• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Pendahuluan Pembuatan Pakan

Pakan yang diberikan pada penelitian adalah pakan aterogenik dengan penambahan tepung kuning telur. Formula berdasarkan komposisi formula terpilih pada penelitian Kusharto et al. (2012) dengan modifikasi penambahan probiotik

E.faecium IS-27526 dan minyak ikan lele. Berikut hasil analisis proksimat

kandungan gizi pakan perlakuan dan monkey chow.

Tabel 12 Hasil analisis proksimat kandungan gizi pakan perlakuan

No Kandungan* Pakan A1 Pakan A2 Pakan A3 Monkey** chow 1 Kadar Air (%) 13.25 12.49 19.61 - 2 Kadar Abu (%) 1.22 1.67 2.09 - 3 Lemak (%) 21.63 22.67 27.19 5.55 4 Protein (%) 17.84 19.03 19.24 29.39 5 Karbohidrat (%) 50.86 51.05 55.12 51.38 6 Serat Kasar (%) 2.95 3.18 3.66 6.02 7 Energi (Kal/kg) 405.96 424.08 435.86 433.0

Keterangan: *Kandungan gizi berdasarkan berat kering (kecuali kadar air). Hasil analisis proksimat Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor 2013.

** Sumber: Suparto et al. (2010).

Pakan formulasi memiliki kandungan zat gizi yang tidak jauh berbeda

dengan monkey chow. Monkey chow merupakan pakan komersial berbentuk

biskuit yang biasa diberikan pada MEP di penangkaran. Perbedaan pakan

formulasi dengan monkey chow terdapat pada kandungan lemak dan protein.

Kandungan lemak pakan formulasi lebih tinggi disebabkan adanya penambahan

kuning telur sebagai pakan aterogenik. Kandungan protein monkey chow

cenderung lebih tinggi dibanding pakan formulasi karena memiliki komposisi kedelai (protein kasar) yang lebih tinggi.

Komposisi awal pada formula terpilih dalam biskuit fungsional Kusharto et

al. (2012). Modifikasi dilakukan dengan tidak menggunakan margarin, tepung

susu, soda kue, dan baking powder serta substitusi sebagian tepung terigu oleh

tepung ubi jalar. Konsekuensi dari tidak digunakan margarin adalah diganti butter

(BOS) dan tepung susu di ganti dengan isolat kedelai, sedangkan soda kue dan

baking powder diganti dengan sedikit garam. Penggunaan butter (BOS) bertujuan

agar tekstur lebih renyah, sedangkan isolat kedelai memiliki kandungan protein yang lebih baik dari pada tepung susu. Penggunaan ubi jalar menggantikan sebagian dari tepung terigu bertujuan untuk menambah kadar serat pangan dalam biskuit, selain itu sebagai upaya meningkatkan penggunaan pangan lokal.

Proses pembuatan pakan diawali dengan mencampur gula bubuk, dan

mentega, lalu diaduk dengan menggunakan mixer dengan kecepatan tinggi sampai

agak mengembang. Lalu tepung daging ikan, tepung kepala ikan, isolat protein kedelai, tepung terigu, tepung ubi jalar, dan tepung susu dimasukkan ke dalam adonan. Adonan diaduk dengan kecepatan rendah sampai kalis sebanyak 50 gram. Berikut gambar adonan selama pengadonan (Gambar 7).

Gambar 7 Adonan bahan-bahan dan pakan telah dibentuk

Tahap berikutnya adalah pencampuran probiotik dengan pakan yang dilakukan di Laboratorium Bakteriologi PT. Bimana Indomedical. Pakan yang

ditambahkan dengan E. faecium IS-27526 adalah A2 dan A3. Probiotik yang

sudah disiapkan sebagai stok kemudian disuntikkan dengan mikropipet P1000. Terlebih dahulu probiotik di homogenisasi dengan Scientific Vortek tipe genie 2. Setelah homogen, disedot dengan mikropipet sebanyak 200-500 ul. Bagian yang

sudah disuntikkan probiotik ditutup kembali dan ditandai dengan Food grade

colouring. Berikut gambar proses penambahan probiotik pada pakan.

(a) (b) (c)

Gambar 8 Stok probiotik (a), Proses homogenisasi (b) Pakan siap diberikan (c)

Pakan yang telah ditambahkan probiotik selanjutnya disimpan di freezer

untuk selanjutnya diberikan pada MEP. Pemberian pakan dilaksanakan pada pagi dan sore hari sesuai dengan kebutuhan kalori MEP per hari. MEP diberikan buah sebagai makanan selingan.

Kultivasi Biomassa E.faecium IS-27526

Pada habitat alaminya, mikroorganisme biasa tumbuh dalam populasi yang kompleks dan terdiri dari beberapa jenis spesies. Untuk itu diperlukan teknik khusus untuk memindahkan mikroorganisme tertentu menjadi biakan murni. Teknik yang digunakan pada pengambilan murni dan kultivasi harus aseptis sehingga tidak terjadi kontaminasi. Setelah didapatkan biakan murni melalui isolasi, dilakukan kultivasi atau perbanyakan jumlah mikroba yang ditumbuhkan dalam media. Proses ini sebagai stok kultur probiotik selama masa intervensi.

Pada penelitian ini E.faecium IS-27526 biakan murni difermentasi dalam

fermentor 10 L pada suhu 37 0C selama 22 jam di dalam media de Man Rogosa

Sharpe (MRS) broth (Oxoid, UK) pada kondisi anaerobik. Teknologi fermentasi dilakukan untuk memproduksi sel-sel mikroba (biomassa) dalam jumlah banyak

(Stanbury 1995). Setiap tiga jam dilakukan platting untuk mengetahui jumlah

mikroba yang tumbuh. Dalam hal ini dilakukan platting untuk mengetahui

pertumbuhan bakteri asam laktat, koliform dan total mikroba. Berikut gambaran jumlah mikroba selama 22 jam.

Gambar 9 Diagram batang total mikroba pada kultivasi biomassa

Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui total bakteri asam laktat terus meningkat selama proses kultivasi. Peningkatan bakteri asam laktat berkisar dari 9.38 cfu/g hingga mencapai 13.36 cfu/g pada titik terakhir. Total bakteri juga terdapat kenaikan hanya tidak terlalu signifikan dari 8.3 cfu/g hingga mencapai 8.77 cfu/g. Jumlah bakteri asam laktat yang lebih tinggi dari pada total bakteri diduga karena bakteri asam laktat butuh media yang selektif untuk tumbuh dan berkembang. Media PCA diduga tidak terlalu cocok untuk pertumbuhan bakteri laktat. Pada bakteri koliform tidak terjadi pertumbuhan dari titik 0 hingga titik terakhir selama 22 jam. Hal ini diduga karena teknik kerja aseptis yang dilakukan sehingga tidak terdapat kontaminan selama pengerjaan kultivasi. Kontaminasi mungkin terjadi karena proses biomassa yang memerlukan waktu lama memungkinkan terjadinya kontaminasi dari kontaminan-kontaminan seperti peralatan, bahan maupun lingkungan. Setelah masa kultivasi selama 22 jam,

probiotik dipanen dengan disentrifugasi pada suhu 4 0C, 3200 rpm selama 20

menit. Larutan hasil sentrifugasi disalut dengan susu skim. Biomassa kemudian

dimasukkan kedalam falcon tube, dicelupkan ke N2 cair dan segera disimpang

dalam freezer untuk menjaga viabilitasnya. Viabilitas probiotik dalam biomassa hasil kultivasi adalah 1x1012 cfu/g.

Uji Viabilitas Probiotik

Untuk memastikan viabilitas probiotik selama 3 bulan intervensi, dilakukan uji viabilitas 2 kali dalam sebulan. Uji viabilitas dilaksanakan dalam rentang

waktu pada tanggal 13 Mei 2013 hingga 15 Juli 2013. Berikut data viabilitas probiotik selama 3 bulan intervensi.

*1= uji pertama (13 Mei 2013), 2=30 Mei 2013, 3= 10 Juni 2013, 4=1 Juli 2013, 5= 15 Juli 2013.

Gambar 10 Diagram batang viabilitas kultur E. Faecium IS-27526

Berdasarkan Gambar 10 viabilitas kultur probiotik diketahui jumlah bakteri selama masa intervensi cenderung konstan pada kisaran 9.85 cfu/g hingga 9.91 cfu/g. Peningkatan/penurunan jumlah probiotik selama masa intervensi diduga dipengaruhi beberapa hal diantaranya pengadukan yang kurang merata pada masa kultivasi, suhu dan pengaruh lingkungan.

Penelitian Utama

Konsumsi pakan MEP selama intervensi menunjukkan respon yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi jenis pakan dan daya terima masing-masing MEP terhadap pakan yang diberikan selama intervensi. Tabel 13 berikut menggambarkan persentase konsumsi pakan selama intervensi.

Tabel 13 Persentase konsumsi pakan selama intervensi

Perlakuan Rata-rata berat badan

MEP (Kg)

Berat pakan yang diberikan (gram) Persentase konsumsi(%) A1 3.41±0.29 100 90.91 A2 3.28±1.22 100 85.75 A3 3.30±0.58 100 89.18

Ket: (A1) Pakan standar, (A2) Pakan standar+probiotik, (A3) Pakan standar + probiotik + minyak ikan lele.

Data pada Tabel 13 menunjukkan bahwa daya terima MEP terhadap ketiga jenis pakan cukup baik di atas 80%. Perbedaan tidak begitu signifikan terlihat pada masing-masing kelompok dipangaruhi nafsu makan dan konsumsi masing- masing MEP. Hal lain yang mempengaruhi adalah lamanya proses adaptasi MEP terhadap pakan baru tersebut. Menurut Bennet et al. (1996), faktor yang dapat

mempengaruhi daya terima primata terhadap makanan adalah jenis nutrisi, palatabilitas, bentuk dan jenis bahan. Sebelum intervensi MEP melewati masa adaptasi karena pakan yang biasa diberikan adalah monkey chow. Masa adaptasi memberi ruang untuk MEP menyesuaikan diri dengan pakan baru. Pemberian essens pisang juga mempengaruhi daya terima MEP terhadap makanan. Makanan tinggi lemak dengan penambahan tepung kuning telur juga dapat meningkatkan

daya terima. Menurut Suparto et al. (2010) makanan tinggi lemak dengan

penambahan tepung kuning telur dapat meningkatkan palatabilitas atau daya terima terhadap pakan yang dikonsumsi. Konsumsi pakan dengan presentasi >80% pada hewan coba cenderung untuk meningkatkan atau menstabilkan berat badan.

Perubahan Fisik (Berat Badan)

Pakan yang diberikan pada monyet ekor panjang (MEP) merupakan Biskuit Ikan Lele Formula terpilih pada penelitian Kusharto et al. (2012). Formula kaya akan zat gizi terutama protein dan mineral karena berbahan dasar tepung ikan lele. Perlakuan intervensi berbagai jenis pakan menyebabkan terjadinya perubahan fisik pada MEP yaitu berat badan. Pengukuran berat badan diperlukan sebagai

indikator kesehatan dan kesejahteraan hewan selama masa intervensi (Fortman et

al. 2002). Analisis data terhadap perubahan berat badan MEP didasarkan pada

pengamatan per-bulan pra dan selama intervensi. Data peningkatan berat badan MEP dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.

Tabel 14 Perubahan berat badan (kg)

Perlakuan* Bulan ke- Rata-rata p value

0 1 2 3 A1 3.10a 3.46a 3.52a 3.57a 3.41 A2 3.13a 3.33a 3.34a 3.31a 3.28 A3 3.12a 3.29a 3.38a 3.41a 3.30 Rata-rata 3.11a 3.36a 3.42a 3.43a 3.33 0.832 p value 0.903 1.00 Keterangan:

*) = Berat badan MEP antar perlakuan A1= Kontrol / pakan standar

A2= Pakan standar + probiotik

A3= Pakan standar + probiotik + minyak ikan lele

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa rata-rata berat badan MEP antar perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) pada pengamatan bulan ke-0, 1, 2 dan 3. Data pada Tabel 14 menunjukkan bahwa semua kelompok yang diberi perlakuan mengalami peningkatan berat badan. Rata-rata berat badan MEP pada awal penelitian berkisar 3.10-3.13 kg. Peningkatan berat badan MEP di akhir pengamatan antara lain dipengaruhi oleh perlakuan yang diberikan dan lingkungan. Hal ini diindikasikan dengan berat badan MEP pada awal penelitian homogen.

Menurut Fortman (2002), peningkatan berat badan merupakan sifat alamiah pada hewan coba. MEP tidak berhenti tumbuh meskipun pada usia tua laju

bulan pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata berat badan MEP mengalami peningkatan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak berbeda nyata terhadap rata-rata berat badan MEP selama intervensi (p>0.05) pada MEP. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan berdasarkan waktu peningkatan berat badan bertambah seiring lamanya waktu intervensi, akan tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05).

Analisis data terhadap perubahan berat badan MEP didasarkan pada pengurangan berat badan MEP pada pengamatan bulan ke-1, 2 dan 3 dikurangi berat badan MEP pada pengamatan bulan-0 (baseline). Data presentasi dan perubahan berat badan MEP selama intervensi disajikan pada Gambar 11 dan 12.

Keterangan:

*) = berat badan MEP antar perlakuan tidak berbeda nyata A1 = Pakan standar

A2 = Pakan standar + probiotik

A3 = Pakan standar + probiotik + minyak ikan

Gambar 11 Rata-rata perubahan berat badan MEP selama pengamatan Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa peningkatan berat badan MEP antar perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05) pada pengamatan bulan ke-1, 2 dan 3. Meskipun tidak ada perbedaan nyata berat badan MEP selama intervensi, namun terjadi tren peningkatan berat badan. Faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan adalah asupan makanan yang diberikan dalam jumlah cukup dan kandungan gizi yang terdapat pada makanan. Pakan yang diberikan sudah mencukupi kebutuhan energi MEP per hari (120 kkal/hari). Semua MEP mendapatkan perlakuan yang sama, perbedaan terdapat pada penambahan probiotik dan minyak ikan. Banyak hal yang dapat menyebabkan berat badan MEP meningkat. Salah satunya kepatuhan dalam mengonsumsi pakan selama perlakuan. Selain mengonsumsi pakan, MEP juga diberikan tambahan buah- buahan sebagai penunjang asupan harian.

Keterangan: A1 = Pakan standar

A2 = Pakan standar + probiotik

A3 = Pakan standar + probiotik + minyak ikan MC = Pakan monkey chow (Oktarina 2009)

Gambar 12 Persentase peningkatan berat badan MEP selama pengamatan

dibandingkan pakan komersia monkey chow

Penambahan tepung kuning telur sebagai pakan aterogenik pada formula pakan MEP diduga dapat meningkatkan ketertarikan MEP pada pakan. Menurut

Suparto et al. (2010) penambahan tepung kuning telur sebagai pakan tinggi lemak

dapat memperbaiki palatabilitas sehingga meningkatkan konsumsi pakan dan bobot badan. Sejalan degan penelitian Oktarina (2009) pakan dengan penambahan kuning telur (lemak ±19.62%) lebih berpotensi meningkatkan berat badan

dibanding pakan monkey chow (lemak 5.55%). Monyet dengan pakan monkey

chow memiliki kecenderungan berat badan yang stabil selama 4 bulan

pengamatan. Pakan monkey chow memiliki kandungan protein yang lebih tinggi.

Menurut Oktarina (2009) sumber energi yang berasal dari protein secara metabolisme kurang efesien (menghasilkan energi ekspenditur yang lebih besar) bila dijadikan sumber energi tubuh. Disisi lain, lemak menyumbang energi lebih tinggi dibanding dengan protein dan karbohidrat karena mempunyai ikatan karbon

lebih banyak dalam strukturnya. Selain itu, pakan MEP juga diberikan essens

beraroma pisang sehingga diduga dapat menarik minat MEP untuk dikonsumsi.

Oleh sebab itu, pakan monkey chow diduga menghasilkan bobot badan yang lebih

rendah dibanding pakan formulasi.

Selain itu, penambahan probiotik pada pakan memberi kecenderungan menekan peningkatan berat badan. Probiotik pada pakan menyebabkan keseimbangan mikrobiota dalam saluran cerna, sehingga akan menekan pertumbuhan bakteri patogen yang akan menciptakan kondisi yang baik pada saluran pencernaa MEP. Berdasarkan penelitian Nugraha (2013) penambahan

probiotik E.faecium IS-27526 dapat meningkatkan bakteri asam laktat dan

meminimalisir bakteri koliform mikrobiota fekal monyet ekor panjang betina usia tua. Kondisi demikian akan mengoptimalkan penyerapan zat-zat gizi dan akan

memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan (Harianti 2009). Disisi lain,

dengan mengonsumsi probiotik E.faecium IS-27526 dapat memperlambat

peningkatan kolesterol total pada MEP karena diduga kolesterol dikeluarkan dari

tubuh. Menurut Pato et al. (2004) bakteri asam laktat dapat memperlambat

peningkatan berat badan karena dapat mendegradasi senyawa-senyawa yang berperan dalam peningkatan pertumbuhan. Namun hal ini perlu penelitian lebih

lanjut untuk mengetahui mekanisme bakteri asam laktat (E. faecium IS-27526)

terhadap berat badan.

Profil lipid

Lipid adalah senyawa yang mengandung karbon dan hidrogen yang tidak larut dalam air (hidrofobik) tetapi larut dalam pelarut organik. Lipid memegang peranan penting dalam struktur dan fungsi sel (Lehninger 1982). Menurut Mc.Guire dan Beerman (2009) profil lipid merupakan salah satu indikator seseorang menderita sindrom metabolik. Pada penelitian ini dilakukan pengukuran profil lipid terhadap MEP yang telah diberikan pakan aterogenik dengan penambahan probiotik dan minyak ikan. Pakan aterogenik yang diberikan adalah tepung kuning telur. Produk hasil ternak (kuning telur) yang mengandung kolesterol tinggi dapat menurunkan kualitas profil lipid dan memicu ateroskerosis. MEP merupakan spesies yang sensitif terhadap pakan yang mengandung kolesterol sama halnya seperti manusia yang responsif terhadap efek kolesterolemik. Pada penelitian ini pengukuran profil lipid yang diukur adalah kolesterol total, HDL-kolesterol, dan trigliserida. LDL dihitung melalui rasio tiga indikator profil lipid lainnya.

Kadar Kolesterol Total

Kolesterol adalah senyawa kompleks yang ditemukan pada pangan hewani. Kolesterol dapat dibuat oleh tubuh dan dari luar yang dapat mensintesis asam empedu yang berperan besar dalam penyerapan lipid di dalam tubuh. Kenaikan kadar kolesterol dalam darah merupakan suatu faktor resiko terjadinya aterosklerosis.

Tabel 15 Kadar kolesterol total MEP selama 3 bulan

Perlakuan Bulan ke- Rata-rata p value

0 1 2 3 A1 124±19.3a 215±51.8ab 452±136d 344±138bcd 283±155 A2 103±4.04a 189±37.9ab 378±114bcd 224±91.5abc 224±122 A3 138±20.5a 411±126cd 846±200e 697±91.4e 523±304 Rata-rata 122±2.06 272±126 558±255 421±232 3.43±242 0.00 p value 0.00 0.011 Keterangan:

A1= Kontrol / pakan standar A2= Pakan standar + probiotik

A3= Pakan standar + probiotik + minyak ikan lele

Berdasarkan tabel 15 diatas diketahui rata-rata kadar kolesterol MEP pada awal penelitian adalah 122±2.06 mg/dl, sedangkan pada akhir penelitian mengalami peningkatan 421±232 mg/dl. Secara keseluruhan rata-rata kadar kolesterol total MEP dari tiga perlakuan yang diberikan mengalami peningkatan hingga pengamatan bulan ke-3. Data kadar kolesterol MEP secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 5-7.

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa profil lipid MEP antar perlakuan berbeda nyata pada pengamatan bulan ke-1, 2 dan 3, namun tidak berbeda nyata pada pengamatan bulan ke-0 (baseline data). Profil kolesterol total pada kelompok MEP pada bulan ke-0 menunjukkan kadar kolesterol pada perlakuan pakan standar (A1) 124±19.3mg/dl, pakan standar dengan probiotik (A2) 103±4.04 mg/dl dan perlakuan pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan (A3) 138±20.5 mg/dl. Rata-rata kolesterol total MEP masuk kategori normal sesuai

batas normal kolesterol total 106-148 mg/dl (Fortman et al. 2009).

Hasil uji lanjut Duncan pada bulan ke-1 menunjukkan adanya peningkatan kadar kolesterol ketiga kelompok perlakuan. Kolesterol total perlakuan pakan standar (A1) 215±51.8 mg/dl tidak berbeda nyata dengan perlakuan pakan standar dengan probiotik (A2) 189±37.9. Sedangkan pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan (A3) 411±126 berbeda nyata dengan dua kelompok lainnya. Meningkatnya kadar kolesterol total pada kelompok pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan diduga karena adanya penambahan minyak ikan yang pada jumlah asupan tertentu dapat meningkatkan kolesterol di darah.

Pada bulan ke-2 menunjukkan peningkatan kadar kolesterol MEP pada ke tiga kelompok perlakuan. Kolesterol total perlakuan pakan standar (A1) 452±136 mg/dl tidak berbeda nyata dengan perlakuan pakan standar dengan probiotik (A2) 378±114 mg/dl. Sedangkan perlakuan pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan (A3) 846±200 mg/dl berbeda nyata dengan dua kelompok lainnya..

Pada bulan ke-3 menunjukkan kolesterol total perlakuan pakan standar (A1) 344±138 mg/dl tidak berbeda nyata dengan perlakuan pakan standar dengan probiotik (A2) 224±91.5, namun berbeda nyata dengan perlakuan pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan (A3) 697±91.4 mg/dl. Berbeda dengan bulan ke-0, 1 dan 2, pada bulan ke-3 terjadi penurunan kadar kolesterol pada ketiga kelompok intervensi. Peningkatan terendah pada ketiga kelompok perlakuan terlihat pada kelompok pakan standar dengan penambahan probiotik (A2). Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan penambahan probiotik memperlambat peningkatan kolesterol total dalam darah. Sedangkan dengan penambahan minyak ikan lele, tidak mampu memperlambat kenaikan kolesterol total dalam darah.

Peningkatan kadar kolesterol total MEP pada pengamatan bulan ke-1, 2 dan 3 disajikan pada Gambar 13. Rata-rata peningkatan kolesterol total pada MEP terbesar akibat perlakuan yang diberikan ditemukan pada perlakuan pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan (A3), yaitu meningkat 273 mg/dl yang diamati pada bulan ke-1 dan terus meningkat hingga pengamatan bulan ke-2 708 mg/dl. Pada pengamatan bulan ke-3 terjadi penurunan kadar kolesterol MEP dari 708 mg/dl menjadi 559 mg/dl. Rata-rata peningkatan kolesterol total pada MEP paling rendah ditemukan pada perlakuan yang diberikan pakan standar dan probiotik (A2), yaitu meningkat 85.6 mg/dl, meningkat pada bulan ke-2 sebesar 274 mg/dl. Pada bulan ke-3 peningkatan turun hingga sebesar 121 mg/dl. Data pengaruh

perlakuan terhadap peningkatan kadar kolesterol selengkapnya disajikan pada Lampiran 8-9.

Keterangan:

*) = Total kolesterol antar perlakuan tidak berbeda nyata (P<0.05) **) = Total kolesterol antar perlakuan berbeda nyata (P<0.05) A1 = Kontrol / pakan standar

A2 = Pakan standar + probiotik

A3 = Pakan standar + probiotik + minyak ikan lele

Gambar 13 Peningkatan total kolesterol MEP

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa peningkatan kolesterol total MEP antar perlakuan berbeda nyata pada bulan 2 dan 3, namun tidak berbeda nyata pada bulan 1. Hasil uji lanjut Duncan pada bulan ke-2 menunjukkan bahwa peningkatan kadar kolesterol total pada perlakuan pakan standar (A1) 327 mg/dl tidak berbeda nyata dengan perlakuan pakan standar dengan probiotik (A2) 274 mg/dl. Sedangkan perlakuan pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan (A3) 708 mg/dl berbeda nyata dengan dua perlakuan lainnya. Sama halnya dengan pengamatan pada bulan ke-2, pada bulan ke-3 menunjukkan bahwa peningkatan kadar kolesterol total pada perlakuan pakan standar (A1) 212 mg/dl tidak berbeda nyata dengan perlakuan pakan standar dengan probiotik (A2) 121 mg/dl. Sedangkan perlakuan pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan (A3) 559 mg/dl berbeda nyata dengan dua perlakuan lainnya.

Menurut penelitian Suparto et al. (2010) pemberian pakan monkey chow

terhadap MEP selama 4 bulan tidak meningkatkan kolesterol MEP, sedangkan pakan dengan penambahan tepung kuning telur menyebabkan peningkatan kadar kolesterol MEP hingga 4 kali lipat. Pada penelitian ini, semua pakan mengalami peningkatan kadar kolesterol. Hal ini diduga pengaruh tepung kuning telur sebagai pakan aterogenik. Perlakuan yang paling baik adalah perlakuan pakan standar probiotik (A2) dengan peningkatan kadar kolesterol paling rendah. Sedangkan sebaliknya, perlakuan pakan standar dengan probiotik dan minyak ikan (A3) terjadi peningkatan kolesterol paling tinggi. Penambahan minyak ikan tidak dapat

memperlambat peningkatan kolesterol total pada MEP yang diberi pakan aterogenik. Sejalan dengan penelitian Ngadiarti (2014) pemberian minyak ikan lele tidak dapat memperlambat peningkatan kadar kolesterol MEP selama 2 bulan intervensi. Peningkatan kadar total serum kolesterol dan LDL kolesterol serum, merupakan salah satu indikator kuat dari resiko penyakit jantung koroner (Garg and Simha 2007). Dari beberapa penelitian sebelumnya dinyatakan pemberian minyak ikan yang mengandung PUFA menunjukkan kecenderungan menghambat proses aterosklerosis pada penelitian 1-2 tahun intervensi (Bennet et al. 1996). Dalam penelitian ini terlihat penambahan minyak ikan lele tidak mampu menekan

kenaikan kadar kolesterol. Menurut Kang et al (2003) perbandingan PUFA/SFA:

1-1.5 berpotensi menghambat peningkatan kolesterol. Meskipun perbandingan asam lemak PUFA/SFA pada minyak ikan lele berada pada kisaran 1-1,5 namun tidak mampu memperlambat peningkatan kolesterol. Hal ini diduga dipengaruhi komposisi PUFA dan resiko kerusakan pada minyak ikan. Asam lemak linolenat (omega-3) mempunyai proporsi yang sangat kecil dibanding asam lemak linoleat (omega-6). Minyak ikan juga diduga dapat mengalami kerusakan akibat pengaruh

lingkungan selama proses pemberian pakan. Menurut Lins et al. (2012) faktor

genetik juga dapat berpengaruh terhadap respon etiologi metabolisme lipid terutama pada usia tua. Pada hewan usia tua, SFA meningkatkan tingkat penyerapan asam lemak dan kolesterol di dalam ileum. Hal ini disebabkan efek

resisten dari UWL (Unstrirred Water Level) hewan usia tua yang menurun. UWL

merupakan cairan perantara sebelum lipid dicerna membran usus halus (Aparicio

et al. 2009).

Probiotik diduga dapat menekan peningkatan kolesterol total MEP selama intervensi. Menurut Mc.Guire dan Beerman (2009) tingginya serat pada bahan pangan dapat berfungsi sebagai prebiotik yang mendukung pertumbuhan bakteri baik disaluran pencernaan. Kombinasi prebiotik dan probiotik berupa sinbiotik memungkinkan terjadinya keseimbangan mikrobiota di dalam usus sehingga menghindari menempelnya bakteri patogen pada saluran pencernaan. Beberapa penelitian terdahulu menyatakan probiotik mempunyai kemampuan untuk

Dokumen terkait