Kualitas Perairan Pulau Lancang Pada Musim Timur
Hasil pengukuran dan pengambilan sampel air laut yang dilakukan di 15 titik stasiun selanjutnya dilakukan interpolasi untuk melihat sebaran spasial masing-masing parameter.
13
Salinitas (psu)
Hasil pengukuran nilai salinitas permukaan laut di perairan Pulau Lancang tidak beragam atau homogen. Karakteristik sanilitas ini disebabkan Pulau Lancang, Pulau Laki dan Pulau Bokor tergolong pulau-pulau kecil yang tidak memiliki aliran sungai. Salinitas di perairan ini berada di kisaran 29.8 – 31.70 psu (Gambar 5).
Sebaran spasial nilai salinitas di perairan Pulau Lancang terlihat sekitar Pulau Lancang dan Pulau Laki memiliki nilai salinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan Selatan Pulau Lancang. Perbedaan nilai salinitas terdapat pada rentang yang tidak terlalu berbeda jauh, disebabkan perbedaan cuaca pada saat pengambilan data. Di beberapa lokasi, pengambilan sampel dilakukan pada saat hujan sehingga berpengaruh terhadap rendahnya salinitas di daerah tersebut.
Gambar 5. Sebaran salinitas di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim Timur)
Kedalaman
Rerata kisaran kedalaman perairan adalah 15-25 m. Diketahui pula bahwa profil dasar perairan Pulau Lancang dan sekitarnya cenderung rata, wilayah paling dangkal di sebelah Selatan pulau Laki, dengan rata-rata kedalaman di bawah 10 m dan daerah terdalam di Utara perairan dengan kedalaman >30m (Gambar 6).
14
Gambar 6. Kontur kedalaman di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
Tipe Substrat
Sebaran spasial substrat dasar perairan di sekitar perairan Pulau Lancang terdiri dari substrat pasir, pasir berlumpur dan lumpur berpasir (Gambar 7). Mayoritas substrat adalah lumpur berpasir yang meliputi kawasan sekitar Selatan Pulau Lancang sampai ke Utara Pulau Lancang. Tingginya konsentrasi lumpur pada kawasan tersebut berasal dari lumpur yang terbawa run off dari sungai. Lokasi Pulau Lancang yang sangat dekat dengan daratan utama (mainland), serta terdapat 13 sungai yang bermuara ke kawasan Teluk Jakarta menyebabkan lumpur masih terbawa hingga ke laut dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Sebelah Barat perairan Pulau Lancang memiliki substrat pasir berlumpur, dalam hal ini konsentrasi lumpur telah berkurang dan didominasi oleh pasir. Kawasan perairan Pulau Laki memiliki substrat dasar perairan yang didominasi oleh pasir.
MPT (mg/l)
MPT merupakan bahan-bahan tersuspensi yang berdiameter > 1 mikrometer yang tertahan pada saringan Millipore dengan diameter pori 0,45 mikrometer. MPT terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air.
Secara spasial kandungan MPT di perairan Pulau Lancang (Gambar 8) dapat dilihat berada dalam kondisi yang tidak jauh berbeda secara signifikan, akan tetapi kondisi di sebelah Selatan perairan Pulau Lancang yang dekat dengan kawasan daratan utama (main land) memiliki nilai MPT yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya hal itu memungkinkan karena adanya pengaruh masukan yang berasal dari daratan, mengingat sebelah Selatan perairan Pulau Lancang masih dipengaruhi aktivitas yang berasal dari daratan.
15
Gambar 7. Sebaran substrat di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
Kecerahan (m)
Kecerahan perairan merupakan salah satu parameter yang mengukur tingkat kejernihan suatu perairan. Kecerahan perairan menentukan ketebalan lapisan produktif, dikarenakan dengan semakin cerahnya perairan dapat meningkatkan kemampuan tumbuhan air seperti hal plankton untuk berfotosintesis (Effendi, 2003).
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukan bahwa kecerahan perairan di perairan pulau Lancang berada pada kisaran 1.37-5.45 m (Gambar 9). Rata-rata nilai kecerahan di perairan Pulau Lancang sebesar 2.25 m, nilai tersebut masih di bawah nilai baku mutu kecerahan yang ditetapkan oleh KEPMENLH No. 51 Tahun 2004 yaitu sebesar 3 m untuk kehidupan biota laut. Penyebab nilai kecerahan perairan yang berada dibawah rata-rata ini salah satunya dikarenakan lokasi Pulau Lancang yang masih dekat dengan kawasan daratan utama dan kawasan pulau-pulau kecil disekitarnya. Secara spasial dapat diketahui bahwa kondisi kecerahan di perairan Selatan Pulau Lancang dan sekitar Pulau Laki secara umum memiliki nilai kecerahan yang rendah dibandingkan di sebelah Utara.
16
Gambar 8. Sebaran MPT di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
Suhu (0C)
Faktor lingkungan utama yang mempengaruhi reproduksi P. Pelagius
adalah suhu air (Potter and de Lestang, 2000; de Lestang et al., 2003; Nugraheni
et al 2015). Dari hasil pengukuran diperoleh nilai kisaran suhu pada selang 27.89- 29.39 0C (Gambar 10). Secara spasial, suhu permukaan laut di perairan Pulau Lancang sebelah Barat lebih rendah dibandingkan dengan bagian tengah (antara Pulau Lancang dan Pulau Laki) dan Timur Pulau Lancang. Tingginya suhu di bagian tengah perairan dipengaruhi oleh limpasan air sungai dari daratan Jawa, yang umumnya lebih hangat dibandingkan dengan yang di bagian Barat Pulau Laki yang terpengaruh asupan massa air dari perairan terbuka yang lebih dalam. Demikian juga dengan pulau di bagian timur Pulau Lancang dan sekitar Pulau Bokor, yang juga terpengaruh limpasan massa air tawar dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta.
DO (mg/l)
Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa sebaran kandungan DO di perairan Pulau Lancang tidak berbeda secara signifikan di tiap stasiun. Kandungan DO di permukaan laut perairan Pulau Lancang berkisar antara 5.09 – 9.17 mg/l (Gambar 11). Stasiun yang memiliki kadar DO terendah terdapat di stasiun 15, yaitu hanya sebesar 5.09 mg/l. Sedangkan kadar DO tertinggi terdapat di stasiun 6 sebesar 9.17 mg/l. Menurut (Effendi, 2003) nilai kandungan DO di atas 5 mg/l sangat disukai oleh organisme akuatik. Sebaran kandungan oksigen terlarut secara spasial memiliki nilai yang relatif kecil di sekitar daratan Pulau Lancang dan Pulau Laki. Hal itu dikarenakan disekitar daratan pulau Lancang terdapat pemukiman yang menyumbang limbah organik ke dalam perairan, begitu juga dengan kawasan Pulau Laki yang memiliki lokasi tidak jauh dari kawasan daratan utama (mainland) menyebabkan sumbangan bahan organik ke perairan cukup tinggi. Tingginya masukan bahan organik ke perairan laut berdampak kepada
17 rendahnya nilai kandungan DO. Rendahnya bahan DO tersebut dikarenakan kandungan DO di perairan dimanfaatkan untuk mendekomposisi bahan organik yang terdapat di perairan.
Gambar 9. Sebaran kecerahan di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim Timur)
Gambar 10. Sebaran suhu di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
18
Gambar 11. Sebaran DO di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
TDS (mg/l)
Total Dissolve Solid (TDS) merupakan parameter yang menjelaskan partikel-partikel yang terlarut di dalam air dan tidak akan bisa tersaring oleh kertas saring. TDS ini biasanya dipengaruhi oleh bahan anorganik yang berupa molekul-molekul garam yang umum ditemukan di perairan laut.
Berdasarkan sebaran spasial nilai TDS (Gambar 12), terlihat TDS tinggi di bagian Barat daerah penelitian dan rendah di bagian Timur. Terlihat perbedaan TDS di antara pulau Lancang Besar dan Lancang Kecil. Tinggi TDS di Bagian Barat diduga berasal dari aliran limbah daratan. Adanya perbedaan TDS yang terlihat di Pulau Lancang Besar dan Lancang Kecil yang relatif berdekatan, disebabkan kondisi Pulau Lancang Besar berpenghuni sebaliknya Pulau Lancang Kecil tidak dihuni penduduk lokal (kepemilikan swasta).
Nitrat (mg/l)
Kandungan Nitrat air laut permukaan di perairan Pulau Lancang berkisar antara <0.0009-0.5 mg/l (Gambar 13). Secara spasial dapat diketahui kandungan nitrat di Selatan Pulau Lancang memiliki konsentrasi fospat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Hal tersebut terjadi karena sebelah Selatan perairan Pulau Lancang masih mendapatkan pengaruh masukan bahan organik yang berasal dari daratan utama (mainland) yaitu kawasan Jakarta dan sekitarnya sehingga berdampak terhadap tingginya konsentrasi nitrat di Selatan Pulau Lancang. Sumber nitrat di perairan dapat berasal dari, limbah rumah tangga dan pupuk pertanian yang ikut terlarut ke dalam air.
Nutrien atau unsur hara berperan sangat penting dalam menjaga kesuburan suatu perairan terutama yang berhubungan dengan produktivitas primer perairan. Utamanya unsur hara yang terkandung di perairan laut berasal dari masukan air
19 tawar melalui limpasan sungai yang membawa bahan-bahan organik. Selain itu juga berasal dari hasil dari proses sekresi dan degradasi organisme laut.
Kekayaan kadar nutrien suatu perairan bisa berakibat menguntungkan dan sebaliknya merugikan bagi organisme laut. Kondisi nutrien yang merugikan bagi organisme adalah jika keberadaan nutrien terlalu melimpah yang mengakibatkan spesies tertentu mengalami lonjakan pertumbuhan (blooming) dan mendominasi wilayah tersebut sehingga menyebabkan kompetisi ruang dan makanan yang sangat kuat di antara spesies organisme yang hidup di dalamnya.
Gambar 12. Sebaran TDS di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
Fosfat (mg/l)
Keberadaan unsur fosfat di perairan dapat menentukan kesuburan perairan tersebut. Di lokasi pengamatan ditemukan konsentrasi posfat berada pada kisaran 0.013-0.09 mg/l (Gambar 14). Menurut Liaw 1969 nilai konsentrasi posfat pada kisaran tersebut menandakan bahwa tingkat kesuburan perairan berada pada tingkat yang tinggi. Konsentrasi fosfat yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Secara spasial dapat diketahui kandungan posfat di Selatan pulau Lancang memiliki konsentrasi fosfat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Hal tersebut terjadi karena Selatan perairan pulau Lancang masih dipengaruhi oleh masukan bahan organik yang berasal dari daratan utama (mainland) yaitu kawasan Jakarta dan sekitarnya. Sumber fosfat di perairan dapat berasal dari pelapukan batuan, limbah rumah tangga seperti sabun dan detergen.
pH
Derajat Keasaman (pH) menunjukkan jumlah ion hidrogen dalam air laut yang dinyatakan dalam aktivitas hidrogen. Derajat keasaman ini mempunyai peranan penting terhadap proses-proses biologis dan kimia dalam perairan. Nilai pH air dapat memberikan gambaran tentang keseimbangan asam dan basa Derajat keasaman (pH) disekitar lokasi penelitian berkiasar antara 6,8-7,7 (Gambar 15).
20
Pola sebaran pH terlihat semakin jauh dari daratan (Pulau Jawa) nilai pH semakin tinggi. Kondisi ini erat hubungannya dengan massa air yang berasal dari daratan terdekat yakni Kabupaten Tangerang melalui sungai yang menyebabkan perairan di sekitarnya mempunyai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya yang jauh dari daratan.
Gambar 13. Sebaran nitrat di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
Gambar 14. Sebaran fosfat di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
21
Gambar 15. Sebaran pH di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)
Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan
Berdasarkan hasil analisis interpolasi dan pembobotan menghasilkan beberapa peta tematik (Lampiran 1). Beberapa parameter mendukung sebagai daerah tangkapan rajungan seperti MPT, TDS, kecerahan, fosfat, nitrat, pH, dan substrat. Meskipun demikian ada beberapa parameter yang tidak mendukung sebagai daerah penangkapan seperti salinitas, DO, kedalaman dan suhu. Pada umumnya ketidaksesuain akibat aktifitas masyarakat di pulau yang berpenghuni, maupun dari aktifitas masyarakat daratan Pulau Jawa yang masuk ke perairan melalui aliran sungai yang bermuara langsung ke perairan ini.
Proses tumpang susun (overlay) peta-peta tematik tersebut menghasilkan suatu peta kesesuian daerah penangkapan rajungan (Gambar 16) dengan 3 kelas kesesuaian diantara ; sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (N).
Terlihat kelas S1 sebagai daerah penangkapan rajungan di perairan Pulau Lancang berada menyebar di beberapa bagian. Kelas S1 yang terdapat hampir di keseluruhan Utara lokasi. Terbentuknya daerah S1 ini besar dipengaruhi oleh parameter salinitas dimana menurut Zairion et al (2014) kepiting suku portunidae (Swimming crabs) bermigrasi untuk memijah ke perairan yang mempunyai salinitas tinggi dan perairan lebih dalam. Kelas S1 dibeberapa bagian di potong oleh kelas S2 (yang menyerupai lidah) berada diantara Pulau Lancang dan Pulau Laki, selanjutnya daerah S2 juga terdapat di beberapa bagian antara Pulau Lancang dan Pulau Bokor. Untuk kelas N terdapat dibagian Barat Laut Pulau Lancang. Dari pengamatan di lapangan dan hasil interpolasi kedalaman, daerah yang termasuk ke dalam kelas tidak sesuai ini, merupakan daerah yang dangkal dibandingkan dengan daerah lain.
22
Gambar 16. Peta kesesuaian daerah penangkapan rajungan berdasarkan parameter lingkungan perairan Pulau Lancang dan sekitarnya Juni 2015 (musim Timur)
Sebaran Hasil Tangkapan Rajungan berdasarkan Kesesuaian Daerah Penangkapan
Sampling rajungan pada musim Timur yang digunakan untuk analisa adalah data ukuran lebar karapas, bobot individu, perbandingan jantan dan betina serta perbandingan BEF dan NBF.
Hasil sampling ukuran lebar karapas dikelompokkan menjadi 3 kelas (Gambar 17) mewakili ukuran besar (kelas 3 : 16,68 – 21,5 cm), sedang (kelas 2 : 11,84 – 16,67 cm) dan kecil (kelas 1 : 7 – 11,83 cm). Pengelompokan dilakukan untuk mengetahui kondisi rajungan di lokasi penelitian apakah sudah sesuai dengan anjuran pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri KKP No 1 tahun 2015, yang melarang penangkapan rajungan dengan lebar karapas <10 cm.
Terlihat 40% dari total tangkapan pada ukuran kecil dan tidak dianjurkan untuk ditangkap, 59% hasil tangkap pada ukuran sedang (diperbolehkan) dan 1 % pada ukuran besar. Bobot hasil tangkapan dibagi dibagi menjadi 3 kelas yaitu kelas 1 (30 – 147 gram), kelas 2 (148 – 263 gram) dan kelas 3 (264 – 380 gram). Hasil tangkapan di musim Timur 68% pada bobot rendah, 28% pada bobot sedang dan 4% pada bobot tinggi. Dibandingkan dengan bobot yang dianjurkan pemerintah (<55 gram), hasil tangkapan pada kelas 1 sebahagian adalah rajungan yang dilarang untuk ditangkap.
Perbandingan jenis kelamin jantan terhadap betina adalah 1 : 2. Hasil tangkapan dimominasi oleh rajungan betina sebanyak 67% dan jantan sebanyak 33%, sehingga nisbah kelamin rajungan di musim ini diduga tidak seimbang. Nisbah kelamin populasi digunakan sebagai indikator kemampuan suatu populasi untuk tetap bertahan melalui rekruitmen (Kamrani et al, 2010).
Untuk betina bertelur, digolongkan menjadi 2 yaitu betina yang membawa telur (Berried female) yang disingkat dengan BEF dan betina tidak membawa
23 telur (Non Berried female) disingkat NBF. Hasil tangkapan rajungan BEF adalah 35% dan sisanya 65% adalah rajungan NBF. Rajungan yang ditangkap dalam kondisi BEF merupakan ancaman bagi kelangusungan hidup rajungan.
Hasil sampling tangkapan di musim Timur diatas, kemudian di lakukan
overlay daerah kesesuaian daerah untuk penangkapan rajungan untuk mengetahui sebaran rajungan secara spasial. Terlihat rajungan tertangkap di semua daerah dengan kategori S1, S2 dan N (Gambar 18) mampu memberikan informasi keberadaan rajungan dengan ukuran lebar karapas, bobot, jenis kelamin dan kondisi telur di area tertentu.
Hasil tangkapan rajungan nelayan Pulau Lancang untuk ukuran lebar karapas 7 -11,83 cm didapatkan di semua area tangkapan (kategori kecil) dengan persentasi terbesar terdapat pada area D7 mencapai angka 80% dari total tangkapan di area tersebut dan persentasi paling sedikit di area D8 yaitu 20%. Selanjutnya ukuran lebar karapas 11,84 – 16,67 cm dengan kategori menengah juga mendominasi di semua area tangkapan. Sedangkan ukuran lebar kaparas 16,68 – 21,5 cm (kategori besar), hanya terdapat pada 2 area yaitu B4 dan C4 dengan masing-masing persentasi tangkapan 3% dan 5%.
Untuk perbandingan jenis kelamin hasil tangkapan rajungan di musim Timur didominasi oleh rajungan betina hampir di semua area, bahkan di area D4 diperoleh hasil tangkapan 100% betina.
Hasil tangkapan rajungan dengan kondisi bertelur (BEF) juga mendominasi pada musim Timur di perairan Pulau Lancang. Terlihat dari 14 area tangkapan, 12 area diantaranya ditemukan rajungan yang ditangkap dalam kondisi bertelur. Persentasi betina yang bertelur ditemukan paling tinggi di area C6 dalam angka 50%. Sementara hasil tangkapan dalam NBF (betina tidak bertelur) dengan perentasi 100% terdapat di area A6 dan D7.
Gambar 17. Persentasi Hasil Tangkapan di periode Juni-September 2015 (musim timur) (n=411)
24
(a) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan lebar karapas (cm)
25
(c) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan jenis kelamin
(d) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan betina bertelur Gambar 18. Peta sebaran hasil tangkapan rajungan berdasarkan kesesuaian daerah
penangkapan di musim Timur 2015
(a) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan lebar karapas (cm) (b) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan bobot (gram) (c) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan jenis kelamin (d) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan betina bertelur
26
Analisis Komponen Utama (AKU) dan Biplot
Dengan pendekatan AKU menghasilkan Eigenvalue (Tabel 3). Eigenvalue
yang disebut juga dengan akar ciri yang memenuhi kriteria sebagai komponen utama adalah akar ciri yang memiliki nilai > 1. Hasil analisa matriks korelasi parameter biofisik-kimia perairan memperlihatkan bahwa 11 ragam (F1 – F11) terdapat 6 sumbu utama yang memenuhi kriteria sebagai komponen utama yaitu F1, F2, F3, F4, F5 dan F6 dengan nilai eigenvalue berturut-turut 2.4478, 2.1557, 1.6941, 1.5115, 1.3213 dan 1.1279. Dengan demikian enam sumbu utama dapat menjelaskan 93.3% dari seluruh informasi yang terdapat pada semua parameter. Tabel 3. Eigenvalue dan persentase kontribusi setiap sumbu faktorial terhadap
total variansi
Analisis lanjutan dari AKU menghasilkan grafik berupa biplot yang ditampilkan pada Gambar 19, terlihat beberapa parameter yang berdekatan dengan stasiun pengukuran dan pengambilan sampel air. Masing-masing stasiun (titik merah) memiliki hubungan dengan parameter pendukung (garis biru) pada sudut terdekat. Dari 15 stasiun pengukuran, 5 diantaranya mewakili area penangkapan (musim Timur 2015) yaitu stasiun 1, 6, 8,9 dan 11 (lingkaran hitan). Untuk stasiun daerah tangkapan rajungan yang saling berdekatan (stasiun 1, 6 dan 9) dipengaruhi oleh parameter fosfat, sedangkan stasiun 8 dan 11 dipengaruhi oleh parameter MPT.
Dari 11 parameter yang dilakukan analisis, terdapat 2 parameter hasil reduksi yang memiliki hubungan paling dekat dengan keberadaan rajungan yakni parameter fosfat dan MPT. Kedua parameter ini merupakan faktor penentu daerah penangkapan rajungan di daerah ini.
Hasil analisis komponen utama dan menampilkan dalam bentuk dua dimensi (biplot), langkah selanjutnya adalah menganalisis parameter-parameter ini secara deret waktu menggunakan teknologi penginderaan jauh yang pada kesempatan ini memanfaatkan data citra satelit. Penggunaan data citra adalah untuk melihat bagaimana hubungan parameter-parameter terhadap data produksi tangkap rajungan selama selama tahun 2014-2015.
Namun dari 2 parameter hasil reduksi, yang dapat diolah dengan data citra hanya parameter MPT. Hal ini karena keterbatasan teknologi citra satelit untuk diolah menjadi data fosfat.
Parameter F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11
Eigenvalue 2.4478 2.1557 1.6941 1.5115 1.3213 1.1279 0.3327 0.1967 0.1400 0.0721 0.0002 Variability (%) 22.3 19.6 15.4 13.7 12.0 10.3 3.0 1.8 1.3 0.7 0.0 Cumulative % 22.3 41.9 57.3 71.0 83.0 93.3 96.3 98.1 99.3 100 100
27 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 3 2 1 0 -1 -2 -3 First Component S e c o n d C o m p o n e n t pH S ubstrat D asar Kedalaman N itrat F osfat S alinitas DO Kecerahan TD S M P T S uhu
Gambar 19. Grafik analisis komponen utama parameter biofisik-kimia perairan antara Komponen Utama Pertama (F1) dan Komponen Utama Kedua (F2).
Penyebaran stasiun kualitas lingkungan perairan Stasiun lokasi penangkapan rajungan
Parameter yang berpengaruh terhadap stasiun
Hubungan MPT dengan produksi (catch) rajungan
Untuk memperoleh data time series akan memanfaatkan data penginderaan jauh yang pada kesempatan ini digunakan citra satelit Landsat-8. Namun dari 2 parameter tersebut, hanya data MPT yang tersedia dan akan dianalisa lebih lanjut.
Citra Landsat8-OLI diproses masing-masing mewakili musim pada akuisisi pada tanggal yang berbeda (Tabel 4). Dasar pemilihan berdasarkan kualitas citra yang paling sedikit mengandung awan pada rentang musim yang telah ditetapkan.
Tabel 4. Waktu Akuisisi Citra dan Tutupan awan
Musim Rentang Musim Tanggal Akuisisi Tutupan awan (%) Peralihan 1 (2014) Timur (2014) Peralihan 2 (2014) Barat (2015) Peralihan 1 (2015) Timur (2015) Peralihan 2 (2015) April – Mei Juni – Sept Okt – Nov Des - Maret April - Mei Juni – Sept Okt - Nov 22 April 2014 13 Sept 2014 31 Okt 2014 24 Maret 2015 27 Mei 2015 31 Agust 2015 2 Oktober 2015 9.75 1.3 6.1 25.57 13.02 2.49 12.76
Pada kesempatan ini, tidak dilakukan proses citra pada rentang waktu musim Barat 2014 disebabkan tidak diperoleh citra bebas awan. Semua citra yang terekam pada website Landsat-8 dalam rentang waktu musim tersebut dengan kondisi berawan diatas 80%.
8 2 1 22 1 1 1 0 6 4 1 4 1 5 1 3 5 3 1 2 1 22 1 0 4 1 4 1 5 1 3 5 3 2 1 22 1 0 4 1 4 1 5 1 3 5 3 2 1 22 1 0 4 1 4 1 5 1 3 5 3 1 0 1 0 22 1 4 1 4 1 5 1 8 6 1 1
28
Uji Ketelitian Citra
Hasil perhitungan nilai error (NMAE) antara pengukuran data insitu dengan prediksi sebaran di musim Timur sebesar 31,5%. Nilai error yang bisa diterima di bawah 30% dapat digunakan sebagai pembuktian kevalidan data citra (Purwadhi, 2001). Tingginya nilai error disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan data lapangan dengan waktu perekaman citra satelit dan pengaruh dari tutupan awan tipis (haze). Sesuai dengan pendapat Putra et al (2014) yang menyatakan bahwa perbedaan waktu perekaman citra dan pengambilan data lapangan serta faktor atmosferik seperti kabut dan awan sangat mempengaruhi konsentrasi MPT.
Konsentrasi MPT Data Satelit
Konsentrasi MPT hasil estimasi dari data Landsat-8 sepanjang tahun 2014 – 2015 terlihat bervariasi ditiap musim (Tabel 5).
Konsentrasi MPT di musim peralihan 1 (2014) berada pada selang 26.5 - 182.4 mg/l. Musim peralihan 1 masih dipengaruhi oleh angin musim Barat dimana angin bergerak dari Utara Barat Daya yang memiliki tekanan udara yang tinggi dari pada arah Selatan dan membawa uap-uap air. Kondisi ini berpotensi turun hujan yang dikenal juga sebagai musim hujan bagi penduduk Indonesia. Dimusim berikutnya (musim Timur) konsentrasi MPT berada pada selang 27.3- 76.5 mg/l. Terlihat ada perbedaan interval kedua musim ini, ini dikarenakan musim Timur sudah dipengaruhi oleh angin musim Timur. Pada angin musim Timur, angin bertiup dari arah Selatan ke Tenggara dengan sedikit uap air. Ini dikenal dengan musim kemarau oleh penduduk Indonesia. Diduga hubungan curah hujan terhadap naiknya konsentrasi MPT di perairan Pulau Lancang akibat dorongan air sungai yang bermuara ke laut di sekitar Teluk Jakarta yang membawa sampah-sampah organik maupun anorganik yang tertahan di mulut sungai. Kebiasaan umumnya masyarakat sekitar pantai menjadikan sungai sebagai
“tempat sampah bersama”. Sampah-sampah yang tertahan di mulut-mulut di musim kemarau kemudian kemudian terdorong akibat debit air yang lebih besar di musim hujan. Pola naik dan turunnya konsentrasi MPT dilihat dari interval masing-masing, hampir menunjukkan pola yang sama. Di musim peralihan 2 (2014) interval MPT pada 37-112.2 mg/, selang konsentrasi MPT menyerupai konsentrasi di musim Timur karena masih sama-sama dipengaruhi angin musim Timur. Selanjutnya di musim Barat 2015, interval konsentrasi MPT naik pada interval 46-432,735.2 mg/l. Kemungkinan tingginya angka tersebut adalah sampah-sampah yang menutupi permukaan laut yang dibaca oleh sensor satelit yang mengakibatkan tingginya nilai refrektansi. Memasuki musim Barat-Timur 2015, prediksi nilai MPT dari satelit menunjukkan penurunan mendekati normal di angka 17- 91.5 mg/l. Kemudian dimusim berikutnya (musim Timur 2015), sebaran MPT kembali normal pada 28-109 mg/l (Gambar 20).
Tabel 5. Hasil Estimasi Konsentrasi MPT berdasarkan musim
Musim Rentang Konsentrasi MPT Rerata Konsentrasi MPT Peralihan 1 (2014) Timur (2014) Peralihan 2 (2014) Barat (2015) Peralihan 1 (2015) Timur (2015) Peralihan 2 (2015) 26.5 - 182.3 mg/l 27.3 – 76.4 mg/l 37.6 – 112.2 mg/l 45 – 15,795 mg/l 17.4 – 91.5 mg/l 28.6 108.9 mg/l 87 – 277.6 mg/l 42.9 mg/l 32.6 mg/l 43.3 mg/l 93.3 mg/l 21.9 mg/l 36.5 mg/l 104.6 mg/l
29
Produksi (catch) Rajungan (2014 – 2015)
Berdasarkan catatan dari log book koordinator nelayan, tercatat produksi bulanan rajungan dari tahun 2014-2015 (Gambar 21).
Di tahun 2014, hasil tangkapan tinggi terdapat di bulan Juni dan November. Hasil tangkapan terendah terdapat pada bulan Desember. Tidak