• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Sel Mast pada Kulit dan Peritoneum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus dengan Streptozotosin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi Sel Mast pada Kulit dan Peritoneum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus dengan Streptozotosin"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIBUSI SEL MAST PADA KULIT DAN PERITONEUM

TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

) MODEL DIABETES

MELITUS DENGAN STREPTOZOTOSIN

AHMAD NURHAKIM

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

” Sesun gguhn y a sesudah kesul i t an i t u ada kemudahan . Maka apabi l a kamu t el ah sel esai (dar i sesuat u ur usan ), ker j akan l ah den gan sun gguh-sun gguh (ur usan ) y an g l ai n .”

(Q. S. 94: 6-7)

” Sesun gguhn y a Al l ah, han y a pada si si -Ny a saj al ah pen get ahuan t en t an g har i ki amat ; dan Di a-l ah y an g men ur un kan huj an dan men get ahui apa y an g ada dal am r ahi m.

Dan t i ada seor an gpun y an g dapat men get ahui (den gan past i ) apa y an g akan di usahakan n y a besok. Dan t i ada seor an gpun y an g dapat men get ahui di bumi man a di a

akan mat i . Sesun gguhn y a Al l ah Maha Men get ahui l agi Maha Men gen al .” (Q. S. 31: 34)

(3)

AHMAD NURHAKIM. Distribusi Sel Mast pada Kulit dan Peritoneum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus dengan Streptozotosin. Dibimbing oleh ADI WINARTO.

Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia dan glukosuria (Hau & Hoosier 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sebaran sel-sel mast pada kulit dan peritoneum tikus model diabetes yang diinduksi dengan Streptozotosin (STZ), serta mengetahui korelasi antara pemberian vitamin E terhadap jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum tikus. Tikus Sprague-Dawley berjumlah 12 ekor yang dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu kelompok diabetes dan non-diabetes. Masing- masing kelompok besar dibagi menjadi 2 sub kelompok yakni kelompok perlakuan dengan vitamin E dan non-vitamin E berjumlah 3 ekor. Tikus diadaptasikan selama satu minggu, kemudian induksi STZ diberikan intraperitoneal 50 mg/kg BB pada hari ke-8. Pada hari yang sama kelompok vitamin E diberikan peroral 80 IU/ekor setiap hari selama 19 hari. Pada hari ke-27 dilakukan pengambilan sampel kulit dan peritoneum, pengamatan sebaran sel mast dilakukan dengan mikroskop cahaya pada sediaan yang diwarnai dengan Toluidin blue. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pemberian vitamin E pada kelompok diabetes terjadi penurunan jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum secara berturut-turut menjadi 19.373±2.143ab dan 10.150±1.140ab. Jumlah ini secara statistik jika dibandingkan dengan kontrol tidak berbeda nyata pada kulit, sedangkan pada peritoneum hasil penurunan yang ada masih jauh di atas nilai kontrol. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada kulit tetapi tidak pada peritoneum.

DISTRIBUSI SEL MAST PADA KULIT DAN PERITONEUM

TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

) MODEL DIABETES

(4)

AHMAD NURHAKIM

B04103092

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007

Judul Skripsi : Distribusi Sel Mast pada Kulit dan Peritoneum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus dengan Streptozotosin

(5)

Disetujui

Diketahui

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Dosen Pembimbing

drh. Adi Winarto, Ph. D NIP. 131 578 835

Wakil Dekan FKH IPB

(6)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 21 Januari 1986 dari

pasangan Bapak Aidarus Zakaria dan Ibu Darnailis. Penulis merupakan anak

keenam dari enam bersaudara.

Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1991-1996 di SDN III

Makarti Jaya, Palembang. Penulis pindah sekolah ke SDN IV Ciasem, Subang dan

tamat pada tahun 1997. Tahun 1997 sampai dengan 2000 penulis melanjutkan

sekolah di SLTPN III Ciasem, kemudian melanjutkan ke SMUN I Pamanukan

dari tahun 2000 sampai 2003. Penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Institut

Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) pada tahun 2003

melalui jalar USMI.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi intra dan ekstra

kampus. Organisasi intra kampus antara lain : Dewan Perwakilan Mahasiswa

Keluarga Mahasis wa (KM) FKH (2003-2004, 2006-2007), Korps Sukarela Palang

Merah Indonesia IPB Unit I (2003-2007), Badan Eksekutif Mahasiswa KM FKH

(2004-2005), Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2004-2005), Himpunan

Minat Profesi Satwa Liar (2005-2006), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan

Indonesia (2006-2007). Sedangkan organisasi ekstra kampus yang diikuti antara

lain : fgW Student Forum (2005-2007). Selain itu penulis juga pernah menjadi

asisten praktikum Anatomi Veteriner di Laboratorium Anatomi FKH IPB pada

saat semester 5 dan semester 8.

(7)

Alhamdulillah, segala puji milik Allah SWT yang telah memberikan

nikmat dalam kehidupan, berkat petunjuk dan ridho-Nya maka skripsi ini selesai

ditulis. Shalawat dan salam teruntuk Nabi Allah Muhammad SAW, keluarganya,

sahabatnya dan para pejuang yang tidak kenal lelah menegakkan kebenaran

sampai akhir zaman.

Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan berbagai pihak.

Penghargaan dan tarima kasih kepada : drh. Adi Winarto, Ph. D, sebagai dosen

pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik atas kesabaran, semangat

dan waktu yang telah diluangkan dalam pembuatan skripsi ini. Keluargaku

tersayang Ayahanda AM. Aidarus Zakaria, BA (Alm), ibunda Darnailis, kakanda

Hossa Hennida, Hilman Fathoni, Melly Hamelina, Hylma Shofiah, Helmi

Wirahmi atas dukungan do’a, motivasi, materi dan kasih sayang yang tulus

diberikan. Staf Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi.

Tempat bernaungku : Pondok HAMAS. Teman-teman seperjuangan Dewan

Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB

(Vando Dariksa, Elia Rulita, Ani Siti, Kukuh Diki Kembara, Fitriawati, Adriyan,

M. Ikhsan, A. Syifa Siddik, Ferdi, Afidz, Echi). Gymnolaemata 40’, angkatan 36,

37, GASTRO’ 38, serta adik-adik 41 dan 42 yang menemani perjuangan selama 4

tahun di kampus ungu.

Penulis sangat menyadari kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh

karena itu penulis memohon maaf jika ada kesalahan dalam proses pembuatannya.

Semoga karya tulis ini bermanfaat. Amin.

Bogor, Agustus 2007

Ahmad Nurhakim

DAFTAR ISI

(8)
(9)

1 Klasifikasi taksonomi tikus ... 6

2 Populasi sel mast pada kulit tikus putih ... 18

3 Populasi jumlah sel mast pada peritoneum tikus putih ... 20

DAFTAR GAMBAR

(10)

1 Struktur Streptozotosin ……...…...… 7

2 Sel mast (Anonim 2007c) ... 10

3 Sel mast. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 40x ... 15

4 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit.

A=kelompok kontrol dan B=kelompok vitamin E. Populasi pada kelompok A > kelompok B.

Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x ... 16

5 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit.

C=kelompok STZ dan D=kelompok STZ+vitamin E. Populasi pada kelompok C > kelompok D.

Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x ... 16 6 Sebaran sel mast pada peritoneum kelompok vitamin E (B)

yang tersebar pada jaringan ikat. Pewarnaan Toluidin blue

pembesaran 20x ... 17

7 Besar populasi sel mast pada kulit setelah pemberian

vitamin E ... 19

8 Besar populasi sel mast pada peritoneum setelah pemberian

vitamin E ... 21

9 Populasi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus ... 22

(11)

DISTRIBUSI SEL MAST PADA KULIT DAN PERITONEUM

TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

) MODEL DIABETES

MELITUS DENGAN STREPTOZOTOSIN

AHMAD NURHAKIM

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

” Sesun gguhn y a sesudah kesul i t an i t u ada kemudahan . Maka apabi l a kamu t el ah sel esai (dar i sesuat u ur usan ), ker j akan l ah den gan sun gguh-sun gguh (ur usan ) y an g l ai n .”

(Q. S. 94: 6-7)

” Sesun gguhn y a Al l ah, han y a pada si si -Ny a saj al ah pen get ahuan t en t an g har i ki amat ; dan Di a-l ah y an g men ur un kan huj an dan men get ahui apa y an g ada dal am r ahi m.

Dan t i ada seor an gpun y an g dapat men get ahui (den gan past i ) apa y an g akan di usahakan n y a besok. Dan t i ada seor an gpun y an g dapat men get ahui di bumi man a di a

akan mat i . Sesun gguhn y a Al l ah Maha Men get ahui l agi Maha Men gen al .” (Q. S. 31: 34)

(13)

AHMAD NURHAKIM. Distribusi Sel Mast pada Kulit dan Peritoneum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus dengan Streptozotosin. Dibimbing oleh ADI WINARTO.

Diabetes melitus adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia dan glukosuria (Hau & Hoosier 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sebaran sel-sel mast pada kulit dan peritoneum tikus model diabetes yang diinduksi dengan Streptozotosin (STZ), serta mengetahui korelasi antara pemberian vitamin E terhadap jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum tikus. Tikus Sprague-Dawley berjumlah 12 ekor yang dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu kelompok diabetes dan non-diabetes. Masing- masing kelompok besar dibagi menjadi 2 sub kelompok yakni kelompok perlakuan dengan vitamin E dan non-vitamin E berjumlah 3 ekor. Tikus diadaptasikan selama satu minggu, kemudian induksi STZ diberikan intraperitoneal 50 mg/kg BB pada hari ke-8. Pada hari yang sama kelompok vitamin E diberikan peroral 80 IU/ekor setiap hari selama 19 hari. Pada hari ke-27 dilakukan pengambilan sampel kulit dan peritoneum, pengamatan sebaran sel mast dilakukan dengan mikroskop cahaya pada sediaan yang diwarnai dengan Toluidin blue. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah pemberian vitamin E pada kelompok diabetes terjadi penurunan jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum secara berturut-turut menjadi 19.373±2.143ab dan 10.150±1.140ab. Jumlah ini secara statistik jika dibandingkan dengan kontrol tidak berbeda nyata pada kulit, sedangkan pada peritoneum hasil penurunan yang ada masih jauh di atas nilai kontrol. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada kulit tetapi tidak pada peritoneum.

DISTRIBUSI SEL MAST PADA KULIT DAN PERITONEUM

TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

) MODEL DIABETES

(14)

AHMAD NURHAKIM

B04103092

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007

Judul Skripsi : Distribusi Sel Mast pada Kulit dan Peritoneum Tikus Putih (Rattus norvegicus) Model Diabetes Melitus dengan Streptozotosin

(15)

Disetujui

Diketahui

Tanggal Lulus :

RIWAYAT HIDUP

Dosen Pembimbing

drh. Adi Winarto, Ph. D NIP. 131 578 835

Wakil Dekan FKH IPB

(16)

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 21 Januari 1986 dari

pasangan Bapak Aidarus Zakaria dan Ibu Darnailis. Penulis merupakan anak

keenam dari enam bersaudara.

Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1991-1996 di SDN III

Makarti Jaya, Palembang. Penulis pindah sekolah ke SDN IV Ciasem, Subang dan

tamat pada tahun 1997. Tahun 1997 sampai dengan 2000 penulis melanjutkan

sekolah di SLTPN III Ciasem, kemudian melanjutkan ke SMUN I Pamanukan

dari tahun 2000 sampai 2003. Penulis diterima di Perguruan Tinggi Negeri Institut

Pertanian Bogor (IPB) Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) pada tahun 2003

melalui jalar USMI.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi intra dan ekstra

kampus. Organisasi intra kampus antara lain : Dewan Perwakilan Mahasiswa

Keluarga Mahasis wa (KM) FKH (2003-2004, 2006-2007), Korps Sukarela Palang

Merah Indonesia IPB Unit I (2003-2007), Badan Eksekutif Mahasiswa KM FKH

(2004-2005), Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2004-2005), Himpunan

Minat Profesi Satwa Liar (2005-2006), Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan

Indonesia (2006-2007). Sedangkan organisasi ekstra kampus yang diikuti antara

lain : fgW Student Forum (2005-2007). Selain itu penulis juga pernah menjadi

asisten praktikum Anatomi Veteriner di Laboratorium Anatomi FKH IPB pada

saat semester 5 dan semester 8.

(17)

Alhamdulillah, segala puji milik Allah SWT yang telah memberikan

nikmat dalam kehidupan, berkat petunjuk dan ridho-Nya maka skripsi ini selesai

ditulis. Shalawat dan salam teruntuk Nabi Allah Muhammad SAW, keluarganya,

sahabatnya dan para pejuang yang tidak kenal lelah menegakkan kebenaran

sampai akhir zaman.

Skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan berbagai pihak.

Penghargaan dan tarima kasih kepada : drh. Adi Winarto, Ph. D, sebagai dosen

pembimbing skripsi sekaligus pembimbing akademik atas kesabaran, semangat

dan waktu yang telah diluangkan dalam pembuatan skripsi ini. Keluargaku

tersayang Ayahanda AM. Aidarus Zakaria, BA (Alm), ibunda Darnailis, kakanda

Hossa Hennida, Hilman Fathoni, Melly Hamelina, Hylma Shofiah, Helmi

Wirahmi atas dukungan do’a, motivasi, materi dan kasih sayang yang tulus

diberikan. Staf Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi.

Tempat bernaungku : Pondok HAMAS. Teman-teman seperjuangan Dewan

Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB

(Vando Dariksa, Elia Rulita, Ani Siti, Kukuh Diki Kembara, Fitriawati, Adriyan,

M. Ikhsan, A. Syifa Siddik, Ferdi, Afidz, Echi). Gymnolaemata 40’, angkatan 36,

37, GASTRO’ 38, serta adik-adik 41 dan 42 yang menemani perjuangan selama 4

tahun di kampus ungu.

Penulis sangat menyadari kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh

karena itu penulis memohon maaf jika ada kesalahan dalam proses pembuatannya.

Semoga karya tulis ini bermanfaat. Amin.

Bogor, Agustus 2007

Ahmad Nurhakim

DAFTAR ISI

(18)
(19)

1 Klasifikasi taksonomi tikus ... 6

2 Populasi sel mast pada kulit tikus putih ... 18

3 Populasi jumlah sel mast pada peritoneum tikus putih ... 20

DAFTAR GAMBAR

(20)

1 Struktur Streptozotosin ……...…...… 7

2 Sel mast (Anonim 2007c) ... 10

3 Sel mast. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 40x ... 15

4 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit.

A=kelompok kontrol dan B=kelompok vitamin E. Populasi pada kelompok A > kelompok B.

Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x ... 16

5 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit.

C=kelompok STZ dan D=kelompok STZ+vitamin E. Populasi pada kelompok C > kelompok D.

Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x ... 16 6 Sebaran sel mast pada peritoneum kelompok vitamin E (B)

yang tersebar pada jaringan ikat. Pewarnaan Toluidin blue

pembesaran 20x ... 17

7 Besar populasi sel mast pada kulit setelah pemberian

vitamin E ... 19

8 Besar populasi sel mast pada peritoneum setelah pemberian

vitamin E ... 21

9 Populasi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus ... 22

(21)

Halama n

1 Prosedur pembuatan preparat histologi ... 31

2 Tabel pengamatan jumlah sel mast ... 34

3 Rata-rata jumlah sel mast pada kulit ... 36

4 Rata-rata jumlah sel mast pada peritoneum ... 37

(22)

Latar Belakang

Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu keadaan dimana kadar gula dalam

darah meningkat dan di dalam urin/kencing ditemukan gula. DM mendapat gelar

“The silent killer” karena komplikasi yang dapat ditimbulkannya dan hingga kini

masih belum tuntas penanganannya. Komplikasi akut yang disebabkan oleh

terganggunya proses metabolisme karbohidrat sehingga menyebabkan kadar gula

darah tinggi atau sangat rendah dan dapat timbul koma diabetikum. Apabila tidak

segera ditolong dapat menimbulkan kematian. Komplikasi kronis (menahun)

disebabkan timbulnya kerusakan pembuluh darah besar dan kecil pada organ

tubuh, ana filaksis dan rontoknya bulu rambut (botak) (Dalimunthe 2004).

Pada penderita DM (hiperglikemia) sering ditemukan adanya reaksi

anafilaksis atau alergi yaitu berupa timbulnya gatal- gatal pada badan yang

berkorelasi erat dengan sel mast. Pada saat ini belum banyak dilakukan penelitian

yang terkait dengan adanya ganguan pada pertahanan perifer, sehingga perlu

dilakukan penelitian untuk mengetahui adanya korelasi distribusi sel mast pada

penderita DM yang diinduksi dengan Streptozotosin (STZ) terhadap sistem

pertahan perifer. STZ yang digunakan merupakan senyawa toksin dari

Streptomyces achromogenes (Herr et al. 1967 dalam Cooperstein 1981) yang

bekerja secara spesifik merusak sel B pankreas (Cooperstein et al. 1981; Ganong

2003).

Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sebaran sel mast pada kulit dan

peritoneum tikus model diabetes ya ng diinduksi dengan STZ, serta mengetahui

korelasi antara pemberian vitamin E terhadap jumlah sel mast pada kulit dan

peritoneum tikus

Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan adanya korelasi yang erat

antara penderita DM yang diinduksi dengan STZ dan sel mast yang selalu terlibat

dalam respon hipersensitivitas. Hasil dari penelitian diharapkan dapat menjadi

informasi ilmiah untuk dunia kedokteran sehingga dapat dilakukan tindakan

(23)

Hipotesa

1. Populasi sel mast pada kulit dan peritoneum meningkat pada kondisi

diabetes yang diinduksi dengan STZ.

2. Vitamin E dapat menurunkan jumlah sel mast pada kulit dan peritoneum.

TINJAUAN PUSTAKA

(24)

DM adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia

(kadar gula darah meningkat) dan glukosuria (Hau & Hoosier 2006). Diabetes

berasal dari bahasa Yunani yang berarti “bocor”, dengan gejala utama berupa

produksi urin yang berlebih. Pada tahun 1675 Thomas Willis menambahkan kata

melitus, sebuah kata yang berasal dari bahasa latin yang berarti “madu” karena

adanya rasa manis pada urin (Anonim 2007a). DM dalam bahasa Indonesia

dikenal sebagai “kencing manis” (Moehyi 1997 dalam Meylina 2005).

DM akibat defisiensi insulin merupakan keadaan patologik yang sering

terjadi dan bersifat serius pada manusia (Ganong 2002), dengan prevalensi

diabetes melitus di Indonesia sebesar 4,6% pada kelompok usia 15-74 tahun

(Moehyi 1997 dalam Meylina 2005). Menurut Mistra (2004), predikat diabetes

pada orang di Indonesia lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus

bertambah.

Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM menurut WHO tahun (1985) dalam Soehadi (1989) adala h:

1. Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) = DM Tipe 1

2. Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) = DM Tipe 2:

a. Obese

b. Non-Obese

Qustionable DM adalah suatu terminologi untuk menggambarkan

kondisi DM yang keadaannya meragukan antara DM Tipe 1 dan Tipe

2.

3. Malnutritional-Related-Diabetes-Mellitus (MRDM):

a. Fibro Calculous Pancreatic DM (FCPD)

b. Protein Deficient Pancreatic DM (PDPD)

4. Bentuk DM yang lain dengan kondisi-kondisi dan sindrom-sindrom

tertentu:

a. Penyakit pankreas

b. Penyakit dengan etiologi hormonal

c. DM karena bahan kimia atau obat-obatan

(25)

e. Sindrom-sindrom genetik tertentu

f. Lain- lain

Sebuah komisi internasional telah merekomendasikan bahwa DM tipe 1

dan tipe 2 menjadi nama primer (bukan IDDM dan NIDDM) (Ganong 2003).

Istilah DM tipe 1 (DMT1) menggantikan beberapa istilah terdahulu, termasuk

childhood-onset diabetes, juvenile diabetes dan insulin-dependent diabetes

(Anonim 2007a).

DMT1 disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi

autoimun sel-sel B di pulau langerhans pankreas (Ganong 2003; Anonim 2007a)

yang ditandai dengan waktu onset yang tiba-tiba, glukosuria, hiperglikemia,

hiperketonemia, ketonuria dan hipoinsulinemia. Umur tikus dimana kencing

manis didiagnosa biasanya antara 60 dan 120 hari. Data yang sering dilaporkan

rata-rata umur 90 hari. Hewan yang menderita DMT1 tidak gemuk, dengan

frekuensi sama pada kedua jenis kelamin (Hau 2006). DMT1 biasanya timbul

sebelum usia 40 tahun (diabetes juvenilis), penderita tidak kegemukan dan sering

dipersulit oleh ketosis serta asidosis dengan tingkat kejadian 10% penderita

diabetes mengalami DMT1 (Ganong 2003).

Berbagai faktor penentu etiopatogenesis DMT1, misalnya konstitusi

genetik, imunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta

endokrinologik (WHO 1985 dalam Soehadi 1989). Faktor imunologis yang dapat

menyebabkan IDDM menurut Ganong (2002) adala h terbentuknya antibodi

insulin akibat penyuntikan insulin dari satu spesies ke spesies yang lain dalam

jangka waktu lama.

Faktor genetik DMT1 dipengaruhi oleh gen. Gen pada regio HLA-D (DP,

DQ, DR) kromosom no. 6 berpengaruh terhadap respon imun (Immune Respons

Gene = Ir gene) yang dapat menyebabkan berkurangnya respon imun pada

penderita yang mempunyai predisposisi DM. Menurut Indriyati (2004), faktor

genetik/faktor keturunan DM merupakan penyakit terpaut kromosom seks.

Agen-agen yang dapat merusak sel beta misalnya virus- virus Coxsakie-B,

ensefalomiokarditis, mumps, mononukleosis infeksiosa dan rubella (Steinke dan

Taylo r 1973 dalam Soehadi 1989) melalui mekanisme infeksi sitolitik pada sel B

(26)

kimia misalnya alloxan, streptozotosin, serta berbagai toksin (Notkins 1985,

WHO 1985 dalam Soehadi 1989). Menurut Indriyati (2004), bahan toksik seperti

pyrinuron (rodentisida) dan bahan toksik dari casava/singkong yang mengandung

glikosida sianogenik dapat melepaskan sianida sehingga memberi efek toksik

pada jaringan tubuh. Agen-agen tersebut dapat merusak sel beta pankreas secara

langsung, atau secara tidak langsung melalui mekanisme imunologis.

Diabetes tipe 2 (DMT2) juga menggantikan beberapa istilah lama,

termasuk adult-onset diabetes, obesity-related diabetes dan non insulin dependent

diabetes. Beberapa sumber telah mendefinisikan diabetes tipe 3 sebagai diabetes

antara 1 dan 2 (Anonim 2007a). Diabetes tipe 2 lebih sering terjadi daripada tipe 1

(Ganong 2003, Buschard dan Thon 2003 dalam Hau 2006) dengan tingkat

kejadian 75% sampai 90% pada kasus DM. DMT2 dulu lebih sering terjadi pada

orang yang berusia diatas 45 tahun tetapi kini dapat terjadi di usia muda termasuk

anak-anak (Buschard dan Thon dalam Hau 2006).

DMT2 ditandai oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, pada

manusia terjadi pada usia diatas 40 tahun. Penderita yang menderita DMT2

mengalami kegemukan, jarang mengalami ketosis dan toleransi glukosa membaik

apabila dilakukan penurunan berat badan (Ganong 2003).

Pada penderita DM, glukosa tidak dapat digunakan oleh tubuh sehingga

tubuh akan melakukan pemecahan asam lemak yang berlangsung di mitokondria

dan peroksisom melalui jalur ß–oksidasi dan sitokrom P-450 untuk mendapatkan

energi. Produk samping dari oksidasi tersebut menghasilkan radikal bebas

(Orellana et al. 1992 dalam Zulfanedi 2006).

Tikus Putih sebagai Hewan Model

Hewan model DM adalah hewan laboratorium yang dalam hal tertentu

secara natural maupun artifisial memiliki respon, serta mempunyai patogenesis

ataupun patofisiologi yang sebagian atau seluruhnya mirip dengan DM pada

manusia (Widyastuti 2000).

Klasifikasi

Ellerman, Missonne, Morris dan Simpson dalam Baker et al. (1979)

(27)

Tabel 1 Klasifikasi taksonomi tikus:

Pemakaian tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai model banyak

dilakukan mengingat tikus ini mudah diperoleh. Menurut Hanim (1996) tikus

mempunyai sifat respon biologik dan adaptasi mendekati manusia. Tikus telah

diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan

yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian (Malole 1989).

Misalnya untuk melihat pengaruh vitamin E terhadap organ hati dan uterus tikus

betina yang diberi perlakuan natrium sakarin dan natrium siklamat yang dilakukan

oleh Hanim (1996).

Pembuatan Hewen Model

Untuk membuat model DM tipe 1 dengan menggunakan tikus ada

beberapa cara, yaitu dengan pankreatektomi, pemberian aloksan, streptozotosin

(STZ) atau toksin lain yang dengan dosis sesuai akan secara selektif merusak

sel-sel B pulau langerhans, pemberian obat-obat yang menghambat sekresi insulin

dan dengan pemberian antibodi antiinsulin (Widyastuti 2000; Ganong 2003).

Penggunaan STZ lebih baik dalam mengurangi produk insulin karena dapat

bekerja secara selektif merusak sel-sel B pulau langerhans, sehingga akan terjadi

peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan intoleransi glukosa yang

(28)

NH O CH2OH

OH

OH OH

H

C=O

N-NO

CH3

Streptozotosin

STZ/2-deoksi-2-(3-metil-3-nitrosureido)-D-glukopiranosa (Shalahuddin

2005) diproduksi oleh Streptomyces achromogenes (Herr et al. 1967 dalam

Cooperstein 1981). STZ digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba

karena secara selektif merusak sel B di pulau langerhans (Cooperstein et al. 1981;

Ganong 2003).

STZ terdiri dari 1- methyl-1-nitrosourea (Cooperstein 1981) berikatan

dengan C-2 dari D- glukosa dengan berat molekul 265 g/mol (Shalahuddin 2005).

STZ memiliki struktur separuh glukosa, karena berisi campuran a dan ß anomer

(Herr et al.1967 dalam Coorperstein 1981).

Gambar 1 Struktur Streptozotosin

Menurut Shalahuddin (2005) STZ masuk ke dalam sel B pankreas melalui

GLUT 2 (Glucose Transport 2) dan berikatan dengan C-2 dari D- glukosa

kemudian menurut Karunanayake et al. (1976) dalam Cooperstein (1981) setelah

berikatan dengan gugus separuh glukosa menghasilkan degradasi metabolit untuk

melepaskan N-methylnitroso kemudian menembus sel B dan menimbulkan efek

sitotoksik. N-nitrosomethylurea menurut Gunnarsson et al. (1974) dalam

(29)

pada sel B terjadi 7 hari setelah injeksi STZ (Junod et al. 1967 dalam

Coorperstein 1981).

Rossini et al. (1977) dalam tulisan Cooperstein (1981) melaporkan bahwa

dosis 30-40 mg/kg a anomer STZ menimbulkan keparahan nekrosis sel B

daripada ß anomer, walaupun dosis lebih tinggi tidak ada perbedaan. Dosis yang

digunakan untuk menginduksi DMT1 secara intravena pada tikus yaitu diantara

40 dan 60 mg/kg BB dan berhasil juga secara intraperitoneal dengan dosis yang

sama atau lebih tinggi dan kurang efektif dibawah 40 mg/dL. Dosis STZ sebanyak

50 mg/kg BB secara intravena pada tikus dapat meningkatkan kadar glukosa

darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dL) setelah 2 minggu (Ganda dalam

Szkudelski 2001 dalam Shalahuddin 2005).

STZ dapat menyebabkan efek diabetogenik dengan meningkatkan

konsentrasi intraseluler radikal bebas atau menurunkan kemampuan sel B untuk

mengatur/mempertahankan antioksidan (Robbins et al. 1980 dalam Cooperstein

1981). Selain itu STZ merupakan donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan

sebagai penyebab kerusakan sel pulau langerhans pankreas dan dapat

menghambat siklus krebs sehingga terjadi deplesi nukleotida pada sel B

(Shalahuddin 2005). Sel B berkurang setelah 90 menit setelah injeksi STZ (Orci et

al. 1972 dalam Coorperstein 1981).

Vitamin E

Vitamin menurut Casimir Funk terdiri dari kata Vital dan amin. Vitamin

adalah campuran dari beberapa bahan organik yang terdiri dari lemak, karbohidrat

dan protein(Comb 1992). Vitamin E dibedakan atas dua kelompok besar yaitu

a-tokotrienol dan a-tokoferol. Kelompok a-tokoferol paling banyak ditemukan

dalam makanan sehinggga lebih dikenal sebagai vitamin E (Savitri 1999).

Salah satu bentuk vitamin E adalah a-tokoferol dengan struktur

5,7,8-trimethyl tokol (Syahrizal 1998) disintesis hanya oleh tanaman sehingga sering

ditemukan pada produk tanaman yang kaya sumber minyak contoh sumber

utamanya adalah biji gandum (Comb 1992). Vitamin E tidak larut dalam air tetapi

(30)

alkohol, kloroform, ether, benzena dan lemak (Machlin 1990 dalam Syahrizal

1998).

Vitamin E (a-tokoferol) berfungsi sebagai antioxidant (Guyton 1961;

Baker 1979; Hanim 1996; Savitri 1999), mekanisme peroksidasi lipid, melindungi

sel dari radikal bebas (Moreno et al. 2003), faktor lain dalam pertahanan

antioxidant, proteksi terhadap oxyradikal (Comb 1992) dan antitoksisitas (Hanim

1996). Vitamin E sebagai antioksidan dapat mencegah oksidasi dan peroksidasi

unit asam lemak tidak jenuh dan fosfolipid membran plasma sel sehingga

mencegah lesio dinding sel seperti kerapuhan sel darah merah dan distrofi otot

(Linder 1991 dalam Hanim 1996). Standardisasi vitamin E telah didefinisikan

sebagai 1 IU yang setara dengan 1 mg DL-a-tokoferil asetat atau 0,74 mg

D-a-tokoferil asetat. Vitamin E 30 IU/kg diet (30 mg DL-a-D-a-tokoferil asetat) dapat

mencegah terjadinya hemolysis (Baker et al. 1979).

Defisiensi vitamin E dapat ditandai dengan malabsorpsi lipid, kondisi ini

termasuk hasil kerusakan fungsi eksokrin pankreas (seperti pankreatitis, tumor

pankreas, atropi pankreas pada kasus defisiensi Se). Menurut Comb (1992), tanda

defisiensi vitamin E dapat tampak pada beberapa organ seperti myopathi pada

muscular, pada vascular dapat terjadi anemia, hemolysis RBC, diathesis

exudative, hemorhagi intraventrikular, sedangkan pada dermis tidak tampak.

Vitamin E mempunyai kemampuan meracuni jika terjadi hipervitaminosis.

Gejala keracunan ini umumnya timbul jika mengkonsumsi 800 IU per- hari

(Chaney 1993 dalam Savitri 1999), sedangkan menurut Comb (1992) hewan dan

manusia masih mampu mentoleransi level yang agak tinggi (sedikitnya diatas

syarat nutrisi 1000-2000 IU/kg diet) dari vitamin tanpa memperlihatkan effek.

Efek negatif pada manusia yang mengkonsumsi vitamin E diatas 1000 IU/hari

dapat menyebabkan sakit kepala, fatigue, nausea, double vision, kelemahan otot,

creatinuria ringan dan distress gastrointestinal.

Sel Mast

Sel mast adalah sel yang besar, bulat (15-20µm) tersebar diseluruh tubuh

pada jaringan ikat (Tizard 1987). Sedangkan menurut Ham (1982) dan Galli

(31)

6-12 nm. Sel mast memiliki inti yang tidak bersegmen dan sitoplasma yang

memiliki banyak butir-butir dengan ukuran bervariasi. Sel mast memiliki inti

ditengah dan sitoplasma yang berisi granul berwarna ungu (Bookbinder 1992)

atau metakromatik (Tizard 1987).

Menurut Tizard (1987) dan Anonim (2007c), sel mast dibagi menjadi dua

berdasarkan asal dan fungsinya yaitu sel mast jaringan ikat dan sel mast epitel

mukosa. Sel mast jaringan ikat berasal dari pendahulu pada hati dan sumsum

tulang fetus, sedangkan sel mast epitel mukosa berasal dari sel timus pendahulu

dan memiliki lebih sedikit granul yang mengambil warna berbeda-beda (Tizard

1987).

Gambar 2 Sel mast (Anonim 2007c)

Sel mast berada di jaringan ikat dan membran mukosa serta mengatur

respon inflamasi, sel mast kerap kali dihubungkan dengan alergi dan anafilaksis

(Anonim 2007b) serta persembuhan jaringan. Alergi secara terminologi adalah

tipe reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan berlangsung

cepat setelah terpapar dengan antigen. Sedangkan anafilaksis adalah reaksi

hipersensitivitas cepat yang terjadi secara sistemik dan parah. Hipersensitivitas

cepat, alergi dan anafilaksis termasuk kedalam reaksi hipersensitivitas tipe I yang

merupakan reaksi peradangan yang diperantarai oleh IgE (Tizard 1987).

Ig E yang berikatan dengan sel mast tidak menyebabkan perubahan pada

struktur sel mast. Tetapi, bila antigen asing yang mengikat silang dua molekul IgE

maka sel mast akan mengeluarkan granul- granul ke cairan ekstraseluler. Zat- zat

(32)

histamin, serotonin, leukotrien, Faktor Kemotaktis Eosinofil dari Anafilaksis

(FKE-A) dan Faktor Kemotaksis Netrofil (FKN-A) (Tizard 1987).

Sel mast berada mengelilingi pambuluh darah, pembuluh limfe, saraf dan

dibagian basal dari sel-sel epitel, seperti yang terdapat didalam sistem pencernaan,

sistem respirasi dan kulit (Galli 1993 dalam Choliq 2002). Sel mast pada kulit

berada mengelilingi pembuluh darah di dermis (Curran 1985).

Penelitian pada sel mast dengan pewarnaan his tokimia alcian blue dan

safranin O dengan larutan fiksasi Carnoy telah mulai dilakukan oleh Enerback

(1966) (Choliq et al. 2002). Pemakaian alcian blue dalam pewarnaan histokimia

sel mast juga pernah dilakukan oleh Featherston et al. (1992) dan Ishih (1992).

Kemudian Curran pada tahun 1985 melakukan pewarnaan Methylen blue atau

Toluidin blue pada kulit untuk mengamati sel mast pada urticaria pigmentosa.

Penggunaan Toluidin blue dalam mewarnai sel mast dinyatakan pula oleh Tizard

(33)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2006 sampai bulan

Februari 2007 di laboratorium Patologi Departemen Klinik, Reproduksi dan

Patologi dan laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan

Farmakologi Institut Pertanian Bogor.

Materi

Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus

norvegicus) galur Sprague-Dawley dewasa, dengan berat badan 250 gram,

berumur dua bulan dan berjenis kelamin jantan yang berjumlah 12 ekor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah vitamin E,

streptozotosin, larutan xylol, alkohol absolut, alkohol 95%, 90%, 80%, 70% , air,

pewarna Toluidin blue, dan Buffer Neutral Formalin 10%.

Adapun alat yang dipergunakan adalah alat bedah mikro, object glass,

cover glass, corong, kertas saring, kertas tissue, kertas label, pensil, erlenmeyer,

pipet tetes, jarum suntik, kandang tikus, timbangan untuk menimbang tikus, gelas

ukur, sonde lambung, mikrotom, refrigerator, kamera foto dan inkubator.

Rancangan Penelitian

Tikus yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 12 ekor, yang dibagi

menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok diabetes dan non-diabetes.

Masing-masing kelompok besar berjumlah enam ekor tikus. Kelompok pertama

(non-diabetes) terdiri dari dua kelompok, yang masing- masing berjumlah tiga ekor

tikus dengan dua perlakuan yang berbeda, yaitu kelompok tanpa perlakuan

(kontrol) dan kelompok yang mendapat perlakuan dengan pemberian vitamin E.

Kelompok kedua (kelompok model diabetes) terdiri dari dua kelompok, yang

(34)

kelompok tikus yang diberikan STZ dan kelompok tikus yang diberikan STZ dan

vitamin E.

Prosedur

Preparasi hewan

Tikus diadaptasikan terlebih dahulu sebelum dilakukan percobaan. Tikus

diberikan pellet dan air minum secara ad libitum. Adaptasi aklimatisasi dilakukan

selama satu minggu, kemudian tikus ditimbang dan dicatat berat badannya.

Pemberian vitamin E dan penyuntikan STZ

Pemberian vitamin E 80 IU/ekor secara peroral (di cekok) dengan

menggunakan sonde lambung diberikan setiap hari mulai hari ke-8 selama 19 hari

setelah adaptasi. Sedangkan pemberian STZ dengan dosis tunggal diberikan pada

kelompok model diabetes secara intra peritoneal sebanyak 50 mg/kg BB pada hari

ke-8 setelah adaptasi.

Preparasi jaringan

Sampling dilakukan setelah tikus dibius dengan ether pada hari ke-27.

Penyayatan pada regio ventral abdomen tikus dilakukan sampai daerah thorax

setelah darah dikeluarkan dengan baik. Sampel (kulit dan peritoneum) diambil

seluas 2 x 2 cm. Sampel kemudian dibersihkan dari bulu dan kotoran yang

menempel dengan NaCl fisiologis, selanjutnya direndam dalam Buffer Neutral

Formalin 10 % . Setelah itu sampel di dehidrasi menggunakan alkohol bertingkat

yaitu 70%, 80%, 90%, 95%, dilanjutkan dengan alkohol absolut I, II dan III.

Kemudian dilakukan clearing menggunakan xylol I, II dan III lalu diinfiltrasi

dalam parafin I, II dan III kemudian di embedding dalam parafin.

Blok jaringan dalam parafin dipotong menggunakan mikrotom dengan

ketebalan (4-5 µ). Selanjutnya potongan jaringan diletakkan pada object glass

biasa untuk pewarnaan Toluidin blue.

Pengamatan histologi menggunakan mikroskop cahaya, dilakukan dengan

(35)

jaringan, keberadaan sel mast dihitung pada tiga lapang pandang dengan

pembesaran 10x.

Analisis Data

Hasil penghitungan kuantitatif pada tiap kelompok perlakuan dianalisa

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan analisis sidik ragam

(ANOVA). Untuk mengetahui tingkat perbedaan jumlah sebaran sel mast antar

kelompok perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan uji Duncan (Walpole

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sel mast yang ditemukan pada kedua jaringan berbentuk bulat dan

berwarna ungu. Hal ini sesuai yang diutarakan Tizard (1987) bahwa sel mast

adalah sel yang besar, bulat dengan ukuran 15-20 µm dan terlihat berwarna

metakromatik dengan zat warna Toluidin blue. Warna tersebut disebabkan adanya

glykosaminoglikan (heparin atau kondroitin sulphate) pada granula sel mast

(Choliq et al. 2002).

Sel mast berbeda dengan basofil, sel mast memiliki inti yang tidak

bersegmen (Choliq 2002) dan sitoplasma yang padat granula besar (Tizard 1987;

Anonim 2007c), sedangkan basofil memiliki inti yang bersegmen (Bookbinder

1992) dan granul yang tidak banyak di dalam sitoplasma (Anonim 2007c).

Gambar 3 Sel mast. Granul metakromatik. Pewarnaan Toluidin blue, pembesaran 40x.

Pada kulit dan peritoneum, sel mast yang ditemukan adalah sel mast tipe

jaringan ikat. Pada Gambar 4 dan 5, sel mast pada kulit yang diamati lebih banyak

ditemukan pada daerah dermis dan di sekitar pembuluh darah. Hal ini sesuai yang

diutarakan Runnels (1965) dan Banks (1986) dalam Dianawati (2002) bahwa sel

mast tersebar di seluruh jaringan ikat tubuh dan biasanya terdapat di sekitar

pembuluh darah kecil. Sebagian besar sel mast terdapat dalam dermis dan tunika

propria dari saluran pencernaan. Sel mast pada kulit berada mengelilingi

pembuluh darah di dermis (Curran 1985).

20 µ Inti sel mast

(37)

Pada Gambar 4, dapat dilihat pada kelompok non-diabetes sebaran sel

mast lebih banyak ditemukan pada kelompok kontrol. Sedangkan pada Gambar 5,

kelompok diabetes tanpa pemberian vitamin E memiliki sebaran sel mast lebih

banyak jika dibandingkan dengan kelompok yang diberikan vitamin E.

Sebaran sel mast ya ng diwarnai dengan Toluidin blue dapat dilihat pada

Gambar 4 dan 5.

Gambar 4 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. A=kelompok kontrol dan B=kelompok vitamin E. Populasi pada kelompok A > kelompok B. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x.

Gambar 5 Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. C=kelompok STZ dan D=kelompok STZ+vitamin E. Populasi pada kelompok C > kelompok D. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 10x.

Pada Gambar 6, sel mast yang diamati pada peritoneum berada pada

jaringan ikat dan mengitari pembuluh darah. Hal ini sesuai yang diutarakan Keller

(1966) bahwa sel mast umumnya ditemukan di jaringan ikat dan sekitar pembuluh Sel mast

Sel mast

A B

Sel mast Sel mast

(38)

darah. Sel mast yang ditemukan di peritone um jika dibandingkan dengan sebaran

sel mast pada kulit lebih sedikit. Hal ini dapat dimungkinkan karena peritoneum

disusun oleh lapisan mesothelium yang tersusun dari lapisan tipis jaringan ikat

(Bowen 2006) dan kurang mendapat vaskularisasi darah (Bertoli et al. 2003).

Gambar 6 Sebaran sel mast pada peritoneum kelompok vitamin E (B) yang tersebar pada jaringan ikat. Pewarnaan Toluidin blue pembesaran 20x.

Vaskularisasi pada peritoneum yang lebih sedikit dibandingkan kulit serta

ketebalan jaringan ikat menentukan jumlah sebaran sel mast pada kedua sampel

tersebut. Sebaran sel mast lebih banyak ditemukan di daerah dermis kulit,

sedangkan pada peritoneum sebaran sel mast lebih sedikit.

Sel mast yang ditemukan di dalam jaringan merupakan bentuk yang sudah

dewasa, karena menurut Anonim (2007c) sel mast yang meninggalkan sumsum

tulang dan bersirkulasi di dalam pembuluh darah dalam bentuk belum dewasa,

hanya dalam bentuk dewasa yang berada di dalam jaringan.

Peningkatan jumlah sel mast merupakan salah satu indikator terjadinya

reaksi alergi dan anafilaksis (Tizard 1987; Anonim 2007c). Pada saat alergi sel

mast tetap dalam keadaan inaktif, sampai antigen berikatan dengan dua atau lebih

IgE (Anonim 2007c). Proses degranulasi terjadi setelah dua atau lebih IgE yang

telah bergabung dengan sel mast, menyebabkan saluran dalam sitoplasma

membuka dan membiarkan cairan ekstraseluler merembes masuk kedalam granula

atau dengan cara mendorong granula dari dalam sel ke lingkungan ekstraseluler

(39)

Zat- zat yang terkandung dalam granula-granula sel mast tersebut adalah

heparin, histamin, serotonin, leukotrien, kalikrein, Faktor Kemotaktis Eosinofil

dari Anafilaksis (FKE-A) dan Faktor Kemotaksis Netrofil dari Anafilaksis

(FKN-A). Histamin, kalikrein dan leukotrien yang dilepaskan menyebabkan

bertambahnya permeabilitas pembuluh darah dan kontraksi urat daging licin.

Serotonin menyebabkan spasmus pembuluh darah (Tizard 1987). Pelebaran

pembuluh darah menyebabkan kulit tampak kemerahan, panas dan terjadi edema

(Anonim 2007c). Heparin dalam granula sel mast merupakan antikoagulan darah.

Faktor Kemotaktis Eosinofil dari Anafilaksis (FKE-A) dan Faktor Kemotaksis

Netrofil (FKN-A) merupakan zat kemotaksis yang kuat untuk eosinofil dan

neutrofil (Tizard 1987).

Neutrofil berespons terhadap infeksi dan mampu keluar dari pembuluh

darah untuk membersihkan nekrosa jaringan. Neutrofil memiliki butir spesifik

mengandung laktoferin dan lysozyme yang bekerja sama dalam menghancurkan

benda asing yang difagositosis. Sedangkan eosinofil berperan aktif dalam

mengatur alergi akut dan proses pembarahan dan dapat memperbesar koagulasi

dan fibrinolisis (Dellmann 1992).

Kulit

Hasil pengamatan terhadap distribusi jumlah sel mast pada kulit disajikan

secara lengkap pada Tabel 2.

Tabel 2 Populasi sel mast pada kulit tikus putih

Kelompok Perlakuan Jumlah sel mast Keterangan : Superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata/signifikan (p<0.05)

Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Tabel 2 dapat dilihat

adanya peningkatan jumlah sel mast pada kelompok diabetes tanpa vitamin E

(40)

uji Duncan peningkatan yang terjadi memiliki perbedaan yang signifikan,

sedangkan pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E peningkatan tidak

signifikan dibandingkan dengan kontrol. Namun jika dibandingkan dengan

populasi sel mast pada kelompok diabetes terjadi penurunan yang signifikan. Hal

ini berarti vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada tikus model

diabetes sampai mendekati jumlah sel mast pada kelompok kontrol.

Tingkat penurunan jumlah sel mast secara jelas dapat dilihat pada Gambar

7. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa tikus yang diberi vitamin E

mempunyai jumlah sel mast paling rendah (13.443), diikuti kontrol (16.370),

STZ+vitamin E (19.373) dan STZ (22.813).

Gambar 7 Besar populasi sel mast pada kulit setelah pemberian vitamin E

Kelompok non-diabetes

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa kelompok non-diabetes yakni

kelompok vitamin E (tikus yang diberi vitamin E secara peroral) mempunyai

jumlah sel mast lebih rendah (13.443) dibandingkan kontrol (16.370). Penurunan

jumlah sel mast yang terjadi pada kulit kelompok non-diabetes sebesar 17.880%.

Selanjutnya dilakukan uji Duncan untuk mengetahui tingkat perbedaan yang ada.

Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pada kelompok tikus

non-diabetes yang diberikan vitamin E memberikan perbedaan yang nyata terhadap

kontrol. Hal ini berarti pemberian vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast

(41)

Kelompok diabetes

Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Gambar 7 dapat diketahui

kelompok tikus diabetes yang memiliki jumlah sel mast lebih rendah adalah

kelompok diabetes yang diberi vitamin E (19.373). Sedangkan kelompok diabetes

yang tidak diberi vitamin E memiliki jumlah sel mast paling banyak (22.813). Hal

ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin E dapat dengan baik menurunkan

jumlah sel mast pada tikus model diabetes. Penurunan yang terjadi pada kelompok

diabetes yang diberi vitamin E dibandingkan kelompok diabetes tanpa vitamin E

sebesar 15.079%. Berdasarkan hasil uji beda Duncan menunjukkan bahwa

penurunan jumlah sel mast pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E

memberikan perbedaan yang nyata dibandingkan kelompok diabetes yang tidak

diberi vitamin E. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian vitamin E selama 19 hari

setelah adaptasi secara peroral dapat menurunkan jumlah sel mast pada kulit tikus

model diabetes.

Peritoneum

Hasil pengamatan terhadap distribusi jumlah sel mast pada peritoneum

disajikan secara lengkap pada Tabel 3.

Tabel 3 Populasi jumlah sel mast pada peritoneum tikus putih

Kelompok Perlakuan Jumlah sel mast

Non-diabetes Kontrol 6.297±2.357b Vitamin E 5.113±1.866b Diabetes STZ 12.853±4.270a STZ+vitamin E 10.150±1.140ab Keterangan : Superscript yang berbeda menunjukkan beda nyata/signifikan (p<0.05)

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa pada kelompok diabetes ada

peningkatan jumlah sel mast sebesar 12.853±4.270a dibandingkan dengan kontrol 6.297±2.357b. Uji Duncan menunjukkan bahwa peningkatan yang terjadi memiliki perbedaan yang signifikan. Kemudian jika kelompok diabetes tanpa vitamin E

dibandingkan dengan kelompok diabetes dengan vitamin E, terjadi penurunan

(42)

dibandingkan dengan kontrol menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini

berarti vitamin E mampu menurunkan jumlah sel mast pada tikus model diabetes,

namun belum sampai mendekati jumlah sel mast pada kelompok kontrol. Hal ini

dikarenakan setelah pemberian vitamin E, distribusi vitamin E sebagian besar

lebih banyak ditemukan di kulit (Combs 1992).

Hasil penghitungan jumlah sel mast pada peritoneum dalam bentuk grafik

disajikan pada Gambar 8. Berdasarkan gambar tersebut dapat dilihat bahwa

kelompok tikus yang diberi vitamin E mempunyai jumlah sel mast paling rendah

(5.113), diikuti kontrol (6.297), STZ+vitamin E (10.150) dan STZ (12.853).

Gambar 8 Besar populasi sel mast pada peritoneum setelah pemberian vitamin E

Kelompok non-diabetes

Pada Gambar 8 dapat ditunjukkan bahwa kelompok non-diabetes yang

diberi vitamin E mempunyai jumlah sel mast lebih rendah (5.113) dibandingkan

kontrol (6.297). Atau dengan kata lain, terjadi penurunan jumlah sel mast pada

peritoneum sebesar 18.803% dari 6.297 (kontrol) menjadi 5.113 (vitamin E).

Penurunan yang terjadi diuji dengan Duncan untuk mengetahui tingkat perbedaan

yang ada. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok non-diabetes yang

diberi vitamin E tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kontrol (Tabel

3), hal ini berarti pemberian vitamin E tidak begitu nyata pengaruhnya terhadap

sebaran sel mast pada peritoneum tikus non-diabetes.

(43)

Kelompok diabetes

Berdasarkan hasil analisis jumlah sel mast pada Gambar 8 dapat diketahui

kelompok tikus diabetes yang memiliki jumlah sel mast lebih rendah adalah

kelompok diabetes yang diberi vitamin E (10.150). Sedangkan kelompok diabetes

yang tidak diberi vitamin E memiliki jumlah sel mast paling banyak (12.853). Hal

ini menunjukkan terjadi penurunan pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E

dibandingkan kelompok diabetes yang tidak diberi vitamin E yakni sebesar

21.030%. Berdasarkan uji beda Duncan menunjukkan bahwa penurunan jumlah

sel mast yang terjadi pada kelompok diabetes yang diberi vitamin E memberikan

perbedaan yang nyata dibandingkan kelompok diabetes tanpa pemberian vitmin E

(Tabel 3). Hal ini menunjukkan bahwa pada tikus diabetes yang diinduksi STZ

yang disertai dengan pemberian vitamin E selama 19 hari setelah adaptasi secara

peroral dapat menurunkan jumlah sel mast pada peritoneum tikus model diabetes.

Perbandingan distribusi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus dapat

dilihat pada Gambar 9. Berdasarkan Gambar 9 dapat dilihat bahwa distribusi sel

mast lebih banyak ditemukan pada jaringan kulit dibandingkan dengan

peritoneum.

Gambar 9 Populasi sel mast pada kulit dan peritoneum tikus

Kulit memiliki sebaran jumlah sel mast lebih banyak dibandingkan

peritoneum karena kulit memiliki jaringan ikat dan vaskularisasi pembuluh darah

lebih banyak dibandingkan peritoneum. Hal ini berarti posisi keberadaan sel mast

(44)

pada tubuh tikus menentukan hasil sebaran jumlah sel mast pada kedua sampel

tersebut.

Posisi sel mast umumnya berada di sekitar pembuluh darah, jaringan ikat,

di dalam interstitium myokardium, di antara sel lemak, di peritoneum dan di

thymus (Harris 1990; Stammler 1921; Riley 1959; Benditt and Lagunoff 1963

dalam Keller 1966). Menurut Baker (1979), otot, kulit dan tulang tikus mendapat

distribusi darah sebesar 47%, kemudian menurut Bowen (2006) peritoneum

tersusun dari membran tipis yang membatasi abdominal dan ruang pelvis serta

menutupi banyak organ viscera. Peritoneum disusun oleh lapisan mesothelium

yang tersusun dari lapisan tipis jaringan ikat. Banyaknya jumlah vaskularisasi

pada kulit dan ketebalan jaringan ikat dimungkinkan menentukan jumlah sebaran

sel mast pada kedua sampel tersebut.

Banyaknya jumlah sel mast pada tikus diabetes yang diinduksi dengan

STZ kemungkinan berhubungan dengan reaksi alergi yang terjadi pada tikus

diabetes. Reaksi alergi terjadi dimungkinkan karena radikal bebas pada penderita

DM meningkat. Meningkatnya radikal bebas dapat berasal dari hasil samping

metabolisme (Wresdiyati et al. 2002) sebagai upaya tubuh untuk mencukupi

energi. Sumber energi yang digunakan sebagai pengganti glukosa adalah lemak.

Proses pemecahan lemak (lipolisis) berlangsung di mitokondria dan peroksisom

melalui jalur ß–oksidasi dan sitokrom P-450. Proses pemecahan lemak selain

menghasilkan energi juga menghasilkan produk samping yaitu radikal bebas

(Orellana et al. 1992 dalam Zulfanedi 2006). Radikal bebas juga dapat dihasilkan

STZ berupa radikal metil yang dapat menyisipkan gugus alkil pada berbagai

macam komponen seluler seperti DNA, protein atau bereaksi dengan H2O membentuk metanol (Ling li 2001 dalam Shalahuddin 2005).

Kehadiran radikal bebas yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya

peroksidasi lipid membran yang berefek langsung terhadap kerusakan membran

sel. Kerusakan membran sel dapat berlanjut menjadi nekrosa (Halliwell and

Gutteridge 1990 dalam Wresdiyati dan Astawan 2004). Nekrosa massive juga

terjadi pada sel B pankreas yang disebabkan oleh STZ. STZ menghasilkan donor

nitrit oksida (NO) yang menyebabkan kerusakan sel pulau langerhans pankreas

(45)

terjadi pembatasan produksi ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi

nukleotida dalam sel B pankreas (Gunnarsson et al. 1974 dalam Coorperstein and

Watkins 1981).

Kematian sel/nekrosa yang terjadi pada beberapa organ menyebabkan

reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi yang terjadi menyebabkan peningkatan jumlah

sel mast. Menurut Katz et al. (1985) yang dalam Choliq (2002) dan Anonim

(2007b), sel mast berperan dalam mengatur respon inflamasi, sehingga pada tikus

diabetes yang diinduksi dengan STZ terjadi peningkatan jumlah sel mast.

Pada kulit dan peritoneum tikus yang diberi vitamin E terjadi penurunan

jumlah sel mast. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan fungsi vitamin E sebagai

antioxidant (Guyton 1961; Baker 1979; Hanim 1996; Savitri 1999), proteksi

terhadap oxyradikal (Comb 1992) dan antitoksisitas (Hanim 1996) sehingga dapat

mengurangi efek sitotoksik dari N-methylnitroso dan jumlah radikal bebas (Ling

li 2001 dalam Shalahuddin 2005) serta melindungi sel dari radikal bebas (Moreno

et al. 2003).

Berkurangnya radikal bebas setelah pemberian vitamin E dapat

mengurangi peroksidasi unit asam lemak tidak jenuh dan fosfolipid membran

plasma sel (Linder 1991 dalam Hanim 1996; Moreno et al. 2003). Berkurangnya

reaksi peroksidasi dapat mencegah terjadinya nekrosa yang dapat menyebabkan

reaksi inflamasi. Berkurangnya reaksi inflamasi pada tikus akan mengurangi

jumlah sel mast yang memiliki peran dalam mengatur proses inflamasi (Anonim

(46)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Distribusi sel mast pada kulit tikus model DM yang diinduksi dengan STZ

ditemukan lebih banyak dan berfluktuasi daripada peritoneum.

Pemberian vitamin E dapat menurunkan jumlah sel mast pada kulit secara

nyata baik pada kelompok diabetes/non-diabetes. Sedangkan pada peritoneum,

penurunan secara nyata hanya terjadi pada kelompok diabetes.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara

histopatologi pengaruh vitamin E terhadap dampak yang ditimbulkan oleh

(47)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2007a. Diabetes Mellitus. http://en.wikipedia.org/wiki/Diabetes mellitus.html. [2 Mei 2007].

[Anonim]. 2007b. Immune System. http://en.wikipedia.org/wiki/Immune_system. html. [2 Mei 2007].

[Anonim]. 2007c. Mast Cell. http://en.wikipedia.org/wiki/Mast cell.html. [2 Mei 2007].

Baker HJ, Lindsey JR, Steven HW. 1979. The Laboratory Rat. Volume I. New York: Academic Press. hlm 140-141.

Bertoli SV, Buzzi l, Ciurlino D, Maccario M, Martino S. 2003. Morpho- functional study of peritoneum in peritoneal dialysis patients.

http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://www.sin-Bowen R. 2006. Peritoneum, Mesentery and Omentum. http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/misc_topics/peritoneu m.html. [21 Juli 2007].

Bookbinder PF, Butt MT, Harvey HJ. 1992. Determination of the Number of Mast Cells in Lymph Node, Bone Marrow, and Buffy Coat Cytologic Specimens from Dogs. Journal of the American Veterinary Medical Association. Vol. 200. No. 9-12. hlm 1648-1650.

Choliq C, Nisa’ C, Priyono SA, Tiuria R, Adnyane IKM. 2002. Distribusi dan Frekuensi Sel Mast yang Berperan sebagai Modulator Pertahanan Mukosa pada Saluran Pencernaan Itik Tegal (Anas javanica) yang di Infeksi dengan Cacing Nematoda Ascaridia galli. [laporan penelitian]. Fakultas Kedokteran Hewan: Institut Pertanian Bogor.

Combs GF. 1992. The Vitamins, Fundamental Aspects in Nutritional and Health. New York: Academic Press. hlm 179-201.

Cooperstein SJ, Watkins D. 1981. The Islet of Langerhans. New York: Academic Press. hlm 411-418.

(48)

Dalimunthe D. 2004. Diabetes Mellitus: Peranan Insulin, Reseptor Insulin dan Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; Medan, 17 April 2004. Medan: Universitas Sumatera Utara. hlm 2 dan 11.

Daniaty RD. 2004. Gambaran Histopatologi Organ Otak Tikus Penderita Diabetes Melitus yang diberi Infus Batang Brotowali (Tinospora tuberculata L.) sebagai bahan antidiabetik. [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Dellmann HD. dan Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner I. Penerjemah; Hartono. Ed. 3. Jakarta : UI-Press. hlm 116-120.

Dianawati E. 2002. Gambaran Sel Mast pada Abomasum Domba yang diinfeksi Cacing Haemonchus contortus. [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Featherston DW, Wakelin D, Lammas DA. 1992. Inflamatory Responses in the Intestine During Tapeworm Infections Mucosal Mast Cells and Mucosal Mast Cell Protease in Sprague-Dawley Rats Infected with Hymenolepis diminuta. International Jornal for Parasitology. Vol. 22. No. 7-8. hlm 961-966.

Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Jakarta: EGC. hlm 320-341.

Guyton AC. 1961. Text book of Medical Physiology. Ed ke-2. Philadelphia: W. B. Saunders Company. hlm 945-946.

Hanim D. 1996. Pengaruh vitamin E terhadap organ hati dan uterus tikus putih (Rattus norvegicus) betina yang diberi perlakuan natrium sakarin dan natrium siklamat. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hau J, Van Hoosier GL Jr. 2006. Handbook of laboratory animal science. Ed ke-2. London: CRC press.

Indriyati E. 2004. Gambaran Histopatologis Organ Testis Tikus Penderita Diabetes Melitus yang diberi Infus Batang Brotowali (Tinospora tuberculata L.) sebagai Bahan Anti Diabetik. [skripsi]. Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

(49)

Keller R. 1966. Tissue Mast Cells in Immune Reactions. Vol. 2. Switzerland: Schellenberg-Druck. hlm 14-15.

Malole MBM, Pramono SU. 1989. Penggunaan hewan-hewan percobaan di laboratorium. Departemen pendidikan dan kebudayaan Direktorat Jenderal pendidikan tinggi pusat antar universitas bioteknologi, IPB.

Meylina E. 2005. Analisis faktor resiko hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mistra. 2004. 3 jurus melawan diabetes melitus. Jakarta: Puspa Swara. hlm 4-8.

Moreno CS, Dorfman SE, Lichtenstein AH, Martin A. 2003. Dietary Fat Type Affects Vitamins C and E and Biomarkers of Oxidative Status in Peripheral and Brain Tissues of Golden Syrian Hamsters. American Society for Nutritional Sciences. hlm 655.

Savitri C. 1999. Potensi antiaterogenik suplemen kombinasi isoflavon-vitamin E terhadap lesi arteri koroner pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang hiperkolesterolemik. [tesis ]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Shalahuddin I. 2005. Efek Antihiperglikemik Ekstrak Air Buah Mahkota Dewa pada Tikus Diabetes yang di Induksi Streptozotosin. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Soehadi K. 1989. Pengaruh regulasi diabetes mellitus terhadap profil spermiogram, hormon reproduksi dan potensi seks pria. [disertasi]. Surabaya: Universitas Airlangga.

Syahrizal. 1998. Kadar optimum vitamin E (a-tokoferol) dalam pakan induk ikan lele, Clarias batrachus Linn. [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tizard I. 1987. An Introduction to Veterinary Immunology. WB. Saunders Company. Philadelphia.

Walpole RE. 1990. Pengantar Statistika. Ed. Ke-3. Jakarta: PT-Gramedia Pustaka Utama.

(50)

Wresdiyati T, Agungpriyono S, Sari DK. 2002. Deteksi secara Imunohistokimia Antioksidan Copper Zinc Superoxide Dismutase Cu,Zn-SOD pada Hati dan Ginjal Tikus Prenatal, Postnatal dan Dewasa. [laporan kegiatan]. Fakultas Kedokteran Hewan: Institut Pertanian Bogor.

Wresdiyati T, Astawan M. 2004. Deteksi secara Imunohistokimia Antioksidan Superoksida Dismutase (SOD) pada Jaringan Tikus Hiperkolesterolemia. [laporan penelitian]. Fakultas Kedokteran Hewan: Institut Pertanian Bogor.

(51)
(52)

Lampiran 1 Prosedur pembuatan preparat histologi

1. Sampling

Sampling dilakukan dengan mengambil organ dari he wan tikus. Organ

yang diambil adalah kulit dan peritoneum seluas 2 x 2 cm.

2. Fiksasi

Sampel kulit dan peritoneum dimasukkan dalam cairan fiksatif Buffer

Neutral Formalin (BNF) 10%, setelah beberapa hari organ kulit dan peritoneum

dipotong seluas 1 x 2 cm, kemudian dimasukkan ke dalam kaset dan siap diproses

dalam Tissue Processor.

5. Infiltrasi menggunakan parafin di dalam Tissue processor

• Parafin I (1 jam)

• Parafin II (30 menit)

• Parafin III (30 menit) 6. Embedding (penanaman organ)

Parafin cair di embedding console dimasukkan dalam cetakan (setengah

dari volume cetakan), kemudian potongan jaringan dimasukkan sampai

menyentuh dasar cetakan, lalu cetakan dipenuhi dengan parafin cair dan

(53)

7. Pemotongan

Setelah cetakan organ dalam parafin beku, lalu dipotong dengan

menggunakan rotary microtome dengan ketebalan 4-5 µ. Hasil pemotongan

diletakkan di atas permukaan air hangat (40ºC). Setelah itu dilekatkan pada objek

gelas lalu disimpan dalam inkubator selama satu malam dengan suhu 40ºC.

8. Deparafinasi

Pewarnaan yang dilakukan yaitu pewarnaan Toluidin blue, yang bertujuan

untuk dapat melihat gambaran lebih jelas distribusi sel mast pada sampel organ

beberapa kelompok tikus. Adapun proses pewarnaan Toluidin blue melalui

beberapa proses diantaranya :

• Toluidin blue (5-30 menit)

• Preparat slide dibilas di air (5X)

• Di dehidrasi singkat

• Alkohol 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, clearing xylol I, clearing xylol II, clearing xylol III (1 menit)

(54)

9. Pengamatan histologi

Pengamatan histologi menggunakan miikroskop cahaya, dilakukan dengan

melihat jumlah sebaran sel mast pada organ kulit dan peritoneum. Pada tiap organ,

(55)
(56)
(57)
(58)

Gambar

Tabel 1  Klasifikasi taksonomi tikus:
Gambar 1  Struktur Streptozotosin
Gambar 2  Sel mast (Anonim 2007c)
Gambar 4  Sebaran sel mast (tanda panah) pada dermis kulit. A=kelompok kontrol dan B=kelompok vitamin E
+7

Referensi

Dokumen terkait

Banyak dijumpai piranti pendukung jaringan komunikasi data namun dalam garis besarnya dibagi menjadi 2 bagian, yaitu hardware dan software. Hardware adalah perangkat

Tabel Perbandingan Hasil Simulasi Berbeban Generator Sinkron Magnet Permanen Jenis Neodymium Iron Boron 48/11 pada.. Beban R dan L dengan Penambahan

Demikian Berita Acara Pemberian Penjelasan (BAPP) dan Addendum Dokumen Pemilihan ini dibuat untuk dipergunakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui model sistem yang cocok untuk institusi pendidikan tempat pengambilan data, menganalisis data yang diambil, serta

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwanto, anton dkk,(2019) yang menyatakan LKS yang dikembangkan termasuk valid sehingga dapat digunakan dengan

Tebal lapis perkerasan lentur yang dibutuhkan pada Perencanaan Ruas Jalan Nagrak, Kabupaten Bogor berdasarkan Metode Analisa Komponen SKBI 1987 Bina Marga sebesar 42

Telah dilakukan skrining fitokimia dan uji aktivitas antibakteri ekstrak metanol dan fraksi kloroform daun sirsak ( Annona muricata L.) familia Annonaceae terhadap bakteri

Jalan kabupaten merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk dalam jalan nasional dan jalan provinsi, yang menghubungkan ibukota kabupaten