• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Geospasial Parameter Lingkungan Dan Analisis Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan (Portunus Pelagicus) Di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi Geospasial Parameter Lingkungan Dan Analisis Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan (Portunus Pelagicus) Di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI GEOSPASIAL PARAMETER LINGKUNGAN

DAN ANALISIS KESESUAIAN DAERAH PENANGKAPAN

RAJUNGAN (

Portunus pelagicus

) DI PERAIRAN PULAU

LANCANG, KEPULAUAN SERIBU

INSANIAH RAHIMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul distribusi geospasial parameter lingkungan dan analisis kesesuaian daerah penangkapan rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2016

Insaniah Rahimah

(4)

RINGKASAN

INSANIAH RAHIMAH. Distribusi Geospasial Parameter Lingkungan dan Analisis Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan (Portunus pelagicus) di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan SYAMSUL B. AGUS.

Permasalahan yang dihadapi oleh pengelolaan rajungan di perairan Pulau Lancang adalah minimnya informasi spasial berkaitan dengan distribusi parameter serta lokasi yang sesuai untuk daerah penangkapan rajungan. Sementara keberadaan rajungan di perairan dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan yang berhubungan dengan habitat, migrasi dan kelimpahan makanan. Data oseanografi mampu memberikan informasi kesesuaian daerah untuk dijadikan daerah penangkapan (fishing ground) yang potensial. Untuk memperoleh data oseanografi time series (deret waktu), akan membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang besar. Dinamika perairan yang terus berubah juga menjadi kendala jika mengumpulkan data oseanografi secara manual. Dengan metode satelit penginderaan jauh, data oseanografi dapat diperoleh secara real time, dengan cakupan yang luas dan mampu menekan waktu dan biaya. Dengan diketahuinya data oseanografi perairan secara spasial perlu diketahui juga data tangkapan biologi rajungan, sehingga dapat diprediksi daerah potensial penangkapan berdasarkan ukuran (size). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) Menganalisa karakteristik perairan yang sesuai untuk daerah penangkapan rajungan; (2) Memetakan sebaran ukuran hasil tangkapan rajungan berdasarkan analisis daerah kesesuian penangkapan rajungan; (3) Mengalisa parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap keberadaan rajungan; (4) Memetakan sebaran ukuran hasil tangkapan rajungan berdasarkan parameter yang berpengaruh.

Parameter lingkungan yang diukur yaitu salinitas, kedalaman, tipe substrat, MPT, kecerahan, suhu, DO, TDS, Nitrat, Fosfat dan pH. Data temporal menggunakan citra satelit Landsat-8 dengan sensor OLI yang diunduh dari situs resmi USGS (United States Geological Survey). Kemudian data diolah menggunakan perangkat lunak SIG dan pengolahan citra. Data tangkapan bulanan rajungan diperoleh dari log book nelayan dan sampling rajungan serta wawancara langsung metode partisipatory fishing ground mapping setiap bulan selama periode penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa parameter lingkungan secara umum mendukung bagi pertumbuhan rajungan. Beberapa parameter seperti MPT, TDS, kecerahan, fosfat, nitrat, kedalaman dan substrat merupakan daerah yang 100% sangat sesuai. Sedangkan parameter salinitas, DO, pH dan suhu termasuk terdapat daerah yang sesuai dan tidak sesuai. Hasil pembobotan dan reklasifikasi parameter, daerah pertumbuhan rajungan di musim Timur 2015 dibagi menjadi

(5)

Rerata estimasi konsentrsi MPT per musim selama tahun 2014 – 2015 adalah 42.9 mg/l di musim peralihan 1 tahun 2014, 32.6 mg/l di musim Timur 2014, 43.3 mg/l di musim peralihan 2 tahun 2014, 93.3 mg/l di musim Barat 2015, 21.9 mg/l di musim peralihan 1 tahun 2015, 36.5 mg/l di musim Timur 2015 dan 104.6 mg/l di musim peralihan 2 tahun 2015. Produksi tangkapan selama musim yang sama dengan data citra berturut-turut adalah 3.007 kg, 5.450 kg, 2.840 kg, 4.484 kg, 16.565 kg dan 100.789 kg. Ada hubungan searah atau positif antara konsentrasi MPT terhadap kelimpahan rajungan dengan nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0.68. Diduga diet rajungan berasal dari partikel melayang (MPT) dari jenis

biogeneous (makhluk hidup). Hasil uji ketelitian citra terhadap data lapangan terdapat error (NMAE) sebesar 31.5%, yang disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan data lapangan dengan perekaman citra serta adanya gangguan awan tipis (haze) pada lokasi penelitian. Overlay hasil tangkapan rajungan dengan konsentrasi MPT data Landsat di musim peralihan 2 tahun 2015 menunjukkan rajungan banyak ditangkap pada konsentrasi rendah (87 – 102 mg/l) dan konsentrasi sedang (102 – 116 mg/l). Hasil tangkapan di musim peralihan 2 tahun 2015 terlihat 29% dengan lebar karapas ukuran kecil (7.7-10.57 cm), 74% dengan bobot rendah (30-112 gram), nisbah kelamin dalam kondisi seimbang antara jantan dengan betina (1 : 1) dan 25% hasil tangkapan rajungan betina dalam keadaan membawa telur (BEF/barried female).

(6)

SUMMARY

INSANIAH RAHIMAH. Geospatial Distribution of Environmental Parameters and Analysis Suitability of crab fishing areas (Portunus pelagicus) in the waters of Pulau Lancang, Thousand Islands. Supervised by VINCENTIUS P. SIREGAR and SYAMSUL B. AGUS.

Problems faced by the management of crabs in the waters of Pulau Lancang is the lack of information relating to the spatial distribution of the parameters as well as the appropriate location for small crab fishing area. While the existence of small crab in the waters affected by oceanographic conditions associated aquatic habitats, migration and abundance of food. Oceanographic data area capable of providing compliance information to be used as a fishing ground potential. To obtain oceanographic data time series, will take a long time and the cost is great. Water dynamics are constantly changing also be an obstacle if collect oceanographic data manually. With the method of remote sensing satellite, oceanographic data can be obtained in real time, with extensive coverage and is able to minimize time and cost. By knowing the waters oceanographic data spatially need to know a small crab biology catch data, so it can be predicted based on the size of the potential harvesting area (size). Aims of this research were to (1) Analyze the characteristics of waters suitable for swimming crab fishing areas; (2) Mapping the distribution of the size of the catches of crab based on analysis of the suitability area catching crabs; (3) analyze of environmental parameters that affect the existence of small crab; (4) Mapping the size distribution of the catch crabs by influencing parameters.

Quantified environmental parameters are SSM, temperature, salinity, brighness, TDS, DO, phosphate, nitrate, water depth and substrate type. Temporal data used Landsat-8 image with 8 bands sensor OLI that downloaded from USGS (United States Geological Survey). The data then was processed by using geographical information system (GIS) software and images processor. Monthly fish landing data of the crab was derived from fishermen log books and crabs sampling and also direct interviews to fishermen using participatory fishing ground mapping method every month as long as research period.

Research results show that environmental parameters commonly support the crab growth. Some of the parameters such as TSS, TDS, clarity, phosphate, nitrate, water depth, and substrate of the Lancang island water are suitable 100% . Moreover, other parameters namely salinity, DO and temperature are some conditionally suitable and unsuitable. According to parameters scoring and re-classification results, living areas of the crab on east monsoon in 2015 are divided

into three areas namely “very suitable”, “suitable”, and “unsuitable”. Fishing

(7)

on west monsoon, 21.9 mg/l on 1st transition monsoon, 36.5 mg/l on east monsoon

and 104.6 mg/l in 2nd transition monsoon. Fishing production in the same season with satellite images are 3. 007 kg, 5.450 kg, 2.840 kg, 4.484 kg, 16.565 kg and 100.789 kg, respectively. There is a positive relationship between SSD concentration toward the crab abundance and coefficient correlation value (r) that is 0.68. Allegedly crab diet comes from floating particles (TSS) on types biogeneous (living things). The accuracy testing of satellite images towards field data, there is an error (NMAE) as 31.5% that is caused by time gaps among field data collecting, images recording and interference hazes at the research location. Overlaying of fished crabs data and TSS concentration of Landsat data on 2nd transition monsoon in 2015 shows that the crabs are captured mostly at low and medium concentration, 87 – 102 mg/l and 102 – 116 mg/l, respectively. Fished crabs on east to west monsoon are shown 29% of its carapaces is small size (7.7-10.57 cm), 74% of its weight is low (30-112 grams), ration between male and female is in balanced (1 : 1) and 25% of the crabs is female carrying eggs (BEF/berried female).

(8)
(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

DISTRIBUSI GEOSPASIAL PARAMETER LINGKUNGAN

DAN ANALISIS KESESUAIAN DAERAH PENANGKAPAN

RAJUNGAN (

Portunus pelagicus

) DI PERAIRAN PULAU

LANCANG, KEPULAUAN SERIBU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 ini ialah pemanfaatan data citra satelit. Tesis ini mengupas tentang bagaimana Distribusi secara Spasial Parameter Lingkungan, Analisis Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan (P. pelagicus) serta hubungannya dengan Variabel Oseanografi Data Landsat-8 di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu Jakarta.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Vincentius P. Siregar, DEA selaku pembimbing utama, Bapak Dr Syamsul B. Agus SPi, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan sumbangsih dan membimbing penulis dalam proses penyusunan tesis ini serta Bapak Prof Dr Ir Setyo. B. Susilo, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi yang banyak memberikan masukan kepada penulis hingga mampu menyelesaikan tesis ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih pada pihak-pihak yang telah membantu penulis antara lain :

1. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

2. Tim BOPTN Rajungan Pulau Lancang

3. Pimpinan dan seluruh staf Sekolah Pascasarjana IPB 4. Dosen dan staff program studi Teknologi Kelautan 5. Rekan-rekan kelas Pascasarjana TEK 2014

6. Rekan-rekan awardee LPDP-IPB

7. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini.

8. Terakhir dan paling utama buah hatiku “ananda Farah Khalidah Al Azizi”

yang setia menemani serta keluarga besar yang tiada henti mendoakan, mengingatkan dan memberikan kasih sayang yang tak pernah putus. Penulis menyadari bahwa isi tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna, maka dengan demikian penulis mengharapkan kritikan dan saran dari berbagai pihak untuk kesempurnaan tesis ini agar menjadi lebih baik dan mendekati sempurna.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2016

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian 3

Hipotesa 4

Kerangka Pemikiran 4

2 METODE 5

Waktu dan Tempat 5

Bahan dan Alat 5

Metode 6

Prosedur Analisis Data 6

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Kualitas Perairan Pulau Lancang pada Musim Timur 20

Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan 20

Sebaran Daerah Penangkapan Rajungan berdasarkan Kesesuian Daerah

Penangkapan 22

PCA untuk Penentuan Parameter Pendukung Keberadaan Rajungan 25 Hubungan MPT dengan Produksi (catch) Rajungan 27 Distribusi Spasial Rajungan berdasarkan Sebaran MPT dari Citra Satelit Landsat 8 OLI di musim Timur – Barat tahun 2015 33

4 SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 38

LAMPIRAN 41

(16)

DAFTAR TABEL

1. Kategori, jenis dan sumber data 7

2. Penentuan Kategori Kesesuaian Area 9

3. Eigenvalue dan persentase kontribusi setiap sumbu faktorial terhadap

total variansi 25

4. Waktu Akuisisi Citra dan Tutupan awan 27

5. Hasil Estimasi Konsentrasi MPT berdasarkan musim 28

6. Tabel 6. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test 31

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pikir dan alur penelitian 5

2. Lokasi Penelitian dan stasiun sampling kualitas air 6 3. Ilustrasi konstruksi dan cara pengoperasian alat tangkap bubu 7 4. (a) Pengukuran lebar karapas, (b) Perbedaan jantan dan betina, (c)

8. Sebaran MPT di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim

Timur) 15

13. Sebaran nitrat di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim

timur) 19

14. Sebaran fosfat di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim

timur) 20

15. Sebaran pH di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim

timur) 20

16. Peta kesesuaian daerah penangkapan rajungan berdasarkan parameter lingkungan perairan Pulau Lancang dan sekitarnya Juni 2015 (musim

Timur) 21

17. Persentasi Hasil Tangkapan di periode Juni-September 2015 (musim

timur) (n=411) 23

18. Peta sebaran hasil tangkapan rajungan berdasarkan kesesuaian daerah

(17)

19. Grafik analisis komponen utama parameter biofisik-kimia perairan antara Komponen Utama Pertama (F1) dan Komponen Utama Kedua

(F2) 26

20. Sebaran Konsentrasi MPT Data Landsat-OLI Tahun 2014-2015 29 21. Hasil tangkapan bulanan nelayan rajungan yang didaratkan di Pulau

Lancang (kg) tahun 2014-2015 30

22. Hasil tangkapan nelayan rajungan yang didaratkan di Pulau Lancang

berdasarkan musim (2014-2015) 30

23. Hubungan Hasil Tangkapan Rajungan dengan Rerata Konsentrasi

MPT dari Citra Landsat-OLI 32

24. Persentasi Hasil Tangkapan periode bulan Oktober-Desember 2015

(musim peralihan 2) (n=220) 33

25. Distribusi hasil tangkapan rajungan berdasarkan sebaran konsentrasi MPT citra Landsat-OLI di musim Timur – Barat 2015 35

DAFTAR LAMPIRAN

1. Peta tematik Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan 42

(18)
(19)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemerintah Indonesia dalam hal ini DPR RI dan Presiden RI (masa bakti 2009-2014) sepakat untuk menggunakan informasi geospasial untuk pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya serta penanggulangan bencana dalam wilayah NKRI. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam bentuk UU no 4 tahun 2011 sebagai upaya mendorong percepatan pembangunan nasional. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa geospasial adalah data atau informasi lokasi geografis, dimensi atau ukuran, karakteristik objek alam atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.

Informasi geospasial merupakan terobosan ke depan dalam revolusi informasi karena secara umum bersifat spasial, kegunaanya secara visual, terbuka, mudah diakses sehingga dapat optimal dalam pemanfaatan. Informasi geospasial yang dikelola melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai terobosan teknologi dalam bentuk aplikasi merupakan solusi informasi geospasial yang dikemas menjadi sebuah solusi yang terintegrasi antara perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, aplikasi analisis (metode) serta pengguna peranti (manusia).

Dalam bidang kelautan dan perikanan, data diperlukan sebagai salah satu sumber informasi dalam memantau sumber daya perikanan Indonesia. Perolehan data geospasial dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti: data survei lapangan, data sensus, data statistik, data tracking dan data penginderaan jauh (inderaja).

Kombinasi kemampuan SIG dan inderaja kelautan dapat menjadi sebuah alternatif solusi pengelolaan, mengidentifikasi dan memantau sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil. Kelebihan teknologi penginderaan jauh adalah mampu merekam data dan informasi secara luas, berulang dan lebih terinci mendeteksi perubahan habitat (Mumby et al, 2004).

Dengan perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh, beberapa informasi karakteristik lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk ekosistem pesisir dan perikanan diantaranya; kandungan klorofil, suhu permukaan laut, warna laut, konsentrasi muatan padatan tersuspensi (Total Suspended Solid, TSS) dan bahan organik terlarut (Coloured Dissolved Organic Matter, CDOM).

Perairan Pulau Lancang dan sekitarnya merupakan kelompok pulau kecil, bagian dari gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Sebagai lokasi yang terletak paling Selatan dan berdekatan dengan Teluk Jakarta, perairan ini mengalami dampak degradasi paling tinggi yang mempengaruhi eksistensi berbagai ekosistem serta organisme yang berasosiasi (Toruan et al, 2013). Kondisi angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi angin monsson yaitu Angin Musim Barat (Desember-Maret) dan Angin Musim Timur (Juni-September). Musim Pancaroba terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-November (Sachoemar, 2008).

(20)

2

Pulau Lancang adalah nelayan rajungan dari hasil tangkapan perairan di sekitarnya (termasuk perairan sekitar Pulau Laki dan Pulau Bokor). Permintaan pasar ekspor yang tinggi dan diikuti nilai jual yang bagus, mendorong nelayan Pulau Lancang untuk meningkatkan tangkapannya, sementara produksi rajungan hanya mengandalkan hasil dari alam (wild catch). Ketidakseimbangan antara pertumbuhan dan rekruitmen menyebabkan penurunan kemampuan pulih secara alami (Zairion, 2013).

Salah satu upaya pemerintah untuk pengelolaan perikanan rajungan di Indonesia dan mendukung global sertifikat ekolabel produk rajungan yang dikeluarkan oleh pasar Amerika Serikat sebagai importir utama adalah, dikeluarkannya persyaratan ukuran yang boleh ditangkap serta tidak menangkapan rajungan yang mengerami telur (barried female, BEF). Syarat ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (PERMEN KP) No 1/2015.

Sebagai biota yang tergolong dalam family kepiting (Brachyura), rajungan (Portunus pelagicus) juga dikenal dengan nama kepiting perenang (blue swimming crab) yang termasuk hewan perenang aktif. Pada saat tidak aktif hewan ini mengubur diri di dasar perairan hanya dengan mata, antena dan insang terbuka yang tidak tertutupi (Firman 2008). Tergolong hewan scavenger (pemakan bangkai), rajungan juga berburu dan menangkap hewan kecil serta binatang-binatang lain yang ada di laut dengan cara berenang di dekat permukaan (sekitar 1m) sampai kedalaman 56 meter (Maynou and Charles, 2000). Habitat rajungan adalah di perairan pesisir yang dangkal, mulai dari estuari hingga kedalaman 50 m (Tan and Ng 1998).

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, peneliti bersama tim BOPTN Pulau Lancang tahap I tahun 2015, diketahui dasar perairan Pulau Lancang memiliki kisaran kedalaman 6-34 meter (Agus et al, 2015). Nelayan Pulau Lancang melakukan aktifitas penangkapan rajungan sepanjang tahun. Alat tangkap yang digunakan nelayan Pulau Lancang adalah bubu lipat dengan kapal/perahu yang digunakan umumnya dengan kapasitas kecil (<5 GT). Hasil tangkapan bervariasi menurut daerah penangkapan dan cenderung menurun serta ukuran rajungan semakin kecil dari tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini mendukung pendapat Agus et al (2008) bahwa rajungan Pulau Lancang terindikasi mengalami tangkap lebih (over fishing) akibat tekanan yang tinggi. Hasil tangkapan umumnya di daratkan di beberapa lokasi berbeda, sesuai dengan lokasi pengepul (middleman) sebagai pembeli langsung dari nelayan. Sistem pendaratan yang tidak berpusat di satu tempat (bukan di Pangkalan Pendarat Ikan, PPI) serta keterbatasan sumberdaya manusia dari Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPKP) setempat, sulit untuk mendapatkan data runut waktu (time series) yang dapat dipercaya berkaitan dengan hasil tangkapan per unit usaha (Catch Per-Unit of Effort, CPUE).

(21)

3 Berdasarkan uraian di atas, untuk menjaga keberlanjutan stok, perekonomian nelayan serta kualitas ekspor rajungan di masa datang, perlu adanya upaya kebijakan pengelolaan perikanan dengan pendekatan geospasial bersumber dari data survei lingkungan dan penginderaan jauh yang mendukung regulasi yang ditetapkan pemerintah.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang dihadapi oleh pengelolaan rajungan di perairan Pulau Lancang adalah minimnya informasi spasial berkaitan dengan distribusi parameter serta lokasi yang sesuai untuk daerah penangkapan rajungan. Sementara keberadaan rajungan di perairan dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan yang berhubungan dengan habitat, migrasi dan kelimpahan makanan.

Data oseanografi mampu memberikan informasi kesesuaian daerah untuk dijadikan daerah penangkapan (fishing ground) yang potensial. Untuk memperoleh data oseanografi time series (deret waktu), akan membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang besar. Dinamika perairan yang terus berubah juga menjadi kendala jika mengumpulkan data oseanografi secara manual. Dengan metode satelit penginderaan jauh, data oseanografi dapat diperoleh secara real time, dengan cakupan yang luas dan mampu menekan waktu dan biaya. Dengan diketahuinya data oseanografi perairan secara spasial perlu diketahui juga data tangkapan biologi rajungan, sehingga dapat diprediksi daerah potensial penangkapan berdasarkan ukuran (size).

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dijawab pada penelitian ini adalah:

(1) Bagaimana karakteristik perairan yang sesuai untuk daerah penangkapan rajungan?

(2) Bagaimana sebaran ukuran hasil tangkapan jika dilihat dari kesesuaian daerah penangkapan rajungan?

(3) Apa faktor lingkungan yang mempengaruhi produksi (catch) rajungan?

(4) Parameter lingkungan apa saja yang berpengaruh terhadap keberadaan rajungan dan bagaimana sebaran ukuran hasil tangkapan berdasarkan parameter tersebut?

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi geospasial bagaimana distribusi parameter lingkungan serta kesesuaian daerah penangkapan yang sesuai bagi pertumbuhan rajungan (Portunus pelagicus) sebagai upaya awal perlindungan di sekitar pulau Lancang, Kepulauan Seribu.

(22)

4

Hipotesa

Sebagai hewan scavenger, rajungan di perairan secara alami di perairan memakan ikan kecil, udang dan bangkai hewan lainnya. Partikel yang melayang (suspended sediment) dalam perairan yang mengalami pengendapan atau dalam bentuk kimia disuatu tempat disebut juga sedimen. Menurut asalnya sedimen dapat dibedakan atas 4 jenis yaitu ; (1) jenis lithogeneous ialah sedimen yang berasal dari sisa pengikisan batu-batuan didarat, (2) jenis biogeneous ialah sedimen yang berasal dari sisa rangka organisme hidup juga akan membentuk endapan-endapan halus yang dinamakan ooze yang mengendap jauh dari pantai kearah laut, (3) jenis hydrogenous yakni sedimen yang dibentuk dari hasil reaksi kimia dari air laut dan (4) jenis cosmogenous yaitu partikel dari benda-benda angkasa ditemukan di dasar laut (Wibisono, 2005; Hutabarat dan Evans, 2008; Hartoko, 2010). Padatan tersuspensi jenis biogenous tersebar di dasar perairan, dan menutupi sekitar setengah dari daerah paparan dan pada dasar laut dalam menutupi lebih dari setengah luasnya (sekitar 55%). Sekitar 30% dari jumlah keseluruhan sedimen lautan yang terendap dapat disebut juga sebagai sedimen

biogenous meskipun sedimen tersebut juga memiliki campuran lithogenous

(Kennet, 1992).

Berdasarkan asal dan komposisi sedimen tersebut, diprediksi diet rajungan berasal dari partikel melayang (MPT) dari jenis biogeneous. Keberadaan muatan padatan tersuspensi dapat menyerap dan memantulkan spektrum radiasi cahaya tampak yang menembus ke bawah permukaan air, namun pengaruhnya lebih banyak bersifat sebagai pancaran balik (back scattering) sehingga memperlihatkan wujud air yang keruh (Maeden dan Kapetsky 1991; Butler et al

1988). Butler et al. (1988) dan Hartoko (2008) juga menyampaikan bahwa keberadaan partikel sedimen tersuspensi dalam massa air ini dapat digunakan untuk menggolongkan kekeruhan masa air laut sesuai warnanya ke dalam kelas– kelas tertentu, sehingga reflektansi spektral kolom air dapat dipakai untuk menduga keberadaan sedimen tersuspensi tersebut.

Kerangka Pemikiran

Perairan Pulau Lancang merupakan salah satu sentra rajungan dan ikan teri yang ada di Kepulauan Seribu. Potensi sumberdaya rajungan sebagai komoditas ekspor yang tinggi bermanfaat secara ekonomis untuk menunjang pendapatan ekonomi nelayan. Pemanfaatan sumberdaya hayati perikanan rajungan diharapkan mampu membangun ekonomi masyarakat hendaknya secara bijaksana dan berkelanjutan.

(23)

5 tangkap rajungan berdasarkan musim. Secara sistematika kerangka pemikiran dan diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pikir dan alur penelitian

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2015 sampai dengan bulan November 2015. Lokasi penelitian bertempat di perairan Pulau Lancang, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 5053’59”-5058’43” LS dan 106030’00”- 106039’33” BT (Gambar 2).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: data parameter lingkungan perairan, data penangkapan rajungan yang mencakup lokasi penangkapan (dalam grade), ukuran karapas, bobot individu, kondisi telur, produksi bulanan rajungan (2014-2015), data penginderaan jauh citra Landsat-8

(24)

6

Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah laptop bersistem operasi Windows, yang dilengkapi perangkat lunak untuk pengolahan citra, pengolahan data SIG serta perangkat lunak untuk analisis statistik. Peralatan lain yang digunakan untuk survei lapang adalah hand GPS untuk mengumpulkan informasi lokasi, MapSounder digunakan untuk mengetahui kedalaman perairan,

multiparameter water quality checker untuk pengukuran kualitas air (salinitas, kecerahan, suhu, DO dan pH), Van Dom Watersampler untuk sampel air (MPT, TDS, Fosfat dan Nitrat), Grap Sampler untuk mengambil sampel sedimen, kamera digital untuk dokumentasi, perahu bermotor untuk transportasi pengambilan data lapangan, serta timbangan duduk dengan penggaris dan alat tulis untuk sampling morfometrik rajungan.

Gambar 2. Lokasi Penelitian dan stasiun sampling kualitas air

Metode

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah yang diperoleh langsung di lapangan, sementara data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang sudah ada (Tabel 1).

Prosedur Analisis Data Data Tangkapan Rajungan

(25)

7

al, 2014). Dasar penentuan lokasi adalah hasil tangkapan yang didaratkan di Pulau Lancang. Peta lokasi pengamatan digunakan sebagai lembar kuisioner dalam format grid dengan dimensi 2,1 km x 2,1 km (Gambar 2) yang berguna untuk mengarahkan nelayan menentukan lokasi penangkapan.

Pertimbangan penggunaan sistem grid berdasarkan alat tangkap yang digunakan nelayan rajungan pulau Lancang adalah bubu lipat yang terikat satu sama lain sehingga terbentuk satu untaian bubu dengan jarak antar bubu kurang lebih 12 m dengan jumlah bubu yang beroperasi antara 300-600 unit per trip (Nugraheni et al, 2015) seperti pada Gambar 3. Ini diasumsikan bahwa satu nelayan/kelompok nelayan mewakili satu grid sebagai lokasi penangkapan rajungan.

Tabel 1. Kategori, jenis dan sumber data

Kategori Variabel data Jenis dan sumber data

Data oseanografi

(26)

8

Gambar 4. (a) pengukuran lebar karapas, (b) perbedaan jantan dan betina, (c) betina membawa telur (BEF)

Wawancara dilakukan saat nelayan mendaratkan hasil tangkapan ke pengumpul untuk ditimbang, dan secara simultan dilakukan pengukuran morfometrik sampel rajungan (lebar karapas, bobot, jenis kelamin dan kondisi telur) (Gambar 4). Jumlah nelayan/kelompok nelayan yang menjadi dijadikan narasumber dan sampling rajungan lebih kurang 9 nelayan/kelompok nelayan setiap bulannya yang dilakukan ditentukan secara acak.

Data produksi rajungan bulanan diperoleh dari log book koordinator nelayan yang divalidasi dengan data pengumpul rajungan Pulau Lancang.

Data Parameter Lingkungan Perairan

Sampling kualitas air diambil pada bulan Juni 2015 (mewakili musim Timur). Penentuan stasiun sampling dengan menggunakan metode acak terpilih (purposive random sampling) dengan 15 titik stasiun. Teknik ini digunakan peneliti dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu didalam pengambilan sampel atau penentuan sampel untuk tujuan tertentu (Nasir, 1983) (Gambar 2).

Untuk mengukur kedalaman menggunakan alat MapSounder, sedangkan untuk pengukuran kecerahan, suhu, salinitas, DO dan pH menggunakan alat

multiparameter water quality checker. Sementara itu pengambilan sampel air laut untuk mengukur parameter MPT, TDS, Fosfat dan Nitrat menggunakan alat Van Dom Watersampler dan Grap Sampler untuk mengambil sampel sedimen. Sampel air dan sedimen kemudian selanjutnya dianalisis di Bagian Hidrobiologi Laut dan Laboratorium Produktivitas Lingkungan, FPIK-IPB.

Data parameter tersebut diatas, masing-masing diolah dengan perangkat lunak ArcGIS untuk mengetahui sebaran spasial setiap parameter yang selanjutnya akan digunakan untuk penentuan daerah kesesuaian untuk penangkapan rajungan.

Analisis SIG

Selanjutnya dilakukan tahap analisis System Informasi Geografis (SIG) dengan metoda pembobotan. Pembobotan ini bertujuan untuk menentukan seberapa besar pengaruh suatu parameter terhadap parameter lainnya, untuk keperluan penentuan kesesuaian. Selain itu setiap tema akan dibagi menjadi beberapa kelas yang diberi skor berdasarkan tingkat kesesuaiannya, sehingga pada

hasil akhir akan diperoleh ”nilai akhir” atau ”matriks atribut” yang merupakan

hasil perkalian antara bobot dengan skor kelas. Kriteria dan parameter, pemberian bobot, dan skor kelas ditentukan berdasarkan studi kepustakaan, dan justifikasi

(27)

9 dari tenaga ahli yang berkompeten di bidang perikanan, baik secara tertulis maupun secara lisan.

Normalisasi pembobotan dilakukan dengan cara menjumlahkan bobot keseluruhan n parameter dengan definisi sebagai berikut :

w = (w1, w2, w3, . . . wn)

Σwj = 100

Interval kelas dan nilai kesesuaian daerah penangkapan di tentukan dengan menggunakan rumus (Noor, 2015) :

Tabel 2. Penentuan Kategori Kesesuaian Area

Parameter Bobot

Uji statistik dengan AKU bersifat kuantitaf dilakukan untuk mengetahui parameter yang berperan bagi kehidupan biota rajungan. AKU membantu untuk mereduksi parameter tanpa mempengaruhi nilainya sehingga memudahkan dalam interpretasi. AKU hingga saat ini banyak dipakai dan secara fundamental dianggap penting dalam analisis ekologi kuantitatif (Soedibjo, 2007).

(28)

10

Prinsip Analisa Komponen Utama adalah mentransformasi parameter kuantitatif inisial yang berkorelasi dalam parameter kuantitatif baru yang disebut komponen utama (Bengen, 1998). Analisis Komponen Utama ini menggunakan software stastistika minitab 15.

AKU sebagai analisis antara, akan dilanjutkan dengan analisis biplot. Biplot bersifat deskriptif yang merupakan salah satu upaya menggambarkan data -data yang ada pada tabel ringkasan dalam grafik berdimensi dua. Dengan penyajian dua dimensi ciri –ciri variabel dan objek pengamatan serta posisi relatif antara objek pengamatan dengan variabel dapat dianalisis (Sartono et al, 2003).

Citra Satelit

Satelit Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager

(OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan 11 band. Diantaranya 9 band (band 1-9) berada pada sensor OLI dan band 10 dan band 11 pada sensor TIRS (Tabel 4)

Data Landsat 8 yang tersedia untuk umum berupa produk L1 T (level-one terrain-corrected) telah terbebas dari kesalahan akibat sensor (geometric correction) (Jaelani 2014). Informasi koreksi geometrik bisa dilihat pada file metadata (MTL file) ditiap-tiap citra produk Landsat-8 telah dilakukan koreksi GCP disertai nilai RMSE.

Koreksi radiometrik dilakukan dengan cara mengkonversi DN (Digital Number) ke nilai radian ToA (Top of Atmospheric) untuk sensor TIRS dan nilai reflektansi ToA untuk sensor OLI.

Analisis parameter MPT berdasarkan data Landsat OLI menggunakan band 1 – 7 (visible). Pada tahap ini juga dilakukan koreksi radiometrik menggunakan koreksi ToA yang meliputi ToA reflektansi dan koreksi matahari (Rahayu dan Candra, 2014) dengan persamaan konversi untuk koreksi ToA reflektansi yaitu (USGS, 2014):

ρλ’ = MρQcal + Aρ………..….…..(3) Dimana,

ρλ = ToA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari .

Mρ = REFLECTANCE_MULT_BAND_x, di mana x adalah nomor kanal

Aρ = REFLECTANCE_ADD_BAND_x , di mana x adalah nomor kanal

(29)

11 Selanjutnya citra dikoreksi sudut matahari untuk menghilangkan perbedaan nilai DN yang diakibatkan oleh posisi matahari. Posisi matahari terhadap bumi berubah bergantung pada waktu perekaman dan lokasi obyek yang direkam (Rahayu dan Candra, 2014). Persamaan untuk koreksi dengan sudut

Masking atau pemisahan laut dan daratan bertujuan untuk memisahkan reflektan gelombang lautan dari daratan, sehingga nilai reflektansi gelombang daratan tidak ikut terproses, dengan persamaan:

L(λ) = Lmin(λ)+{([Lmax(λ)-L min(λ) ]/Qcal max)*Qcal }……...…….(5)

Dimana :

L(λ) = Radiansi spektral yang diterima oleh sensor (piksel yang dianalisis)

Lmin(λ) = Radiansi spectral minimum yang tercatat pada scene

Lmax(λ) = Radiansi spectral maksimum yang tercatat pada scene Qcalmax = nilai piksel maksimum

Qcal = nilai piksel yang dianalisis

Untuk mendapatkan nilai konsentrasi MPT yang informatif, selanjutnya akan diproses menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Syarif Budiman. Dasar penggunakan algoritma ini karena lokasi yang digunakan reperesentatif dengan lokasi penelitian yaitu termasuk daerah coastal waters tepatnya Delta Mahakam, Kalimantan Barat. Algoritma penentuan konsentrasi MPT adalah sebagai berikut (Budiman 2004):

Hasil estimasi konsentrasi MPT dilakukan pengujian terhadap hasil pengukuran di lapangan (insitu). Uji analisis menggunakan normalized mean absolute error (NMAE) dengan rumus:

…………..………...(7)

Dimana,

Xesti,i = Data citra

Xmeas,i = Data insitu

(30)

12

Nilai rerata MPT berdasarkan musim yang didapatkan dari citra Landsat OLI, diuji korelasi dengan kelimpahan rajungan per musim yang akan memberikan informasi variabilitas hubungan dua parameter. Korelasi sederhana merupakan suatu teknik statistik yang dipergunakan untuk mengukur kekuatan hubungan 2 variabel dan juga untuk dapat mengetahui bentuk hubungan antara 2 variabel tersebut dengan hasil yang sifatnya kuantitatif. Kekuatan hubungan antara 2 variabel yang dimaksud di sini adalah apakah hubungan tersebut erat, lemah, ataupun tidak erat sedangkan bentuk hubungannya adalah apakah bentuk korelasinya linear positif ataupun linear negatif.

Sebelum mengukur kekuatan hubungan 2 variabel, maka dilakukan uji normalisasi data yang bertujuan untuk memberikan kepastian apakah data terdistriusi normal atau tidak. Metode uji normalisasi yang digunakan adalah

Kolmogorov-Smirnov yaitu dengan membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Distribusi normal baku adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan normal. Penerapan uji Kolmogorov Smirnov adalah bahwa jika signifikansi di bawah 0,05 berarti data yang akan diuji mempunyai perbedaan yang signifikan dengan data normal baku, berarti data tersebut tidak normal. Jika signifikansi di atas 0,05 maka berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal baku berarti data yang kita uji normal

Selanjutnya menguji kekuatan hubungan antara 2 variabel biasanya

disebut dengan koefisien korelasi dan dilambangkan dengan symbol “r”. Nilai

koefisian r akan selalu berada di antara -1 sampai +1. Koefisien korelasi sederhana disebut juga dengan Koefisien Korelasi Pearson karena rumus perhitungan Koefisien korelasi sederhana ini dikemukakan oleh Karl Pearson yaitu seorang ahli Matematika yang berasal dari Inggris. Rumus ini disebut juga dengan Pearson Product Moment dengan persamaan berikut (Brahmantara et al,

2015):

…….……….…(8)

Dimana,

rxy = Nilai koefisien Korelasi X = nilai rerata MPT per musim Y = kelimpahan rajungan per musim N = jumlah pasangan X dan Y

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kualitas Perairan Pulau Lancang Pada Musim Timur

(31)

13

Salinitas (psu)

Hasil pengukuran nilai salinitas permukaan laut di perairan Pulau Lancang tidak beragam atau homogen. Karakteristik sanilitas ini disebabkan Pulau Lancang, Pulau Laki dan Pulau Bokor tergolong pulau-pulau kecil yang tidak memiliki aliran sungai. Salinitas di perairan ini berada di kisaran 29.8 – 31.70 psu (Gambar 5).

Sebaran spasial nilai salinitas di perairan Pulau Lancang terlihat sekitar Pulau Lancang dan Pulau Laki memiliki nilai salinitas yang lebih rendah dibandingkan dengan kawasan Selatan Pulau Lancang. Perbedaan nilai salinitas terdapat pada rentang yang tidak terlalu berbeda jauh, disebabkan perbedaan cuaca pada saat pengambilan data. Di beberapa lokasi, pengambilan sampel dilakukan pada saat hujan sehingga berpengaruh terhadap rendahnya salinitas di daerah tersebut.

Gambar 5. Sebaran salinitas di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim Timur)

Kedalaman

(32)

14

Gambar 6. Kontur kedalaman di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)

Tipe Substrat

Sebaran spasial substrat dasar perairan di sekitar perairan Pulau Lancang terdiri dari substrat pasir, pasir berlumpur dan lumpur berpasir (Gambar 7). Mayoritas substrat adalah lumpur berpasir yang meliputi kawasan sekitar Selatan Pulau Lancang sampai ke Utara Pulau Lancang. Tingginya konsentrasi lumpur pada kawasan tersebut berasal dari lumpur yang terbawa run off dari sungai. Lokasi Pulau Lancang yang sangat dekat dengan daratan utama (mainland), serta terdapat 13 sungai yang bermuara ke kawasan Teluk Jakarta menyebabkan lumpur masih terbawa hingga ke laut dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Sebelah Barat perairan Pulau Lancang memiliki substrat pasir berlumpur, dalam hal ini konsentrasi lumpur telah berkurang dan didominasi oleh pasir. Kawasan perairan Pulau Laki memiliki substrat dasar perairan yang didominasi oleh pasir.

MPT (mg/l)

MPT merupakan bahan-bahan tersuspensi yang berdiameter > 1 mikrometer yang tertahan pada saringan Millipore dengan diameter pori 0,45 mikrometer. MPT terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad renik yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air.

(33)

15

Gambar 7. Sebaran substrat di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)

Kecerahan (m)

Kecerahan perairan merupakan salah satu parameter yang mengukur tingkat kejernihan suatu perairan. Kecerahan perairan menentukan ketebalan lapisan produktif, dikarenakan dengan semakin cerahnya perairan dapat meningkatkan kemampuan tumbuhan air seperti hal plankton untuk berfotosintesis (Effendi, 2003).

(34)

16

Gambar 8. Sebaran MPT di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)

Suhu (0C)

Faktor lingkungan utama yang mempengaruhi reproduksi P. Pelagius

adalah suhu air (Potter and de Lestang, 2000; de Lestang et al., 2003; Nugraheni

et al 2015). Dari hasil pengukuran diperoleh nilai kisaran suhu pada selang 27.89-29.39 0C (Gambar 10). Secara spasial, suhu permukaan laut di perairan Pulau Lancang sebelah Barat lebih rendah dibandingkan dengan bagian tengah (antara Pulau Lancang dan Pulau Laki) dan Timur Pulau Lancang. Tingginya suhu di bagian tengah perairan dipengaruhi oleh limpasan air sungai dari daratan Jawa, yang umumnya lebih hangat dibandingkan dengan yang di bagian Barat Pulau Laki yang terpengaruh asupan massa air dari perairan terbuka yang lebih dalam. Demikian juga dengan pulau di bagian timur Pulau Lancang dan sekitar Pulau Bokor, yang juga terpengaruh limpasan massa air tawar dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta.

DO (mg/l)

(35)

17 rendahnya nilai kandungan DO. Rendahnya bahan DO tersebut dikarenakan kandungan DO di perairan dimanfaatkan untuk mendekomposisi bahan organik yang terdapat di perairan.

Gambar 9. Sebaran kecerahan di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim Timur)

(36)

18

Gambar 11. Sebaran DO di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)

TDS (mg/l)

Total Dissolve Solid (TDS) merupakan parameter yang menjelaskan partikel-partikel yang terlarut di dalam air dan tidak akan bisa tersaring oleh kertas saring. TDS ini biasanya dipengaruhi oleh bahan anorganik yang berupa molekul-molekul garam yang umum ditemukan di perairan laut.

Berdasarkan sebaran spasial nilai TDS (Gambar 12), terlihat TDS tinggi di bagian Barat daerah penelitian dan rendah di bagian Timur. Terlihat perbedaan TDS di antara pulau Lancang Besar dan Lancang Kecil. Tinggi TDS di Bagian Barat diduga berasal dari aliran limbah daratan. Adanya perbedaan TDS yang terlihat di Pulau Lancang Besar dan Lancang Kecil yang relatif berdekatan, disebabkan kondisi Pulau Lancang Besar berpenghuni sebaliknya Pulau Lancang Kecil tidak dihuni penduduk lokal (kepemilikan swasta).

Nitrat (mg/l)

Kandungan Nitrat air laut permukaan di perairan Pulau Lancang berkisar antara <0.0009-0.5 mg/l (Gambar 13). Secara spasial dapat diketahui kandungan nitrat di Selatan Pulau Lancang memiliki konsentrasi fospat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Hal tersebut terjadi karena sebelah Selatan perairan Pulau Lancang masih mendapatkan pengaruh masukan bahan organik yang berasal dari daratan utama (mainland) yaitu kawasan Jakarta dan sekitarnya sehingga berdampak terhadap tingginya konsentrasi nitrat di Selatan Pulau Lancang. Sumber nitrat di perairan dapat berasal dari, limbah rumah tangga dan pupuk pertanian yang ikut terlarut ke dalam air.

(37)

19 tawar melalui limpasan sungai yang membawa bahan-bahan organik. Selain itu juga berasal dari hasil dari proses sekresi dan degradasi organisme laut.

Kekayaan kadar nutrien suatu perairan bisa berakibat menguntungkan dan sebaliknya merugikan bagi organisme laut. Kondisi nutrien yang merugikan bagi organisme adalah jika keberadaan nutrien terlalu melimpah yang mengakibatkan spesies tertentu mengalami lonjakan pertumbuhan (blooming) dan mendominasi wilayah tersebut sehingga menyebabkan kompetisi ruang dan makanan yang sangat kuat di antara spesies organisme yang hidup di dalamnya.

Gambar 12. Sebaran TDS di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)

Fosfat (mg/l)

Keberadaan unsur fosfat di perairan dapat menentukan kesuburan perairan tersebut. Di lokasi pengamatan ditemukan konsentrasi posfat berada pada kisaran 0.013-0.09 mg/l (Gambar 14). Menurut Liaw 1969 nilai konsentrasi posfat pada kisaran tersebut menandakan bahwa tingkat kesuburan perairan berada pada tingkat yang tinggi. Konsentrasi fosfat yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi. Secara spasial dapat diketahui kandungan posfat di Selatan pulau Lancang memiliki konsentrasi fosfat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya. Hal tersebut terjadi karena Selatan perairan pulau Lancang masih dipengaruhi oleh masukan bahan organik yang berasal dari daratan utama (mainland) yaitu kawasan Jakarta dan sekitarnya. Sumber fosfat di perairan dapat berasal dari pelapukan batuan, limbah rumah tangga seperti sabun dan detergen.

pH

(38)

20

Pola sebaran pH terlihat semakin jauh dari daratan (Pulau Jawa) nilai pH semakin tinggi. Kondisi ini erat hubungannya dengan massa air yang berasal dari daratan terdekat yakni Kabupaten Tangerang melalui sungai yang menyebabkan perairan di sekitarnya mempunyai pH yang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya yang jauh dari daratan.

Gambar 13. Sebaran nitrat di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)

(39)

21

Gambar 15. Sebaran pH di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015 (musim timur)

Kesesuaian Daerah Penangkapan Rajungan

Berdasarkan hasil analisis interpolasi dan pembobotan menghasilkan beberapa peta tematik (Lampiran 1). Beberapa parameter mendukung sebagai daerah tangkapan rajungan seperti MPT, TDS, kecerahan, fosfat, nitrat, pH, dan substrat. Meskipun demikian ada beberapa parameter yang tidak mendukung sebagai daerah penangkapan seperti salinitas, DO, kedalaman dan suhu. Pada umumnya ketidaksesuain akibat aktifitas masyarakat di pulau yang berpenghuni, maupun dari aktifitas masyarakat daratan Pulau Jawa yang masuk ke perairan melalui aliran sungai yang bermuara langsung ke perairan ini.

Proses tumpang susun (overlay) peta-peta tematik tersebut menghasilkan suatu peta kesesuian daerah penangkapan rajungan (Gambar 16) dengan 3 kelas kesesuaian diantara ; sangat sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (N).

(40)

22

Gambar 16. Peta kesesuaian daerah penangkapan rajungan berdasarkan parameter lingkungan perairan Pulau Lancang dan sekitarnya Juni 2015 (musim Timur)

Sebaran Hasil Tangkapan Rajungan berdasarkan Kesesuaian Daerah Penangkapan

Sampling rajungan pada musim Timur yang digunakan untuk analisa adalah data ukuran lebar karapas, bobot individu, perbandingan jantan dan betina serta perbandingan BEF dan NBF.

Hasil sampling ukuran lebar karapas dikelompokkan menjadi 3 kelas (Gambar 17) mewakili ukuran besar (kelas 3 : 16,68 – 21,5 cm), sedang (kelas 2 : 11,84 – 16,67 cm) dan kecil (kelas 1 : 7 – 11,83 cm). Pengelompokan dilakukan untuk mengetahui kondisi rajungan di lokasi penelitian apakah sudah sesuai dengan anjuran pemerintah yang tertuang dalam Peraturan Menteri KKP No 1 tahun 2015, yang melarang penangkapan rajungan dengan lebar karapas <10 cm.

Terlihat 40% dari total tangkapan pada ukuran kecil dan tidak dianjurkan untuk ditangkap, 59% hasil tangkap pada ukuran sedang (diperbolehkan) dan 1 % pada ukuran besar. Bobot hasil tangkapan dibagi dibagi menjadi 3 kelas yaitu kelas 1 (30 – 147 gram), kelas 2 (148 – 263 gram) dan kelas 3 (264 – 380 gram). Hasil tangkapan di musim Timur 68% pada bobot rendah, 28% pada bobot sedang dan 4% pada bobot tinggi. Dibandingkan dengan bobot yang dianjurkan pemerintah (<55 gram), hasil tangkapan pada kelas 1 sebahagian adalah rajungan yang dilarang untuk ditangkap.

Perbandingan jenis kelamin jantan terhadap betina adalah 1 : 2. Hasil tangkapan dimominasi oleh rajungan betina sebanyak 67% dan jantan sebanyak 33%, sehingga nisbah kelamin rajungan di musim ini diduga tidak seimbang. Nisbah kelamin populasi digunakan sebagai indikator kemampuan suatu populasi untuk tetap bertahan melalui rekruitmen (Kamrani et al, 2010).

(41)

23 telur (Non Berried female) disingkat NBF. Hasil tangkapan rajungan BEF adalah 35% dan sisanya 65% adalah rajungan NBF. Rajungan yang ditangkap dalam kondisi BEF merupakan ancaman bagi kelangusungan hidup rajungan.

Hasil sampling tangkapan di musim Timur diatas, kemudian di lakukan

overlay daerah kesesuaian daerah untuk penangkapan rajungan untuk mengetahui sebaran rajungan secara spasial. Terlihat rajungan tertangkap di semua daerah dengan kategori S1, S2 dan N (Gambar 18) mampu memberikan informasi keberadaan rajungan dengan ukuran lebar karapas, bobot, jenis kelamin dan kondisi telur di area tertentu.

Hasil tangkapan rajungan nelayan Pulau Lancang untuk ukuran lebar karapas 7 -11,83 cm didapatkan di semua area tangkapan (kategori kecil) dengan persentasi terbesar terdapat pada area D7 mencapai angka 80% dari total tangkapan di area tersebut dan persentasi paling sedikit di area D8 yaitu 20%. Selanjutnya ukuran lebar karapas 11,84 – 16,67 cm dengan kategori menengah juga mendominasi di semua area tangkapan. Sedangkan ukuran lebar kaparas 16,68 – 21,5 cm (kategori besar), hanya terdapat pada 2 area yaitu B4 dan C4 dengan masing-masing persentasi tangkapan 3% dan 5%.

Untuk perbandingan jenis kelamin hasil tangkapan rajungan di musim Timur didominasi oleh rajungan betina hampir di semua area, bahkan di area D4 diperoleh hasil tangkapan 100% betina.

Hasil tangkapan rajungan dengan kondisi bertelur (BEF) juga mendominasi pada musim Timur di perairan Pulau Lancang. Terlihat dari 14 area tangkapan, 12 area diantaranya ditemukan rajungan yang ditangkap dalam kondisi bertelur. Persentasi betina yang bertelur ditemukan paling tinggi di area C6 dalam angka 50%. Sementara hasil tangkapan dalam NBF (betina tidak bertelur) dengan perentasi 100% terdapat di area A6 dan D7.

(42)

24

(a) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan lebar karapas (cm)

(43)

25

(c) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan jenis kelamin

(d) Sampling tangkapan rajungan berdasarkan betina bertelur Gambar 18. Peta sebaran hasil tangkapan rajungan berdasarkan kesesuaian daerah

penangkapan di musim Timur 2015

(44)

26

Analisis Komponen Utama (AKU) dan Biplot

Dengan pendekatan AKU menghasilkan Eigenvalue (Tabel 3). Eigenvalue

yang disebut juga dengan akar ciri yang memenuhi kriteria sebagai komponen utama adalah akar ciri yang memiliki nilai > 1. Hasil analisa matriks korelasi parameter biofisik-kimia perairan memperlihatkan bahwa 11 ragam (F1 – F11) terdapat 6 sumbu utama yang memenuhi kriteria sebagai komponen utama yaitu F1, F2, F3, F4, F5 dan F6 dengan nilai eigenvalue berturut-turut 2.4478, 2.1557, 1.6941, 1.5115, 1.3213 dan 1.1279. Dengan demikian enam sumbu utama dapat menjelaskan 93.3% dari seluruh informasi yang terdapat pada semua parameter. Tabel 3. Eigenvalue dan persentase kontribusi setiap sumbu faktorial terhadap

total variansi

Analisis lanjutan dari AKU menghasilkan grafik berupa biplot yang ditampilkan pada Gambar 19, terlihat beberapa parameter yang berdekatan dengan stasiun pengukuran dan pengambilan sampel air. Masing-masing stasiun (titik merah) memiliki hubungan dengan parameter pendukung (garis biru) pada sudut terdekat. Dari 15 stasiun pengukuran, 5 diantaranya mewakili area penangkapan (musim Timur 2015) yaitu stasiun 1, 6, 8,9 dan 11 (lingkaran hitan). Untuk stasiun daerah tangkapan rajungan yang saling berdekatan (stasiun 1, 6 dan 9) dipengaruhi oleh parameter fosfat, sedangkan stasiun 8 dan 11 dipengaruhi oleh parameter MPT.

Dari 11 parameter yang dilakukan analisis, terdapat 2 parameter hasil reduksi yang memiliki hubungan paling dekat dengan keberadaan rajungan yakni parameter fosfat dan MPT. Kedua parameter ini merupakan faktor penentu daerah penangkapan rajungan di daerah ini.

Hasil analisis komponen utama dan menampilkan dalam bentuk dua dimensi (biplot), langkah selanjutnya adalah menganalisis parameter-parameter ini secara deret waktu menggunakan teknologi penginderaan jauh yang pada kesempatan ini memanfaatkan data citra satelit. Penggunaan data citra adalah untuk melihat bagaimana hubungan parameter-parameter terhadap data produksi tangkap rajungan selama selama tahun 2014-2015.

Namun dari 2 parameter hasil reduksi, yang dapat diolah dengan data citra hanya parameter MPT. Hal ini karena keterbatasan teknologi citra satelit untuk diolah menjadi data fosfat.

Parameter F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11

(45)

27

Gambar 19. Grafik analisis komponen utama parameter biofisik-kimia perairan antara Komponen Utama Pertama (F1) dan Komponen Utama Kedua (F2).

Penyebaran stasiun kualitas lingkungan perairan Stasiun lokasi penangkapan rajungan

Parameter yang berpengaruh terhadap stasiun

Hubungan MPT dengan produksi (catch) rajungan

Untuk memperoleh data time series akan memanfaatkan data penginderaan jauh yang pada kesempatan ini digunakan citra satelit Landsat-8. Namun dari 2 parameter tersebut, hanya data MPT yang tersedia dan akan dianalisa lebih lanjut.

Citra Landsat8-OLI diproses masing-masing mewakili musim pada akuisisi pada tanggal yang berbeda (Tabel 4). Dasar pemilihan berdasarkan kualitas citra yang paling sedikit mengandung awan pada rentang musim yang telah ditetapkan.

Tabel 4. Waktu Akuisisi Citra dan Tutupan awan

(46)

28

Uji Ketelitian Citra

Hasil perhitungan nilai error (NMAE) antara pengukuran data insitu dengan prediksi sebaran di musim Timur sebesar 31,5%. Nilai error yang bisa diterima di bawah 30% dapat digunakan sebagai pembuktian kevalidan data citra (Purwadhi, 2001). Tingginya nilai error disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan data lapangan dengan waktu perekaman citra satelit dan pengaruh dari tutupan awan tipis (haze). Sesuai dengan pendapat Putra et al (2014) yang menyatakan bahwa perbedaan waktu perekaman citra dan pengambilan data lapangan serta faktor atmosferik seperti kabut dan awan sangat mempengaruhi konsentrasi MPT.

Konsentrasi MPT Data Satelit

Konsentrasi MPT hasil estimasi dari data Landsat-8 sepanjang tahun 2014 – 2015 terlihat bervariasi ditiap musim (Tabel 5).

Konsentrasi MPT di musim peralihan 1 (2014) berada pada selang 26.5 -182.4 mg/l. Musim peralihan 1 masih dipengaruhi oleh angin musim Barat dimana angin bergerak dari Utara Barat Daya yang memiliki tekanan udara yang tinggi dari pada arah Selatan dan membawa uap-uap air. Kondisi ini berpotensi turun hujan yang dikenal juga sebagai musim hujan bagi penduduk Indonesia. Dimusim berikutnya (musim Timur) konsentrasi MPT berada pada selang 27.3-76.5 mg/l. Terlihat ada perbedaan interval kedua musim ini, ini dikarenakan musim Timur sudah dipengaruhi oleh angin musim Timur. Pada angin musim Timur, angin bertiup dari arah Selatan ke Tenggara dengan sedikit uap air. Ini dikenal dengan musim kemarau oleh penduduk Indonesia. Diduga hubungan curah hujan terhadap naiknya konsentrasi MPT di perairan Pulau Lancang akibat dorongan air sungai yang bermuara ke laut di sekitar Teluk Jakarta yang membawa sampah-sampah organik maupun anorganik yang tertahan di mulut sungai. Kebiasaan umumnya masyarakat sekitar pantai menjadikan sungai sebagai

“tempat sampah bersama”. Sampah-sampah yang tertahan di mulut-mulut di musim kemarau kemudian kemudian terdorong akibat debit air yang lebih besar di musim hujan. Pola naik dan turunnya konsentrasi MPT dilihat dari interval masing-masing, hampir menunjukkan pola yang sama. Di musim peralihan 2 (2014) interval MPT pada 37-112.2 mg/, selang konsentrasi MPT menyerupai konsentrasi di musim Timur karena masih sama-sama dipengaruhi angin musim Timur. Selanjutnya di musim Barat 2015, interval konsentrasi MPT naik pada interval 46-432,735.2 mg/l. Kemungkinan tingginya angka tersebut adalah sampah-sampah yang menutupi permukaan laut yang dibaca oleh sensor satelit yang mengakibatkan tingginya nilai refrektansi. Memasuki musim Barat-Timur 2015, prediksi nilai MPT dari satelit menunjukkan penurunan mendekati normal di angka 17- 91.5 mg/l. Kemudian dimusim berikutnya (musim Timur 2015), sebaran MPT kembali normal pada 28-109 mg/l (Gambar 20).

Tabel 5. Hasil Estimasi Konsentrasi MPT berdasarkan musim

(47)

29

Produksi (catch) Rajungan (2014 – 2015)

Berdasarkan catatan dari log book koordinator nelayan, tercatat produksi bulanan rajungan dari tahun 2014-2015 (Gambar 21).

Di tahun 2014, hasil tangkapan tinggi terdapat di bulan Juni dan November. Hasil tangkapan terendah terdapat pada bulan Desember. Tidak terlihat perbedaan yang signifikan hasil tangkapan di tiap bulan sepanjang tahun 2014. Di tahun 2015, ada kenaikan yang sangat signifikan hasil tangkapan yang diperoleh oleh nelayan Pulau Lancang . Diawali di bulan Januari 2015 hasil tangkapan pada angka 1125 kg dan mengalami puncaknya di bulan November 2015 yang mencapai 60.000 kg (60 Ton).

Untuk mengkaji lebih lanjut berkaitan dengan fenomena hasil tangkapan yang naik drastis dilakukan konfirmasi dengan Bapak Dr. Ir. Zairion M.Sc, seorang dosen IPB dari Program Study Manajemen Lingkungan Perairan (expert opinion). Beliau mengatakan bahwa, naiknya rekruitmen rajungan di akhir tahun 2015 sampai dengan awak tahun 2016 terjadi hampir di seluruh daerah tangkapan rajungan di Indonesia, dari Timur Sumatera hingga perairan Madura. Meskipun belum dapat diungkap secara ilmiah, namun beliau sependapat dengan informasi dari nelayan di Lampung bahwa, salah satu yang menyebabkan meningkatnya rekruitmen rajungan (booming) dikarenakan oleh dikeluarkannya larangan penggunaan alat tangkap pukat (trawl) dan sejenisnya dimana dalam penggunaanya selama ini mengakibatkan menurunnya sumber daya biota laut termasuk rajungan (PERMEN KP NO 2 Tahun 2015). Hal lain yang mempengaruhi reproduksi rajungan walaupun tidak secara langsung menurut beliau adalah, peristiwa alam El Nino yang terjadi di Samudera Pasifik, membawa efek menghangatnya suhu perairan sehingga konduksif bagi rajungan dalam menetaskan telurnya.

(48)

30

(49)

31

Gambar 21. Hasil tangkapan bulanan nelayan rajungan yang didaratkan di Pulau Lancang (kg) tahun 2014-2015

Gambar 22. Hasil tangkapan nelayan rajungan yang didaratkan di Pulau Lancang berdasarkan musim (2014-2015)

Hubungan Produksi (catch) Rajungan terhadap MPT Citra Satelit

Dari variabilitas konsentrasi MPT terhadap produksi hasil tangkapan rajungan terlihat adanya suatu korelasi antara kedua variable ini (Gambar 23). Hal ini karena rajungan merupakan spesies pemakan bahan tersuspensi sebagai bahan makanan tambahan disamping planton dan bahan terdeposit (Nybakken 1988; Kamaruddin 1998) sehingga peningkatan konsentrasi MPT yang diukur dari satelit diikuti dengan kenaikan produksi rajungan pada musim yang sama.

(50)

32

besar dari 0.05 sehinga dapat disimpulkan nahwa uji data distribusi normal dan dapat direkomendasikan untuk analasis korelasi selanjutnya.

Tabel 6. One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardiz ed Residual

N 7

Normal Parametersa Mean .0000000

Std. Deviation 2.62983892E

Dari pedoman umum penentuan kriteria korelasi menurut Pearson dikatakan bahwa apabila : apabila r = 0, maka tidak ada korelasi; apabila r = 0 – 0.5, maka korelasi lemah; apabila r = 0.5 – 0.8; apabila r = 0.8 – 1, maka korelasi kuat/erat dan apabila r = 1, maka korelasi sempurna. Hasil pengujian korelasi (r) hasil tangkapan dengan rerata konsentrasi MPT landsat OLI membentuk korelasi linier positif (+1) sebesar 0.7 maka dapat disimpulkan bahwa kriteria hubungannya adalah korelasi sedang. Artinya naiknya konsentrasi MPT disertai dengan naiknya hasil tangkapan rajungan. Ini menjawab hipotesa bahwa ada hubungan antara konsentrasi MPT di perairan dengan produksi hasil tangkapan rajungan di lokasi penelitian.

(51)

33

Gambar 23. Hubungan Hasil Tangkapan Rajungan dengan Rerata Konsentrasi MPT berdasarkan musim

Distribusi Spasial Rajungan Berdasarkan Sebaran MPT dari

Citra Landsat-OLI di musim Timur–Barat Tahun 2015

Hasil sampling rajungan pada musim Timur – Barat 2015 dianalisa sama dengan sampling yang dilakukan pada musim sebelumnya (Timur 2015), dimana pengukuran yang dilakukan meliputi ukuran lebar karapas, bobot individu, perbandingan jantan dan betina dan perbandingan betina membawa telur dengan yang tidak membawa telur.

Dari hasil sampling ukuran lebar karapas dikelompokkan menjadi 3 kelas mewakili ukuran besar (kelas 3 : 13,46 – 16,30 cm), sedang (kelas 2 : 10,58 – 13,45 cm) dan kecil (kelas 1 : 7,70 – 10,57 cm).. Terlihat 29% dari total tangkapan pada ukuran kecil dan tidak dianjurkan untuk ditangkap, 68% hasil tangkap pada ukuran sedang (diperbolehkan) dan 3 % pada ukuran besar. Sementara untuk bobot hasil tangkapan terbagi atas kelas 1 (30 – 112 gram), kelas 2 (113 – 196 gram) dan kelas 3 (197 – 280 gram). Hasil tangkapan di musim Timur 74% pada bobot rendah, 22% pada bobot sedang dan 4% pada bobot tinggi. Perbandingan jenis kelamin jantan terhadap betina adalah 1 : 1. Hasil tangkapan dimominasi oleh rajungan betina sebanyak 50% dan jantan sebanyak 50%. Untuk betina bertelur, hasil tangkapan di musim ini 75% rajungan tertangkap dalam kondisi NBF (tidak membawa telur) dan dan sisanya 25% adalah rajungan BEF (rajungan membawa telur) (Gambar 24).

Untuk mengetahui hubungan sebaran hasil tangkapan rajungan di musim Timur-Barat 2015 dengan TSS dilakukan overlay antara sampling rajungan terhadap konsentrasi MPT di musim yang sama. Pada Gambar 25, terlihat rajungan banyak tertangkap pada konsentrasi TSS kategori rendah (87-102 mg/l) dan kategori sedang (102-116 mg/l). Rajungan tidak ditemukan pada konsentrasi tinggi (116-277.6 mg/l).

Tidak ditemukannya rajungan yang hidup di konsentrasi tinggi diakibatkan karena MPT berdasarkan jenisnya tidak hanya terdiri dari jenis biogeneous saja (dari makhluk hidup), tapi MPT juga ada yang berasal dari jenis lain seperti

(52)

34

membedakan rajungan berdasarkan jenisnya. Sehingga dapat disimpulkan konsentrasi MPT pada kategori tinggi di dominasi oleh MPT jenis lithogeneous, hidrogeneous dan cosmogeneous.

Terlihat hasil tangkapan pada ukuran karapas kelas 1 (7,7-10.57 cm) kategori kecil tidak mendominasi area tangkapan. Meskipun demikian, terdapat di area C8 hasil tangkapannya 100% ukuran kecil dengan konsentrasi MPT kategori rendah dan area C6 sebanyak 72% dalam kategori kecil. Selebihnya hasil tangkapan berdasarkan ukuran lebar karapas didominasi ukuran sedang dan besar.

Dilihat dari perbandingan jenis kelamin, hasil tangkapan di musim Timur-Barat 2015 berada dalam kondisi seimbang antara jumlah rajungan jantan dan rajungan betina (1:1).

Sedangkan untuk hasil tangkapan BEF dan NBF terdapat keragaman di setiap area. Di beberapa area yaitu A3, C6, dan C8, 100% hasil tangkapan betina rajungan tidak sedang membawa telur (NBF). Rajungan NBF ini ditangkap pada konsentrasi MPT kategori rendah dan kategori sedang. Di area lain ditemukan betina yang membawa telur dengan persentasi yang beragam dari 10% hingga 75%.

Gambar 24. Persentasi Hasil Tangkapan periode bulan Oktober-Desember 2015 (musim peralihan 2) (n=220)

BEF NBF

kelas 1 : 7,7 – 10,57 cm kelas 2 : 10,58 – 13,45 cm kelas 3 : 13,46 – 16,3 cm

(53)

35

(a) Lebar karapas rajungan (cm)

(54)

36

(c) Nisbah kelamin rajungan

(d) Perbandingan BEF dan NBF

Gambar 25. Distribusi hasil tangkapan rajungan berdasarkan sebaran konsentrasi MPT citra Landsat-OLI di musim Timur – Barat 2015 :

(55)

37

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil analisis kesesuaian lokasi penangkapan rajungan berdasarkan hasil survei lapangan (mewakili musim Timur 2015) terdiri dari 3 kategori kesesuaian yaitu daerah sangat sesuai (SS), daerah sesuai (S) dan daerah tidak sesuai (N).

Dari 14 area tangkapan rajungan, hasil tangkapan menyebar di semua kategori kesesuain. 5 area penangkapan berada pada kategori SS, 8 area penangkapan berada pada kategori S dan 1 area penangkapan berada pada kategori N. Hasil tangkapan di seluruh daerah kesesuian terdiri dari berbagai ukuran, bobot, nisbah kelamin dan kondisi telur.

Analisis Komponen Utama (AKU) mereduksi parameter berdasarkan nilai akar ciri (eigenvector) sehingga berdasarkan biplot diketahui 2 komponen pokok yang berpengaruh bagi kelangsungan rajungan di daerah perairan Pulau Lancang dan sekitarnya yakni fosfat dan MPT.

Hasil pemetaan sebaran konsentrasi MPT citra satelit terhadap hasil tangkapan di musim peralihan 2 tahun 2015, menghasilkan sebaran rajungan berdasarkan ukuran. Rajungan banyak ditangkap pada konsentrasi MPT rendah (87-102 mg/l) dan sedang (102-116 mg/l) yang didominasi oleh MPT jenis

biogeneous. Rajungan tidak ditangkap di daerah pada konsentrasi MPT tinggi (116-277 mg/l) karena MPT di dominasi oleh jenis lithogeneous, hidrogeneous

dan cosmogeneous.

Saran

Perlu dilakukan analisis hasil tangkapan pada musim Barat dan musim peralihan 2 tahun 2015, sehingga diperoleh informasi geospasial rajungan selama kurun waktu satu tahun.

Masih perlunya pengembangan lebih lanjut bidang teknologi pengolahan data citra satelit, dimana belum semua parameter oseanografi dapat diestimasi dari citra setelit seperti halnya fosfat.

Meskipun demikian, ini merupakan prospek bagi perkembangan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh citra satelit, khususnya untuk pendugaan daerah potensial penangkapan rajungan. Apabila semua parameter yang berpengaruh terhadap kehidupan rajungan, bisa di estimasi dengan bantuan teknologi penginderaan jauh, maka tidak diperlukan banyak data yang diambil langsung di lapangan (insitu). Hal ini akan memerlukan waktu yang lebih singkat, biaya yang rendah serta mendukung program geospasial yang digulirkan pemerintah dalam upaya percepatan pembangunan nasional.

Gambar

Gambar 1. Kerangka pikir dan alur penelitian
Gambar 2. Lokasi Penelitian dan stasiun sampling kualitas air
Tabel 1. Kategori, jenis dan sumber data Kategori Variabel data
Gambar 9. Sebaran kecerahan di perairan Pulau Lancang di bulan Juni 2015
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Zachari Abdallah 2018 dengan judul “Pengaruh Nilai Tukar Rupiah Terhadap Return Saham dengan Return On Asset sebagai Variabel Intervening Pada

Tujuan Penelitian ini 1) untuk mengidentifikasi jenis kesulitan belajar siswa 2) untuk mengetahui faktor penyebab kesulitan belajar siswa 3) untuk mengetahui

Dalam tugas akhir ini akan dilakukan analisis tentang free span pada pipa untuk mendapatkan panjang free span maksimal yang diizinkan untuk kondisi operasi,

Kegiatan ini melibatkan 68 mahasiswa dari berbagai program studi dan dibimbing oleh tiga dosen pembimbing lapangan (DPL). Kegiatan dimulai pada bulan Agustus hingga Desember

kholwat mereka yang memisahkan diri dari kehudapan masyarat, ia mencari jalan suci dengan menyendiri, maka pada zaman modern ini, tasawuf tidak lah mereka yang

Motivasi meningkatkan Kinerja Karyawan sebesar 0,282 dengan asumsi variabel lainnya konstan, dimana jika Gaya Kepemimpinan meningkat satu satuan, maka Kinerja Karyawan

Hasil belajar peserta didik pada kompetensi afektif diperoleh melalui lembar observasi yang di isi oleh observer pada pelaksanaan pembelajaran matematika

Pada tahun ketiga program IbPE, UKM Lestari Jaya memiliki jumlah tenaga kerja sebanyak 25 orang, hal ini menunjukkan peningkatan yang signifikan sebesar 150 persen dibandingkan