• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemeriksaan diferensial leukosit ayam broiler dalam kelompok perlakuan dilakukan sebanyak tiga kali selama penelitian berlangsung. Pemeriksaan tahap pertama dilakukan pada ayam berumur 21 hari, yaitu semua ayam kelompok perlakuan kecuali kelompok kontrol, diberikan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah selama 16 hari. Hasil pemeriksaan diferensial leukosit ayam umur 21 hari disajikan pada Tabel 2 di bawah.

Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian ekstrak tanaman obat

Kelompok Perlakuan

Pengamatan diferensial leukosit (%)

Limfosit Heterofil Monosit Eosinofil Basofil

I-F1-5% 75.0±5.04e 16.4±4.39cd 6.0±2.23b 1.4±0.89ab 1.4±0.89ab II-F2-7.5% 77.4±48.20e 14.4±7.16c 3.4±2.30ab 2.6±2.07ab 2.2±2.28ab III-F3-10% 77.2±2.58e 16.0±2.44cd 4.4±1.14ab 1.0±0.70ab 1.4±1.51ab IV-F4-simplisia 77.8±7.69e 19.2±4.54cd 0.8±0.83ab 2.2±3.89ab 0.0±0.00a K-(kontrol) 77.6±6.87e 20.8±7.25d 0.8±0.44ab 0.8±0.44ab 0.0±0.00a

Nilai referensi* 63.0 30.1 4.0 2.5 0.1

Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), *Davis et al. 2008.

Berdasarkan hasil pemeriksaan diferensial leukosit ayam berumur 21 hari pada tahap pertama (Tabel 2), secara umum menunjukkan jumlah rataan leukosit ayam tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masing-masing kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lavinia et al. (2009), bahwa pemberian ekstrak tanaman obat dan minyak esensial tidak berpengaruh terhadap gambaran darah tepi (darah perifer) ayam broiler. Jumlah rataan limfosit dalam penelitian ini adalah 75.0-77.8%, Menurut Davis et al. (2008) jumlah rataan limfosit pada ayam adalah 63.0% dalam keadaan normal. Perbedaan antara rataan jumlah limfosit ayam perlakuan dengan rataan jumlah limfosit ayam pada referensi (menurut Davis) diduga akibat dari respon fisiologis tubuh ayam yang diamati, serta akibat perbedaan lingkungan tempat berlangsungnya penelitian.

Pemeriksaan diferensial leukosit tahap kedua dilakukan pada umur 44 hari setelah semua ayam perlakuan diberikan formula ekstrak etanol tanaman

sambiloto, adas dan sirih merah selama 21 hari. Adapun tujuan dari pemeriksaan pada tahap kedua ini adalah untuk mengamati perbedaan respon leukosit ayam yang tidak divaksinasi AI H5N1 (kelompok perlakuan I) dengan ayam yang divaksinasi AI H5N1 (kelompok perlakuan II). Hasil pemeriksaan diferensial leukosit tahap kedua terhadap ayam perlakuan berumur 44 hari disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 44 hari sebelum ditantang virus AI H5N1

Kelompok Perlakuan

Pengamatan diferensial leukosit (%)

Limfosit Heterofil Monosit Eosinofil Basofil

I-F1- 5% 72.8±9.52h 18.8±11.09 defg 8.0±2.54abcde 0.2±0.44a 0.2±0.44a I-F2- 7.5% 73.6±9.76h 15.0±8.74cdefg 9.8±3.11abcdef 0.2±0.44a 1.4±3.13a I-F3- 10% 82.8±3.27h 5.2±2.16abc 12.0±4.0abcdefg 0.0±0.00a 0.0±0.00a I-F4-simplisia 75.2±9.17h 12.8±5.35cdefg 7.2±6.72abcd 4.6±5.45ab 0.2±0.44a I-K 71.2±11.84h 21.4±13.83fg 4.2±2.58ab 3.2±1.92ab 0.0±0.00a II-F1- 5% 81.0±5.91h 10.6±3.91abcdef 4.6±3.71ab 0.0±0.00a 3.8±2.28ab II-F2- 7.5% 74.4±12.87h 20.4±11.58efg 2.4±2.50ab 1.6±1.67a 1.2±2.68a II-F3- 10% 75.2±10.49h 17.6±8.50cdefg 4.2±3.11ab 3.0±3.74ab 0.0±0.00a II-F4-simplisia 74.8±16.75h 23.4±15.05g 1.2±1.64a 0.6±0.89a 0.0±0.00a II-K 72.8±27.36h 18.2±29.29g 6.8±6.90abcd 1.4±2.07a 0.8±1.09a Nilai referensi* 65.55±2.33 30.65±0.63 3.05±0.63 2.55±0.21 1.05±0.21 Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan

hasil berbeda nyata (P<0.05), * Lavinia et al. 2009

Berdasarkan hasil pengamatan diferensial leukosit pada ayam berumur 44 hari (Tabel 3) menunjukkan jumlah limfosit pada kelompok perlakuan I tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan jumlah limfosit ayam pada kelompok perlakuan II. Jumlah rataan limfosit dalam penelitian ini berkisar antara 71.2-82.8%. Hal ini berbeda dengan rataan jumlah limfosit yang dilaporkan oleh Lavinia et al. (2009), bahwa rata-rata persentase limfosit ayam broiler pada umur 3 sampai 6 minggu adalah 65.5%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh sistem dan lingkungan pemeliharaan yang berbeda. Namun hal tersebut tidak berpengaruh terhadap penelitian yang dilakukan. Formula ekstrak etanol tanaman obat yang diberikan pada ayam perlakuan, masing-masing mengandung bahan aktif flavonoid. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ziaran et al. (2005) bahwa flavonoid dapat berperan sebagai imunosupresan. Sinergisme flavonoid dalam

herbal memiliki efek imunosupresor terhadap respon limfo proliferatif, hal ini disebabkan oleh nitrit oksida yang dihasilkan oleh makrofag.

Pemeriksaan diferensial leukosit tahap ketiga dilakukan pada ayam perlakuan yang bertahan hidup setelah ditantang dengan virus AI H5N1. Hasil selengkapnya disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan jumlah leukosit pada ayam perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05) antara masing- masing kelompok perlakuan.

Tabel 4. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 51 hari, setelah ditantang virus AI H5N1

Kelompok Perlakuan

Pengamatan diferensial leukosit

Limfosit Heterofil Monosit Eosinofil Basofil

II-F1- 5% 55.6±22.87c 39.0±23.80bc 0.0±0.00a 5.4±12.07a 0.0±0.00a II-F2- 7.5% 55.8±14.09c 41.6±15.07bc 1.0±1.73a 1.6±3.57a 0.0±0.00a II-F3- 10% 49.8±22.06c 43.6±22.91bc 0.2±0.44a 6.4±7.63a 0.0±0.00a II-F4-simplisia 40.2±15.83c 54.8±19.94bc 0.0±0.00a 5.0±6.00a 0.0±0.00a

II-K 57.2±15.89c 37.0±17.90b 2.2±2.48a 3.6±5.94a 0.0±0.00a

Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05).

Berdasarkan hasil pengamatan diferensial leukosit ayam setelah ditantang dengan virus AI H5N1 (Tabel 4), menunjukkan penurunan jumlah limfosit dan peningkatan jumlah heterofil. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari infeksi virus AI H5N1 dan pengaruh dari hormon glukokortikoid (hormon yg berperan dalam stres), yang meningkatkan jumlah persentase neutrofil (heterofil), dan menurunkan jumlah persentase limfosit (Davis et al. 2008).

Titer Antibodi AI H5N1 pada Ayam Perlakuan

Pemeriksaan titer antibodi AI saat umur ayam 21 hari menunjukkan bahwa tidak ada kelompok ayam yang mempunyai kekebalan protektif terhadap infeksi H5N1 yang ditandai dengan hasil titer antibodi AI rata-rata 0 (nol). Dengan demikian data penelitian ini dapat diyakini terhindar dari bias akibat adanya maternal antibodi AI atau keterpaparan virus dari lingkungan yang terkontaminasi. Sebelum pengujian titer antibodi AI pada tahap ini, semua kelompok perlakuan (I dan II) telah diberi formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi bertingkat sesuai dengan

masing-masing kelompok perlakuan. Formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah yang diberikan pada kelompok perlakuan I dan II tidak menunjukkan pengaruh terhadap titer antibodi AI pada semua serum darah ayam. Hal ini disebabkan karena semua ayam perlakuan tidak divaksinasi AI sebelum ayam umur 21 hari. Adanya titer antibodi virus AI dalam populasi atau flok unggas menandakan suatu populasi ayam tersebut mengalami infeksi virus AI (Easterday et al. 1997)

Pemeriksaan titer antibodi AI dilakukan ketika ayam berumur 44 hari atau menjelang ayam perlakuan ditantang dengan virus AI H5N1, Kelompok perlakuan I dan II telah diberikan formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah selama 21 hari secara berturut-turut dari ayam berumur 4 hari sampai ayam berumur 25 hari. Pemeriksaan titer antibodi pada tahap ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi yang dilakukan pada kelompok perlakuan II ketika ayam berumur 21 hari, serta untuk mengetahui keadaan titer antibodi pada kelompok perlakuan I yang tidak divaksinasi AI. Hasil pengujian titer antibodi AI H5N1 terhadap ayam dalam kelompok perlakuan, selengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji titer antibodi AI H5N1 terhadap ayam perlakuan berumur 21, 44 dan 51 hari.

Kelompok perlakuan

Rataan Titer Antibodi terhadap Virus AI (GMT) Ayam umur 21 hari Ayam umur 44 hari Ayam umur 51 hari

I-F1- 5% 0 0 Tdu*

I-F2- 7.5% 0 0 Tdu

I-F3- 10% 0 0 Tdu

I-F4-simplisia 0 0 Tdu

I-K 0 0 Tdu II-F1- 5% 0 6.1 7.0 II-F2- 7.5% 0 < 2.0 4.0 II-F3- 10% 0 < 2.0 4.0 II-F4-simplisia 0 < 2.0 4.3 II-K 0 4.0 6.5

Keterangan: Kelompok perlakuan I ayam tidak divaksin AI H5N1 Kelompok perlakuan II ayam divaksin AI H5N1

(*) = tidak dilakukan uji titer antibodi karena ayam sudah mati

Berdasarkan hasil uji titer antibodi (Tabel 5) pada kelompok perlakuan I tidak menunjukkan titer antibodi AI yang protektif terhadap infeksi virus AI, hal ini disebabkan pada kelompok perlakuan I semua ayam tidak divaksin AI,

sedangkan pada kelompok perlakuan II menunjukkan respon vaksinasi AI yang protektif terhadap infeksi AI karena semua ayam pada kelompok perlakuan II dilakukan vaksinasi AI pada umur 21 hari. Respon vaksinasi AI dengan nilai rataan titer antibodi yang baik ditunjukkan pada kelompok perlakuan II-F1-5% dengan rataan titer 6.1 (log 2) dan kelompok kontrol II-K dengan rataan titer 4.3 (log 2), sedangkan kelompok II-F2-7.5%, II-F3 -10% dan II-F4-simplisia menunjukkan respon vaksinasi yang kurang baik, yaitu masing-masing kelompok perlakuan hanya memiliki rataan titer 2 (log 2).

Besaran rataan titer antibodi AI yang diperoleh dalam serum ayam sebelum dilakukan tantang dengan virus AI H5N1 secara intranasal, dengan dosis 106 EID50 terlihat kisaran titer antibodi AI dari 4 log 2 sampai 6.1 log 2. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Dharmayanti et al. (2004), ayam kampung dan burung puyuh yang mempunyai titer antibodi AI lebih atau sama dengan 3 log 2 mampu memproteksi terhadap virus AI H5N1, sedangkan ayam dan burung puyuh yang mempunyai rataan titer antibodi AI kurang dari 3 log 2 serta ayam kontrol yang tidak mempunyai titer antibodi AI terlihat tidak mampu memproteksi diri dari serangan virus AI H5N1 dengan partikel virus tantang sebesar 106 EID50 yang

diinfeksikan secara intramuskular.

Daya Tahan Hidup Ayam Setelah Ditantang Virus AI H5N1

Daya tahan hidup ayam diamati setelah ditantang dengan virus AI H5N1 menunjukkan adanya kematian berturut-turut pada hari ke-3, 4 dan 5 pasca infeksi (pi). Data daya tahan hidup ayam selengkapnya disajikan pada Tabel 6. Kematian ayam terjadi karena infeksi virus AI H5N1 dalam waktu 16 jam dapat membuat nekrotik sel epitel dan mukosa saluran pernafasan, sementara itu replikasi virus dapat dideteksi pada organ otak, kulit dan organ visceral dalam waktu 24 jam, kemudian virus menyebabkan lesi yang parah diseluruh organ tubuh dalam waktu 48 jam, selanjutnya akan menyebabkan kematian pada ayam yang terinfeksi (Pantin-Jakwood 2008)

Hasil pengamatan daya tahan tubuh ayam terhadap infeksi AI H5N1 pada kelompok perlakuan I diantaranya, kelompok perlakuan I-F2-7.5% (formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, sirih merah dan adas dengan konsentrasi 7.5%

dan ayam tidak divaksin) menunjukkan ayam mampu bertahan hidup hanya 1 ekor (12.5%) dari total 8 ekor (100%) sampai hari ke-6 pi. Sedangkan kelompok perlakuan I-1, I-3, I-4 dan I-K dari total ayam 8 ekor, tidak ada ayam yang bertahan hidup sampai hari terakhir pengamatan. Hal ini menunjukkan bahwa formula ekstrak etanol sambiloto, adas, dan sirih merah hanya sebagai prekursor obat anti virus yang masih memerlukan sintesa dengan bahan aktif tanaman obat lainnya. Data daya tahan hidup ayam setelah ditantang virus AI H5N1 selengkapnya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Daya tahan hidup ayam setelah ditantang virus AI H5N1 dosis 0.1ml (106 EID50 ), selama 6 hari masa pengamatan

Kelompok Perlakuan

Total Ayam (ekor)

Jumlah ayam yang bertahan hidup hari ke- Total Ayam yang hidup (ekor) I II III IV V VI I-F1- 5% 8 8 8 4 1 0 0 0 I-F2- 7.5% 8 8 8 2 1 1 1 1 I-F3- 10% 8 8 8 1 0 0 0 0 I-F4-simplisia 8 8 8 3 1 0 0 0 I-K 8 8 8 5 1 0 0 0 II-F1- 5% 8 8 8 8 8 8 8 8 II-F2- 7.5% 8 8 8 7 7 6 6 6 II-F3- 10% 8 8 8 6 5 4 4 4 II-F4-simplisia 8 8 8 8 8 8 7 7 II-K 8 8 8 8 8 8 7 7

Berdasarkan hasil pengamatan daya tahan hidup ayam setelah diinfeksi dengan virus AI H5N1 pada kelompok II (Tabel 6) dapat dijelaskan bahwa; pada kelompok perlakuan II-F1-5%, dari total 8 ekor ayam, terbukti tidak ada ayam yang mati hingga hari keenam pi (100%) ; Pada kelompok perlakuan II-F2-7.5%, hanya 6 ekor yang mampu bertahan hidup (75%); Pada kelompok perlakuan II- F3-10% ada 4 ekor ayam yang bertahan hidup (60%); dan pada kelompok perlakuan II-F4-simplisia, hanya 7 ekor ayam yang bertahan hidup (87.5%); Sedangkan pada kelompok kontrol II-K ayam hanya bertahan sebanyak 7 ekor (87.5%). Hasil penelitian pada kelompok perlakuan II secara umum menunjukkan ayam dapat bertahan hidup sampai akhir masa pengamatan karena pengaruh dari pemberian formula ekstrak tanaman sambiloto, adas dan sirih merah serta vaksinasi terhadap ayam perlakuan.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa daya tahan hidup ayam terhadap infeksi virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan (Tabel 6),

menunjukkan daya tahan hidup ayam pada kelompok perlakuan II lebih baik dibandingkan dengan kelompok perlakuan I. Hal ini diduga karena semua ayam pada kelompok perlakuan II mendapatkan vaksinasi AI. Kejadian ini diperkuat dengan pernyataan Swayne et al. (2000) yang menjelaskan bahwa vaksinasi AI mencegah dan melindungi ayam dari infeksi virus AI H5N1 yang sering berubah setiap tahunnya.

Ayam yang divaksinasi dan diberi formula ekstrak tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 5% (kelompok perlakuan II-F2-5) lebih baik daya tahan hidupnya dibandingkan dengan ayam yang hanya divaksinasi (Kelompok II-Kontrol). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa ayam pada kelompok II-F2-5% dapat bertahan hidup 100% hingga hari ke-6 pi, sementara ayam yang hanya divaksinasi (kelompok II-K) mengalami kematian 1 (satu) ekor ayam pada hari ke-6 pi. Setiyono et al. (2010) menyatakan bahwa formula ekstrak tanaman obat dapat berperan sebagai perkusor (pendukung) imunomodulator untuk menjadi sediaan anti viral.

Pemeriksaan Histopatologi dan Imunohistokimia

Hasil pemeriksaan dengan menggunakan pewarnaan HE terhadap organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) pada ayam kelompok perlakuan secara umum (kelompok perlakuan I dan II) menunjukkan adanya deplesi sel limfoid, kongesti, edema, nekrotik folikel limfoid skunder, deplesi pulpa putih, deplesi kortek dan nekrotik fokus medula. Perubahan pada organ bursa, limpa dan timus berkaitan dengan patogenesis virus AI H5N1 yang diinfeksikan melalui intranasal.

Perubahan pada organ limfoid yang menyebabkan edema terjadi akibat peningkatan daya dorong cairan dari pembuluh darah menuju jaringan antar sel. Sedangkan perubahan yang menyebabkan kongesti terjadi bila aliran darah mengalami gangguan yang timbul dari daya kerja tubuh, dalam upaya memobilisasi sel-sel darah dengan meningkatkan tekanan vascular. Sementara itu perubahan yang menyebabkan deskuamasi sel epitel terjadi akibat daya kerja virus yang patogen dalam merusak sel epitel, sehingga virus dapat masuk ke jaringan dan menyebabkan infeksi sistemik. Pada kondisi perubahan yang menyebabkan deplesi folikel limfoid terjadi akibat berkurangnya jumlah sel-sel limfosit pada

folikel limfoid. Sementara, perubahan yang menyebabkan nekrosis terjadi akibat antigen virus masuk ke sel sehingga menyebabkan depresi hebat terhadap aktifitas metabolisme seluler akibat replikasi virus (Pringgoutomo 2002).

Hasil pemeriksaan imunohistokimia terhadap organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus), secara umum terdeteksi antigen virus AI H5N1 sudah menyebar di organ limfoid ayam pada semua kelompok perlakuan (kelompok perlakuan I dan II). Hal ini terjadi karena virus diinfeksi secara intranasal. Radji (2006) menyatakan virus AI H5N1 yang masuk melalui saluran pernafasan hospes akan menyebar memasuki submukosa melalui sistem peredaran darah atau sistem limfatik, serta menginfeksi berbagai macam tipe sel organ. Penyebaran virus melalui sel endotel pembuluh darah dan sistem limfatik dalam waktu 48 jam akan menyebabkan lesi yang parah di seluruh organ tubuh, yang selanjutnya akan menyebabkan kematian (Pantin-Jakwood 2008). Data distribusi antigen pada organ limfoid ayam yang mati setelah ditantang virus AI H5N1selengkapnya disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi antigen virus AI H5N1 pada organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) ayam yang mati setelah ditantang virus AI H5N1

Kelompok perlakuan Antigen virus AI H5N1 pada organ Limfoid

Bursa Fabricius Limpa Timus

I-F1- 5% + ++ ++ I-F2- 7.5% + ++ + I-F3- 10% + ++ + I-F4-simplisia + ++ +++ I-K ++ ++ + II-F1- 5% ++ +++ + II-F2- 7.5% + +++ ++ II-F3- 10% + +++ ++ II-F4-simplisia + +++ +++ II-K + ++ ++

Keterangan : (+) ringan, (++) sedang, (+++) tinggi dan (-) tidak ditemukan

Pemeriksaan histopatologi terhadap organ bursa Fabricius dengan pewarnaan HE pada semua kelompok perlakuan (I dan II), menunjukkan organ bursa Fabricius terjadi edema, deplesi folikel limfoid, nekrotik folikel limfoid dan kongesti. Pemeriksaan imunohistokimia organ bursa Fabricius menunjukkan hanya dua kelompok perlakuan ((I-K(-) dan II-F1-5%) yang pemaparan antigen dalam jumlah sedang (++) sedangkan kelompok perlakuan lainnya menunjukkan

pemaparan antigen dalam jumlah rendah (+). Antigen yang terdeteksi diduga karena organ bursa Fabricius merupakan tempat pendewasaan dan diferensiasi sel pembentuk antibodi, selain itu bursa Fabricius juga dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi (Tizzard 1987). Banyaknya antigen yang terdeteksi pada organ bursa Fabricius sangat tergantung dari jumlah antibodi yang dihasilkan oleh organ tersebut, hal ini ditunjukkan pada kelompok perlakuan II-F1-5%, dimana ayam perlakuan memiliki titer antibodi yang tinggi (Tabel 5) sehingga ayam dapat bertahan hidup hingga hari ke-6 pi (Tabel 6).

Hasil pengamatan histopatologi dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya kongesti, dan deplesi pulpa putih pada organ limpa. Antigen di organ limpa terdeteksi dalam jumlah sedang (++) pada kelompok perlakuan I (Tabel 7). Sedangkan pada kelompok perlakuan II terdeteksi antigen dalam jumlah tinggi (+++) di organ limpa. Hal ini disebabkan karena parenkim limpa memiliki pulpa merah sebagai penyaring darah dan pulpa putih sebagai tanggap kebal. Patichimasiri et al. (2007) menyatakan bahwa distribusi antigen pada limpa menunjukkan derajat sedang (++). Hal yang sama juga disebutkan oleh Damayanti et al. (2004) bahwa distribusi antigen pada organ limpa terdeteksi dalam jumlah tinggi (+++) dan tersebar dalam sel-sel yang terdapat disekitar pulpa merah yang mengalami nekrosis, dengan sebaran antigen yang soliter maupun kelompok.

Hasil pemeriksaan histopatologi terhadap organ timus pada kelompok perlakuan I menunjukkan terjadi edema, kongesti, deplesi kortek, nekrotik fokus medula dan multi fokus nekrotik. Sedangkan pada kelompok perlakuan II organ timus rata-rata tidak menunjukkan lesion spesifik dan hanya kongesti ringan. Distribusi antigen pada organ timus telihat dalam jumlah sedang (++), hal ini diduga karena timus merupakan organ limfatik primer. Timus berfungsi menjaga lingkungan sel bibit (stem cells) yang bermigrasi dari sumsum tulang pascanatal berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi limfosit T (Dellman 1989).

Gambaran histopatologi organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus) dengan pewarnaan HE disajikan pada Gambar 5. Sementara distribusi antigen AI H5N1 yang terdeteksi pada organ limfoid ayam disajikan pada Gambar 6.

Gambar 5. Pewarnaan HE terhadap organ limfoid (A. bursa Fabricius, B. Limpa dan C. Timus), ayam setelah ditantang virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan II-F2-75%. 1. Deplesi folikel limfoid, 2. Nekrosis sel folikel.

Gambar 6. Pewarnaan IHK terhadap organ limfoid (A. Bursa Fabricius; B. Limpa dan C. Timus), ayam setelah ditantang virus AI H5N1 pada kelompok perlakuan II-F1-5%. Tanda panah menunjukkan distribusi antigen virus AI H5N1.

Berdasarkan hasil pengamatan antigen AI pada organ limfoid ayam menggunakan pewarnaan imunohistokimia pada semua kelompok perlakuan (Tabel 7) dapat dijelaskan bahwa kelompok perlakuan I menunjukkan deteksi antigen AI pada organ limfoid dalam jumlah sedikit. Hal ini diduga karena ayam yang tidak divaksinasi tidak mampu melindungi tubuh dari infeksi virus dan menyebabkan rusaknya organ limfoid, kemungkinan lain virus telah menyebar ke organ atau jaringan lain sehingga ketika dilakukan pewarnaan imunohistokimia terlihat sedikit antigen yang terdeteksi pada organ limfoid (bursa Fabricius, limpa dan timus). Kelompok perlakuan II, ayam yang mendapat vaksin AI menunjukkan jejak antigen pada organ limfoid lebih banyak. Hal ini dimungkinkan antigen virus vaksin yang masih bisa terdeteksi dengan pewarnaan imunohistokimia. Dugaan lain adalah kemungkinan antigen virus tantang yang tidak ternetralisasi antibodi hasil vaksinasi AI terdeteksi dalam jumlah banyak pada sel limfoid dengan pewarnaan imunohistokimia.

Performance Ayam Perlakuan

Pemberian formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dengan berbagai konsentrasi terhadap ayam perlakuan secara statistik menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0.05) berat badan ayam perlakuan pada minggu ke-1 dan minggu ke-2 selama pengamatan dibandingkan dengan kontrol (Tabel 8). Hal ini terlihat berat badan ayam pada kelompok perlakuan I-F3-10% lebih rendah dibandingkan dengan berat badan ayam pada kelompok kontrol I (I-K). Sementara itu berat badan ayam pada kelompok perlakuan II-F3-10% juga lebih rendah dibandingkan dengan berat badan ayam kelompok kontrol II (II-K). Hal ini diduga karena formula ekstrak etanol tanaman sambiloto, adas dan sirih merah dengan konsentrasi 10% bersifat kental, menyebabkan proses absorbsi formula ekstrak etanol sambiloto, adas dan sirih merah dalam pencernaan ayam mengalami gangguan, sehingga ayam mengalami penurunan nafsu makan. Menurut Scott et al. (1982), bahwa sebagian besar pakan yang dikonsumsi ayam akan diabsorbsi untuk memenuhi kebutuhan energi bagi pertumbuhan jaringan dan energi dalam melaksanakan aktivitas fisik. Hasil pengamatan berat badan ayam kelompok perlakuan dari umur 1 sampai 6 minggu selengkapnya disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Berat badan ayam perlakuan umur 1-6 minggu (g/ekor)

Kelompok Perlakuan

Pengamatan Minggu ke-

I II III IV V VI I-F1- 5% 214.25±25.77abc 410.75±73.56ab 770.25±137.45a 1313.6±239.97ab 1821.1±237.60a 2049.4±372.57a I-F2- 7.5% 234.87±28.75bc 422.25±64.35ab 788.62±105.11ab 1366.9±158.24ab 1929.6±263.82a 2188.2±230.61a I-F3- 10% 210.75±23.39ab 436.62±35.97abc 758.25±133.01a 1319.1±200.62ab 1923.1±195.84a 2187.6±291.90a I-F4-Simplisia 237.13±25.28bc 462.12±71.44bc 791.88±132.96ab 1401.8±129.94ab 1772.0±288.63a 2108.0±227.33a I-K 246.12±31.32c 470.00±68.33bc 819.25±127.46ab 1373.4±237.78ab 2000.4±183.05a 2252.9±332.05a II-F1- 5% 213.62±27.75abc 439.88±60.76abc 754.13±141.62a 1261.3±219.90a 1744.1±282.26a 2043.6±139.15a II-F2- 7.5% 222.75±18.97abc 416.38±47.63ab 817.38±86.35ab 1361.9±136.86ab 1852.4±230.68a 2230.0±255.49a II-F3- 10% 197.38±43.38a 386.38±88.60a 791.38±86.34ab 1333.4±90.74ab 1820.6±178.99a 2034.9±207.55a II-F4-Simplisia 232.38±14.83bc 457.00±70.58abc 921.50±86.76ab 1517.8±153.37b 1990.7±170.08a 2256.6±188.16a II-K 237.25±35.41bc 506.62±34.65c 839.38±131.78ab 1505.8±149.60b 1876.4±305.96a 2144.8±368.86a Referensi* a 157.00 413.00 832.00 1382.00 1996.00 2604.00 b 175.40 486.60 931.80 1467.30 2049.20 2633.70

Keterangan: Nilai rataan dengan huruf superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), a. Cobb 2008, b. Anonimous 2010

Hasil pengamatan berat badan ayam pada minggu ke-3 terhadap semua kelompok perlakuan menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05), sedangkan hasil pengamatan berat badan ayam pada minggu ke-4 menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) berat badan ayam. Hal ini terlihat pada kelompok perlakuan II-F2-5%, dimana berat badan ayam lebih rendah dibandingkan pada kelompok perlakuan II- F-simplisia dan kontrol II (II-K). Perbedaan berat badan ayam diduga karena pengaruh pemberian vaksin yang menyebabkan ayam mengalami stres dan turunnya nafsu makan.

Berat badan ayam pada minggu ke-5 dan ke-6 (Tabel 8) tidak berbeda nyata (P>0.05) pada masing-masing kelompok perlakuan (I dan II), semua ayam kelompok perlakuan menunjukkan adanya peningkatan berat badan ayam per- minggu seiring dengan bertambahnya umur pemeliharaan ayam. Hal ini sesuai dengan pernyataan North and Bell (1990) bahwa peningkatan berat badan ayam pedaging tidak terjadi secara seragam dalam kelompok perlakuan, dan setiap minggu pertumbuhan ayam mengalami peningkatan hingga mencapai pertumbuhan maksimal setelah itu mengalami penurunan. Data pertambahan berat badan ayam kelompok perlakuan per minggu selengkapnya disajikan pada Gambar 7.

Selama penelitian berlangsung tidak ditemukan ayam yang mati pada semua kelompok perlakuan sebelum ditantang virus AI H5N1. Semua ayam perlakuan diberikan ekstrak tanaman obat selama pemeliharaan untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya sebelum di tantang virus AI H5N1. Menurut Niranjan et al. (2008), sambiloto (Andrographis paniculata) memiliki aktivitas farmakologi sebagai anti inflamasi, antioksidan, antidiabetik, anti leishmaniasis, anti diare, anti fertilitas, anti venom, anti HIV, anti malaria, anti filarisidal, anti bakterial, serta sebagai anti flu dan demam. Birdane (2007), menyatakan pemberian ekstrak etanol adas (Foeniculum vulgare) sebanyak 300 mg pada tikus dapat mengurangi kerusakan pada pada mukosa lambung. Ekstrak etanol sirih merah (Piper crocatum) yang diberikan pada ayam diduga memiliki aktivitas farmakologi sebagai anti inflamasi, anti konvulsan dan anti karsiogenik serta sebagai anti bakteri gram positif dan gram negatif (Sudjarwo 2005).

Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Salah satu bagian organ yang sering dikonsumsi oleh masyarakat adalah organ hati dan usus. Upaya pengawasan produk makanan yang berasal dari ayam dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia terhadap organ hati dan usus untuk mendeteksi jumlah antigen AI sebagai informasi terhadap keamanan produk daging/karkas

Dokumen terkait