• Tidak ada hasil yang ditemukan

DM adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan hiperglikemia (kadar gula darah meningkat) dan glukosuria (Hau & Hoosier 2006). Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “bocor”, dengan gejala utama berupa produksi urin yang berlebih. Pada tahun 1675 Thomas Willis menambahkan kata melitus, sebuah kata yang berasal dari bahasa latin yang berarti “madu” karena adanya rasa manis pada urin (Anonim 2007a). DM dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “kencing manis” (Moehyi 1997 dalam Meylina 2005).

DM akibat defisiensi insulin merupakan keadaan patologik yang sering terjadi dan bersifat serius pada manusia (Ganong 2002), dengan prevalensi diabetes melitus di Indonesia sebesar 4,6% pada kelompok usia 15-74 tahun (Moehyi 1997 dalam Meylina 2005). Menurut Mistra (2004), predikat diabetes pada orang di Indonesia lebih dari 2,5 juta orang dan diperkirakan terus bertambah.

Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi DM menurut WHO tahun (1985) dalam Soehadi (1989) adala h: 1. Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) = DM Tipe 1

2. Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) = DM Tipe 2: a. Obese

b. Non-Obese

Qustionable DM adalah suatu terminologi untuk menggambarkan kondisi DM yang keadaannya meragukan antara DM Tipe 1 dan Tipe 2.

3. Malnutritional-Related-Diabetes-Mellitus (MRDM): a. Fibro Calculous Pancreatic DM (FCPD)

b. Protein Deficient Pancreatic DM (PDPD)

4. Bentuk DM yang lain dengan kondisi-kondisi dan sindrom-sindrom tertentu:

a. Penyakit pankreas

b. Penyakit dengan etiologi hormonal c. DM karena bahan kimia atau obat-obatan

e. Sindrom-sindrom genetik tertentu f. Lain- lain

Sebuah komisi internasional telah merekomendasikan bahwa DM tipe 1 dan tipe 2 menjadi nama primer (bukan IDDM dan NIDDM) (Ganong 2003). Istilah DM tipe 1 (DMT1) menggantikan beberapa istilah terdahulu, termasuk childhood-onset diabetes, juvenile diabetes dan insulin-dependent diabetes (Anonim 2007a).

DMT1 disebabkan oleh defisiensi insulin yang ditimbulkan oleh destruksi autoimun sel-sel B di pulau langerhans pankreas (Ganong 2003; Anonim 2007a) yang ditandai dengan waktu onset yang tiba-tiba, glukosuria, hiperglikemia, hiperketonemia, ketonuria dan hipoinsulinemia. Umur tikus dimana kencing manis didiagnosa biasanya antara 60 dan 120 hari. Data yang sering dilaporkan rata-rata umur 90 hari. Hewan yang menderita DMT1 tidak gemuk, dengan frekuensi sama pada kedua jenis kelamin (Hau 2006). DMT1 biasanya timbul sebelum usia 40 tahun (diabetes juvenilis), penderita tidak kegemukan dan sering dipersulit oleh ketosis serta asidosis dengan tingkat kejadian 10% penderita diabetes mengalami DMT1 (Ganong 2003).

Berbagai faktor penentu etiopatogenesis DMT1, misalnya konstitusi genetik, imunologis, faktor lingkungan dan gangguan metabolisme serta endokrinologik (WHO 1985 dalam Soehadi 1989). Faktor imunologis yang dapat menyebabkan IDDM menurut Ganong (2002) adala h terbentuknya antibodi insulin akibat penyuntikan insulin dari satu spesies ke spesies yang lain dalam jangka waktu lama.

Faktor genetik DMT1 dipengaruhi oleh gen. Gen pada regio HLA-D (DP, DQ, DR) kromosom no. 6 berpengaruh terhadap respon imun (Immune Respons Gene = Ir gene) yang dapat menyebabkan berkurangnya respon imun pada penderita yang mempunyai predisposisi DM. Menurut Indriyati (2004), faktor genetik/faktor keturunan DM merupakan penyakit terpaut kromosom seks. Agen-agen yang dapat merusak sel beta misalnya virus- virus Coxsakie-B, ensefalomiokarditis, mumps, mononukleosis infeksiosa dan rubella (Steinke dan Taylo r 1973 dalam Soehadi 1989) melalui mekanisme infeksi sitolitik pada sel B yang mengakibatkan perusakan sel (Utami 2003 dalam Daniaty 2004). Bahan

kimia misalnya alloxan, streptozotosin, serta berbagai toksin (Notkins 1985, WHO 1985 dalam Soehadi 1989). Menurut Indriyati (2004), bahan toksik seperti pyrinuron (rodentisida) dan bahan toksik dari casava/singkong yang mengandung glikosida sianogenik dapat melepaskan sianida sehingga memberi efek toksik pada jaringan tubuh. Agen-agen tersebut dapat merusak sel beta pankreas secara langsung, atau secara tidak langsung melalui mekanisme imunologis.

Diabetes tipe 2 (DMT2) juga menggantikan beberapa istilah lama, termasuk adult-onset diabetes, obesity-related diabetes dan non insulin dependent diabetes. Beberapa sumber telah mendefinisikan diabetes tipe 3 sebagai diabetes antara 1 dan 2 (Anonim 2007a). Diabetes tipe 2 lebih sering terjadi daripada tipe 1 (Ganong 2003, Buschard dan Thon 2003 dalam Hau 2006) dengan tingkat kejadian 75% sampai 90% pada kasus DM. DMT2 dulu lebih sering terjadi pada orang yang berusia diatas 45 tahun tetapi kini dapat terjadi di usia muda termasuk anak-anak (Buschard dan Thon dalam Hau 2006).

DMT2 ditandai oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, pada manusia terjadi pada usia diatas 40 tahun. Penderita yang menderita DMT2 mengalami kegemukan, jarang mengalami ketosis dan toleransi glukosa membaik apabila dilakukan penurunan berat badan (Ganong 2003).

Pada penderita DM, glukosa tidak dapat digunakan oleh tubuh sehingga tubuh akan melakukan pemecahan asam lemak yang berlangsung di mitokondria dan peroksisom melalui jalur ß–oksidasi dan sitokrom P-450 untuk mendapatkan energi. Produk samping dari oksidasi tersebut menghasilkan radikal bebas (Orellana et al. 1992 dalam Zulfanedi 2006).

Tikus Putih sebagai Hewan Model

Hewan model DM adalah hewan laboratorium yang dalam hal tertentu secara natural maupun artifisial memiliki respon, serta mempunyai patogenesis ataupun patofisiologi yang sebagian atau seluruhnya mirip dengan DM pada manusia (Widyastuti 2000).

Klasifikasi

Ellerman, Missonne, Morris dan Simpson dalam Baker et al. (1979) mengklasifikasikan tikus sebagai berikut :

Tabel 1 Klasifikasi taksonomi tikus: Class : Subclass : Infraclass : Order : Suborder : Superfamily : Family : Subfamily : Genus : Species : Mammalia Theria Eutheria Rodentia Myomorpha Muroidea Muridae Murinae Rattus norvegicus

Pemakaian tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai model banyak dilakukan mengingat tikus ini mudah diperoleh. Menurut Hanim (1996) tikus mempunyai sifat respon biologik dan adaptasi mendekati manusia. Tikus telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian (Malole 1989). Misalnya untuk melihat pengaruh vitamin E terhadap organ hati dan uterus tikus betina yang diberi perlakuan natrium sakarin dan natrium siklamat yang dilakukan oleh Hanim (1996).

Pembuatan Hewen Model

Untuk membuat model DM tipe 1 dengan menggunakan tikus ada beberapa cara, yaitu dengan pankreatektomi, pemberian aloksan, streptozotosin (STZ) atau toksin lain yang dengan dosis sesuai akan secara selektif merusak sel-sel B pulau langerhans, pemberian obat-obat yang menghambat sekresi insulin dan dengan pemberian antibodi antiinsulin (Widyastuti 2000; Ganong 2003). Penggunaan STZ lebih baik dalam mengurangi produk insulin karena dapat bekerja secara selektif merusak sel-sel B pulau langerhans, sehingga akan terjadi peningkatan kadar gula dalam darah (hiperglikemia) dan intoleransi glukosa yang merupakan manifestasi dari defisiensi insulin (Meylina 2005).

NH O CH2OH OH OH OH H C=O N-NO CH3 Streptozotosin STZ/2-deoksi-2-(3-metil-3-nitrosureido)-D-glukopiranosa (Shalahuddin 2005) diproduksi oleh Streptomyces achromogenes (Herr et al. 1967 dalam Cooperstein 1981). STZ digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba karena secara selektif merusak sel B di pulau langerhans (Cooperstein et al. 1981; Ganong 2003).

STZ terdiri dari 1- methyl-1-nitrosourea (Cooperstein 1981) berikatan dengan C-2 dari D- glukosa dengan berat molekul 265 g/mol (Shalahuddin 2005). STZ memiliki struktur separuh glukosa, karena berisi campuran a dan ß anomer (Herr et al.1967 dalam Coorperstein 1981).

Gambar 1 Struktur Streptozotosin

Menurut Shalahuddin (2005) STZ masuk ke dalam sel B pankreas melalui GLUT 2 (Glucose Transport 2) dan berikatan dengan C-2 dari D- glukosa kemudian menurut Karunanayake et al. (1976) dalam Cooperstein (1981) setelah berikatan dengan gugus separuh glukosa menghasilkan degradasi metabolit untuk melepaskan N-methylnitroso kemudian menembus sel B dan menimbulkan efek sitotoksik. N-nitrosomethylurea menurut Gunnarsson et al. (1974) dalam Coorperstein (1981) juga dapat menyebabkan nekrosis sel B. Nekrosis massive

pada sel B terjadi 7 hari setelah injeksi STZ (Junod et al. 1967 dalam Coorperstein 1981).

Rossini et al. (1977) dalam tulisan Cooperstein (1981) melaporkan bahwa dosis 30-40 mg/kg a anomer STZ menimbulkan keparahan nekrosis sel B daripada ß anomer, walaupun dosis lebih tinggi tidak ada perbedaan. Dosis yang digunakan untuk menginduksi DMT1 secara intravena pada tikus yaitu diantara 40 dan 60 mg/kg BB dan berhasil juga secara intraperitoneal dengan dosis yang sama atau lebih tinggi dan kurang efektif dibawah 40 mg/dL. Dosis STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intravena pada tikus dapat meningkatkan kadar glukosa darah sampai sekitar 15 mM (270 mg/dL) setelah 2 minggu (Ganda dalam Szkudelski 2001 dalam Shalahuddin 2005).

STZ dapat menyebabkan efek diabetogenik dengan meningkatkan konsentrasi intraseluler radikal bebas atau menurunkan kemampuan sel B untuk mengatur/mempertahankan antioksidan (Robbins et al. 1980 dalam Cooperstein 1981). Selain itu STZ merupakan donor nitrit oksida (NO) yang ditemukan sebagai penyebab kerusakan sel pulau langerhans pankreas dan dapat menghambat siklus krebs sehingga terjadi deplesi nukleotida pada sel B (Shalahuddin 2005). Sel B berkurang setelah 90 menit setelah injeksi STZ (Orci et al. 1972 dalam Coorperstein 1981).

Vitamin E

Vitamin menurut Casimir Funk terdiri dari kata Vital dan amin. Vitamin adalah campuran dari beberapa bahan organik yang terdiri dari lemak, karbohidrat dan protein(Comb 1992). Vitamin E dibedakan atas dua kelompok besar yaitu a-tokotrienol dan a-tokoferol. Kelompok a-tokoferol paling banyak ditemukan dalam makanan sehinggga lebih dikenal sebagai vitamin E (Savitri 1999).

Salah satu bentuk vitamin E adalah a-tokoferol dengan struktur 5,7,8-trimethyl tokol (Syahrizal 1998) disintesis hanya oleh tanaman sehingga sering ditemukan pada produk tanaman yang kaya sumber minyak contoh sumber utamanya adalah biji gandum (Comb 1992). Vitamin E tidak larut dalam air tetapi secara keseluruhan larut dalam minyak, zat pelarut lemak (Savitri 1999), aseton,

alkohol, kloroform, ether, benzena dan lemak (Machlin 1990 dalam Syahrizal 1998).

Vitamin E (a-tokoferol) berfungsi sebagai antioxidant (Guyton 1961; Baker 1979; Hanim 1996; Savitri 1999), mekanisme peroksidasi lipid, melindungi sel dari radikal bebas (Moreno et al. 2003), faktor lain dalam pertahanan antioxidant, proteksi terhadap oxyradikal (Comb 1992) dan antitoksisitas (Hanim 1996). Vitamin E sebagai antioksidan dapat mencegah oksidasi dan peroksidasi unit asam lemak tidak jenuh dan fosfolipid membran plasma sel sehingga mencegah lesio dinding sel seperti kerapuhan sel darah merah dan distrofi otot (Linder 1991 dalam Hanim 1996). Standardisasi vitamin E telah didefinisikan sebagai 1 IU yang setara dengan 1 mg DL-a-tokoferil asetat atau 0,74 mg D-a-tokoferil asetat. Vitamin E 30 IU/kg diet (30 mg DL-a-D-a-tokoferil asetat) dapat mencegah terjadinya hemolysis (Baker et al. 1979).

Defisiensi vitamin E dapat ditandai dengan malabsorpsi lipid, kondisi ini termasuk hasil kerusakan fungsi eksokrin pankreas (seperti pankreatitis, tumor pankreas, atropi pankreas pada kasus defisiensi Se). Menurut Comb (1992), tanda defisiensi vitamin E dapat tampak pada beberapa organ seperti myopathi pada muscular, pada vascular dapat terjadi anemia, hemolysis RBC, diathesis exudative, hemorhagi intraventrikular, sedangkan pada dermis tidak tampak.

Vitamin E mempunyai kemampuan meracuni jika terjadi hipervitaminosis. Gejala keracunan ini umumnya timbul jika mengkonsumsi 800 IU per- hari (Chaney 1993 dalam Savitri 1999), sedangkan menurut Comb (1992) hewan dan manusia masih mampu mentoleransi level yang agak tinggi (sedikitnya diatas syarat nutrisi 1000-2000 IU/kg diet) dari vitamin tanpa memperlihatkan effek. Efek negatif pada manusia yang mengkonsumsi vitamin E diatas 1000 IU/hari dapat menyebabkan sakit kepala, fatigue, nausea, double vision, kelemahan otot, creatinuria ringan dan distress gastrointestinal.

Sel Mast

Sel mast adalah sel yang besar, bulat (15-20µm) tersebar diseluruh tubuh pada jaringan ikat (Tizard 1987). Sedangkan menurut Ham (1982) dan Galli (1990) dalam Choliq (2002) sel mast berbentuk bulat dan ovoid dengan ukuran

6-12 nm. Sel mast memiliki inti yang tidak bersegmen dan sitoplasma yang memiliki banyak butir-butir dengan ukuran bervariasi. Sel mast memiliki inti ditengah dan sitoplasma yang berisi granul berwarna ungu (Bookbinder 1992) atau metakromatik (Tizard 1987).

Menurut Tizard (1987) dan Anonim (2007c), sel mast dibagi menjadi dua berdasarkan asal dan fungsinya yaitu sel mast jaringan ikat dan sel mast epitel mukosa. Sel mast jaringan ikat berasal dari pendahulu pada hati dan sumsum tulang fetus, sedangkan sel mast epitel mukosa berasal dari sel timus pendahulu dan memiliki lebih sedikit granul yang mengambil warna berbeda-beda (Tizard 1987).

Gambar 2 Sel mast (Anonim 2007c)

Sel mast berada di jaringan ikat dan membran mukosa serta mengatur respon inflamasi, sel mast kerap kali dihubungkan dengan alergi dan anafilaksis (Anonim 2007b) serta persembuhan jaringan. Alergi secara terminologi adalah tipe reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan berlangsung cepat setelah terpapar dengan antigen. Sedangkan anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas cepat yang terjadi secara sistemik dan parah. Hipersensitivitas cepat, alergi dan anafilaksis termasuk kedalam reaksi hipersensitivitas tipe I yang merupakan reaksi peradangan yang diperantarai oleh IgE (Tizard 1987).

Ig E yang berikatan dengan sel mast tidak menyebabkan perubahan pada struktur sel mast. Tetapi, bila antigen asing yang mengikat silang dua molekul IgE maka sel mast akan mengeluarkan granul- granul ke cairan ekstraseluler. Zat- zat yang terkandung dalam granula- granula sel mast tersebut adalah heparin,

histamin, serotonin, leukotrien, Faktor Kemotaktis Eosinofil dari Anafilaksis (FKE-A) dan Faktor Kemotaksis Netrofil (FKN-A) (Tizard 1987).

Sel mast berada mengelilingi pambuluh darah, pembuluh limfe, saraf dan dibagian basal dari sel-sel epitel, seperti yang terdapat didalam sistem pencernaan, sistem respirasi dan kulit (Galli 1993 dalam Choliq 2002). Sel mast pada kulit berada mengelilingi pembuluh darah di dermis (Curran 1985).

Penelitian pada sel mast dengan pewarnaan his tokimia alcian blue dan safranin O dengan larutan fiksasi Carnoy telah mulai dilakukan oleh Enerback (1966) (Choliq et al. 2002). Pemakaian alcian blue dalam pewarnaan histokimia sel mast juga pernah dilakukan oleh Featherston et al. (1992) dan Ishih (1992). Kemudian Curran pada tahun 1985 melakukan pewarnaan Methylen blue atau Toluidin blue pada kulit untuk mengamati sel mast pada urticaria pigmentosa. Penggunaan Toluidin blue dalam mewarnai sel mast dinyatakan pula oleh Tizard (1987) dan Keller (1966).

Dokumen terkait