• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sel mast yang ditemukan pada kedua jaringan berbentuk bulat dan berwarna ungu. Hal ini sesuai yang diutarakan Tizard (1987) bahwa sel mast adalah sel yang besar, bulat dengan ukuran 15-20 µm dan terlihat berwarna metakromatik dengan zat warna Toluidin blue. Warna tersebut disebabkan adanya glykosaminoglikan (heparin atau kondroitin sulphate) pada granula sel mast (Choliq et al. 2002).

Sel mast berbeda dengan basofil, sel mast memiliki inti yang tidak bersegmen (Choliq 2002) dan sitoplasma yang padat granula besar (Tizard 1987; Anonim 2007c), sedangkan basofil memiliki inti yang bersegmen (Bookbinder 1992) dan granul yang tidak banyak di dalam sitoplasma (Anonim 2007c).

Gambar 3 Sel mast. Granul metakromatik. Pewarnaan Toluidin blue, pembesaran 40x.

Pada kulit dan peritoneum, sel mast yang ditemukan adalah sel mast tipe jaringan ikat. Pada Gambar 4 dan 5, sel mast pada kulit yang diamati lebih banyak ditemukan pada daerah dermis dan di sekitar pembuluh darah. Hal ini sesuai yang diutarakan Runnels (1965) dan Banks (1986) dalam Dianawati (2002) bahwa sel mast tersebar di seluruh jaringan ikat tubuh dan biasanya terdapat di sekitar pembuluh darah kecil. Sebagian besar sel mast terdapat dalam dermis dan tunika propria dari saluran pencernaan. Sel mast pada kulit berada mengelilingi pembuluh darah di dermis (Curran 1985).

20 µ Inti sel mast

Pada Gambar 4, dapat dilihat pada kelompok non-diabetes sebaran sel mast lebih banyak ditemukan pada kelompok kontrol. Sedangkan pada Gambar 5, kelompok diabetes tanpa pemberian vitamin E memiliki sebaran sel mast lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan vitamin E.

Sebaran sel mast ya ng diwarnai dengan Toluidin blue dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. A=kelompok kontrol dan B=kelompok vitamin E. Populasi pada kelompok A > kelompok B. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x.

Gambar 5 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. C=kelompok STZ dan D=kelompok STZ+vitamin E. Populasi pada kelompok C > kelompok D. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x.

Pada Gambar 6, sel mast yang diamati pada peritoneum berada pada jaringan ikat dan mengitari pembuluh darah. Hal ini sesuai yang diutarakan Keller (1966) bahwa sel mast umumnya ditemukan di jaringan ikat dan sekitar pembuluh

Sel mast

Sel mast

A B

Sel mast Sel mast

darah. Sel mast yang ditemukan di peritone um jika dibandingkan dengan sebaran sel mast pada kulit lebih sedikit. Hal ini dapat dimungkinkan karena peritoneum disusun oleh lapisan mesothelium yang tersusun dari lapisan tipis jaringan ikat (Bowen 2006) dan kurang mendapat vaskularisasi darah (Bertoli et al. 2003).

Gambar 6 Sebaran sel mast pada peritoneum kelompok vitamin E (B) yang tersebar pada jaringan ikat. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 20x.

Vaskularisasi pada peritoneum yang lebih sedikit dibandingkan kulit serta ketebalan jaringan ikat menentukan jumlah sebaran sel mast pada kedua sampel tersebut. Sebaran sel mast lebih banyak ditemukan di daerah dermis kulit, sedangkan pada peritoneum sebaran sel mast lebih sedikit.

Sel mast yang ditemukan di dalam jaringan merupakan bentuk yang sudah dewasa, karena menurut Anonim (2007c) sel mast yang meninggalkan sumsum tulang dan bersirkulasi di dalam pembuluh darah dalam bentuk belum dewasa, hanya dalam bentuk dewasa yang berada di dalam jaringan.

Peningkatan jumlah sel mast merupakan salah satu indikator terjadinya reaksi alergi dan anafilaksis (Tizard 1987; Anonim 2007c). Pada saat alergi sel mast tetap dalam keadaan inaktif, sampai antigen berikatan dengan dua atau lebih IgE (Anonim 2007c). Proses degranulasi terjadi setelah dua atau lebih IgE yang telah bergabung dengan sel mast, menyebabkan saluran dalam sitoplasma membuka dan membiarkan cairan ekstraseluler merembes masuk kedalam granula atau dengan cara mendorong granula dari dalam sel ke lingkungan ekstraseluler (Tizard 1987). Sel mast 30 µ B Pembuluh darah Sel mast 30 µ B

Zat- zat yang terkandung dalam granula-granula sel mast tersebut adalah heparin, histamin, serotonin, leukotrien, kalikrein, Faktor Kemotaktis Eosinofil dari Anafilaksis (FKE-A) dan Faktor Kemotaksis Netrofil dari Anafilaksis (FKN-A). Histamin, kalikrein dan leukotrien yang dilepaskan menyebabkan bertambahnya permeabilitas pembuluh darah dan kontraksi urat daging licin. Serotonin menyebabkan spasmus pembuluh darah (Tizard 1987). Pelebaran pembuluh darah menyebabkan kulit tampak kemerahan, panas dan terjadi edema (Anonim 2007c). Heparin dalam granula sel mast merupakan antikoagulan darah. Faktor Kemotaktis Eosinofil dari Anafilaksis (FKE-A) dan Faktor Kemotaksis Netrofil (FKN-A) merupakan zat kemotaksis yang kuat untuk eosinofil dan neutrofil (Tizard 1987).

Neutrofil berespons terhadap infeksi dan mampu keluar dari pembuluh darah untuk membersihkan nekrosa jaringan. Neutrofil memiliki butir spesifik mengandung laktoferin dan lysozyme yang bekerja sama dalam menghancurkan benda asing yang difagositosis. Sedangkan eosinofil berperan aktif dalam mengatur alergi akut dan proses pembarahan dan dapat memperbesar koagulasi dan fibrinolisis (Dellmann 1992).

Kulit

Hasil pengamatan terhadap distribusi jumlah sel mast pada kulit disajikan secara lengkap pada Tabel 2.

Tabel 2 Populasi sel mast pada kulit tikus putih

Kelompok Perlakuan Jumlah sel mast Non-diabetes Kontrol 16.370±1.226ab Vitamin E 13.443±3.979b Diabetes STZ 22.813±3.446a

STZ+vitamin E 19.373±2.143ab Keterangan : Superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata/signifikan (p<0.05)

Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Tabel 2 dapat dilihat adanya peningkatan jumlah sel mast pada kelompok diabetes tanpa vitamin E sebesar 22.813±3.446a dibandingkan dengan kontrol 16.370±1.226ab. Berdasarkan

uji Duncan peningkatan yang terjadi memiliki perbedaan yang signifikan, sedangkan pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E peningkatan tidak signifikan dibandingkan dengan kontrol. Namun jika dibandingkan dengan populasi sel mast pada kelompok diabetes terjadi penurunan yang signifikan. Hal ini berarti vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada tikus model diabetes sampai mendekati jumlah sel mast pada kelompok kontrol.

Tingkat penurunan jumlah sel mast secara jelas dapat dilihat pada Gambar 7. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa tikus yang diberi vitamin E mempunyai jumlah sel mast paling rendah (13.443), diikuti kontrol (16.370), STZ+vitamin E (19.373) dan STZ (22.813).

Gambar 7 Besar populasi sel mast pada kulit setelah pemberian vitamin E

Kelompok non-diabetes

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa kelompok non-diabetes yakni kelompok vitamin E (tikus yang diberi vitamin E secara peroral) mempunyai jumlah sel mast lebih rendah (13.443) dibandingkan kontrol (16.370). Penurunan jumlah sel mast yang terjadi pada kulit kelompok non-diabetes sebesar 17.880%. Selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui tingkat perbedaan yang ada. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pada kelompok tikus non-diabetes yang diberikan vitamin E memberikan perbedaan yang nyata terhadap kontrol. Hal ini berarti pemberian vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada kulit tikus non-diabetes dengan nyata.

perlakuan 0 5 10 15 20 25

kontrol vitamin E STZ STZ dan

vitamin E kulit 22.813 13.443 16.370 Jumlah sel mast 19.373

Kelompok diabetes

Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Gambar 7 dapat diketahui kelompok tikus diabetes yang memiliki jumlah sel mast lebih rendah adalah kelompok diabetes yang diberi vitamin E (19.373). Sedangkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E memiliki jumlah sel mast paling banyak (22.813). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin E dapat dengan baik menurunkan jumlah sel mast pada tikus model diabetes. Penurunan yang terjadi pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E dibandingkan kelompok diabetes tanpa vitamin E sebesar 15.079%. Berdasarkan hasil uji beda Duncan menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel mast pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin E selama 19 hari setelah adaptasi secara peroral dapat menurunkan jumlah sel mast pada kulit tikus model diabetes.

Peritoneum

Hasil pengamatan terhadap distribusi jumlah sel mast pada peritoneum disajikan secara lengkap pada Tabel 3.

Tabel 3 Populasi jumlah sel mast pada peritoneum tikus putih

Kelompok Perlakuan Jumlah sel mast Non-diabetes Kontrol 6.297±2.357b Vitamin E 5.113±1.866b Diabetes STZ 12.853±4.270a STZ+vitamin E 10.150±1.140ab Keterangan : Superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata/signifikan (p<0.05)

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada kelompok diabetes ada peningkatan jumlah sel mast sebesar 12.853±4.270a dibandingkan dengan kontrol 6.297±2.357b. Uji Duncan menunjukkan bahwa peningkatan yang terjadi memiliki perbedaan yang signifikan. Kemudian jika kelompok diabetes tanpa vitamin E dibandingkan dengan kelompok diabetes dengan vitamin E, terjadi penurunan yang signifikan. Namun pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E jika

dibandingkan dengan kontrol menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini berarti vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada tikus model diabetes, namun belum sampai mendekati jumlah sel mast pada kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan setelah pemberian vitamin E, distribusi vitamin E sebagian besar lebih banyak ditemukan di kulit (Combs 1992).

Hasil penghitungan jumlah sel mast pada peritoneum dalam bentuk grafik disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa kelompok tikus yang diberi vitamin E mempunyai jumlah sel mast paling rendah (5.113), diikuti kontrol (6.297), STZ+vitamin E (10.150) dan STZ (12.853).

Gambar 8 Besar populasi sel mast pada peritoneum setelah pemberian vitamin E

Kelompok non-diabetes

Pada Gambar 8 dapat ditunjukkan bahwa kelompok non-diabetes yang diberi vitamin E mempunyai jumlah sel mast lebih rendah (5.113) dibandingkan kontrol (6.297). Atau dengan kata lain, terjadi penurunan jumlah sel mast pada peritoneum sebesar 18.803% dari 6.297 (kontrol) menjadi 5.113 (vitamin E). Penurunan yang terjadi diuji dengan Duncan untuk mengetahui tingkat perbedaan yang ada. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok non-diabetes yang diberi vitamin E tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kontrol (Tabel 3), hal ini berarti pemberian vitamin E tidak begitu nyata pengaruhnya terhadap sebaran sel mast pada peritoneum tikus non-diabetes.

0 2 4 6 8 10 12 14

kontrol vitamin E STZ STZ dan vitamin E peritoneum Jumlah sel mast 6.297 5.113 12.853 10.150 perlakuan

Kelompok diabetes

Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Gambar 8 dapat diketahui kelompok tikus diabetes yang memiliki jumlah sel mast lebih rendah adalah kelompok diabetes yang diberi vitamin E (10.150). Sedangkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E memiliki jumlah sel mast paling banyak (12.853). Hal ini menunjukkan terjadi penurunan pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E dibandingkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E yakni sebesar 21.030%. Berdasarkan uji beda Duncan menunjukkan bahwa penurunan jumlah sel mast yang terjadi pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan kelompok diabetes tanpa pemberian vitmin E (Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pada tikus diabetes yang diinduksi STZ yang disertai dengan pemberian vitamin E selama 19 hari setelah adaptasi secara peroral dapat menurunkan jumlah sel mast pada peritoneum tikus model diabetes.

Perbandingan distribusi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus dapat dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa distribusi sel mast lebih banyak ditemukan pada jaringan kulit dibandingkan dengan peritoneum.

Gambar 9 Populasi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus

Kulit memiliki sebaran jumlah sel mast lebih banyak dibandingkan peritoneum karena kulit memiliki jaringan ikat dan vaskularisasi pembuluh darah lebih banyak dibandingkan peritoneum. Hal ini berarti posisi keberadaan sel mast

0 5 10 15 20 25

kontrol vitamin E STZ STZ dan

vitamin E kulit peritoneum perlakuan 16.370 13.443 19.373 6.297 5.113 12.853 10.150 Jumlah sel mast 22.813

pada tubuh tikus menentukan hasil sebaran jumlah sel mast pada kedua sampel tersebut.

Posisi sel mast umumnya berada di sekitar pembuluh darah, jaringan ikat, di dalam interstitium myokardium, di antara sel lemak, di peritoneum dan di thymus (Harris 1990; Stammler 1921; Riley 1959; Benditt and Lagunoff 1963 dalam Keller 1966). Menurut Baker (1979), otot, kulit dan tulang tikus mendapat distribusi darah sebesar 47%, kemudian menurut Bowen (2006) peritoneum tersusun dari membran tipis yang membatasi abdominal dan ruang pelvis serta menutupi banyak organ viscera. Peritoneum disusun oleh lapisan mesothelium yang tersusun dari lapisan tipis jaringan ikat. Banyaknya jumlah vaskularisasi pada kulit dan ketebalan jaringan ikat dimungkinkan menentukan jumlah sebaran sel mast pada kedua sampel tersebut.

Banyaknya jumlah sel mast pada tikus diabetes yang diinduksi dengan STZ kemungkinan berhubungan dengan reaksi alergi yang terjadi pada tikus diabetes. Reaksi alergi terjadi dimungkinkan karena radikal bebas pada penderita DM meningkat. Meningkatnya radikal bebas dapat berasal dari hasil samping metabolisme (Wresdiyati et al. 2002) sebagai upaya tubuh untuk mencukupi energi. Sumber energi yang digunakan sebagai pengganti glukosa adalah lemak. Proses pemecahan lemak (lipolisis) berlangsung di mitokondria dan peroksisom melalui jalur ß–oksidasi dan sitokrom P-450. Proses pemecahan lemak selain menghasilkan energi juga menghasilkan produk samping yaitu radikal bebas (Orellana et al. 1992 dalam Zulfanedi 2006). Radikal bebas juga dapat dihasilkan STZ berupa radikal metil yang dapat menyisipkan gugus alkil pada berbagai macam komponen seluler seperti DNA, protein atau bereaksi dengan H2O membentuk metanol (Ling li 2001 dalam Shalahuddin 2005).

Kehadiran radikal bebas yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran yang berefek langsung terhadap kerusakan membran sel. Kerusakan membran sel dapat berlanjut menjadi nekrosa (Halliwell and Gutteridge 1990 dalam Wresdiyati dan Astawan 2004). Nekrosa massive juga terjadi pada sel B pankreas yang disebabkan oleh STZ. STZ menghasilkan donor nitrit oksida (NO) yang menyebabkan kerusakan sel pulau langerhans pankreas dan menghambat siklus Krebs, akibatnya konsumsi oksigen berkurang, sehingga

terjadi pembatasan produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel B pankreas (Gunnarsson et al. 1974 dalam Coorperstein and Watkins 1981).

Kematian sel/nekrosa yang terjadi pada beberapa organ menyebabkan reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi yang terjadi menyebabkan peningkatan jumlah sel mast. Menurut Katz et al. (1985) yang dalam Choliq (2002) dan Anonim (2007b), sel mast berperan dalam mengatur respon inflamasi, sehingga pada tikus diabetes yang diinduksi dengan STZ terjadi peningkatan jumlah sel mast.

Pada kulit dan peritoneum tikus yang diberi vitamin E terjadi penurunan jumlah sel mast. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan fungsi vitamin E sebagai antioxidant (Guyton 1961; Baker 1979; Hanim 1996; Savitri 1999), proteksi terhadap oxyradikal (Comb 1992) dan antitoksisitas (Hanim 1996) sehingga dapat mengurangi efek sitotoksik dari N-methylnitroso dan jumlah radikal bebas (Ling li 2001 dalam Shalahuddin 2005) serta melindungi sel dari radikal bebas (Moreno et al. 2003).

Berkurangnya radikal bebas setelah pemberian vitamin E dapat mengurangi peroksidasi unit asam lemak tidak jenuh dan fosfolipid membran plasma sel (Linder 1991 dalam Hanim 1996; Moreno et al. 2003). Berkurangnya reaksi peroksidasi dapat mencegah terjadinya nekrosa yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi. Berkurangnya reaksi inflamasi pada tikus akan mengurangi jumlah sel mast yang memiliki peran dalam mengatur proses inflamasi (Anonim 2007b).

Dokumen terkait