi S. bicolor P. javanica

November Desember Januari November Desember Januari Plot 1

Gunung Bunder

Acaulospora Acaulospora Glomus Glomus Glomus Glomus

Plot 2 Gunung Bunder

Acaulospora Glomus Glomus Glomus Glomus Glomus

Plot 3 Gunung Bunder

Glomus Glomus Scutellospora

Glomus

Scutellospora Glomus Glomus

Plot 1 Mega Mendung

Glomus Glomus Glomus Glomus Glomus Glomus

Plot 2 Mega Mendung

Glomus Glomus Glomus Glomus Glomus Glomus

Plot 3 Mega Mendung

Glomus Glomus Acaulospora

Glomus

Glomus Glomus Glomus

Analisis Tanah

Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi keberadaan spora FMA didalam tanah, seperti kondisi fisik dan kimia tanah. Penelitian Seo (2013) menunjukkan bahwa pH Gunung Bunder berkisar antara 4.60‒4.80, unsur P 4.73‒10.34 ppm, unsur K 0.50‒1.48 me/100g, C-organik 1.16‒1.62% dengan tekstur liat. Mega Mendung memiliki pH 5.50, unsur P 3.14 ppm, unsur K 1.53 me/100g, C-organik 3.82% dengan tekstur lempung berpasir. Menurut Hardjowigeno (2010) pH kedua lokasi tergolong masam (Lampiran 3).

Menurut Lembaga Penelitian Tanah (1983), pada plot 1 Gunung Bunder nilai hara P tergolong sangat rendah (<10.00), nilai K tergolong tinggi dan C-organik tergolong rendah (1.00‒2.00). Plot 2 Gunung Bunder nilai hara P tergolong rendah (10.00‒15.00), nilai K tergolong sangat tinggi (>1.00) dan C-organik tergolong rendah. Plot 3 Gunung Bunder memiliki nilai hara P tergolong sangat rendah (<10.00), nilai K tergolong sedang (0.30‒0.50) dan C-organik

12 tergolong rendah. Mega Mendung memiliki nilai hara P tergolong sangat rendah, nilai K tergolong sangat tinggi dan C-organik tergolong tinggi (3.01–5.00).

Nilai P yang rendah belum tentu memiliki kepadatan spora yang tinggi. Hal ini dikarenakan selain faktor kimia tanah, kepadatan spora juga dipengaruhi oleh tekstur tanah. Tekstur tanah pada Gunung Bunder yaitu liat, fraksi liat mendukung untuk perkembangan Glomus. Tekstur tanah pada Mega Mendung yaitu lempung berpasir. Tanah lempung memiliki aerasi yang buruk sehingga konsentrasi oksigen pada tanah akan berkurang. Penurunan konsentrasi oksigen dapat menghambat perkecambahan spora FMA dan kolonisasi akar (Setiadi 1992). Oleh karena itu, kepadatan spora pada Gunung Bunder lebih tinggi dibandingkan dengan Mega Mendung.

Dokumen terkait